Sebuah kedai kopi tampak indah oleh bunga-bunga rustic di sepanjang pintu masuk yang membantang karpet merah. Di dalam ruangan dipenuhi orang-orang berpakaian formal yang sudah siap menyambut acara. Tampak beberapa barista di balik meja panjang menunjukkan kemampuannya berseni di dalam cangkir kopi. Membuat banyak pasang mata menatap penuh kagum.
Ya, pembukaan kedai kopi milik Dego digelar bersamaan dengan pesta pernikahannya. Beberapa rekan seprofesi yang datang ada yang sekalian menjaring kerja sama. Tidak ketinggalan juga Boni dan Kris yang lagi-lagi tampak gagah dengan setelan jas mahal.
“Ini adalah kali kedua gue bisa memakai jas mahal ini di acara pernikahan.” Kris membenarkan letak dasinya.
Sepekan menikmati musim dingin di Kanada, kini Gerta telah kembali ke Wina yang masih berlangsung musim panas. Perempuan yang sejak pagi sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan itu tampak pucat, tak seperti biasanya. Sejak bangun tadi dia merasakan pening dan sempat muntah.“Gerta, kamu kenapa?” Ira datang menatap wajah pucat Gerta.Gerta menggeleng. “Nggak papa, Mis. Mungkin kecapekan aja setalah dari Kanada. Karena di sana lagi musim dingin.”“Rumi! Rumi!” panggil Ira.“Mis, aku nggak papa. Jangan bangunin dia, dia juga pasti kecapekan,” larang Gerta memelas.Ira mengembuskan napas berat. “Ya udah, kalau begitu biarkan Mis yang masak. Ka
Setelah dipastikan Gerta hamil, dengan senang hati Rumi menawarkan diri mengurus urusan dapur dengan dibantu Ira. Menyiapkan makanan untuk istri yang sedang hamil memberikan rasa senang dan kepuasan dalam diri Rumi. Terlebih dia bisa memastikan makanan-makanan yang dikonsumsi istri dan anaknya adalah makanan yang sehat.“Itu tumis dulu bawang putihnya. Jangan dimasukkan dulu potongan sayurnya.” Ira hanya bersedekap di sebelah Rumi, tampak seperti seorang pemandu.Rumi mengikuti arahan Ira dengan gerakan pelan menumis bawang putih. “Udah belum ini?”“Belum. Belum juga semenit numisnya. Tunggu sampai bawang putihnya layu kecoklatan.”Gerta yang turun tangga dengan langkah pelan agar tak menimbulkan suara kemud
Rumi tampak gelisah di sepanjang jalan pulang usai membeli dua wadah gelato pesanan Gerta dan Ira. Dia masih tak berhenti memikirkan, siapa dari orang-orang ibu kota yang berani mengusiknya lagi. Terlebih sampai memasang wajahnya ke khalayak umum dengan embel-embel seorang buronan.Berkali-kali Rumi mengembuskan napas sesal memandangi portal berita di ponselnya yang memang terang-terangan menampilkan wajah aslinya. Jika dulu dia bisa bersembunyi di balik sosok Mas Ganteng, kini sudah tidak bisa lagi.Jika benar orang-orang berengsek di ibu kota itu masih tersisa, bearti kejahatan itu juga masih belum selesai. Mau tidak mau pasti akan menyerat Rumi dan rekan-rekannya pada masalah baru.Sebuah panggilan dari Gerta masuk ke layar ponsel, membuat Rumi langsung mengangkatnya. “Iya,&rdquo
Sesampainya di rumah, Rumi langsung disambut ceria Gerta dan Ira yang sudah menantikan makanan yang dibawanya.“Akhirnya datang juga.” Ira langsung mengambil bingkisan itu di tangan Rumi. “Mis udah buatkan kamu kopi. Masuk, masuk,” ucapnya hangat menyambut kepulangan Rumi.Gerta langsung memeluk Rumi. “Lama banget sih kamu pulangnya?”Rumi tersenyum. “Antri beli waffle pesanan kamu.”“Makasih ya.” Gerta tersenyum manja.“Sama-sama.”“Yok, kita makan bareng-bareng sambil nonton TV. Ada acara bagus banget.” Gerta langsung merangkul lengan Rumi dan menggiringnya ke sofa.
Di dunia ini, di era modern yang semakin menjadi, ketika sebuah ibu kota besar menjadi jantung negara dan menjadi kota pesohor di mata dunia, di mana orang-orang yang menghuni di sana adalah orang-orang penting seperti maskot yang dimiliki oleh negara. Namun, siapa sangkah, jika orang-orang seperti mereka adalah orang-orang yang memorakporandakan keuangan negara. Di sisi lain, ada kehidupan berbeda yang tercipta akibat orang-orang seperti mereka—kehidupan orang-orang yang terbuang dari masa lalu. Seperti anak yang sengaja dibuang, ditelantarkan di jalan dan sengaja tak diakui keberadaannya. Orang-orang yang dibuang seperti itu sudah menjadi hal biasa di ibu kota. Seperti manaruh bungkus rokok tak berguna dalam tong sampah pinggir jalan. Iya, begitulah kehidupan ibu kota yang ingar-bingar kekuasaan.
Rumi hanya mendengkus keki. Karena jujur, dia lebih tertarik dengan uang daripada tiket-tiket mewah. Karena baginya, tiket-tiket mewah seperti itu hanya akan meninggalkan jejak. Sedangkan dia tidak ingin pekerjaan yang dia lakukan sampai meninggalkan jejak. Dia tidak ingin identitasnya diketahui oleh banyak orang. Jadi dia sangat menghindari bonus, hadiah, tiket dan paket yang berlebel mewah apa pun. Bagi sebagaian orang, mungkin hal-hal tersebut adalah sebuah keberuntungan, tetapi tidak bagi Rumi—menjadi sebuah masalah besar dalam hidupnya. “Menggiurkan juga liburan kapal pesiar. Liburan keliling Eropa sekalian kencan sama cewek-cewek bule,” ucap Dego tertawa. Rumi hanya tersenyum miring. “Itu bukan peraturan kerjaan kita, Go. Kucuran uang mereka itu nggak bersih. Itu hasil memperma
Aroma roti panggang berpadu dengan selai nanas menghampiri indra penciuman Hernawan di sela-sela kesibukkannya membaca. Garis-garis wajahnya terlihat semakin jelas, ketika bibirnya membentuk senyum menikmati aroma yang berasal dari lantai atas itu. “Berapa banyak roti panggang yang kamu buat malam ini, Nak?” tanya Hernawan mendongak ke lantai atas. “Seperti biasa, Opung. Aku membuat untuk kita berdua.” Suara merdu seorang perempuan yang tersembunyi di balik ruangan atas. Opung adalah sapaan akrab yang melekat dalam diri Hernawan Sinto. Tidak hanya suara perempuan itu yang memanggilnya Opung, orang-orang sekitar yang mengenal Hernawan Sinto juga memanggilnya dengan sapaan akrab itu. Ya, Opung adalah sapaan akrab Hernawan Sinto yang dikena
BAB 4 Pengantar koran malam hari Selain sebagai penjudi rahasia, Rumi juga mempunyai pekerjaan lain sebagai pengantar koran malam hari. Sayangnya pekerjaan itu bukan pekerjaan rahasia, melainkan pekerjaan sehari-harinya. Beberapa orang yang mengenal Rumi, sudah pasti mengenalnya sebagai seorang pengantar koran. Namun, tidak dengan preman-preman penjagal itu di bangunan tua bertingkat sembilan itu. Mereka mengenal Rumi sebagai pengantar koran yang pandai bertinju. Lantai enam adalah tempat yang sering dikunjungi Rumi untuk bermain tinju dengan salah seorang preman yang kerap menjadi lawan mainnya. “Waktu gue habis,” ucap Rumi menghentikan permainannya di babak kedua. “Sangat disayangkan banget, padahal s