Suatu hari, Nilam berbincang dengan ayahnya yang berada di dapur sedang sarapan.
"Ayah, ini hari libur 'kan? Antar Nilam ke toko alat tulis ya? Beberapa peralatan Nilam sudah rusak," ujar Nilam dengan nada manja pada Bayu. "Oke. Sekalian beli sayur di pasar. Kamu sudah mandi, Nak?" tanya sang ayah yang bernama Bayu kepada Nilam. "Sudah dong. Nilam dah wangi coba sini," jawab Nilam dengan nada manja. "Ih bener, anak ayah wangi. Yasudah, ayo kita ke pasar." Nilam langsung digendong menuju motor bututnya. Mereka berdua menuju pasar dengan hati yang berbahagia meski mereka ditinggal wanita yang paling berharga. Setengah jam kemudian, mereka sampai di pasar tradisional. Mereka sudah memarkir motor butut mereka di tempat parkir. Dilanjutkan menuju pasar untuk membeli alat tulis milik Nilam dan membeli kebutuhan pokok. Biasanya yang berbelanja adalah Rengganis dengan diantar oleh Bayu. Sekarang Bayu hanya dengan anak cantiknya yang bernama Nilam. "Nilam, coba kamu pilih peralatan apa saja yang ingin kamu beli. Mumpung ayah ada rezeki hari ini." Ayah dan anak sudah sampai di kedai alat tulis. Nilam sangat bergembira sekali bisa membeli alat tulis dan memilih yang dia mau. "Iya, ayah. Biasanya yang beli Mama dan Mama kalau beli yang kualitasnya nggak bagus dan mudah rusak. Aku pilih kualitas yang bagus ya?" Nilam bisa membedakan alat tulis yang awet dan berkualitas. Karena anak tersebut adalah anak cerdas. "Tentu, Sayang. Asalkan, kamu rajin belajar dan sekolah. Soal mama, jangan diungkit lagi. Dia sudah bahagia di luar sana. Penting, kamu bahagia sama ayah," jawab Bayu dengan bijaksana. "Baik. Ayah, nih Nilam sudah memilih buku dan tempat pensilnya. Hanya ini kok yang Nilam Beli," jawab Nilam yang ternyata ia telah selesai memilih barang yang akan dibeli. Bayu langsung membayar barang yang diinginkan putri cantiknya. "Sayang, aku mau ajak kamu makan bakso mau? Yuk, kita ke kedai Pak Somad." Selesai berbelanja alat tulis, Nilam diajak Bayu ke kedai yang menjual bakso urat yang lumayan rame. Kedai Pak Somad yang menjadi langganan favorit Bayu. Ia teringat saat pengantin baru bersama Rengganis. Mereka sering makan bakso di kedai tersebut. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. Tidak lama, dua mangkok bakso sekaligus dua es teh manis tersaji untuk Nilam dan Bayu. Mereka menikmati makanan yang masih panas tersebut. "Ayah, baksonya enak banget. Terima kasih ya. Ayah baik banget. Nggak seperti mama." Nilam teringat pada Rengganis yang selalu perhitungan kepada Nilam. Uang yang diberikan Bayu pada Rengganis ia pergunakan untuk belanja pakaian dan alat make up yang bermacam-macam. Rengganis termasuk wanita yang boros dan suka dandan secara berlebihan. Hal tersebut membuat Rengganis selalu kurang dengan pendapatan yang diperoleh oleh Bayu. "Masih kurang nggak baksonya? Nilam boleh nambah kok," jawab Bayu sambil menatap Nilam dengan tatapan haru. Dalam hati ia masih mengingat kenangan bersama sang istri. "Nilam sudah kenyang, Ayah. Ayah saja yang nambah, biar besok kerjanya kuat. Ayahnya kan kerjanya berat," sahut Nilam yang pengertian dengan sang ayah. "Anak pinter. Tapi ayah juga sudah kenyang. Yasudah, kita belanja kebutuhan pokok yuk. Kita belum beli bahan buat persediaan hari esok." Bayu sudah membayar menu yang telah ia habiskan. Saatnya kini beralih ke kedai sayur dan lauk. Mereka membeli beberapa ikat kangkung dan telur. Tidak lupa bumbu dan bahan lain sebagai pelengkap memasak. "Eh Bayu. Dengar-dengar istri kamu menceriakan kamu, ya. Suami nggak becus. Ngurus istri dan anak satu saja nggak becus. Sudah yatim piatu. Miskin pula. Lihat, Nilam tampak kurus dan berpakaian lusuh. Kasihan sekali dia!" Seorang pria berumur sekitar 40 tahun, mengejek Bayu dengan alasan Bayu tidak bisa membahagiakan Nilam dan istrinya. Mereka tahunya, istrinya Bayu minggat dengan Bayu karena Bayu tidak bisa menafkahi sang istri. "Ayahku itu baik dan membelikan keperluan sekolah dan hidupku. Bapak tidak perlu menyakiti hati ayahku! Mama yang jahat, dia meninggalkan aku dan ayah. Mentang-mentang kalian orang kaya, dengan sombongnya menghina!" tegas Nilam dengan penuh keberanian. Nilam merasa sedih dan tidak terima jika ayahnya direndahkan oleh orang lain. Pria yang mengejek Bayu terdiam. "Nilam, ayo kita pulang. Biarkan mereka menilai ayah seperti apa. Ayah itu memang orang tidak punya, tetapi Nilam harus rajin sekolah dan nggak boleh sedih ya?" Bayu memang pria sabar dan tidak mudah terpancing emosi hanya gara-gara ucapan tetangga. "Oke, Ayah. Nilam juga muak melihat mereka saling ejek dan cari muka." Mereka berbalik dan menuju tempat parkiran. "Biarkan saja, Nak. Kita fokus pada keluarga kecil ini. Habis ini ayah akan buatkan kamu mie ayam. Kamu suka nggak?" Bayu mencoba mengalihkan pembicaraan agar Nilam tidak ikut dalam memikirkan orang-orang yang suka menghina dirinya. Cukuplah dia jangan anaknya yang menderita. Bayu ingin, Nilam selalu bahagia. Bayu dan Nilam mulai mengendarai motor butut menuju rumah kecilnya. Rumah kecil yang menjadi sebuah pembelajaran. Makna yang tersirat mengenai arti kehidupan yang sederhana dan apa adanya. Setengah jam kemudian, mereka sudah sampai rumah. Ketika berada di depan pintu masuk, pemandangan tidak enak mulai terjadi. Rengganis bersama Weldan sudah ada di depan rumah. Bayu masih diam dan mencoba tenang. Ia membuka gembok pintu hingga pintu terbuka. "Nilam, kamu masuk ke dalam dulu ya. Ada tamu agung yang datang. Nilam mengiyakan apa perkataan sang ayah. "Mas Bayu, boleh saya bicara? Bisakah kita di dalam rumah. Di sini malu didengar banyak tetangga." Ternyata Rengganis masih mempunyai malu. Bayu pun menuruti mereka. Mereka duduk di ruang tamu dengan jiwa yang tegang dan gelisah. "Maaf, kalian mau bicara apa? Saya harap, saya tidak ingin kalian menyebar masalah dan nantinya aku yang pusing. Aku itu butuh tenang," ujar Bayu apa adanya. "Oke, Mas. Saya cuma mau memberikan ini!" Nilam memberikan secarik kertas. Dalam hati, Bayu sudah tidak menangis. Ia langsung menandatangani surat sakral tersebut. Dalam hitungan detik, Bayu sudah resmi bercerai dengan Rengganis. "Tumben kamu menginginkan aku cerai, Mas? Biasanya kamu nggak bolehin jika aku cerai!" Sedikit kecewa seorang Rengganis menggugat cerai Bayu. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Bayu kini resmi menyandang status duda. Dan tidak bisa diganggu gugat. "Buat apa saya mempertahankan wanita yang sudah tidak mencintaiku. Jika memang kamu benar-benar ingin bercerai, maka aku akan menceraikan kamu saat ini juga! Ingat, Rengganis, pada hari ini kita sudah tidak menjadi suami dan istri lagi," jawab Bayu dengan mantap. Bayu mencoba menutupi kerapuhan hati yang sulit dimengerti oleh banyak orang.Sore hari yang mendung, sememdung hati Aisyah yang kini mendengar cerita dari Bayu dan Pak Riyan. Mereka sedang merencanakan pernikahan. Namun, Bayu masih belum seratus persen menyetujui usulan Pak Riyan. Dilihat dari beberapa pertimbangan. Suara daun pisang kering mengakibatkan Bayu mendengar bisikan itu. Ia langsung menuju suara tersebut. Hingga ia menemukan siapa yang ada di samping kebun rumahnya. "Neng Aisyah? Kamu di situ?" Bayu memberanikan diri mendekati Aiayah. Aisyah menunduk sambil menangis. "Maaf, saya lancang!" ujar Aisyah sambil berbalik dan mencoba berlari. Namun, Bayu dengan cepat meraih tangan Aisyah. "Aisyah, kau jangan pergi. Ayo ikut aku!" "Jangan, Mas Bayu. Kau mau ajak aku ke mana?" tanya Aisyah dengan gugup. Bayu melangkah menuju di mana Pak Riyan dan Nisa berada. Pak Riyan dan Nisa berada di ruang tamu. Aisyah pun dipersilakan duduk oleh Bayu. "Siapa ini, Bay?" tanya Pak Riyan dengan terkejut. Pikirannya menerawang ke mana-mana.
"Alhamdulilah, Pak Riyan. Semoga pembangunannya lancar," jawab Bayu sambil berdiri memandang bangunan yang ia usahakan. Pak Riyan menepuk pundak Bayu. "Kalau kau kesulitan dana, kubantu. Saya pikir, kau itu pria dewasa yang matang dan sederhana. Pikirkan tentang Nisa. Saya memberi kepercayaan padamu untuk menikahkan Nisa denganmu. Semoga kau mau," bisik Pak Riyan dengan mantap. Bayu menoleh ke arah Pak Riyan dengan tatapan mata melebar. Ia sangat dilema. Masalahnya ada wanita yang juga diam-diam menyukainya. Sangat bingung saat ini. Bayu hanya diam. Dia mengambil piring kotor yang berserakan di area bangunan. Ia belum sempat membawa masuk ke dalam rumah. Tenaganya terbatas dan ia butuh istri yang memahami kondisi suami. Bukan istri egois yang ingin didahulukan keinginannya. "Mas Bayu berpikir saja dulu. Soalnya Nisa itu memang seperti itu. Saya ingin ada yang membimbingnya," ujar Pak Riyan lagi. Ia tahu isi hati Bayu yang dilema. "Hem, Baik, Pak saya akan coba dulu. Siapa tahu j
Siang itu Bayu bingung. Tamunya ada dua kubu. Kubu pertama datang dari keluarganya Pak Riyan yang turun dari mobil bersama anak gadisnya berusia sekitar dua puluh tahunan. Cantik, tomboy dan cuek. Kubu ke dua datang dari tetangganya sendiri yang bernama Aisyah. "Ayah, tamunya banyak. Ada Ustadzah Aisyah dan ada mereka. Sepertinya Nilam pernah lihat," ujar Nilam yang ikut bingung dengan kejadian tersebut. "Maaf, saya cuma sebentar. Hanya ingin memberikan ini!" ujar Aisyah dengan gugup. "Oh, iya terima kasih, Neng. Nggak bertemu Nilam dulu?" tanya Bayu dengan basa-basi. "Tidak, saya permisi!" Aisyah cepat-cepat pulang karena di rumah Bayu ada tamu. Bayu pun tidak sempat membuka kantong kresek yang diberikan Aisyah. Ia fokus melayani tamunya sambil membawa kantong kresek tersebut. "Pak Riyan, Neng Nisa, mari silakan masuk," ujar Bayu sambil mempersilakan tamunya untuk masuk ke ruang tamu. Kedua tamunya langsung ke ruang tamu sambil memandang ke rumah Bayu yang d
Cahaya surya mulai meredup berwarna orange. Hawa pinggiran kota yang panas berubah dingin. Polusi dari asap-asap pabrik yang sudah mengisi daerah tersebut memudar karena hawa sedikit sejuk. Namun, tidak sesejuk Bayu yang sedang ditimpa musibah. Bayu mengalami bahaya sedang diserang Suherman dan dua anak Suherman. Ia berusaha menangkis, mengeluarkan seluruh gaya silatnya yang ia pelajari saat sekolah dulu. "Rasakan ini!" "Awa, sakit!" Suherman rubuh ke aspal. Dua anak buah Suherman langsung menyerah Bayu ketika bosnya tersebut kewalahan. Satu lawan dua orang. Bayu tidak menyerah. Ia teringat dengan nasihat guru silatnya dulu. Barengi usahamu dengan doa. Pria itu berdoa agar dimenangkan dalam pertarungan membela diri tersebut. Tidak lama, tumbangkan kedua pria yang bergelar preman tersebut. Suherman berdiri. Mengusap hidungnya yang mimisan dan memberi kode pada kedua anak buahnya untuk berlari. Usahanya menghancurkan Bayu gagal. Ia lari tunggang langgang dan mencari motornya.
Mentari tepat di ubun-ubun. Di rumah Bayu kedatangan tamu tidak lain adalah kakaknya Aisyah, Fathur. Beliau ingin menyatakan sesuatu. Fathur menarik napas dalam-dalam agar tidak grogi. "Mas Bayu, sebenarnya adik saya itu diam-diam menyukai sampean. Kemarin, dia mengakui dan curhat sama aku. Malahan sukanya sejak SMP. Bagaimana menurut Mas Bayu. Bayu terkejut. Detak jantungnya berpacu dengan cepat. Sesuatu yang membuatnya bergetar hatinya. Ia diam tak mampu berkata-kata. Namun, beberapa menit kemudian, ia menjawab. "Saya terkejut Mas. Serasa ini tidak mungkin, Neng Aisyah menyukai saya. Saya itu duda yang sudah punya anak. Menurut saya ya, maksudnya bagaimana ini?" Bayu masih bingung dengan tujuan Fathur ke sini. Apakah hanya sekedar memberi tahu tentang perasaan Aisyah, atau ada hal lain yang ingin disampaikan. Fathur terkekeh sambil menikmati camilan yang disediakan oleh Bayu. "Jangan bingung, Bay. Kalau mau, menikahlah dengan adikku. Siapa tahu jodoh. Kalau berminat, hubungi s
"Dia bukan istri saya! Saya itu sudah bercerai,* ujar Bayu dengan jujur. Tukang bangunan tersebut tidak tahu jika Bayu duda. Tahunya Bayu sudah menikah dan punya anak. "Maaf, Mas. Kirain dia istrinya. Buat saya boleh?" tanya tukang bangunan itu yang ternyata masih muda. Selalu melirik ke arah Nurma. "Tanya saja sendiri sama orangnya. Saya tidak mau menjodohkan. Takutnya salah. Sudah ya, dari tadi menyindir terus. Nur, nih ada yang mau kenalan denganmu," ujar Bayu sambil menunjuk ke arah temannya. "Saya nggak suka sama Mas tukang. Sukanya sama Mas Bayu," ungkap Nurma pada Bayu. "Jangan begitu. Saya masih punya fokus pada Nilam. Belum bisa bicara soal cinta," jawab Bayu dengan tegas. "Cie, ada yang lagi cinlok ini. Gas pol Mas Bayu. Jangan dibuang, sayang," sahut Pak Tukang yang sedang beristirahat di teras sambil meminum kopi dan makan jajanan pasar buatan Bayu. "Ada-ada kalian ini. Disambut yuk makanannya!" "Siap! Mas Bayu, saya salut dengan model sangkar burungnya. Kapan-kapan