LOGINNadine terpaku di tempatnya. Pandangannya membentur sepasang mata itu—mata yang tak pernah ia kira akan ditemuinya lagi setelah sekian lama.
"D- Dirga…" bisiknya nyaris tak terdengar. Sementara pria itu juga terlihat sama kagetnya. Senyum ramah yang tadi ia pasang mendadak kaku, nyaris hilang. Namun cepat-cepat ia mengendalikan diri, melirik sekilas ke arah ibu-ibu yang berdiri di belakang Navira. “Oh… selamat sore,” Dirga kmbali membuka suara, kali ini terdengar lebih formal. “Silakan masuk, Ibu-ibu! Maaf ya, rumahnya masih berantakan.” Salah satu ibu langsung nyerocos riang, “Kita yang harusnya minta maaf, soalnya udah ganggu Masnya berberes." "Nggak kok, Bu. Santai saja." Mereka mengikuti langkah si pria. Tawa kecil terdengar dari yang lain. Mereka langsung melangkah masuk, seolah tak menyadari ketegangan yang menyelimuti Nadine dan pria bernama Dirga Kaelion Mahendra tersebut. “Makasih ya, Mas, sudah mau nerima kunjungan kita. Namanya siapa?” tanya salah satu ibu, dengan gaya sedikit genit. “Dirga Bu,” jawabnya singkat tapi sopan. Hati Nadine kembali bergetar saat mendengar nama itu diucapkan dengan jelas. Namun ia mencoba menutupi perasaan gelisahnya dengan memasang raut wajah setenang mungkin. “Oooh, Mas Dirga. Namanya seganteng orangnya,” salah satu ibu berseru, membuat yang lain tergelak. "Ibu bisa aja." Dirga tersenyum ramah. “Omong-omong, Mas Dirga kerja di mana?” tanya salah satu ibu yang duduk di kursi tamu sambil melirik penuh rasa ingin tahu. Dirga tersenyum kecil sebelum menjawab tenang, “Saya kerja di perusahaan kontraktor, Bu. Baru dipindah tugaskan ke sini, makanya sekalian cari rumah yang dekat sama lokasi proyek.” “Wah mapan banget nih masa depannya." Pria itu terkekeh. "Ibu bisa aja." "Ibu lain mendekat sedikit, suaranya menurun setengah berbisik meski jelas bisa terdengar semua orang, “Dengar-dengar, katanya Mas ini duda, ya?” Nadine tersentak kecil, jantungnya ikut mencelos. Ia refleks menatap ke arah Dirga, menunggu jawaban yang keluar dari bibir pria itu. Dirga menahan napas sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Iya, Bu.” Suaranya tenang, tapi ada nada getir yang samar. “Ohh… gitu. Maaf ya Mas, kita gak ada maksud apa-apa. Cuma penasaran aja,” ujar salah satu ibu cepat-cepat, meski raut wajahnya jelas masih menyimpan rasa penasaran. “Tidak apa-apa, Bu." Senyum ramah itu seolah menjawab semua rasa ingin tahu para ibu. “Oh iya, Mas. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan bilang ke kami ya! Apalagi ke Mba Nadie, rumah dia persis di samping rumah Mas Dirga.” Nadine terlonjak pelan saat namanya disebut. Ia cepat-cepat mengangkat kepala, memaksakan senyum. “I- iya. Nanti kalau Mas Dirga butuh bantuan, bisa bantu semampunya.” "Emang gak masalah, Bu?" Belum sempat menjawab, ibu-ibu lainnya lebih dulu menimpali, "Tentu saja, Mas. Namanya tetangga kan harus saling tolong menolong." "Waah, makasih banyak ya, Ibu-ibu. Rasanya saya beruntung bisa dapat rumah di daerah sini." Mereka kembali berceloteh, menceritakan banyak hal dan beberapa pertanyaan lanjutan. Dirga tampak menanggapi mereka dengan ramah dan juga santai. Sementara Nadine hanya duduk di ujung sofa, tubuhnya terasa kaku. Otaknya terus memutar ulang kenyataan yang baru saja menamparnya. Setelah hampir setengah jam berceloteh, akhirnya ibu-ibu itu mulai berdiri. “Ya sudah, Mas Dirga, kami pamit dulu ya. Nanti kalau sudah beres-beres, jangan sungkan ngundang kami ya!"kata salah satu ibu dengan senyum ramah. "Siapa tau mau ada acara makan-makan atau apa." “Iya, Mas. Kalau butuh apa-apa, bilang aja ke kita atau Mba Nadine," celetuk yang lain sambil terkekeh. Satu persatu mereka keluar dari rumah itu, meninggalkan Nadine yang berjalan paling belakang. Ia berniat buru-buru menyusul, tapi langkahnya terhenti ketika suara berat itu memanggil pelan. “Tunggu Mba!" Nadine mematung. Perlahan ia menoleh. Dirga berdiri tak jauh darinya, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, sorot matanya tampak hati-hati. “Mba bisa nggak bantu saya?" Nadine menelan ludah. Ia mendadak jadi gugup bukan main. Apa lagi tatapan ibu-ibu kompleks yang tertuju ke arahnya. "B- bantu apa ya, Mas?" Arvino tersenyum tipis, gayanya santai seolah tak menyadari kegugupan Navira. “Saya kan harus lapor Pak RT dan nyerahin beberapa data diri. Tapi saya nggak tau rumahnya. Mba— bisa antar saya?" Navira tercekat. “Ah, i-itu… mungkin bisa tanya ke Bu-ibu aja, Mas.” Ia buru-buru mencari alasan, tapi malah membuat tatapan beberapa ibu langsung tertuju padanya. Salah satu dari mereka terkekeh sambil menepuk bahunya. “Alah, Mba Nadine. Kamu kan nggak ada kegiatan di rumah, jadi anterin aja Mas Dirga-nya. Daripada dia kesasar." “Betul. Itung-itung bantu tetangga baru,” timpal ibu lain. Nadine berusaha tersenyum kaku. “Iya sih, Bu. Tapi—” “Udah Mba Nad, Anterin aja! Biar Mas Dirga juga kenal sama lingkungan sini,” potong salah satu ibu, suaranya penuh semangat. Dirga hanya mengangkat alis tipis, lalu kembali menatap Nadine dengan ekspresi tenang. “Kalau emang Mba repot, saya bisa ke Pak RT sendiri kok." Nadine ingin sekali menolak, tapi tatapan-tatapan ibu kompleks itu membuatnya tak punya pilihan. Ia menarik napas dalam, menunduk sejenak, lalu mengangguk pelan. “Enggak Mas, saya nggak repot kok." Beberapa ibu langsung bersorak kecil. “Nah, gitu dong! Kan enak punya tetangga yang saling bantu.” Nadine hanya bisa menahan helaan napasnya. Ia benar-benar tak punya pilihan. "Saya siapin berkasnya dulu ya Mba, kamu tunggu di sini sebentar." Belum sempat Dirga pergi, ibu-ibu yang lain kembali pamit padanya untuk pulang. Menyisakan Nadine yang berdiri dengan tubuh tegang di depan pintu rumah Dirga— Mantan kekasihnya dulu. "Mba!" "Ehh?!" Tubuh Nadine tercekat kaget saat seseorang menepuk bahunya dari belakang. Tak perlu otak jenius untuk tau siapa pelakunya, karena sudah jelas itu siapa. "A- ada apa Mas?" tanya Nadine penasaran. "KK punya saya gak tau ada di mana. Kayaknya harus di cari dulu deh." "Terus?" "Gimana kalau Mba masuk dulu aja! Daripada berdiri di sini?" tawar Dirga sambil tersenyum miring.Nadine terdiam cukup lama. Matanya menunduk, seolah berusaha menahan sesuatu yang sejak tadi ingin tumpah. Dirga hanya berdiri di hadapannya, sabar menunggu tanpa mendesak lagi. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, Nadine menghela napas berat. “Sebenarnya aku salah input data. Data yang aku masukin saya barang fisiknya beda." Ia tertawa hambar. “Dan leader team bilang itu kesalahan fatal karena buat perusahaan rugi." Dirga mengerutkan dahi. “Terus?” “Karena itu emang murni keteledoranku, aku diminta bikin kronologis, klarifikasi ke finance, dan bantu cari solusi biar gak harus ganti rugi." Nadine menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sesak di dada. “Tapi HR bilang kemungkinan aku juga harus tetap tanggungjawab dan ganti semua kerugian karena itu murni kesalahan pribadiku." “Berapa?” suara Dirga merendah. Nadine menelan ludah. “Dua puluh juta.” Dirga mengerjap pelan, lalu bersandar pada mobil. Ia tidak langsung bicara, seolah memberi waktu agar Nadine bis
Sebuah sentuhan dingin di pipinya membuat Nadine tersentak. “Nghh?!” Ia buru-buru mengangkat kepala. Matanya langsung membulat saat melihat sosok yang berdiri di sebelah meja kerjanya. “Dirga?!” Pria itu tersenyum kecil sambil menaruh jus kemasan di meja. "Kejutan." Nadine masih menatapnya tak percaya. “K- kamu ngapain di sini?” "Khawatir," jawab Dirga santai, bahunya sedikit terangkat. "Soalnya ada perempuan yang pas ditelfon nada bicaranya kayak mau nangis." Nadine cukup terkejut saat mendengar ucapan Dirga. Tapi ia menutupi rasa gugupnya sambil berkata, "Kamu kok tau aku ada di sini? Terus— emang kamu gak dimarahin satpam ya sampai masuk ke sini?" "Dirga dimarahin? Si satpam yang bakal aku marahin balik," balas si duda dengan kaos polo-nya yang khas itu sambil terkekeh. "Ngawur," cibir Nadine sambil buang muka. "Kamu ngapain sendirian di sini? Yang lain kan sudah pada pulang?" Nadine tak langsung menjawab, ia memilih untuk meraih jus yang Dirga berikan dan meminumnya sedik
Belum sempat Nadine menarik napas panjang, ponselnya kembali bergetar di meja. Kali ini bukan notifikasi pesan — tapi panggilan masuk. "Dirga?" Nadine menatap layar itu lama, hatinya ingin menolak, tapi jempolnya justru bergerak sendiri menekan tombol hijau. “Halo...” sapa Nadine. Berusaha terlihat biasa saja dan tak membuat Dirga curiga. “kenapa chatku gak dibalas?” suara Dirga terdengar di seberang. "Kamu sesibuk itu ya sekarang?" Nadine menelan ludah. “Iya nih. Lagi ada beberapa kerjaan yang belum selesai." “Kamu kedengeran capek banget,” kata Dirga. “Ada apa? Kamu baik-baik aja kan?” Pertanyaan itu membuat dada Nadine langsung sesak. Ia menunduk, berusaha menahan getaran di suaranya. “Iya, aku baik-baik aja kok.” “Yakin?” nada Dirga sedikit menekan, penuh perhatian. “Suara kamu kayak abis nangis.” Nadine buru-buru menggeleng, meski tahu Dirga tak bisa melihatnya. “Enggak... cuma lagi pusing aja. Tadi sempat salah input data, jadi harus beresin dari siang.” Dirga terdiam
Sepanjang siang Nadine berusaha memperbaiki data yang disebut Clara. Ia dan Sarah memeriksa laporan satu per satu, mencocokkan antara data penjualan dan stok dari sistem gudang. Namun setelah berjam-jam menelusuri file dan membandingkan catatan lama, hasilnya membuat dada Nadine terasa menyesak. Salah satu file yang ia input memang keliru — satu kolom nominal stok tertukar antar dua unit proyek. Angka kecil yang salah tempat itu, ternyata berimbas besar pada keseluruhan laporan. Nadine menatap layar komputer dengan pandangan kosong. Tangannya bergetar. “Ternyata... memang aku yang salah, Mba,” ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Sarah menghela napas panjang. “Ini salah aku juga sebenarnya, soalnya udah ngasih tugas ini ke kamu. Padahal kamu masih anak baru." Clara kembali datang ke meja Nadine. Nada suaranya dingin tapi terselip kepuasan. “Udah aku bilang kan, pasti ini salah kamu,” ujarnya sambil menyilangkan tangan di dada. “Sekarang ayo ikut aku! HRD sama bagian keuangan ma
“Nadine!!” Suara bentakan itu menggema keras di ruangan, membuat semua kepala otomatis menoleh. Nadine spontan berdiri, wajahnya bingung, sementara jantungnya berdetak cepat. Clara berjalan cepat ke arahnya, menenteng beberapa lembar berkas dengan ekspresi penuh amarah. “Kamu ini kerja pakai otak nggak sih?!” Ruangan langsung hening. Bahkan suara AC pun seolah menghilang. “M—Mba Clara, ada apa ya?” tanya Nadine hati-hati, berusaha tetap tenang meski lututnya mulai lemas. Clara menepuk keras berkas itu ke meja Nadine hingga beberapa kertas berhamburan. “Lihat ini! Data kamu kemarin kacau semua!” Nadine terperanjat. Ia menunduk, mengambil lembaran itu dengan tangan bergetar. “Kacau gimana, Mba?” “JANGAN PURA-PURA GAK TAU, NADINE!” teriak Clara lagi, suaranya meninggi dan membuat beberapa rekan kerja di cubicle lain langsung pura-pura sibuk. “Karena ulah kamu, sistem laporan hari ini kacau total! Ada data penjualan yang gak sinkron sama gudang!” Sarah yang duduk tak jauh dari sit
Keesokan paginya, Nadine sudah berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang jatuh lembut di bahu. Wajahnya tampak lebih segar dan tenang, meski semalam sempat diwarnai amarah. Saat keluar kamar, ia sudah melihat Rhevan duduk di meja makan, berpakaian rapi dengan kemeja biru muda dan jam tangan hitam yang selalu ia kenakan. “Pagi Mas,” ucap Nadine singkat. “Hmm,” balas Rhevan, tanpa menoleh lama. Jelas, dia sedang sibuk dengan hapenya, mana mungkin memperhatikan Nadine yang ada di depannya. Tak ada percakapan panjang di antara mereka. Pasutri itu sibuk menikmati sarapan masing-masing sebelum berpisah menuju tempat kerja. *** Sesampainya di kantor, Nadine tidak langsung naik ke lantai atas. Ia sengaja mampir dulu ke kantin di lantai dasar— sekadar memesan satu cup espresso. Aroma kopi langsung menyambutnya begitu pintu kantin terbuka. Suasana pagi masih sepi, hanya ada beberapa karyawan yang sibuk menatap ponsel sambil menunggu pesanan mereka. Nadine mengantre dengan sabar,







