Perbukitan hijau menjulang menghadap langsung ke lautan di sepanjang jalan. Laut biru lepas bergelut gulungan ombak tampak indah di sepanjang tepian. Di tambah angin yang dengan senang hati menjadi pengusir sengatan matahari dan menciptakan harmonisasi yang indah untuk dinikmati. Belum lagi aroma laut yang menjadikan alam begitu sangat berarti untuk menghibur diri.
“Halah, mulut lo. Perempuan cantik juga pasti lo bilang maha karya Tuhan, Go,” celetuk Rumi seusai meneguk kaleng bir.
Dego tertawa. “Perempuan cantik kan emang maha karya Tuhan, Rum.”
“Dasar mulut penggombal,” gumam Rumi.
Beberapa saat mereka terdiam memanjakan mata dengan keindahan yang membentang di hadapan. Kelelahan perlahan memudar dari bena
“Cobalah buat keluar, Gerta. Pelan-pelan … sedikit demi sedikit. Jangan takut.”Samar-samar suara Ira terdengar di sela-sela mimpi Gerta.“Cobalah buat melawan rasa takut itu pelan-pelan. Kamu bisa … kamu pasti bisa. Dunia luar itu nggak semenakutkan itu.”Sesaat Gerta ingat, jika suara itu adalah percakapannya dengan Ira beberapa hari yang lalu.“Bebaskan jiwa kamu, Gerta. Jangan takut.”Kelopak mata Gerta kemudian terbuka. Aroma lavender yang sebelumnya tercium, kini perlahan memudar. Membuatnya melirik vas bunga, di mana bunga lavender itu sudah layu dan warnanya sudah memudar. Sementara dia tidak tahu, berapa lam
Gerta kemudian ikut mengamati pemandangan itu seraya memikirkan kata bijak Opung. Takdir dan garis hubung? Mungkinkah takdir dan garis hubungku ada di salah satu dari mereka?Ya, kata-kata takdir dan garis hubung sangat menarik hati dan pikiran Gerta.“Opung juga bagian dari takdir dan garis hubung aku ‘kan?” tanya Gerta seraya melingkarkan tangannya di lengan Opung dan bergelayut manja.“Iya, benar. Kita berdua juga termasuk takdir dan garis hubung itu. Mangkanya kita berdua tetap bersama-sama sampai hari ini.” Opung membalas rangkulan putri kesayangannya itu.Dalam masa-mas
Di luar perpustakaan tua, seorang pengantar koran baru saja sampai. Beruntung cuaca tidak mendung, jadi laki-laki memakai kemeja denim oversized berpadu kaus hitam, celana wide leg dan sepatu abu-abu itu tidak perlu memakan waktu lama untuk menyelesaikan pekerjaannya.Rumi mengambil satu gulungan dan meletakkan di kotak pos surat. Setelahnya pandangannya tak sengaja tertuju pada perempuan di balik jendela perpustakaan yang terbuka—perempuan berambut panjang terurai dan berbaju putih dengan wajah tertunduk.“Kok ada perempuan?” tanya Rumi pada dirinya sendiri.Rumi mencoba mencari posisi leluasa di balik semak-sema
Sebuah mobil SUV abu-abu terparkir di trotoar persimpangan jalan sejak dua jam lamanya. Laki-laki dengan tangan kanan menyangga di jendela terus menunggu di dalam mobil. Matanya terus mengamati toko surat kabar yang berdiri di seberang jalan. Entah apa yang sedang dia lakukan.Sebuah tanda pengenal bertuliskan Zuldan Bahir yang masih mengalung di lehernya kemudian dilepaskan dan diletakkan di dasbor.Iya, Zuldan Bahir sedang tidak dalam jam kerja sekarang, jadi tidak perlu memakai tanda pengenal itu.Dengan wajah kesal, Zuldan mengerang dan memukul-mukul setir mobil. Nama kepolisian Bintato diketahuinya juga menjadi salah satu daftar penggelapan uang. Entah siapa yang melakukannya, yang pasti saat ini dia sedang mencoba menyelidiki.Tidak habi
Ya, kejadian sebelas tahun lalu bagi Zuldan adalah kesalahan besar yang dilakukan oleh ayahnya. Rumi bukanlah ancaman bagi keluarganya, tetapi memang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab ayahnya yang saat itu memang salah—sudah hidup dengan banyak wanita. Sebab ayahnya memang sangat gila jabatan dan suka berkelakuan kasar jika sedang marah. Membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa, karena saat itu harus melindungi ibunya. Sekarang, Zuldan ingin menebus kejadian sebelas tahun lalu pada Rumi dengan meringankan semua penderitaan dan hidup sengsara Rumi. Meskipun hal itu tidak cukup diukur dengan materi, tetapi dia hanya ingin melihat Rumi bisa hidup lebih baik. “Aku nggak mau dan nggak akan pernah mau. Aku akan hidup dengan uangku sendiri, jadi jangan pernah menawariku dengan hal-hal seperti itu,” tolak Rumi begitu dingin.
Rumi memandangi layar komputer dengan menggut-manggut.“Udah saatnya juga kita menunjukkan senjata kita pada mereka. Emang cuma kita doang yang bisa jadi incaran? Kalau kita ketangkap, maka mereka semua juga harus ketangkap.” Dego menyeringai penuh kelicikan.“Ide bagus. Setidaknya ini bisa membantu kita untuk saat ini,” ucap Rumi setuju.Meski begitu, kemurungan masih terlihat di wajah Rumi.“Kenapa wajah lo?” tanya Dego yang menangkap kemurungan teman karibnya itu.Rumi mengembuskan napas berat. “Gue tahu banget siapa Zuldan Bahir, Go. Dia akan bertarung sampai ke akar-akarnya kalau sudah menyangkut kejahatan. Kalau dia udah mulai bertarung, musuh yang di
Layaknya seperti putri dalam dongeng, warna putih selalu menjadi warna kesukaan Gerta. Menurutnya, dia terlihat cantik jika memakai gaun putih. Seperti yang sedang dia lakukan saat ini di depan cermin. Rambut panjang terurai dengan gaun putih panjang selutut membuatnya begitu cantik dipandang.“Sudah siap buat pergi?” tanya Opung menghampiri Gerta yang masih mematung di depan cermin.“Sudah siap,” jawab Gerta tampak senang.“Biar tambah cantik, Opung tambahi dengan topi cantik ini. Karena matahari di luar lagi terik, kamu harus memakai ini biar nggak kepanasan.” Opung memakaikan topi fedora rajut di kepala GertaGerta kembali melihat sosoknya di hadapan cermin. Tampak sosoknya semakin anggun dengan tambahan
Alunan musik Become A Song milik Sung Si Kyung menghidupkan ruangan berdinding putih yang dipenuhi aroma obat-obatan khas rumah sakit. Terlihat laki-laki berjubah putih berkacamata tengah sibuk memeriksa seekor anjing di sebuah brankar. Dengan teleskop yang mengantung di lehernya, penampilannya tampak gagah sebagai seorang dokter. Dia juga sengaja mengalunkan musik di ruangannya sebagai upaya menghidupkan suasana yang nyaman. Terlebih lagu milik Sung Si Kyung—salah satu penyanyi favoritnya.“Wah, pagi-pagi udah kedatangan pasien. Apa kamu udah sempat sarapan? Dokter juga perlu menjaga kesehatannya.” Seseorang melempar sapaan.“Hehehe. Dan apa kamu datang pagi-pagi ke sini sebagai pasien?” tanya dokter laki-laki bernama