**
Ketika aku sudah pasrah dan tubuhku makin lemas, tiba-tiba badanku ada yang memeluk dan serasa tertarik ke atas.
Antara sadar dan tidak sudah ada di daratan
"Rosi, bangun! Buka matamu!" Tubuhku serasa di tepuk bagian punggung. Lalu tubuh lemas ini dibaringkan, terasa dadaku ditekan hingga memuntahkan air yang diminum.Dada yang sesak serasa lega kembali. Aku bisa bernapas tanpa berat lagi.
Perlahan tubuh ini di dudukkan, lalu direngkuh dalam pelukan.
"Syukurlah, kamu tak apa-apa, Rosi."
Aku menikmati irama detakan jantung tempatku menyandarkan kepala. Terasa nyaman.
Lalu pelukannya terurai dan wajahku ditangkup dua tangan
"Kenapa bisa jatuh ke kolam? Untung aku bisa menemukanmu dan menyelamatkan tepat waktu." Ada kecemasan yang sangat di mata itu.Aku menggeleng pelan, karena aku juga bingung bisa terdorong jatuh ke kolam.
<Ridwan menghalangi dengan badannya. "Jangan sembarangan ambil anak-anak, Joana! Mereka tanggung jawabku. Kamu sudah meninggalkan mereka dulu. Ingat?" tegas Ridwan. Aku segera membawa si kembar ke teras belakang. Mereka nampak ketakutan melihat pertengkaran orang tuanya. "Meyda! Bantu jaga si kembar! Jangan sampai melihat orang bertengkar!";titahku pada Meyda yang diam terpaku di ambang pintu ruang makan. "Bawa si kembar ke gazebo belakang supaya aman!" Aku segera berjalan dan mengawasi Ridwan yang bersikeras supaya dua orang pria yang dibawa Joana tidak masuk. Muncul ide untuk memberi bukti jika sesuatu terjadi nanti. Ridwan nampak kewalahan didorong dua pria berotot itu. Tenaganya kalah dengan dua pria tadi. Ridwan sampai jatuh terjengkang karena didorong. Dua pria tadi merangsek maju mencari si kembar. Aku segera menghampirinya. "Hei, kalau kalian masuk tanpa permisi di sini, kalian
Hari menjelang sore saat beres acara barbeque dengan anak-anak. Aku membereskan bekas peralatan masaknya. Lumayan juga berkeringat.Saat Ridwan dan si kembar istirahat karena kekenyangan, ponselku terus berbunyi. Beberapa motif pesan terus masuk.Tumben juga banyak pesan masuk, pikirku. Namun, aku belum bisa membuka pesannya karena harus membereskan dulu peralatan bekas pesta barbeque anak-anak.Ada yang lucu. Bikin pesta barbeque kok siang hari. Namun, biarlah, itu cara Ridwan bikin senang anak-anakSetelah beres mencuci peralatan, segera aku membuka ponsel.Mataku membulat membaca pesan dari Sida dan Ruri yang isinya hampir sama.[Rosi lihat di beranda FB-mu. Kamu disebut pelakor oleh wanita bernama Joana]Segera aku membuka aplikasi berwarna biru itu. Kembali mataku terbelalak dengan postingan Joana yang mengetag namaku dan mencantumkan fotoku.Judulnya besar-besar caps
*** Malam ini aku kembali tidur terpisah dengan Ridwan. Karena si kembar kembali merecoki terus ingin tidur dengan Ridwan. Akhirnya aku mengalah tidur di kamar tamu. Entah siapa yang mengajari si kembar jadi sering rewel dan gemar recoki Ridwan. Nanti, kalau.sudah resmi menikah, akan kutanya si kembar baik-baik, siapa yang menasehati mereka supaya merusuh terus dan tidak mau mengalah, meskipun Ridwan menyuruh si kembar tidur di kamarnya masing- masing. Namun, cerdiknya Ridwan. Meskipun tidurnya terpisah, diam-diam ketika si kembar lelap dia menyelinap ke kamar tamu. Dan akan kembali ke kamarnya menjelang dinihari setelah aku puas memadu cinta dengannya. Jadi aku tak merasa kehilangan biarpun si kembar rewel. Ridwan akan dengan hangat tetap memberi nafkah batin padaku. Jelas dong, kami masih pengantin baru, masa aku diamggurin begitu saja? Lagian ini kan sudah kewajiban Ridwan untuk memperlakukan istrinya dengan k
Duda Beranak EmpatPart 15 ** "Kamu menantangku, Ridwan?" tanya Joana dengan muka sinis. "Tidak. Aku hanya ingin kamu sadar, Joana. Anak itu bukan barang, yang bisa seenaknya kamu ambil begitu saja, atau kamu tinggalkan." Wajah Joana berubah sengit setelah mendengar ucapan Ridwan. "Jangan menggurui aku!" Ridwan menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus bicara apa lagi pada Joana untuk menyadarkannya. "Terserah! Kalo kamu terus belum sadar, aku tak akan berikan anakku padamu!" tegas Ridwan. "Baiklah kalau itu maumu. Kamu bakal menyesal, Ridwan!" ancam Joana lalu berbalik badan dan segera berlalu dari depan Ridwan. Ridwan segera menutup pintu rumah. Wajahnya terlihat keruh. Aku mengiringi langkahnya masuk ruang tengah tanpa bicara sepatah katapun . "Aneh, setelah menikah, kok kamu jadi banyak masalah, Ridwan?" sindir Ibu tiri Ridwan. "Dulu adem ayem saja. Tapi setelah meni
*** Ziyan dan Zidan sudah kenyang bermain air, sudah berganti baju dan menunggu di meja makan, mie goreng yang tengah kumasak. Mata Zidan celingukan. "Papa, kok Jane dan Jihan nggak ada?" tanyanya mencari adiknya yang tidak ikut bergabung di meja makan. "Jane dan Jihan keluar sebentar. Besok juga datang," sahut Ridwan berusaha tenang. "Pergi ke mana, Pa?" "Sama Mama Jo." Zidan dan Ziyan nampak kaget. Mereka tahu, papanya tidak suka mama Jo datang. "Kenapa ikut Mama Jo?" tanya Zidan bingung. "Mama Jo kan nggak suka sama kita." Ridwan menghela napasnya dalam mendengar ungkapan Zidan. "Mama Jo mungkin lagi kangen," kilah Ridwan berusaha setenang mungkin, padahal aku tahu ada rasa cemas di matanya. "Sudah tenang saja, besok di pernikahan papa, Jane dan Jihan ada, kok!" "Ngizihin anak kok kayak barang nggak bilang-bilang neneknya!" Ibu tiri Ridwan nyeletuk sinis
Hari pernikahan pun tiba. Dari subuh aku sudah didandani perias. Ridwan terpisah kamar ikut juga berdandan. Ada ibu tiri Ridwan, Airin dan Baby sitter ikut di dandani di ruangan belakang. Ziyan dan Zidan didandani memakai jas lagi, malah bawahnya pakai kain.Kembali aku pangling dalam balutan kebaya warna broken white, disanggul dengan banyak melati. Kali ini make up-nya lebih glamour karena langsung bersambung dengan resepsi. Akad nikah juga mengukuhkan yang telah dilakukan tiga hari lalu. Meskipun sudah akad, tetap saja aku gemetaran kala acara sakral itu lebih banyak disaksikan orang. Kedua keluarga besar kumpul semua berikut teman-teman kantor aku datang. Pak Abda juga tak ketinggalan hadir. Ridwan kembali tampan dalam balutan jas tradisional pengantin Sunda, warnanya senada broken white. Dengan bendo di kepala dan kalung melatinya. Masya Allah, dia seperti pangeran dongeng yang kembali menjelma nyata.. Bersih dan
Akhirnya waktu resepsi hampir selesai. Tamu-tamu yang menyalami mulai jarang. Hingga akhirnya habis. Aku terduduk lega di kursi pelaminan. Telapak kaki serasa copot karena pegal, berdiri terus, menyalami para tamu yang memakai selop tinggi. Rahang terasa kaku karena terus menyunggingkan senyum. Keadaan Ridwan juga sama. Tubuhnya bersandar pada kepala kursi. Memijat-mijat telapak tangannya. Setelah selesai memijat telapak tangannya, lalu Ridwan meraih telapak tanganku dan mulai memijat buku-buku jari dan punggung tanganku. "Pegal, ya?" ucapnya sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk. Kubiarkan Ridwan memijat tanganku. Tangannya lincah menekan dan memijat kakiku menjadikan sensasi menggedor di hatiku. Aku kembali tersenyum dengan perhatian Ridwan.So sweet banget. Tak salah aku telah sah memilihnya jadi suami, pendamping dan pasangan hidupku. *** Akhirnya aku dan R
Ketika mengintip dari celah pintu, sosok baby sitter sudah tidak ada di ruangan belakang, rupanya dia keluar melalui pintu teras ke taman belakang. Aku mendapat firasat yang tidak enak, ketika kaki melangkah ke ruang belakang Lalu aku melongokkan kepala keluar pintu teras, terlihat Airin juga ada di taman belakang. Rupanya baby sitter itu menghampiri Airin. Aku tak berani keluar, hanya memandangi mereka dari celah pintu yang terbuka. Tak berapa lama, aku juga melihat pak Ahmad, tukang kebun sekaligus sopir kantor Ridwan berjalan dari arah kolam renang. Jantungku berdetak lebih kencang. Kolam renang? Mengingatkan aku pada kejadian saat aku didorong seseorang jatuh ke kolam itu. Ternyata dari kejauhan, dalam keadaan terang di waktu siang, diantara tanaman bunga, pohon palem, juga rumput hijau, terdapat pintu keluar. Terbuat dari kayu yang warna catnya sama dengan tembok, berwarna hijau muda. Sekil