LOGINPerempuan berkulit putih dengan paras ayu tersebut, melangkah masuk dengan ragu. Ruang tamu itu terasa berbeda tanpa kehadiran ibu-ibu yang tadi ramai berceloteh. Hening. Hanya ada suara detak jam dinding dan sesekali desis AC yang berputar malas di langit-langit.
Ia duduk di ujung sofa, tubuhnya kaku. Pandangannya menyapu ruangan—karton masih berserakan, beberapa barang rumah tangga dibiarkan terbuka begitu saja. Ada tumpukan buku, koper setengah terbuka, dan beberapa lukisan yang disandarkan sembarangan di dinding. Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah dapur. Dirga muncul sambil membawa nampan berisi dua gelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja kayu di depan mereka, lalu duduk di kursi seberang. “Silahkan diminum!” ucap Dirga tenang, seolah tak ada yang aneh dengan pertemuan mereka. Nadine hanya tersenyum tipis. “Makasih." Dirga mengangguk pelan. Ia menatap teh sebentar, lalu mengangkat kepalanya, menatap Nadine dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Nggak nyangka ya kita bisa ketemu lagi di sini." Nadine tercekat. Tangannya refleks meremas jemarinya sendiri. "Aku juga gak nyangka." “Rasanya, malu sekali ketemu kamu dengan status duda begini," ungkap Dirga lirih, "Keliatan sekali kan aku gak beruntung soal percintaan." Ruangan itu mendadak terasa semakin sempit. Pandangan Nadine teralihkan ke gelas teh di depannya. Uapnya masih mengepul, tapi ia tak berani menyentuh. “BTW, kamu gak banyak berubah ya?" suara Dirga kembali terdengar, kali ini lebih pelan. “Masih sering remas-remas jari kalau gugup." Nadine buru-buru melepaskan genggaman tangannya. Wajahnya tampak memerah sedikit. Dirga tergelak pelan. Nampak sekali jika dia merasa gemas dengan sikap Nadine yang tak pernah berubah. "Gimana kamu? Sehat?" "Aku baik." "Suami kamu gimana? Um, siapa namanya?" Dirga menjentik-jentikkan jarinya mencoba mengingat. "Mas Rhevan." "Aaah... Iya. Rhevan," Dirga mengangguk-angguk. "maaf ya aku nggak bisa datang waktu kamu menikah." "Aku ngerti ngerti kok." Nadine menelan ludah. Dirga menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya tampak lebih rileks meski sorot matanya tetap meneliti Nadine. “Aku masih tidak menyangka, setelah bertahun-tahun tidak bertemu, kita malah jadi tetangga sekarang.” Nadine tersenyum tipis, berusaha terlihat wajar. “Aku juga nggak nyangka." Tatapan Dirga tak lepas darinya. Ada jeda cukup lama sebelum ia kembali bicara. “Kamu makin cantik aja, Nad. Aku sempat gak ngenalin kamu tadi." Pipi Nadine memanas. Ia menunduk, meraih gelas teh hanya untuk menyamarkan kegugupannya. “Kamu bisa aja." “Aku serius, Nadine.” Suara Dirga terdengar tenang, tapi matanya jelas menunjukkan kesungguhan. "Bedanya sekarang kamu lebih dewasa." Nadine tak menjawab, ia lebih memilih untuk mengambil cangkir teh di depannya dan mulai menyeruput isinya. "Kamu sama Rhevan udah punya anak berapa?" Pertanyaan itu membuat dada Nadine langsung sesak. Jemarinya meremas gelas teh erat-erat sebelum ia menggeleng pelan. “Kami belum punya anak.” Dirga sempat terdiam, namun bukannya berhenti bertanya, ia justru mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Belum? Kenapa? Kalian sengaja nunda punya momongan atau gimana?" Nadine terdiam. Senyumnya kaku, seolah menutupi kegelisahan yang mulai merambat di dadanya. "Kalian kan udah lama menikah. Masa nunda-nunda terus sih?" Dirga terus menggali, suaranya terdengar ringan tapi tatapannya menusuk. Nadine hanya menunduk, jari-jarinya kembali saling meremas. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. "Atau jangan-jangan ada masalah di antara kalian?" Dirga menatapnya lekat-lekat. “Aku ngerti banget gimana rasanya berumah tangga. Dan terkadang ada masalah yang nggak bisa diceritain ke orang lain. Tapi kamu bisa cerita padaku!" "Lalu setelah aku cerita kamu akan apa? Menertawakanku?" Dirga terkikik kecil. Namun tawanya itu justru terdengar seperti hinaan bagi Nadine. Nadine langsung mengangkat wajahnya, kaget sekaligus tersinggung. “Kita baru ketemu tapi kamu sudah sok tau." "Memang. Tapi aku tau betul seperti apa diri kamu, Nad. Kamu gak bisa menyembunyikan apapun dariku bahkan saat kita masih pacaran dulu." Dirga mencondongkan tubuh, nada suaranya serius. “Cukup!” Nadine bangkit dari sofa, “Kalau kamu menahanku di sini hanya untuk menghinaku, lebih baik aku pamit." Dirga tampak kaget. “Lho, kita saja belum ke rumah Pak RT!" “Kamu bisa minta tolong ke orang lain." Nadine menatapnya sebentar lalu memalingkan wajah. "Aku permisi." Setelahnya perempuan 25 tahun itu beranjak pergi dari sana. Meninggalkan Dirga yang tampak diam dan tak berniat untuk mencegah. *** Nadine baru saja selesai menata selimut di tempat tidur dan menyiapkan baju ganti untuk Rhevan di atas kursi. Ia menghela napas pelan, sedikit lega karena pekerjaan rumah hari ini selesai. Saat yang sama, terdengar suara deru mesin mobil yang sangat ia hafal. "Kayaknya itu Mas Rhevan deh." Senyum tipis merekah di wajahnya. Dengan cepat, ia melangkah ke ruang tamu, ingin menyambut sang suami yang baru pulang kerja. Pintu terbuka, Rhevan masuk dengan wajah letih. "Mas, akhirnya kamu pulang," sapa Nadine disertai senyum hangatnya. "Hm." Lelaki itu tak banyak merespon. Ia justru melempar jas kerjanya begitu saja ke arah sang istri. Jas itu hampir mengenai wajah Nadine, sebelum ia refleks menangkapnya dengan kedua tangan. “Buatkan aku kopi! Sekarang!” ucap Rhevan singkat, nada suaranya dingin, seperti memberi perintah pada seorang asisten rumah tangga. Senyum Nadine langsung luntur. Ekspresi cerianya lenyap seketika. "Ngapain masih berdiri di situ? Cepat buatkan aku kopi!" ulang Rhevan tajam. Nadine terdiam. Tangannya mengepal kecil di balik jas yang ia pegang. Hatinya terasa diremas, tapi ia menunduk, memilih untuk menahan diri. “Iya, Mas. Aku bikinin sekarang.” Rhevan hanya mendengus, lalu berjalan ke sofa dan menjatuhkan tubuhnya ke sana dengan malas setelah mengeluarkan hapenya dari saku celana. Sementara Nadine ikut masuk ke dalam setelah mengunci pintu pagar. Ia tak sadar, ada sepasang mata yang mengawasi keduanya dari kejauhan.Nadine terdiam cukup lama. Matanya menunduk, seolah berusaha menahan sesuatu yang sejak tadi ingin tumpah. Dirga hanya berdiri di hadapannya, sabar menunggu tanpa mendesak lagi. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, Nadine menghela napas berat. “Sebenarnya aku salah input data. Data yang aku masukin saya barang fisiknya beda." Ia tertawa hambar. “Dan leader team bilang itu kesalahan fatal karena buat perusahaan rugi." Dirga mengerutkan dahi. “Terus?” “Karena itu emang murni keteledoranku, aku diminta bikin kronologis, klarifikasi ke finance, dan bantu cari solusi biar gak harus ganti rugi." Nadine menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sesak di dada. “Tapi HR bilang kemungkinan aku juga harus tetap tanggungjawab dan ganti semua kerugian karena itu murni kesalahan pribadiku." “Berapa?” suara Dirga merendah. Nadine menelan ludah. “Dua puluh juta.” Dirga mengerjap pelan, lalu bersandar pada mobil. Ia tidak langsung bicara, seolah memberi waktu agar Nadine bis
Sebuah sentuhan dingin di pipinya membuat Nadine tersentak. “Nghh?!” Ia buru-buru mengangkat kepala. Matanya langsung membulat saat melihat sosok yang berdiri di sebelah meja kerjanya. “Dirga?!” Pria itu tersenyum kecil sambil menaruh jus kemasan di meja. "Kejutan." Nadine masih menatapnya tak percaya. “K- kamu ngapain di sini?” "Khawatir," jawab Dirga santai, bahunya sedikit terangkat. "Soalnya ada perempuan yang pas ditelfon nada bicaranya kayak mau nangis." Nadine cukup terkejut saat mendengar ucapan Dirga. Tapi ia menutupi rasa gugupnya sambil berkata, "Kamu kok tau aku ada di sini? Terus— emang kamu gak dimarahin satpam ya sampai masuk ke sini?" "Dirga dimarahin? Si satpam yang bakal aku marahin balik," balas si duda dengan kaos polo-nya yang khas itu sambil terkekeh. "Ngawur," cibir Nadine sambil buang muka. "Kamu ngapain sendirian di sini? Yang lain kan sudah pada pulang?" Nadine tak langsung menjawab, ia memilih untuk meraih jus yang Dirga berikan dan meminumnya sedik
Belum sempat Nadine menarik napas panjang, ponselnya kembali bergetar di meja. Kali ini bukan notifikasi pesan — tapi panggilan masuk. "Dirga?" Nadine menatap layar itu lama, hatinya ingin menolak, tapi jempolnya justru bergerak sendiri menekan tombol hijau. “Halo...” sapa Nadine. Berusaha terlihat biasa saja dan tak membuat Dirga curiga. “kenapa chatku gak dibalas?” suara Dirga terdengar di seberang. "Kamu sesibuk itu ya sekarang?" Nadine menelan ludah. “Iya nih. Lagi ada beberapa kerjaan yang belum selesai." “Kamu kedengeran capek banget,” kata Dirga. “Ada apa? Kamu baik-baik aja kan?” Pertanyaan itu membuat dada Nadine langsung sesak. Ia menunduk, berusaha menahan getaran di suaranya. “Iya, aku baik-baik aja kok.” “Yakin?” nada Dirga sedikit menekan, penuh perhatian. “Suara kamu kayak abis nangis.” Nadine buru-buru menggeleng, meski tahu Dirga tak bisa melihatnya. “Enggak... cuma lagi pusing aja. Tadi sempat salah input data, jadi harus beresin dari siang.” Dirga terdiam
Sepanjang siang Nadine berusaha memperbaiki data yang disebut Clara. Ia dan Sarah memeriksa laporan satu per satu, mencocokkan antara data penjualan dan stok dari sistem gudang. Namun setelah berjam-jam menelusuri file dan membandingkan catatan lama, hasilnya membuat dada Nadine terasa menyesak. Salah satu file yang ia input memang keliru — satu kolom nominal stok tertukar antar dua unit proyek. Angka kecil yang salah tempat itu, ternyata berimbas besar pada keseluruhan laporan. Nadine menatap layar komputer dengan pandangan kosong. Tangannya bergetar. “Ternyata... memang aku yang salah, Mba,” ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Sarah menghela napas panjang. “Ini salah aku juga sebenarnya, soalnya udah ngasih tugas ini ke kamu. Padahal kamu masih anak baru." Clara kembali datang ke meja Nadine. Nada suaranya dingin tapi terselip kepuasan. “Udah aku bilang kan, pasti ini salah kamu,” ujarnya sambil menyilangkan tangan di dada. “Sekarang ayo ikut aku! HRD sama bagian keuangan ma
“Nadine!!” Suara bentakan itu menggema keras di ruangan, membuat semua kepala otomatis menoleh. Nadine spontan berdiri, wajahnya bingung, sementara jantungnya berdetak cepat. Clara berjalan cepat ke arahnya, menenteng beberapa lembar berkas dengan ekspresi penuh amarah. “Kamu ini kerja pakai otak nggak sih?!” Ruangan langsung hening. Bahkan suara AC pun seolah menghilang. “M—Mba Clara, ada apa ya?” tanya Nadine hati-hati, berusaha tetap tenang meski lututnya mulai lemas. Clara menepuk keras berkas itu ke meja Nadine hingga beberapa kertas berhamburan. “Lihat ini! Data kamu kemarin kacau semua!” Nadine terperanjat. Ia menunduk, mengambil lembaran itu dengan tangan bergetar. “Kacau gimana, Mba?” “JANGAN PURA-PURA GAK TAU, NADINE!” teriak Clara lagi, suaranya meninggi dan membuat beberapa rekan kerja di cubicle lain langsung pura-pura sibuk. “Karena ulah kamu, sistem laporan hari ini kacau total! Ada data penjualan yang gak sinkron sama gudang!” Sarah yang duduk tak jauh dari sit
Keesokan paginya, Nadine sudah berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang jatuh lembut di bahu. Wajahnya tampak lebih segar dan tenang, meski semalam sempat diwarnai amarah. Saat keluar kamar, ia sudah melihat Rhevan duduk di meja makan, berpakaian rapi dengan kemeja biru muda dan jam tangan hitam yang selalu ia kenakan. “Pagi Mas,” ucap Nadine singkat. “Hmm,” balas Rhevan, tanpa menoleh lama. Jelas, dia sedang sibuk dengan hapenya, mana mungkin memperhatikan Nadine yang ada di depannya. Tak ada percakapan panjang di antara mereka. Pasutri itu sibuk menikmati sarapan masing-masing sebelum berpisah menuju tempat kerja. *** Sesampainya di kantor, Nadine tidak langsung naik ke lantai atas. Ia sengaja mampir dulu ke kantin di lantai dasar— sekadar memesan satu cup espresso. Aroma kopi langsung menyambutnya begitu pintu kantin terbuka. Suasana pagi masih sepi, hanya ada beberapa karyawan yang sibuk menatap ponsel sambil menunggu pesanan mereka. Nadine mengantre dengan sabar,







