Perempuan berkulit putih dengan paras ayu tersebut, melangkah masuk dengan ragu. Ruang tamu itu terasa berbeda tanpa kehadiran ibu-ibu yang tadi ramai berceloteh. Hening. Hanya ada suara detak jam dinding dan sesekali desis AC yang berputar malas di langit-langit.
Ia duduk di ujung sofa, tubuhnya kaku. Pandangannya menyapu ruangan—karton masih berserakan, beberapa barang rumah tangga dibiarkan terbuka begitu saja. Ada tumpukan buku, koper setengah terbuka, dan beberapa lukisan yang disandarkan sembarangan di dinding. Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arvino muncul sambil membawa nampan berisi dua gelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja kayu di depan mereka, lalu duduk di kursi seberang. “Silahkan di minum!” ucap Arvino tenang, seolah tak ada yang aneh dengan pertemuan mereka. Navira hanya tersenyum tipis. “Makasih." Arvino mengangguk pelan. Ia menatap teh sebentar, lalu mengangkat kepalanya, menatap Navira dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Nggak nyangka ya kita bisa ketemu lagi di sini." Navira tercekat. Tangannya refleks meremas jemarinya sendiri. "Aku juga gak nyangka." “Rasanya, malu sekali ketemu kamu dengan status duda begini," ungkap Arvino lirih, "Keliatan sekali kan aku gak beruntung soal percintaan." Ruangan itu mendadak terasa semakin sempit. Pandangan Navira teralihkan ke gelas teh di depannya. Uapnya masih mengepul, tapi ia tak berani menyentuh. “BTW, kamu gak banyak berubah ya?" suara Arvino kembali terdengar, kali ini lebih pelan. “Masih sering remas-remas jari kalau gugup." Navira buru-buru melepaskan genggaman tangannya. Wajahnya tampak memerah sedikit. Arvino tergelak pelan. Nampak sekali jika dia merasa gemas dengan sikap Navira yang tak pernah berubah. "Gimana kamu? Sehat?" "Aku baik." "Suami kamu gimana? Um, siapa namanya?" Arvino menjentik-jentikkan jarinya mencoba mengingat. "Mas Rhevan." "Aaah... Iya. Rhevan," Arvino mengangguk-angguk. "maaf ya aku nggak bisa datang waktu kamu menikah." "Aku ngerti ngerti kok." Navira menelan ludah. Arvino menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya tampak lebih rileks meski sorot matanya tetap meneliti Navira. “Aku masih tidak menyangka, setelah bertahun-tahun tidak bertemu, kita malah jadi tetangga sekarang.” Navira tersenyum tipis, berusaha terlihat wajar. “Aku juga nggak nyangka." Tatapan Arvino tak lepas darinya. Ada jeda cukup lama sebelum ia kembali bicara. “Kamu makin cantik aja, Vir. Aku sempat gak ngenalin kamu tadi." Pipi Navira memanas. Ia menunduk, meraih gelas teh hanya untuk menyamarkan kegugupannya. “Kamu bisa aja." “Aku serius, Navira.” Suara Arvino terdengar tenang, tapi matanya jelas menunjukkan kesungguhan. "Bedanya sekarang kamu lebih dewasa." Navira tak menjawab, ia lebih memilih untuk mengambil cangkir teh di depannya dan mulai menyeruput isinya. "Kamu sama Rhevan udah punya anak berapa?" Pertanyaan itu membuat dada Navira langsung sesak. Jemarinya meremas gelas teh erat-erat sebelum ia menggeleng pelan. “Kami belum punya anak.” Arvino sempat terdiam, namun bukannya berhenti bertanya, ia justru mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Belum? Kenapa? Kalian sengaja nunda punya momongan atau gimana?" Navira terdiam. Senyumnya kaku, seolah menutupi kegelisahan yang mulai merambat di dadanya. "Kalian kan udah lama menikah. Masa nunda-nunda terus sih?" Arvino terus menggali, suaranya terdengar ringan tapi tatapannya menusuk. Navira hanya menunduk, jari-jarinya kembali saling meremas. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. "Atau jangan-jangan ada masalah di antara kalian?" Arvino menatapnya lekat-lekat. “Aku ngerti banget gimana rasanya berumah tangga. Dan terkadang ada masalah yang nggak bisa diceritain ke orang lain. Tapi kamu bisa cerita padaku!" "Lalu setelah aku cerita kamu akan apa? Menertawakanku?" Arvino terkikik kecil. Namun tawanya itu justru terdengar seperti hinaan bagi Navira. "Atau jangan-jangan, memang ada masalah ya sama hubungan kalian?" Navira langsung mengangkat wajahnya, kaget sekaligus tersinggung. “Kita baru ketemu tapi kamu sudah sok tau." "Memang. Tapi aku tau betul seperti apa diri kamu, Vira. Kamu gak bisa menyembunyikan apapun dariku bahkan saat kita masih pacaran dulu." Arvino mencondongkan tubuh, nada suaranya serius. “Cukup!” Navira bangkit dari sofa, “Kalau kamu menahanku di sini hanya untuk menghinaku, lebih baik aku pamit." Arvino tampak kaget. “Lho, kita saja belum ke rumah Pak RT!" “Kamu bisa minta tolong ke orang lain." Navira menatapnya sebentar lalu memalingkan wajah. "Aku permisi." Setelahnya perempuan 25 tahun itu beranjak pergi dari sana. Meninggalkan Arvino yang tampak diam dan tak berniat untuk mencegah. *** Navira baru saja selesai menata selimut di tempat tidur dan menyiapkan baju ganti untuk Rhevan di atas kursi. Ia menghela napas pelan, sedikit lega karena pekerjaan rumah hari ini selesai. Saat yang sama, terdengar suara deru mesin mobil yang sangat ia hafal. "Kayaknya itu Mas Rhevan deh." Senyum tipis merekah di wajahnya. Dengan cepat, ia melangkah ke ruang tamu, ingin menyambut sang suami yang baru pulang kerja. Pintu terbuka, Rhevan masuk dengan wajah letih. "Mas, akhirnya kamu pulang," sapa Navira disertai senyum hangatnya. "Hm." Lelaki itu tak banyak merespon. Iajustru melempar jas kerjanya begitu saja ke arah sang istri. Jas itu hampir mengenai wajah Navira, sebelum ia refleks menangkapnya dengan kedua tangan. “Buatkan aku kopi! Sekarang!” ucap Rhevan singkat, nada suaranya dingin, seperti memberi perintah pada seorang asisten rumah tangga. Senyum Navira langsung luntur. Ekspresi cerianya lenyap seketika. "Ngapain masih berdiri di situ? Cepat buatkan aku kopi!" ulang Rhevan tajam. Navira terdiam. Tangannya mengepal kecil di balik jas yang ia pegang. Hatinya terasa diremas, tapi ia menunduk, memilih untuk menahan diri. “Iya, Mas. Aku bikinin sekarang.” Rhevan hanya mendengus, lalu berjalan ke sofa dan menjatuhkan tubuhnya ke sana dengan malas setelah mengeluarkan hapenya dari saku celana. Sementara Navira ikut masuk ke dalam setelah mengunci pintu pagar. Ia tak sadar, ada sepasang mata yang mengawasi keduanya dari kejauhan."Finish." Arvino akhirnya selesai memasang kembali baut terakhir di motor Navira. Tangannya sedikit berlumur oli, tapi raut wajahnya menunjukkan kepuasan. “Sekarang motor kamu udah bisa dipakai lagi. Tapi saranku, kamu tetap harus bawa motornya ke bengkel. Biar dicek lebih detail." Navira yang sejak tadi duduk di sampingnya ikut memperhatikan. Ia menatap bagian mesin yang ditunjuk Arvino, mencoba mengingat penjelasan singkatnya. “Jadi ini yang bikin motorku gak nyala tadi?” “Iya. Kabelnya sempat kendor, jadi aliran listriknya nggak nyampe.” Arvino melirik sekilas ke arah Navira yang tampak serius. Senyum samar muncul di wajahnya. "Makasih ya udah bantuin." Navira menoleh ke arah Arvino dan tersenyum tipis. “Dari dulu kamu emang jago benerin banyak hal." Arvino hanya mengangkat bahunya santai. “Jangankan cuma motor, hati yang rusak aja bisa kok aku perbaiki." Navira mengerutkan kening. Tapi alih-alih menganggap serius perkataan mantan kekasihnya itu, ia justru berkata, "Apa
"Mas... Ahhh!" Perempuan 25 tahun itu tersentak kaget saat Rhevan meremas bukit kembarnya dengan kasar. Pijatan itu tak memberikan rasa nikmat namun sebaliknya. "Pelan-pelan, Mas!" "Ssst! Aku sudah nggak tahan!" Tanpa banyak basa-basi, Rhevan menarik gaun tidur istrinya sampai ke atas. Ia mulai mempersiapkan miliknya yang tegang ke liang wanita itu. Dan— "Ughh..." Tubuh Navira mengejang sesaat ketika milik sang suami masuk ke liangnya yang bahkan belum basah sekali. "Mas..." Ia mengernyit perih. Ia tangannya mencengkram sprei di bawahnya, liangnya sakit karena ulah kasar sang suami. "Akh! Vira... Hhh... Ughhh!" Tak sampai lima menit, cairan kental itu meleleh di dalam Navira yang bahkan baru setengah nikmat. "Akhh... Leganya..." Navira melirik ke arah sang suami yang langsung berdiri dari atas tubuhnya. Ia melemparkan tisu ke arah Navira untuk membersihkan bekas cairan yang meleleh dari pusatnya. Dan tau apa yang dilakukan Rhevan selanjutnya, pria itu langsung tidur setelah memaka
Perempuan berkulit putih dengan paras ayu tersebut, melangkah masuk dengan ragu. Ruang tamu itu terasa berbeda tanpa kehadiran ibu-ibu yang tadi ramai berceloteh. Hening. Hanya ada suara detak jam dinding dan sesekali desis AC yang berputar malas di langit-langit. Ia duduk di ujung sofa, tubuhnya kaku. Pandangannya menyapu ruangan—karton masih berserakan, beberapa barang rumah tangga dibiarkan terbuka begitu saja. Ada tumpukan buku, koper setengah terbuka, dan beberapa lukisan yang disandarkan sembarangan di dinding. Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arvino muncul sambil membawa nampan berisi dua gelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja kayu di depan mereka, lalu duduk di kursi seberang. “Silahkan di minum!” ucap Arvino tenang, seolah tak ada yang aneh dengan pertemuan mereka. Navira hanya tersenyum tipis. “Makasih." Arvino mengangguk pelan. Ia menatap teh sebentar, lalu mengangkat kepalanya, menatap Navira dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Nggak nyangka ya
Navira terpaku di tempatnya. Pandangannya membentur sepasang mata itu—mata yang tak pernah ia kira akan ditemuinya lagi setelah sekian lama. "Arvino…" bisiknya nyaris tak terdengar. Sementara pria itu juga terlihat sama kagetnya. Senyum ramah yang tadi ia pasang mendadak kaku, nyaris hilang. Namun cepat-cepat ia mengendalikan diri, melirik sekilas ke arah ibu-ibu yang berdiri di belakang Navira. “Oh… selamat sore,” Arvino kembali membuka suara, kali ini terdengar lebih formal. “Silakan masuk, Ibu-ibu! Maaf ya, rumahnya masih berantakan.” Salah satu ibu langsung nyerocos riang, “Kita yang harusnya minta maaf, soalnya udah ganggu Masnya berberes." "Nggak kok, Bu. Santai saja." Mereka mengikuti langkah si pria. Tawa kecil terdengar dari yang lain. Mereka langsung melangkah masuk, seolah tak menyadari ketegangan yang menyelimuti Navira dan pria bernama Arvino Kaelion Mahendra tersebut. “Makasih ya, Mas, sudah mau nerima kunjungan kita. Namanya siapa?” tanya salah satu ibu, dengan ga
Tapi saat ia baru saja menyalakan kran, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang memanggilnya. "Mbak Viraaa..." Merasa namanya dipanggil, perempuan 25 tahun itu pun menoleh. Terlihat tiga ibu-ibu berjalan bersama. Penampilan mereka sangat sederhana, memakai daster motif, sandal jepit, dan rambut yang sebagian masih digulung roll plastik, ada yang bahkan hanya diikat asal. Salah satu dari tiga orang itu melambaikan tangan dengan semangat ke arah Navira begitu mereka lewat di depan rumahnya. “Pagi Mba Vira!” sapa salah satu ibu-ibu. Navira tersenyum tipis, "Pagi Ibu-ibu," sapanya balik. "Mau ke Pak Sayur ya?" "Iya nih. Mba Vira gak belanja juga? Kita bisa bareng ke sananya!" ajak ibu lainnya yang memakai roll di rambut. "Saya belanjanya nanti aja, Bu. Nunggu Mas Rhevan berangkat kerja." Ibu lain menimpali sambil menyenggol temannya. “Mba Vira jam segini udah cantik aja sih, mana wangi lagi. Beda ama kita-kita." "Ya beda lah, Bu. Mba Vira kan belum ada anak. Jadi ada banyak waktu b
“Mas Rhevan, kenapa kamu tega sekali?” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara. "Berisik!" umpat Rhevan sambil saklar lampu di samping ranjang. Ia tidur dengan posisi membelakangi Navira. Pria itu kembali sibuk dengan ponselnya seolah tak terjadi apa-apa. Sementara Navira hanya terpekur perih menyaksikan sikap dingin dan kasar suaminya. 'Tuhan, sampai kapan Mas Rhevan bersikap seperti ini? Kapan dia mau memperlakukanku seperti kayaknya seorang istri?' *** Pagi itu, Navira menyiapkan sarapan untuk sang suami seperti biasanya. Yang berbeda hanyalah mata sembab efek terlalu banyak menangis kemarin malam. "Mana sarapanku?" Navira menoleh. Ia melihat ke arah Rhevan yang sudah rapi dengan kemeja biru tuanya. Ia menarik salah satu kursi di meja makan setelah mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Sebentar, Mas. Ini lagi aku siapin," jawab Navira lembut. "Ck. Makanya jadi istri itu bangunnya jangan siang-siang! Pemalas!" Sekali lagi. Kalimat hinaan itu meluncur bebas dari bibir Rheva