Brum! Brum!
Deruan motor yang saling beradu, semakin terdengar suaranya. Kumpulan remaja bersorak ria menyaksikan acara balap motor yang akan segera dimulai. Suasana gelap dan keadaan yang ricuh menambah keseruan mereka.
Tampak seorang laki-laki yang duduk di jok motor balap berwarna merah tengah memainkan gas motornya. Tak lupa juga, lawan main di sampingnya yang merupakan seorang perempuan.
"Satu!"
"Dua!"
"Tiga!"
Seorang wanita berpakaian kurang bahan mengibarkan bendera hitam putih yang ia pegang. Itu tandanya, balapan sudah dimulai. Dengan sekuat tenaga, kedua pengendara itu saling beradu kecepatan.
Sorakan para pendukung semakin lama semakin terdengar saja. Masing-masing dari mereka menyebutkan nama idola mereka. Bahkan, ada yang menyanyikan yel-yel untuk membuktikan bahwa mereka adalah pendukung setia.
Tikungan pertama, kedua, dan ketiga berhasil mereka lewati dengan baik. Motor hitam yang dikendarai perempuan itu berhasil memimpin. Hingga akhirnya, ia lebih dulu melewati garis finish.
"Whooaaaa! My Boss menang lagi!"
"Aseek! Makan-makan, yuhuuuu!"
"Bos gue emang paling jago!"
"Jangan anggap remeh perempuan, Guys!"
Para pendukung terus saja membela dan mewangi-wangikan nama idolanya. Begitu pun sebaliknya, mereka saling mengolok-olok tim lawan.
"Stop!"
Semua orang mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Seorang perempuan bermasker berjalan ke arah mereka. Ya, tentu ia yang sudah berteriak tadi dan juga sebagai pemenang balap motor malam ini.
"Apa gue bilang? Lo gak bakal bisa ngalahin gue," ejeknya kepada lawan mainnya tadi.
Sang empu menoleh. "Ck! Lo hanya beruntung."
Perempuan itu tersenyum sinis di balik maskernya. "Ok, gue tunggu kemenangan lo di pertandingan selanjutnya."
"AYO KITA PERGI, GUYS!"
"SIAP, MY BOSS!"
Sesuai perintah perempuan itu, segerombolan remaja tersebut perlahan mulai pergi meninggalkan area balapan. Biasanya, saat pemimpin geng motor mereka menang dalam pertandingan, sudah dipastikan malam ini mereka akan ditraktir makan oleh bosnya itu.
Laki-laki itu melepas dan membanting topeng setengah wajah yang ia gunakan tadi. "Shit! Gue kalah lagi. Ini udah kelima kalinya gue kalah saat lawan dia."
"ARRRGHHH!" Ia menendang batu kerikil yang ada di depannya.
"CABUT!"
***
"Ma ...! Ma ...!" teriak Mae di dalam kamarnya.
Seseorang yang dipanggil 'Ma' itu langsung menghampiri Mae yang tengah berdiri di depan cermin besar kamar Mae.
"Iya, Sayang. Mama ada di sini, kamu gak perlu teriak-teriak. Oke?" lembut Zaza, mamanya Mae.
Zaza melihat putrinya yang sedang memutar-mutarkan badan, hingga memperlihatkan baju putih berlengan panjang dan rok merah semata kaki yang dipakainya.
"Hehe, Ma ... lihat aku, dong! Aku cantik gak? Rambutku dikepang dua, tangan kiriku memakai gelang cantik dan ... aku memakai jepit rambut pink yang kemarin Mama beli di pasar malam lohh," tutur Mae sambil memperlihatkan semua yang ia sebut tadi.
"Masyaa Allah, anak mama cantik banget, seperti bidadari yang turun dari kayangan," puji Zaza, hingga membuat sang empu tersenyum malu-malu.
"Tapi, lebih cantik lagi kalau kamu pakai ini, Nak," imbuh Zaza sambil menyodorkan sebuah kerudung berwarna putih kepadanya.
"Yahhh, kalau aku pakai ini, nanti aku gak bisa pakai jepit rambut lagi dong, Ma. Nanti aku gak cantik lagi," protes Mae sambil mengentak kesal.
Mae mengembalikan kerudung tersebut kepada Zaza. Melihat itu, Zaza hanya menggeleng pelan dan tertawa kecil.
"Enggak, Sayang. Malahan kamu terlihat sangat cantik kalau pakai kerudung ini. Dengar, ya, Sayang! Allah menilai hambanya bukan dari kecantikan luarnya, Sayang. Tetapi, Allah menilai hambanya dari kecantikan hatinya," ujar Zaza sembari menunjukkan jari telunjuknya ke depan dada sang anak.
"Jadi ... Mae mau, yah, pakai ini," mohon Zaza sambil melepas jepitan pink milik Mae dan memakaikan kerudung kepada sang anak.
"Wah! Aku cantik banget, Ma. Makasih, ya. Aku janji, deh, bakal pake kerudung setiap hari," sorak Mae sambil memeluk mamanya dengan erat.
Zaza melepas pelukan Mae dan mengacungkan jari kelingkingnya di depan wajah sang anak. "Iya. Janji, ya, Sayang?"
"Janji!" balas Mae sambil menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking sang Mama tercinta.
"Mamaaaaaa!"
Mae mengatur napasnya yang tak beraturan. Ia terpaksa bangun dari tidur karena mimpinya barusan. Padahal, sudah seringkali mimpi tersebut terulang di sepanjang tidurnya. Ia selalu terngiang-ngiang tentang janji yang pernah ia ucapkan kepada mamanya.
"Kenapa mimpi itu terulang kembali? Gue capek hidup kayak gini."
"Ma, aku kangen banget. Hari ini, tepat satu bulan Mama pergi ninggalin aku sendiri di sini."
"Maaaa ... maafin aku. Maa ... aku kangen sama Mama." Gadis itu tak sanggup menahan kesedihan ini sendirian.
"Mama kenapa ninggalin aku? Mama udah gak sayang sama aku, ya? Aku bandel, ya? Jadi, Mama marah sama aku?"
"Maaf ... aku butuh pelampiasan, Ma."
Mae meremas kencang selimut yang menutupi sebagian tubuh rampingnya itu. Rutinitas setiap pagi, ia selalu merenungkan mimpi yang kembali terulang di tiap malam. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis yang bisa pecah kapan saja.
Akhirnya, tangis tersebut pecah juga. Mae menangis dalam kesunyian. Biasanya, orang-orang akan menyambut pagi dengan penuh kebahagiaan. Namun, hal itu tak berlaku bagi Mae. Tetesan demi tetesan air terus menerus keluar dari netra sayunya.
"Kok sakit, ya, Ma?"
"Dada aku nyeri banget, Ma."
Desiran rasa sakit menjalar di bagian dadanya. Sepertinya, bukan sakit berdasarkan diagnosis dokter. Namun, rasa sakit yang muncul di relung kalbunya.
Mae memukul pelan dadanya guna mengurangi rasa nyeri itu. "Apa aku harus nyusul Mama, ya?"
"Iya, aku harus nyusul Mama. Sabar, Ma. Sebentar lagi, kita akan berkumpul kembali."
"Tapi, gimana caranya?"
Matanya menelisik satu per satu benda yang ada di dalam kamar. Pandangannya terhenti tepat pada sebuah cutter yang tergeletak di atas meja hiasnya.
Langkah kakinya berjalan menuju meja hias tersebut. Senyum iblis terbit di bibir mungilnya. Tangannya segera menggapai benda yang membahayakan itu.
Sreekk!
Mae menggeser pengait cutter, sehingga menampakkan mata pisau yang terlihat tajam. Ia menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata untuk mengurangi rasa takut yang menguasai tubuhnya.
Tess.
Mae menggores tipis pergelangan tangan kiri bagian pinggirnya. Sedikit darah segar keluar dari goresan cutter tersebut. Denyutan nyeri mulai timbul. Ia meringis sambil menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit.
Tess.
"Allaahu Akbar! Allaahu Akbar!" Azan Subuh mulai berkumandang.
"Astagfirullah ...." Refleks, Mae melempar cutter yang ia gunakan untuk melancarkan aksi bunuh dirinya.
"Gue tadi ngapain?" Mae memukul-mukul kepalanya sendiri.
"GILA! Gue gak bisa ngontrol diri!"
"Ya Allah, maafkan hambamu ini."
❄❄❄
Mae menjentikkan jari jempol dan jari telunjuknya ke udara. "Ahaa! Coba gue cari di kolong ranjang."
Ia berlari kecil ke arah ranjang. Lalu, mengarahkan kepalanya ke kolong ranjang. Dan ...
"Nah, kan ... bener ketemu di sini. Gara-gara lo hilang, gue panik setengah hidup, tau gak? Ck! Parah!" Mae mengeluarkan kepalanya dari kolong ranjang itu.
Mae menggerutu kesal. Ia membanting-bantingkan kaos kaki putih dengan lambang SMA yang baru saja ia temukan tadi di kolong ranjang.
Mae tertawa kecil. "Dulu, kalau kaos kaki gue hilang. Ya, gue tinggal nanya Mama, pasti langsung ketemu."
"Semenjak Mama gak ada ... gue jadi lebih mandiri."
"Ini 'kan yang Mama mau? Aku udah jadi anak yang mandiri loh, Ma. Enggak manja lagi."
"Mama ... pulang, ya, please! Aku kangen banget."
"Aku rindu, Ma ...."
"Ini semua gara-gara dia!"
"Kenapa waktu itu Mama nurutin omongan si pelakor itu?"
"Kalo enggak, Mama gak bakal ketabrak dan meninggal seperti ini."
"Mama tau? Pasti mereka lagi senang-senang sekarang. Gak ada lagi yang ganggu hubungan mereka."
"Ini sakit, Ma. Lebih sakit dari luka sayatan tadi, Ma."
"Mama ...."
"Huffttt! Berantakan banget," keluh Mae saat melihat keadaan kamarnya.
Mae mulai merapikan pakaian yang berserakan di lantai ke dalam lemari baju miliknya. Kenangan yang terekam di memori otaknya, kembali berputar dengan sendirinya.
***
Ia memutar-mutarkan badannya ke kiri dan ke kanan sambil memuji diri sendiri. Tampak senyuman indah yang menghiasi wajah gadis bertubuh sedang dan bermata cokelat gelap itu, sehingga menambah kadar kecantikannya saat ini.
Untuk pertama kalinya, ia memakai baju putih berlengan pendek dan rok abu-abu sebatas lutut. Rambut hitam pekat sebahu yang sengaja ia gerai. Tampak poni bertengger di sebelah kanan keningnya. Tak lupa, jepit rambut berwarna pink yang ia selipkan di tepi rambut sebelah kanan.
"Oke, fiks. Sekarang nama lo Sasya, si dingin dan cuek, bukan lagi Mae yang cengeng dan sok peduli sama orang!" tegas Mae—ups, Sasya—sambil berkacak pinggang.
Setelah bermonolog cukup lama, ia pun melangkah keluar dari kamarnya. Ia berjalan dengan wajah menunduk.
Tuk!
"Aduuhh! Siapa yang naro tembok di sini, sih? Sakit, nih, jidat gue." Sasya mengusap pelan keningnya.
Gadis itu kembali berjalan menuju pintu kamar. Lalu, ia memutar knop pintu dengan rasa percaya diri. Ia berjalan melewati ruang keluarga yang disatukan dengan ruang tamu itu. Ia melangkah menuju pintu utama apartemennya.
Sasya menarik napas dan membuangnya. "Bismillah."
Cklek!
Seketika keringat membasahi pelipisnya. Tangannya mengepal kuat-kuat, seakan-akan ia siap meninju seseorang yang ada di depannya.
Siapa yang tidak bahagia memiliki saudara kembar yang identik?Semua orang pasti menjawab, "Ya, aku bahagia. Bahkan, sangat bahagia."Memang benar memiliki saudara kembar identik itu sangat menyenangkan. Ke mana-mana selalu berdua. Mengerjakan PR selalu bersama. Bahkan, sering kali mereka tidur dalam satu kamar.Akan tetapi, bagaimana rasanya jika suatu saat dibanding-bandingkan dengan kembarannya?Apa rasanya jika kasih sayang yang diberikan tidak seimbang?Pedih, perih, dan sakit. Mungkin ketiga kata itulah yang paling cocok untuk perasaan Arshad sekarang.Arshad tak minta dilahirkan ke dunia, tetapi Tuhan telah menakdirkan kehadirannya di sini, di dunia yang amat kejam baginya, di dunia yang penuh tekanan dan cacian untuknya.Terlahir dari keluarga kaya raya tak membuat hidupnya sedikit pun disinggahi kata damai. Hidup bergelimang harta tak membuat kese
Matahari tampak jelas semakin menjauh dari penglihatan seorang gadis cantik bernama Sasya. Rona merah jingga mulai menyelimuti langit ibukota Indonesia. Embusan angin sejuk terus menerpa tubuhnya. Dedaunan pohon menari-nari kala angin meniupnya.Sasya melirik jam yang ada si ponselnya. Sudah pukul 17.00 WIB rupanya. Ia telat pulang karena harus menghadiri rapat di ruangan OSIS tadi. Ini semua gara-gara Rendy. Sasya terus saja mencibir Rendy yang selalu lari dari tanggung jawabnya."Ish, ini kenapa pada di-cancel semua, sih?" gerutu Sasya saat melihat pesanan ojek online-nya kembali dibatalkan.Ini sudah yang kelima kalinya. Kenapa selalu ditolak? Sasya mencoba untuk memesan ojek online lagi. Ia berharap semoga ini menjadi kereta yang mengantarkannya pulang ke apartemen.Sasya mengusap kasar wajahnya. Ia mengentak kesal dengan keadaan. Lagi-lagi pesanannya ditolak. Benar-benar tak ada yang mengerti Sasya sekarang. Ia sudah lelah dan ingin segera reba
Selepas melaksanakan salat Zuhur, Dara dan Alma langsung menduduki sofa empuk di ruang keluarga rumah mewah milik Azhar. Mereka menonton televisi sambil berbincang-bincang untuk mengisi waktu luang mereka hari ini. Tak lupa juga keripik singkong balado sebagai pengganti pop corn seperti di bioskop-bioskop pada umumnya.Saat sedang tegang-tegangnya, acara sinetron itu bergeser menjadi penawaran sabun cuci piring yang terkenal di Indonesia. Dara menggeram kesal. Ia sedang asyik-asyiknya menonton, tiba-tiba berganti menjadi iklan seperti itu. Tak beda jauh dari Dara, Alma juga menggerutu tidak jelas sambil mencibir channel televisi yang sedang ditonton mereka sekarang.Saking emosinya, Dara sampai meninju-ninju bantal sofa yang ia letakkan di pangkuannya. Alma bergidik ngeri melihat kelakuan anaknya. Kesal boleh, tapi jangan sampai seperti itu juga kali, pikir Alma. Alma memperingatkan Dara supaya tenang dan tidak bertingkah aneh seperti tadi. Ia takut anaknya menjadi str
"Lo berdua mau pesen apa? Biar gue pesenin," ucap Ana saat baru sampai di kantin. Belum ada jawaban yang keluar dari bibir Sasya dan Tisa. Mereka sedang sibuk mencari tempat duduk yang kosong supaya bisa ditempati oleh ketiganya."Gue mie ayam sama es teh manis aja, deh," jawab Tisa sembari menarik tangan Sasya dan Ana untuk berjalan menuju pojok kantin. Hanya tersisa satu meja kosong yang bisa mereka tempati. Mereka duduk dengan posisi Ana berhadapan dengan Sasya dan Tisa."Gue pesen jus jeruk aja, ya," timpal Sasya dengan senyuman manisnya."Oke. Pake uang gue dulu. Jangan lupa ganti." Ana terkekeh. Sasya dan Tisa mengangguk. Ana melenggang pergi untuk memesan makanan dan minuman kepada Bu Endah, pemilik kantin.Sepeninggal Ana, Sasya dan Tisa tak henti-hentinya saling menyalurkan kerinduan. Mulai dari berpelukan, berbincang-bincang, tertawa, dan juga menangis karena bahagia. Sasya senang sekali bisa dip
"Ini sebenernya yang anak Bunda siapa, sih?" tanya El yang sudah jemu melihat kebersamaan Sasya dan Alma. Ia menatap jengkel Dara yang terus saja menertawakan nasibnya kali ini."Ututu ... anak Bunda yang satu ini lagi ngambek, toh." Tangan Alma terus saja menyisiri rambut hitam Sasya. Ia mulai mengepangi rambut Sasya seperti model daun.El melirik jam di pergelangan tangannya. "Sya, cepetan! Gue sebagai Ketos harus memberi contoh yang baik. Gak boleh telat.""Eh, kamu makan dulu, Arsa!" kata Alma sembari mengikat ujung rambut Sasya yang sudah dikepang. El melirik hidangan yang ada di hadapannya. Sedari tadi, ia hanya duduk di kursi tanpa tertarik untuk mencicipi masakan yang dibuat oleh Alma."Arsa gak nafsu, Bun," sahut El yang cemburu melihat kedekatan Sasya dan Alma.Arsa? Bukannya nama dia Kak El, ya? Ouh, mungkin Arsa itu nama panggilannya di rumah. Oh, iya. Tadi juga Kak Dara dipanggilnya Milka. Sasya membatin.
Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di tepi jalan raya. Kedua pintu mobil terbuka bersamaan. Menampilkan seorang lelaki dan perempuan dengan pakaian seiras yang melekat di tubuh keduanya. Ya, mereka El dan Dara. El yang berwajah datar itu mengitari mobil dan menghampiri Dara. Mereka berdua berjalan santai memasuki sebuah kedai bakso yang berada tepat di seberang apartemen terkenal di kota itu. Kedai Bakso Pak Malih. Tulisan yang tertera jelas di spanduk yang menggantung tepat di hadapan gerobak bakso tersebut. Banyak pengunjung yang berlalu lalang memasuki area itu. Hampir semua tempat duduk yang disediakan, telah ditempati oleh para pelanggan Kedai Bakso Pak Malih. Meja kedua dari pojok kedai itu tampak segerombolan perempuan sedang tertawa menanggapi lawakan dari satu temannya. Tatapan matanya bagaikan melepaskan kerinduan yang amat mendalam. Sepertinya, baru kali ini mereka kembali bersua. El dan Dara tampak kebingung