Pesawat kemudian mendarat di Bandara Internasional Chek Lap Kok, Hongkong—salah satu kota yang menempati posisi kelima pada Indeks Kota Global setelah New York City, London, Tokyo dan Paris. Menjadi kota yang memiliki pendapatan per kapital yang tinggi. Jadi tidak heran, jika Hongkong adalah pusat keuangan yang kerap menjadi ajang perjudian besar.
Sebuah mobil mewah, Marcedes-Benz Limousine S600 sudah stay di depan gedung bandara lengkap dengan sopir sewaanya. Berjalan diiringi empat algojo berjas rapi berwajah beringas memang cukup membuat Mas Ganteng menjadi lirikan lalu lalang orang di dalam bandara.
Dasar curut-curut bodoh. Percuma kalian dibayar mahal kalau nggak ngerti tentang situasi.
Cerah langit Rabu membuat kupu-kupu begitu ceria mengepakkan sayap-sayapnya. Di bawah terik matahari yang hangat, mereka memperlihatkan sayap indahnya, menari-nari dan membuat iri perempuan yang mematung di balik jendela lantai tiga—perempuan yang di masa kecilnya mempunyai keinginan untuk bisa mempunyai sayap seperti kupu-kupu. Namun, beranjak dewasa, dia menyadari, jika hal itu adalah hal yang mustahil. Sebab dia bukan perempuan dari negeri dongeng yang dapat menjelma seperti putri ajaib, selain hanya perempuan biasa yang hidup bersembunyi di balik perpustakaan tua.Mari kita amati sosoknya.Cahaya matahari yang masuk ke jendela membuat mata indah Gerta bersinar cokelat keemasan. Kulit wajahnya yang bersih juga turut bersinar. Bibirnya yang tersenyum menggantung indah itu mengartikan, jika dia sangat menikmati sengatan sinar
Wajah Gerta yang semula tegang, kini langsung menggantungkan senyum. Lega hatinya mendengar nama tersebut. Sebab dia sangat mengenal dan juga sangat merindukan perempuan bernama Ira, setelah enam bulan lamanya tak bertemu. “Benerang, Opung? Siang ini?” tanyanya antusias untuk kembali memastikan.Opung mengangguk-angguk, diikuti suara tawa khasnya “Rencanya Opung mau membuat kejutan buat kamu, tapi karena melihat kamu ketakutan, Opung jadi nggak tega.”Mis Ira adalah sosok guru sekaligus teman bicara untuk Gerta. Sosoknya seperti pengganti mendiang Lareta—sosok seorang ibu, seorang guru dan seorang teman yang hangat. Semua ada dalam diri mereka berdua— Lareta dan Ira
“Apa kabar, Gerta?” tanya Ira penuh kerinduan.“Kabar aku baik, Mis. Mis sendiri apa kabar?” tanya balik Gerta tak kalah penuh kerinduan.“Mis juga sangat baik kabarnya dan sangat merindukan kamu di Spanyol.”“Aku juga merindukan Mis di sini.”Dua perempuan itu kini larut dalam pelukan hangat yang dipenuhi dengan kerinduan.Sebelumnya Ira adalah seorang guru sekolah anak-anak yang berprofesi sebagai kosultan anak-anak. Dulunya dia adalah seorang guru honorer ibu kota. Perjumpaannya dengan Lareta membawanya bertemu Gerta remaja yang saat itu sedang mengalami
Seorang laki-laki berperawakan tinggi dengan wajah yang masih muda datang ke perpustaan tua. Laki-laki itu tampak tidak asing dengan bangunan bertulisan Lareta itu. Sebab dia adalah pelanggan yang kerap datang untuk meminjam buku di perpustakaan tua milik Hernawan Sinto itu.Opung yang melihat kedatangan laki-laki bersepatu Yeezy boost 350 V2 zebra itu langsung menyambut ramah. “Selamat datang, Dego.”Dego tersenyum. “Apa kabar Opung? Lama nggak jumpa.”“Lama nggak jumpa karena kamu yang lama nggak ke sini, Dego,” kelakar Opung.Dego tertawa. “Iya juga, sih.”&ldquo
“Ehem!” Opung berdeham keras.Tentu saja Dego langsung terpental kelabakan karena terkejut. Sial! apa gue ketahuan, ya?“Mau sampai kapan kamu berdiri memandangi ruangan itu?” tanya Opung melihat Dego terus mendongak menatap ruangan atas.Huft! Untunglah. Gue kira gue ketahuan menyelibkan buku kramat ini. Dego bernapas lega.Dego langsung menurunkan pandangannya dari ruangan atas. Berkali-kali dia memang celingukan melihat ruangan atas itu. Karena berharap dapat menemukan perempuan berjulukan Putri Tidur itu.Ya, meski ruangan atas itu tampak kosong tak berpenghuni, tetapi Dego da
Saat itu hujan masih deras-derasnya. Pertengkaran hebat terjadi di sebuah rumah mewah di ruang tamu. Vas bunga pecah dan berserakan di mana-mana kepingannya. Hari itu dalah satu bulan menjelang pemilu wali kota.Seorang perempuan berusia empat puluh tiga tahun terduduk di lantai di pelukan anak laki-laki berseragam intelejen negara dengan tulisan nama Zuldan Bahir. Ekspresi wajah ibu dan anak itu sangat terluka. Sedangkan Rumi yang saat itu berusia tiga belas tahun hanya berdiri mematung dengan wajah nanar memandangi ayahnya yang tengah mengamuk.“Bawa dia pergi! Ke mana pun itu. Aku nggak mau tahu. Pokoknya jangan sampai dia diketahui oleh halayak umum. Karena dia itu anak aib yang cuma akan merusak karirku.” Suara laki-laki paruh baya
Tepat November akhir, ketika gerimis malam hari menyapu jalanan ibu kota bagian utara, Hernawan Sinto tampak dalam perjalanan pulang dari percetakkan buku. Tangan kanannya mengimpit tas hitam seraya berjalan menunduk, akibat gerimis yang mengganggu penglihatannya.Samar-samar Hernawan mendengar percekcokan dan tangisan anak kecil. Membuatnya celingukan mencari asal suara tersebut. Gerimis memang cukup menganggu kacamatanya untuk melihat jarak jauh.Samar-samar Hernawan melihat sebuah mobil sedan abu-abu terparkir di trotoar jalan. Langkahnya kemudian mencoba mendekat. Namun, naru beberapa langkah, langkahnya kemudian terhenti saat melihat pertengkaran seorang laki-laki dan perempuan di dalam mobil yang hanya diterangi lampu mobil. Tampak juga perempuan itu terlihat menangis.“Turun!
Siang harinya ternyata benar. Ketika anak perempuan itu terbangun setelah sepuluh jam tidak sadarkan diri. Frans mendiagnosanya hilang ingatan dan mengalami gangguan disosiati, akibat trauma berat pada usia anak-anak. Kekerasan yang dialami anak perempuan itu adalah penyebab utamanya. “Dia akan mengalami gengguan kecemasan, gangguan tidur, atau bahkan bisa depresi. Risiko itu sudah pasti terjadi untuk penderita disosiatif. Aku menyarankan, sebaiknya kalian membawanya ke dokter kejiwaan,” saran Frans. “Bisakah kamu yang menjadi dokternya, Frans?” pinta Hernawan Sinto saat berbincang di ruang perpustakaan. “Aku bukan dokter di bidang ini, Hernawan. Aku cuma dokter hewan biasa yang ….” “Kami mohon,” pinta Lareta.