Navira terpaku di tempatnya. Pandangannya membentur sepasang mata itu—mata yang tak pernah ia kira akan ditemuinya lagi setelah sekian lama.
"Arvino…" bisiknya nyaris tak terdengar. Sementara pria itu juga terlihat sama kagetnya. Senyum ramah yang tadi ia pasang mendadak kaku, nyaris hilang. Namun cepat-cepat ia mengendalikan diri, melirik sekilas ke arah ibu-ibu yang berdiri di belakang Navira. “Oh… selamat sore,” Arvino kembali membuka suara, kali ini terdengar lebih formal. “Silakan masuk, Ibu-ibu! Maaf ya, rumahnya masih berantakan.” Salah satu ibu langsung nyerocos riang, “Kita yang harusnya minta maaf, soalnya udah ganggu Masnya berberes." "Nggak kok, Bu. Santai saja." Mereka mengikuti langkah si pria. Tawa kecil terdengar dari yang lain. Mereka langsung melangkah masuk, seolah tak menyadari ketegangan yang menyelimuti Navira dan pria bernama Arvino Kaelion Mahendra tersebut. “Makasih ya, Mas, sudah mau nerima kunjungan kita. Namanya siapa?” tanya salah satu ibu, dengan gaya sedikit genit. “Arvino, Bu,” jawabnya singkat tapi sopan. Hati Navira kembali bergetar saat mendengar nama itu diucapkan dengan jelas. Namun ia mencoba menutupi perasaan gelisahnya dengan memasang raut wajah setenang mungkin. “Oooh, Mas Arvino. Namanya seganteng orangnya,” salah satu ibu berseru, membuat yang lain tergelak. "Ibu bisa aja." Arvino tersenyum ramah. “Omong-omong, Mas Arvino kerja di mana?” tanya salah satu ibu yang duduk di kursi tamu sambil melirik penuh rasa ingin tahu. Arvino tersenyum kecil sebelum menjawab tenang, “Saya kerja di perusahaan kontraktor, Bu. Baru dipindah tugaskan ke sini, makanya sekalian cari rumah yang dekat sama lokasi proyek.” “Wah mapan banget nih masa depannya." Pria itu terkekeh. "Ibu bisa aja." "Ibu lain mendekat sedikit, suaranya menurun setengah berbisik meski jelas bisa terdengar semua orang, “Dengar-dengar, katanya Mas ini duda, ya?” Navira tersentak kecil, jantungnya ikut mencelos. Ia refleks menatap ke arah Arvino, menunggu jawaban yang keluar dari bibir pria itu. Arvino menahan napas sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Iya, Bu.” Suaranya tenang, tapi ada nada getir yang samar. “Ohh… gitu. Maaf ya Mas, kita gak ada maksud apa-apa. Cuma penasaran aja,” ujar salah satu ibu cepat-cepat, meski raut wajahnya jelas masih menyimpan rasa penasaran. “Tidak apa-apa, Bu." Senyum ramah itu seolah menjawab semua rasa ingin tahu para ibu. “Oh iya, Mas. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan bilang ke kami ya! Apalagi ke Mba Vira, rumah dia persis di samping rumah Mas Arvino.” Navira terlonjak pelan saat namanya disebut. Ia cepat-cepat mengangkat kepala, memaksakan senyum. “I- iya. Nanti kalau Mas Arvino butuh bantuan, bisa bantu semampunya.” "Emang gak masalah, Bu?" Belum sempat menjawab, ibu-ibu lainnya lebih dulu menimpali, "Tentu saja, Mas. Namanya tetangga kan harus saling tolong menolong." "Waah, makasih banyak ya, Ibu-ibu. Rasanya saya beruntung bisa dapat rumah di daerah sini." Mereka kembali berceloteh, menceritakan banyak hal dan beberapa pertanyaan lanjutan. Arvino tampak menanggapi mereka dengan ramah dan juga santai. Sementara Navira hanya duduk di ujung sofa, tubuhnya terasa kaku. Otaknya terus memutar ulang kenyataan yang baru saja menamparnya. Setelah hampir setengah jam berceloteh, akhirnya ibu-ibu itu mulai berdiri. “Ya sudah, Mas Arvino, kami pamit dulu ya. Nanti kalau sudah beres-beres, jangan sungkan ngundang kami ya!"kata salah satu ibu dengan senyum ramah. "Siapa tau mau ada acara makan-makan atau apa." “Iya, Mas. Kalau butuh apa-apa, bilang aja ke kita atau Mba Vira," celetuk yang lain sambil terkekeh. Satu per satu mereka keluar dari rumah itu, meninggalkan Navira yang berjalan paling belakang. Ia berniat buru-buru menyusul, tapi langkahnya terhenti ketika suara berat itu memanggil pelan. “Tunggu Mba!" Navira mematung. Perlahan ia menoleh. Arvino berdiri tak jauh darinya, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, sorot matanya tampak hati-hati. “Mba bisa nggak bantu saya?" Navira menelan ludah. Ia mendadak jadi gugup bukan main. Apa lagi tatapan ibu-ibu kompleks yang tertuju ke arahnya. "B- bantu apa ya, Mas?" Arvino tersenyum tipis, gayanya santai seolah tak menyadari kegugupan Navira. “Saya kan harus lapor Pak RT dan nyerahin beberapa data diri. Tapi saya nggak tau rumahnya. Mba— bisa antar saya?" Navira tercekat. “Ah, i-itu… mungkin bisa tanya ke Bu-ibu aja, Mas.” Ia buru-buru mencari alasan, tapi malah membuat tatapan beberapa ibu langsung tertuju padanya. Salah satu dari mereka terkekeh sambil menepuk bahunya. “Alah, Mba Vira. Kamu kan nggak ada kegiatan di rumah, jadi anterin aja Mas Arvin-nya. Daripada dia kesasar." “Betul. Itung-itung bantu tetangga baru,” timpal ibu lain. Navira berusaha tersenyum kaku. “Iya sih, Bu. Tapi—” “Udah Mba Vir! Antarin aja! Biar Mas Arvino juga kenal sama lingkungan sini,” potong salah satu ibu, suaranya penuh semangat. Arvino hanya mengangkat alis tipis, lalu kembali menatap Navira dengan ekspresi tenang. “Kalau emang Mba repot, saya bisa ke Pak RT sendiri kok." Navira ingin sekali menolak, tapi tatapan-tatapan ibu kompleks itu membuatnya tak punya pilihan. Ia menarik napas dalam, menunduk sejenak, lalu mengangguk pelan. “Enggak Mas, saya nggak repot kok." Beberapa ibu langsung bersorak kecil. “Nah, gitu dong! Kan enak punya tetangga yang saling bantu.” Navira hanya bisa menahan helaan napasnya. Ia benar-benar tak punya pilihan. "Saya siapin berkasnya dulu ya Mba, kamu tunggu di sini sebentar." Belum sempat Arvino pergi, ibu-ibu yang lain kembali pamit padanya untuk pulang. Menyisakan Navira yang berdiri dengan tubuh tegang di depan pintu rumah Arvino— Mantan kekasihnya dulu. "Mba!" "Ehh?!" Tubuh Navira tercekat kaget saat seseorang menepuk bahunya dari belakang. Tak perlu otak jenius untuk tau siapa pelakunya, karena sudah jelas itu siapa. "A- ada apa Mas?" tanya Vira penasaran. "KK punya saya gak tau ada di mana. Kayaknya harus di cari dulu deh." "Terus?" "Gimana kalau Mba masuk dulu aja! Daripada berdiri di sini?" tawar Arvino sambil tersenyum miring."Finish." Arvino akhirnya selesai memasang kembali baut terakhir di motor Navira. Tangannya sedikit berlumur oli, tapi raut wajahnya menunjukkan kepuasan. “Sekarang motor kamu udah bisa dipakai lagi. Tapi saranku, kamu tetap harus bawa motornya ke bengkel. Biar dicek lebih detail." Navira yang sejak tadi duduk di sampingnya ikut memperhatikan. Ia menatap bagian mesin yang ditunjuk Arvino, mencoba mengingat penjelasan singkatnya. “Jadi ini yang bikin motorku gak nyala tadi?” “Iya. Kabelnya sempat kendor, jadi aliran listriknya nggak nyampe.” Arvino melirik sekilas ke arah Navira yang tampak serius. Senyum samar muncul di wajahnya. "Makasih ya udah bantuin." Navira menoleh ke arah Arvino dan tersenyum tipis. “Dari dulu kamu emang jago benerin banyak hal." Arvino hanya mengangkat bahunya santai. “Jangankan cuma motor, hati yang rusak aja bisa kok aku perbaiki." Navira mengerutkan kening. Tapi alih-alih menganggap serius perkataan mantan kekasihnya itu, ia justru berkata, "Apa
"Mas... Ahhh!" Perempuan 25 tahun itu tersentak kaget saat Rhevan meremas bukit kembarnya dengan kasar. Pijatan itu tak memberikan rasa nikmat namun sebaliknya. "Pelan-pelan, Mas!" "Ssst! Aku sudah nggak tahan!" Tanpa banyak basa-basi, Rhevan menarik gaun tidur istrinya sampai ke atas. Ia mulai mempersiapkan miliknya yang tegang ke liang wanita itu. Dan— "Ughh..." Tubuh Navira mengejang sesaat ketika milik sang suami masuk ke liangnya yang bahkan belum basah sekali. "Mas..." Ia mengernyit perih. Ia tangannya mencengkram sprei di bawahnya, liangnya sakit karena ulah kasar sang suami. "Akh! Vira... Hhh... Ughhh!" Tak sampai lima menit, cairan kental itu meleleh di dalam Navira yang bahkan baru setengah nikmat. "Akhh... Leganya..." Navira melirik ke arah sang suami yang langsung berdiri dari atas tubuhnya. Ia melemparkan tisu ke arah Navira untuk membersihkan bekas cairan yang meleleh dari pusatnya. Dan tau apa yang dilakukan Rhevan selanjutnya, pria itu langsung tidur setelah memaka
Perempuan berkulit putih dengan paras ayu tersebut, melangkah masuk dengan ragu. Ruang tamu itu terasa berbeda tanpa kehadiran ibu-ibu yang tadi ramai berceloteh. Hening. Hanya ada suara detak jam dinding dan sesekali desis AC yang berputar malas di langit-langit. Ia duduk di ujung sofa, tubuhnya kaku. Pandangannya menyapu ruangan—karton masih berserakan, beberapa barang rumah tangga dibiarkan terbuka begitu saja. Ada tumpukan buku, koper setengah terbuka, dan beberapa lukisan yang disandarkan sembarangan di dinding. Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arvino muncul sambil membawa nampan berisi dua gelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja kayu di depan mereka, lalu duduk di kursi seberang. “Silahkan di minum!” ucap Arvino tenang, seolah tak ada yang aneh dengan pertemuan mereka. Navira hanya tersenyum tipis. “Makasih." Arvino mengangguk pelan. Ia menatap teh sebentar, lalu mengangkat kepalanya, menatap Navira dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Nggak nyangka ya
Navira terpaku di tempatnya. Pandangannya membentur sepasang mata itu—mata yang tak pernah ia kira akan ditemuinya lagi setelah sekian lama. "Arvino…" bisiknya nyaris tak terdengar. Sementara pria itu juga terlihat sama kagetnya. Senyum ramah yang tadi ia pasang mendadak kaku, nyaris hilang. Namun cepat-cepat ia mengendalikan diri, melirik sekilas ke arah ibu-ibu yang berdiri di belakang Navira. “Oh… selamat sore,” Arvino kembali membuka suara, kali ini terdengar lebih formal. “Silakan masuk, Ibu-ibu! Maaf ya, rumahnya masih berantakan.” Salah satu ibu langsung nyerocos riang, “Kita yang harusnya minta maaf, soalnya udah ganggu Masnya berberes." "Nggak kok, Bu. Santai saja." Mereka mengikuti langkah si pria. Tawa kecil terdengar dari yang lain. Mereka langsung melangkah masuk, seolah tak menyadari ketegangan yang menyelimuti Navira dan pria bernama Arvino Kaelion Mahendra tersebut. “Makasih ya, Mas, sudah mau nerima kunjungan kita. Namanya siapa?” tanya salah satu ibu, dengan ga
Tapi saat ia baru saja menyalakan kran, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang memanggilnya. "Mbak Viraaa..." Merasa namanya dipanggil, perempuan 25 tahun itu pun menoleh. Terlihat tiga ibu-ibu berjalan bersama. Penampilan mereka sangat sederhana, memakai daster motif, sandal jepit, dan rambut yang sebagian masih digulung roll plastik, ada yang bahkan hanya diikat asal. Salah satu dari tiga orang itu melambaikan tangan dengan semangat ke arah Navira begitu mereka lewat di depan rumahnya. “Pagi Mba Vira!” sapa salah satu ibu-ibu. Navira tersenyum tipis, "Pagi Ibu-ibu," sapanya balik. "Mau ke Pak Sayur ya?" "Iya nih. Mba Vira gak belanja juga? Kita bisa bareng ke sananya!" ajak ibu lainnya yang memakai roll di rambut. "Saya belanjanya nanti aja, Bu. Nunggu Mas Rhevan berangkat kerja." Ibu lain menimpali sambil menyenggol temannya. “Mba Vira jam segini udah cantik aja sih, mana wangi lagi. Beda ama kita-kita." "Ya beda lah, Bu. Mba Vira kan belum ada anak. Jadi ada banyak waktu b
“Mas Rhevan, kenapa kamu tega sekali?” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara. "Berisik!" umpat Rhevan sambil saklar lampu di samping ranjang. Ia tidur dengan posisi membelakangi Navira. Pria itu kembali sibuk dengan ponselnya seolah tak terjadi apa-apa. Sementara Navira hanya terpekur perih menyaksikan sikap dingin dan kasar suaminya. 'Tuhan, sampai kapan Mas Rhevan bersikap seperti ini? Kapan dia mau memperlakukanku seperti kayaknya seorang istri?' *** Pagi itu, Navira menyiapkan sarapan untuk sang suami seperti biasanya. Yang berbeda hanyalah mata sembab efek terlalu banyak menangis kemarin malam. "Mana sarapanku?" Navira menoleh. Ia melihat ke arah Rhevan yang sudah rapi dengan kemeja biru tuanya. Ia menarik salah satu kursi di meja makan setelah mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Sebentar, Mas. Ini lagi aku siapin," jawab Navira lembut. "Ck. Makanya jadi istri itu bangunnya jangan siang-siang! Pemalas!" Sekali lagi. Kalimat hinaan itu meluncur bebas dari bibir Rheva