Share

33. Mencari

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2025-07-09 20:28:35

Tetangga Zahra tidak memberitahuku ke mana wanita itu pindah. Katanya dia sendiri tidak tahu.

"Kapan Zahra perginya?"

"Kemarin sore, Pak. Dia membawa barang-barangnya menggunakan truk. Kayaknya rumahnya juga sudah kosong." Wanita itu menjelaskan disertai gerakan tangan dan mimik wajah yang serius.

Aku melirik sekilas ke arah rumah Zahra. Sepi.

Kutinggalkan pekarangan rumah Zahra setelah berpamitan pada wanita tetangga Zahra itu. Kenapa Zahra terlalu cepat mengambil keputusan. Kenapa dia tidak mau bertanya kebenarannya padaku.

Sia-sia aku memilih tempat tinggal di sini supaya dekat dengannya. Pada akhirnya kami berjauhan juga. Aku pun tak jadi melihat rumah yang akan kuhuni. Segera kembali ke kantor dan menenangkan diri di sana.

Mencoba menghubungi Zahra tapi ternyata nomorku sudah diblokir. Aku baru kepikiran kenapa tidak menemuinya saja di pabrik. Dalam keadaan kacau, otak tidak bisa berpikir dengan jernih.

Setelah menepuk kening berkali-kali aku pun kembali turun ke parki
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    52. Tertangkap

    "Abang kok, kayaknya sudah tidak mau lagi aku tinggal di sini?" Frans kembali menatap Mas Fauzan. "Bukan seperti itu. Abang senang-senang aja kamu tinggal di sini, malah jadi rame karena ada Marsha ada Malika. Apa lagi kalau nanti mereka punya adik." Mas Fauzan menjeda kalimatnya sambil melirikku, aku pun spontan menunduk sambil tersenyum malu. "Lalu kenapa?" "Mami itu lebih berhak atas diri kamu. Nanti di sana juga rame setelah adik-adikmu lahir. Abang sih, terserah kamu aja, mau tinggal di sini boleh, mau tinggalin sama Mami juga boleh." "Untuk sementara aku tidak mau pergi dari sini. Aku mau sama Abang saja. Entahlah kalau suatu saat aku berubah pikiran." "Iya, Abang ngerti, tapi nanti tolong jelaskan sama Mami kamu kalau dia datang ke sini." *** Sinta dan Agung datang beberapa menit kemudian. Keduanya nampak bahagia. Mungkin momen ini yang mereka nantikan sejak lama. Di mana mereka bisa berhubungan secara terang-terangan. Setelah berbasa-basi, kami pun beralih pada pembic

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    51. Awal yang Baru

    Waktu berlalu begitu cepat. Seperti keinginan Mas Fauzan, pernikahan kami dipercepat. Seminggu setelah acara lamaran, kami pun resmi menikah di sebuah ballroom hotel mewah di kota ini. Keluarga intiku yang sengaja diemput dari kampung sampai terheran-heran melihat megahnya pesta pernikahan kami. "Suamimu beneran orang kaya, ya, Nduk." Bude Aminah paling heboh. "Sekarang percaya ta? Kalau jodoh Zahra kali ini beneran sultan." PakDe juga tak kalah antusias. Untuk menyenangkan mereka, Mas Fauzan sengaja memberikan fasilitas kamar untuk dua malam. Keluargaku tambah senang semuanya. Sebenarnya aku minta pesta yang sederhana, namun mas Fauzan menginginkan pesta yang mewah mengingat ini adalah momen pertama baginya. *** Satu bulan kemudian, Aku sudah pindah ke rumah Mas Fauzan yang di perum. Rumahku yang dulu, sekarang ditempati oleh Pak Majid dan Bu Ita. Awalnya mereka menolak, katanya lebih betah di pabrik. Supaya dekat dengan pekerjaan. Namun, aku tidak tega melihat mereka tingga

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    50. Niat Baik

    "Boleh, tapi harus minta izin dulu sama yang punya meja," sahut Mas Fauzan kemudian melirik ke arahku. Tentu saja aku kaget mendengarnya "Ah iya, tentu saja boleh." "Boleh tuh, Bang." "Makasih, ya." Keduanya langsung duduk. Lantaran kursinya hanya tersedia empat, Mas Fauzan spontan memangku Malika. "Om boleh duduk di sini? Nggak apa-apa 'kan kalau Malika duduk di pangkuan Om?" tanya Mas Fauzan setelah Malika duduk nyaman di pangkuannya. "Boleh, Om, tapi setelah ini Om temenin aku main, ya." "Ah ya, boleh." Aku jadi berpikir, apa Marsha janjian dengan Frans dan sengaja mempertemukan kami di tempat ini. Pasalnya, dari tadi kedua remaja itu terlihat saling lirik dan senyum, malah Marsha kepergok mengacungkan jempolnya ke arah Frans. Kalau benar ini rencana mereka berdua, pantas saja tidak seperti biasanya Marsha ingin pergi setengah memaksa. Padahal tadi aku sudah menolak, tapi dengan merengek anak gadisku itu terus membujukku. Spontan aku menarik tangan dari atas meja saat t

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    49. Pov Zahra

    Pov Zahra "Sayangnya kejadian itu begitu cepat dan aku tidak sempat merekamnya." Mas Fauzan mengalihkan pandangannya ke samping saat aku meminta bukti percakapan kalau Agung adalah ayah kandung Frans. Saat semalam Pak masjid bercerita tentang ayah biologis Frans, aku sempat kaget. Berarti selama ini Mas Fauzan juga dibohongi oleh perempuan itu. Sebenarnya aku bukan tidak percaya, tapi hanya ingin tahu seberapa serius Mas Fauzan padaku. "Tunggu, aku punya bukti chat dari Sinta semalam. Aku belum sempat menghapusnya." Mas Fauzan mengeluarkan ponselnya. Tak lama kemudian ia pun memperlihatkan isi chat dari kontak bernama Sinta. "Sekarang kamu percaya?" tanyanya tepat saat aku selesai membaca dua pesan itu. Sekarang giliran aku yang terpaksa mengalihkan pandangan ketika pria itu menatapku dengan lekat. "Ya, Mas, aku percaya." "Alhamdulillah, berarti siap melanjutkan hubungan kita yang sempat terhenti?" "Berita aku waktu." "Kenapa? Aku tidak ingin menunda waktu lagi, Zahra." "

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    48. Bagaimana Caranya

    Sampai di percetakan, aku langsung menyerahkan hadiah yang batal kuberikan untuk Agung pada Pak Majid. "Bagus sekali, Pak. Ini terlalu bagus buat saya." "Pakai saja, itu rezeki Bapak." Aku tersenyum bahagia melihat raut wajah Pak Majid saat memandangi benda itu. "Tetapi saya minta tolong." Pak Majid mengalihkan pandangannya dari jam tangan ke arahku. "Jadi ceritanya ini sogokan?" Godanya sambil mengeringkan mata. "Tidak juga. Hadiah itu tadinya untuk orang lain, tapi ada satu hal yang membuat saya urung memberikannya. Jadi daripada dibuang, mending saya kasih Pak masjid saja." "Wah, jangan dibuang, dong. Barang sebagus ini masa dibuang. Jadi Pak Fauzan mau minta tolong apa?" tanyanya antusias sambil menyimpan jam tangan tersebut ke dalam kotaknya. Kemudian kuceritakan perihal Frans, Sinta dan Agung secara detail pada pria itu. Pak Majid menyimak dengan serius sambil sesekali manggut-manggut kemudian mengusap wajahnya. "Saya pulang dulu, kabarin kalau Zahra siap ketemu." "S

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    47. Kembalikan!

    Baru saja aku mengangkat kaki, bermaksud menghampiri Agung di dalam ruangan. Pria itu sudah berdiri di pintu dengan ponsel di tangannya. Sepertinya suara tote bag yang jatuh dan menimbulkan suara itu mengalihkan perhatian Agung. Untuk beberapa saat kami hanya saling tatap. Agung berdiri kaku, wajahnya nampak sedikit panik. Sahabatku itu mungkin tidak menyangka kalau aku menguping pembicaraannya. "Aku tidak salah dengar, bukan?" tanyaku dengan suara yang ditekan serendah mungkin. Padahal aslinya ingin berteriak sambil mencengkram baju bagian lehernya. "Mmm ... aku bisa jelaskan, Fauzan." "Jawab dulu! Apa aku tidak salah dengar, baru beri aku penjelasan!" Gigiku beradu satu sama lain, jika benar apa yang kudengar barusan, berarti Agung dan Sinta telah menghianatiku. Parahnya mereka menipu Papa selama ini. "Kita bicara di dalam, Fauzan." Agung maju beberapa langkah dan hendak meraih tanganku, namun segera kutepis. Yak sudi aku bersentuhan dengan pengkhianat ini. Mendapat respon sep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status