Share

Kurang Belaian

Penulis: CH. Blue Lilac
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-25 20:05:27

"Mas... Ahhh!" Perempuan 25 tahun itu tersentak kaget saat Rhevan meremas bukit kembarnya dengan kasar. Pijatan itu tak memberikan rasa nikmat namun sebaliknya. "Pelan-pelan, Mas!"

"Ssst! Aku sudah nggak tahan!" Tanpa banyak basa-basi, Rhevan menarik gaun tidur istrinya sampai ke atas. Ia mulai mempersiapkan miliknya yang tegang ke liang wanita itu. Dan—

"Ughh..." Tubuh Navira mengejang sesaat ketika milik sang suami masuk ke liangnya yang bahkan belum basah sekali. "Mas..." Ia mengernyit perih. Ia tangannya mencengkram sprei di bawahnya, liangnya sakit karena ulah kasar sang suami.

"Akh! Vira... Hhh... Ughhh!" Tak sampai lima menit, cairan kental itu meleleh di dalam Navira yang bahkan baru setengah nikmat.

"Akhh... Leganya..."

Navira melirik ke arah sang suami yang langsung berdiri dari atas tubuhnya. Ia melemparkan tisu ke arah Navira untuk membersihkan bekas cairan yang meleleh dari pusatnya. Dan tau apa yang dilakukan Rhevan selanjutnya, pria itu langsung tidur setelah memakai kembali bajunya. Dengan posisi membelakangi Navira.

Jangan ditanya bagaimana perasaan Navira sekarang ini. Hatinya sakit? Jelas. Hancur? Sudah pasti.

Dia tak ubahnya seperti seorang pelacur yang habis dipakai lalu ditinggal begitu saja. Bedanya, dia punya status SAH di mata agama.

Navira menurunkan gaun tidurnya dan melangkah lemas menuju kamar mandi. Sampai di dalam sana, tumpahlah air mata yang sejak beberapa menit yang lalu coba ia tahan.

"Apa yang salah pada diriku, Mas? Kenapa kamu memperlakukanku seperti itu?"

"Kapan kamu bisa mengerti perasaanku. Kapan kamu bisa paham kalau istrimu ini juga manusia biasa, bukan boneka seks yang bisa kamu pakai sesuka hati."

Hati Navira nelangsa. Sakit bukan main. Selama lima tahun pernikahannya dengan Rhevan inilah yang ia dapatkan. Sikap dingin, acuh, dan tak pernah mendapatkan nafkah batin yang ia inginkan.

"Apa aku kurang cantik? Apa aku kurang menarik di mata kamu, Mas? Makanya kamu jadi cepat klimaks?" tanya wanita itu pada pantulan dirinya di depan cermin. Mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan.

Tubuhnya bergetar ketika ingatan tentang belaian yang seharusnya ia dapatkan justru tak pernah datang dari Rhevan. Setiap kali hubungan intim terjadi, Navira selalu berakhir kosong, tak puas, bahkan sering merasa dipaksa.

Napasnya memburu. Dengan berat hati ia mengunci pintu kamar mandi. Tubuhnya bersandar pada pintu, lalu perlahan melorot duduk di lantai dingin. “Aku nggak kuat kalau terus-terusan gini…” desahnya pelan.

Tangan halusnya yang tadi ia remas, kini bergerak ke arah perutnya sendiri, turun perlahan. Matanya terpejam, air mata masih jatuh membasahi pipi. Di satu sisi ia membenci harus melakukan ini, tapi di sisi lain ia tahu—hanya dengan cara inilah ia bisa merasa puas.

Sambil menahan isak, Navira membelai dirinya, mencoba meraih kenikmatan yang tak pernah diberikan sang suami. Setiap gerakan terasa seperti pengkhianatan, tapi juga seperti pelepasan dari perasaan kosong yang tak terjamah.

“Aaaah...” desahnya lirih, nyaris tak terdengar, sebelum tubuhnya kembali bergetar dalam kepuasan pahit yang ia ciptakan sendiri.

Hening memenuhi kamar mandi. Hanya suara isakan tertahan yang menyisakan luka paling nyata—bahwa seorang istri sah harus mencari kehangatan bukan dari pelukan suaminya, tapi dari dirinya sendiri.

***

"Apa kamu bahagia dengan pernikahanmu?"

Pertanyaan singkat yang meluncur dari bibir Arvino itu membuat Navira tersentak kecil. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba pria itu bertanya sesuatu yang diluar dugaan. Setelah seminggu sikap keduanya di penuhi rasa canggung, kini mereka sudah lebih santai layaknya teman lama.

Tadinya Navira ingin pergi ke swalayan untuk membeli beberapa kebutuhan, tapi motor miliknya rusak dan ia tidak tau harus bagaimana. Dan di saat itulah, Arvino muncul sebagai pahlawan.

"Kenapa kamu nanya kayak gitu?" balas Navira sedikit ketus.

"Penasaran."

"Aku bahagia. Sangat bahagia malah."

Arvino yang menghentikan gerakan tangannya yang sedang sibuk mengecek mesin motor Navira. Seringai tipis terlihat di bibirnya. "Oh. Begitu?"

"Kenapa? Kamu pikir aku bohong?"

Pria itu terkekeh. "Aku baru tau kalau bahagiamu itu pas diacuhin dan dikasarin sama suami sendiri."

DEG!

Perempuan itu semakin kaget. "Kamu—"

"Kan kita tetangga. Aku bisa tau semuanya."

Navira terlihat tak terima dengan jawaban Arvino. Mana bisa ia percaya begitu saja dengan ucapan pria itu. Pasti lelaki itu diam-diam mengintipnya.

"Jangan GR ya Vir! Aku gak ngintip kok." Seakan bisa membaca pikirannya, Arvino kembali bersuara. Namun Navira makin dongkol dibuatnya.

"Aku buatin minum dulu."

Tanpa menunggu jawaban Arvino, ia langsung masuk ke dalam rumah. Ia berhenti di depan mrja makan. Napasnya berat, dadanya sesak. Pertanyaan Arvino tadi menggema di kepalanya.

["Apa kamu bahagia dengan pernikahanmu?"]

Bahagia? Sungguh, ia bahkan lupa kapan terakhir kali ia merasa seperti itu?

Lima tahun ia berpura-pura kuat. Lima tahun ia bertahahan demi orang tuanya, demi status istri yang tak bisa ia lepas. Namun, satu kalimat dari Arvino mantan kekasihnya dulu, sudah berhasil membuatnya goyah.

Yah! Dia tidak bahagia. Pernikahannya terasa hampa. Ia muak. Ia benci posisinya ini. Tapi dia bisa apa? Dia terlalu mencintai Rhevan hingga mengorbankan diri sendiri.

"Navira, kamu ada kunci inggris nggak? Aku—" Arvino diam di tempatnya. Niatnya untuk menyusul Navira karena butuh alat yang dia sebutkan barusan, justru berakhir dengan dirinya yang tak sengaja memergoki

Navira sedang menangis sendirian di dapur.

"A- Arvino?!" Navira tampak terkejut dan buru-buru mengusap air mata di pipinya.

"Vir? Ada apa? Kenapa kamu nangis?" Ia mendekati Navira. Ekspresi wajah duda tampan bermata tajam itu terlihat khawatir.

"Aku enggak nangis. Mataku cuma kemasukan debu," dustanya.

"Kamu pikir aku anak kecil yang gampang dibodohi, hm?" Arvino melipat kedua tangannya di dada.

"Aku serius, Vin. Aku gak apa-apa," balasnya singkat. Navira bahkan buru-buru memalingkan wajahnya. Ia berjalan ke arah kulkas dan mencari jus buah untuk dia sajikan pada Arvino.

Arvino menatapnya lama. Ia bisa membaca jelas kebohongan di balik sikap pura-pura Navira. Tapi ia juga tahu—memaksa hanya akan membuat wanita itu semakin menutup diri.

“Kalau kamu bilang begitu, aku juga gak akan maksa," Arvino menarik napas dalam, lalu menghela pelan. Ia menatap lekat ke arah punggung Navira, "Tapi, kalau suatu hari kamu butuh teman cerita, aku dengan senang hati akan mendengarkan."

Kalimat itu sukses membuat tangan Navira berhenti bergerak. Gelas di tangannya nyaris terlepas karena tubuhnya bergetar. Hatinya mendadak hangat, tapi juga perih.

Kenapa Arvino yang justru lebih peka terhadap keadaannya saat ini? Kenapa harus dia dari sekian banyak orang yang dia kenal?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Mantan Yang Perhatian

    "Finish." Arvino akhirnya selesai memasang kembali baut terakhir di motor Navira. Tangannya sedikit berlumur oli, tapi raut wajahnya menunjukkan kepuasan. “Sekarang motor kamu udah bisa dipakai lagi. Tapi saranku, kamu tetap harus bawa motornya ke bengkel. Biar dicek lebih detail." Navira yang sejak tadi duduk di sampingnya ikut memperhatikan. Ia menatap bagian mesin yang ditunjuk Arvino, mencoba mengingat penjelasan singkatnya. “Jadi ini yang bikin motorku gak nyala tadi?” “Iya. Kabelnya sempat kendor, jadi aliran listriknya nggak nyampe.” Arvino melirik sekilas ke arah Navira yang tampak serius. Senyum samar muncul di wajahnya. "Makasih ya udah bantuin." Navira menoleh ke arah Arvino dan tersenyum tipis. “Dari dulu kamu emang jago benerin banyak hal." Arvino hanya mengangkat bahunya santai. “Jangankan cuma motor, hati yang rusak aja bisa kok aku perbaiki." Navira mengerutkan kening. Tapi alih-alih menganggap serius perkataan mantan kekasihnya itu, ia justru berkata, "Apa

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Kurang Belaian

    "Mas... Ahhh!" Perempuan 25 tahun itu tersentak kaget saat Rhevan meremas bukit kembarnya dengan kasar. Pijatan itu tak memberikan rasa nikmat namun sebaliknya. "Pelan-pelan, Mas!" "Ssst! Aku sudah nggak tahan!" Tanpa banyak basa-basi, Rhevan menarik gaun tidur istrinya sampai ke atas. Ia mulai mempersiapkan miliknya yang tegang ke liang wanita itu. Dan— "Ughh..." Tubuh Navira mengejang sesaat ketika milik sang suami masuk ke liangnya yang bahkan belum basah sekali. "Mas..." Ia mengernyit perih. Ia tangannya mencengkram sprei di bawahnya, liangnya sakit karena ulah kasar sang suami. "Akh! Vira... Hhh... Ughhh!" Tak sampai lima menit, cairan kental itu meleleh di dalam Navira yang bahkan baru setengah nikmat. "Akhh... Leganya..." Navira melirik ke arah sang suami yang langsung berdiri dari atas tubuhnya. Ia melemparkan tisu ke arah Navira untuk membersihkan bekas cairan yang meleleh dari pusatnya. Dan tau apa yang dilakukan Rhevan selanjutnya, pria itu langsung tidur setelah memaka

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Masuk Dulu Saja!

    Perempuan berkulit putih dengan paras ayu tersebut, melangkah masuk dengan ragu. Ruang tamu itu terasa berbeda tanpa kehadiran ibu-ibu yang tadi ramai berceloteh. Hening. Hanya ada suara detak jam dinding dan sesekali desis AC yang berputar malas di langit-langit. Ia duduk di ujung sofa, tubuhnya kaku. Pandangannya menyapu ruangan—karton masih berserakan, beberapa barang rumah tangga dibiarkan terbuka begitu saja. Ada tumpukan buku, koper setengah terbuka, dan beberapa lukisan yang disandarkan sembarangan di dinding. Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arvino muncul sambil membawa nampan berisi dua gelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja kayu di depan mereka, lalu duduk di kursi seberang. “Silahkan di minum!” ucap Arvino tenang, seolah tak ada yang aneh dengan pertemuan mereka. Navira hanya tersenyum tipis. “Makasih." Arvino mengangguk pelan. Ia menatap teh sebentar, lalu mengangkat kepalanya, menatap Navira dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Nggak nyangka ya

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Tetangga Baru Itu...

    Navira terpaku di tempatnya. Pandangannya membentur sepasang mata itu—mata yang tak pernah ia kira akan ditemuinya lagi setelah sekian lama. "Arvino…" bisiknya nyaris tak terdengar. Sementara pria itu juga terlihat sama kagetnya. Senyum ramah yang tadi ia pasang mendadak kaku, nyaris hilang. Namun cepat-cepat ia mengendalikan diri, melirik sekilas ke arah ibu-ibu yang berdiri di belakang Navira. “Oh… selamat sore,” Arvino kembali membuka suara, kali ini terdengar lebih formal. “Silakan masuk, Ibu-ibu! Maaf ya, rumahnya masih berantakan.” Salah satu ibu langsung nyerocos riang, “Kita yang harusnya minta maaf, soalnya udah ganggu Masnya berberes." "Nggak kok, Bu. Santai saja." Mereka mengikuti langkah si pria. Tawa kecil terdengar dari yang lain. Mereka langsung melangkah masuk, seolah tak menyadari ketegangan yang menyelimuti Navira dan pria bernama Arvino Kaelion Mahendra tersebut. “Makasih ya, Mas, sudah mau nerima kunjungan kita. Namanya siapa?” tanya salah satu ibu, dengan ga

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Kapan Punya Anak?

    Tapi saat ia baru saja menyalakan kran, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang memanggilnya. "Mbak Viraaa..." Merasa namanya dipanggil, perempuan 25 tahun itu pun menoleh. Terlihat tiga ibu-ibu berjalan bersama. Penampilan mereka sangat sederhana, memakai daster motif, sandal jepit, dan rambut yang sebagian masih digulung roll plastik, ada yang bahkan hanya diikat asal. Salah satu dari tiga orang itu melambaikan tangan dengan semangat ke arah Navira begitu mereka lewat di depan rumahnya. “Pagi Mba Vira!” sapa salah satu ibu-ibu. Navira tersenyum tipis, "Pagi Ibu-ibu," sapanya balik. "Mau ke Pak Sayur ya?" "Iya nih. Mba Vira gak belanja juga? Kita bisa bareng ke sananya!" ajak ibu lainnya yang memakai roll di rambut. "Saya belanjanya nanti aja, Bu. Nunggu Mas Rhevan berangkat kerja." Ibu lain menimpali sambil menyenggol temannya. “Mba Vira jam segini udah cantik aja sih, mana wangi lagi. Beda ama kita-kita." "Ya beda lah, Bu. Mba Vira kan belum ada anak. Jadi ada banyak waktu b

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Istri Rasa ART

    “Mas Rhevan, kenapa kamu tega sekali?” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara. "Berisik!" umpat Rhevan sambil saklar lampu di samping ranjang. Ia tidur dengan posisi membelakangi Navira. Pria itu kembali sibuk dengan ponselnya seolah tak terjadi apa-apa. Sementara Navira hanya terpekur perih menyaksikan sikap dingin dan kasar suaminya. 'Tuhan, sampai kapan Mas Rhevan bersikap seperti ini? Kapan dia mau memperlakukanku seperti kayaknya seorang istri?' *** Pagi itu, Navira menyiapkan sarapan untuk sang suami seperti biasanya. Yang berbeda hanyalah mata sembab efek terlalu banyak menangis kemarin malam. "Mana sarapanku?" Navira menoleh. Ia melihat ke arah Rhevan yang sudah rapi dengan kemeja biru tuanya. Ia menarik salah satu kursi di meja makan setelah mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Sebentar, Mas. Ini lagi aku siapin," jawab Navira lembut. "Ck. Makanya jadi istri itu bangunnya jangan siang-siang! Pemalas!" Sekali lagi. Kalimat hinaan itu meluncur bebas dari bibir Rheva

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status