Lagi-lagi Heera harus mengelus dada saat telinganya terus di hantui dengan suara Keenan yang memanggilnya dengan sebutan tak biasa. Tak ada angin dan tak ada hujan, Keenan memanggilnya dengan sebutan bunda. Mau protes, tapi Heera takut melukai hati anak kecil itu. Tapi kalau di diamkan, rasanya tak nyaman juga di dengar. Aneh saja, walaupun sudah kepala dua, tapi pikirannya untuk menikah masih jauh, apa lagi untuk punya anak.
"Kenapa diam aja, Ra?" Sean buka suara. Mereka sedang di jalan menuju pulang, dan Keenan sudah terlelap di kursi belakang.
Mendengar suara Sean yang menegurnya, Heera jadi tersadar, "Mas, Keenan kenapa tiba-tiba manggil aku bunda, ya?" tanya Heera sambil menatap Sean yang fokus menyetir di sebelahnya. Ya, untuk pertama kalinya Keenan mengizinkan Heera duduk di sebelah ayahnya. Biasanya Keenan tidak ingin duduk di belakang sendiri, tapi karena sogokan sang Ayah akhirnya ia merelakan Heera duduk di depan.
"Mungkin dia sudah tidak sabar, Ra
Sean merenggang lingkar dasinya yang terasa mencekat. Giginya menggeletuk, menahan kesal melihat kejadian di depan rumahnya. Ia berdecih, jengkel hati mengingat senyum Heera yang langsung mengembang ketika melihat kehadiran Arta di depan kosan."Memangnya tadi bunda habis dari mana sama Om Arta? Kok dompet bunda bisa ada di Om Arta."Sean membuka gendang telinganya lebar saat samar-samar mendengar ucapan Keenan. Sepertinya urusan Arta dan Heera sudah selesai, lebih cepat dari perkiraan Sean."Ken..." panggil Heera dengan nada segan, gadis itu menatap Keenan tak enak, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi di tahan."Bisa kamu panggil tante aja kalau di depan Om Arta?" lanjut Heera membuat raut wajah Keenan menurun. Sementara Sean mengepalkan tangannya usai mendengar hal itu."Kenapa? tante Heera malu ya jadi bundaku?" tanyanya tersirat kesedihan. Heera langsung panik, ia tidak bermaksud demikian, hanya saja, ia tidak in
"Aku mau ikut bunda pulang." Seperti biasanya, selesai makan malam dan mencuci piring Heera akan lekas pulang ke kosan, tapi hari ini langkahnya tertahan sebab Keenan merengek minta ikut pulang bersamanya. "Udah malam, Ken. Nanti Ayah kamu marah." ujar Heera menolaknya secara halus. Sebenarnya Heera tidak keberatakan jika Keenan ikut ke kosan, tapi ini waktunya Keenan belajar dan mengerjakan tugas sekolah, Sean bisa marah jika anaknya di bawa begitu saja. "Tidak, bunda. Ayah tidak akan marah." Keenan tetap keras kepala, tangannya memegang erat kaos Heera pada bagian pinggang. Heera menghembuskan napas berat, dia jadi pusing sendiri. "Tumben kamu belum pulang, Ra" suara Sean menggema, pria itu datang bersama ponsel di tangannya, menatap Heera dan Keenan secara bergantian dengan wajah kebingungan. "Kenapa kamu masih di sini, Ken? tidak belajar?'" imbuh Sean bertanya kepada Keenan. "Aku mau ikut bunda pulang, Yah." cicit Keenan memi
"Eh, pak Sean." Celita tersenyum centik saat melihat Sean yang berdiri di depan pintu utama kosan. Wanita itu menyematkan rambutnya ke belakang telinga lalu tersenyum lebar. "Ada apa, pak? tumben ke sini." tanya basa-basi. "Bisa tolong kamu panggilkan Heera?" ujar Sean to the point lengkap dengan wajah datarnya, terlihat jelas kalau dia tidak menghiraukan Celita yang sedang tebar pesona. "Bisa, dong, pak! sebentar, ya." kata Celita kemudian berjalan menuju kamar Heera. Kelakuannya itu tak luput dari mata dan telinga Jessi, Anin dan Windy yang masih duduk berjejer di sofa ruang tengah. "Gue Tim Sehe, Sean-Heera.' celetuk Jessi sambil menatap datar Sean yang menunggu di depan pintu. "Me too! gila kali kalau gue tim Sece, Sean-Celita." timpal Anin yang juga sedang menatap sosok tampan yang berdiri beberapa meter darinya. "Sean pakai kaos oblong aja ganteng banget ya, beda sama pakde." celetuk Windy menyamakan Sean dengan suami dari pemilik kost y
Hari ini Heera sengaja bangun lebih pagi, selain untuk menghindari teman-temannya, Heera juga sudah ada janji bimbingan skripsi dengan sang dosen pagi ini, jadi ia ingin buru-buru menyelesaikan kerjaannya dirumah Sean. Dengan langkah mengendap-endap Heera keluar dari kamarnya, ia menghela napas lega saat melihat ruang tengah kosong, pintu kamar penghuni lain masih tertutup rapat, itu artinya mereka masih tertidur pulas. "Lho, Ra, tumben pagi banget." Heera langsung terlonjak kaget, ia hampir saja jantungan saat mendengar sapaan dari ibu kost yang sedang memasak di dapur. "He he, iya bu." sambil menggaruk tengkuknya Heera menjawab. Gadis itu berjalan menghampiri ibu kost bernama Riska yang sibuk bergelut dengan peralatan masak. "Mau aku bantuin, bu?" Heera mengambil pisau dan membantu Riska memotong wortel. "Eh, jangan, Ra. Sudah sana kamu pergi, nanti Keenan kesiangan, lho..." Riska mengambil alih pisau di tangan Heera, ia mendorong He
Suasana hati Sean benar-benar buruk hari ini. Segaris senyum pun tak sanggup ia terbitkan sejak hatinya remuk melihat Heera dan Arta duduk berdua di atas motor yang sama.Sean menatap lurus ke luar gedung kantornya, sorot matanya masih setajam tadi. Pria itu sedang sibuk dengan pikirannya sendiri hingga kerjaannya tidak sempat disentuh barang sedetikpun.Tangan Sean terkepal kesal, giginya bergeletuk mengingat kejadian tak mengenakan tadi pagi di depan rumahnya. Sean kira usahanya selama ini sudah membuahkan hasil, ternyata nol. Sean tidak mengira kalau menaklukan Heera akan sesulit ini. Bahkan Heera lebih memilih Arta dari pada dirinya yang sudah sejak lama memperlakukan layaknya ratu.Tapi, tentu saja Sean tidak akan mundur. Sekali pun saingannya pemuda tampan, tapi Sean rasa dirinya lebih unggul dari pada Arta. Jelas. Karena walaupun duda beranak satu, tapi ia kaya dan menduduki kursi terhormat di kantornya. Tidak seperti Arta yang masih kuliah dan belum jela
"Mas sengaja mau bikin aku malu? gak lucu tau, mas!"Heera langsung buka suara begitu mobil Sean sudah terparkir di depan rumah. Dia tidak terima karena merasa di permalukan. Saat Keenan memanggilnya dengan sebutan bunda di kampus tadi, semua orang yang berada di kantin mendengarnya, termasuk teman-teman Heera."Maksud kamu apa, Ra?" Sean kebingungan. Ia senang karena akhirnya Heera bukan suara, tapi bukan pertanyaan seperti ini yang ia harapkan."Kenapa mas dateng ke kampus aku gak bilang-bilang? Kenapa mas biarin Keenan manggil aku bunda di depan semua teman aku?"Kemarahan Heera sudah tidak dapat di bendung lagi. Ia menodong Sean dengan banyak pertanyaan. Kali ini Heera tidak bisa terus membiarkan Sean lancang bertindak sesukanya.Sementara Sean tercengang, tidak menyaka bahwa idenya akan membawa malapetaka seperti ini."Kamu tidak suka kalau Keenan panggil kamu bunda?" nada suara Sean terdengar lemah.Bola mata Heera melirik ke jo
Seperti perempuan pada umumnya, Heera juga menyukai pria tampan. Melihat wajah teduh Arta dihadapannya kini membuat rasa emosinya sedikit terminimalisir. Memang sih, Sean juga tampan, lebih tampan dari Arta bahkan, tapi untuk saat ini entah kenapa paras menawan pria itu membuat Heera jengkel jika melihatnya. Tingkah konyol Sean siang tadi masih tersimpan jelas di kepala Heera dan belum bisa ia maafkan. "Nanti gue jelasin, sama anak-anak lain juga." Heera langsung buka suara sebelum Arta bertanya. Bahkan Arta tidak perlu mengeluarkan suaranya karena Heera sudah tau omongan apa yang akan keluar dari bibir pria yang mengenakan hoodie abu-abu itu. "Jelasin ke gue dulu, sekarang!" tekan Arta dingin. Sorot mata dan suaranya tidak selembut biasanya, menandakan kalau ada hal yang membuat Arta tersulut kesal. Heera menghembuskan napas pendek. Ia paham Arta marah karena salah paham, pria itu pasti menduga kalau Heera menyembuyika
Untuk pertama kalinya hari ini Heera meminta libur. Dengan alasan tidak enak badan, padahal sebenarnya ia takut menemui Sean dan Keenan usai pertengkaran kemarin. Jam 10 pagi Heera masih goleran sambil main ponsel di atas ranjang. Membaca satu persatu pesan masuk dari Sean beberapa jam lalu yang baru Heera minat baca sekarang. Duda beranak satu itu menawarkan diri untuk menemaninya periksa ke rumah sakit, dan menanyakan Heera mau dibawakan makanan apa, tapi semua hanya Heera baca saja tanpa berminat untuk membalasnya. Tadi pagi Heera sempat mengintip kepergian Sean dan Keenan melalui jendela kamarnya, kedua laki-laki itu pergi dengan raut wajah tak secerah biasanya Heera sempat khawatir dan bertanya-tanya, juga sempat ragu untuk meliburkan diri karena takut tidak ada yang membuatkan sarapan untuk Sean dan Keenan. Nanti kalau Heera libur, siapa yang menyiapkan bekal untuk Keenan dan siapa yang membuatkan susu hangat untu