Share

Norak

Seketika keringat membasahi pelipisnya. Tangannya mengepal kuat-kuat, seakan-akan ia siap meninju seseorang yang ada di depannya. Ya, sekarang papanya sedang berdiri tegak di hadapan sambil menatap sendu.

Zhafran tetap diam di tempatnya berdiri. Namun, sorot matanya memperhatikan penampilan gadis yang ada di depannya. Ia melihat anaknya dari atas sampai bawah dengah raut wajah tak percaya. Pria itu pun mengeluarkan suara untuk memecah keheningan.

"Nak, kok kamu jadi begini? Mana kerudung kamu? Terus, ini baju kenapa pendek? Itu juga, kok roknya pendek banget?" tanya Zhafran sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah rambut, baju, dan rok anaknya secara bergantian.

Namun, Sasya hanya menatap dingin Sang Papa tanpa berniat menjawab rangkaian pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Ia mulai melangkah meninggalkan sang Papa yang mematung di sana. 

***

SMA Negeri Graha Gemilang, biasa disingkat menjadi SMA GG, merupakan salah satu sekolah favorit di daerah Jakarta. Sekolah bergengsi yang hanya bisa disinggahi oleh siswa-siswi berprestasi, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. 

Tampak gedung bertingkat dua berwarna putih dan bergaris abu-abu yang berjejer di sana. Tersedia pula, gazebo yang luas di halaman depan sekolah. Di sekitar gazebo, terdapat tanaman hias berwarna-warni yang menambah keindahan sekolah itu. Tak lupa, pepohonan kecil di pinggir gazebo yang menambah keasrian SMA GG. Gazebo dibangun guna membantu siswa-siswi agar lebih dekat dengan alam. 

Gadis itu hanya menatap datar bangunan tinggi yang ada di hadapannya sekarang. Ia telah sampai di sekolah beberapa menit yang lalu. Sedari tadi, ia hanya mematung di depan gerbang SMA GG. 

Gadis itu melewati gerbang dengan raut muka datar. Apakah ia tak terkejut sama sekali dengan keindahan sekolah itu? Atau ... ia hanya menjaga image agar tak terkesan norak? Ya, mungkin hanya dia dan Allah yang tahu jawabannya.

Sasya menghentikan langkahnya tepat di bawah lorong sekolah. Ia mengeluarkan ponsel berwarna hitam yang sedari tadi berada di dalam tasnya. Lalu, ia menekan tombol on di sisi kiri benda pipihnya tersebut. Ia menatap layar yang menampilkan gambar anak kecil berhijab cokelat susu, wanita paruh baya dengan hijab marun yang melekat di tubuhnya, dan pria paruh baya tengah merangkul pundak kedua perempuan itu.

"Baru jam setengah 7," gumam Sasya. 

Sasya mulai melangkah meninggalkan lorong itu. Tak lupa, ia memasukkan kembali ponsel yang sempat ia keluarkan tadi. Seketika ia menghentikan langkahnya saat ada gelombang suara yang masuk ke dalam telinganya. 

"Perhatian! Perhatian! Kepada seluruh peserta MPLS agar segera memasuki lapangan sekolah karena Apel Pembukaan MPLS akan dilaksanakan pada pukul 7 tepat. Untuk pembagian gugus, sudah kami beritahu lewat e-mail 2 hari yang lalu. Jadi, bagi peserta yang masih kesulitan menemukan kelasnya, harap datang ke sumber suara!" Sasya segera melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda. 

***

"Gugus 5," gumam Sasya saat membaca kertas pengumuman yang menempel di pintu kelas. 

Cklek!

Sasya menyapu pandangannya ke dalam ruangan yang ia singgahi sekarang. "Hmmm ... lumayan."

Di sana tampak tiga meja ke samping kiri dan lima meja ke belakang yang berbaris teratur. Terdapat beberapa tas yang ikut tersusun rapi di atas meja. Ia berjalan melewati dua meja yang terletak di samping pintu itu. Lalu, ia menghentikan langkahnya di pinggir meja ketiga dan menaruh tas di atas meja tersebut. 

Sasya mengambil ponsel dari dalam tas dan menaruhnya ke saku kiri rok yang ia kenakan. Kemudian, ia segera bergegas menuju lapangan sekolah. 

***

Sasya mengedarkan pandangannya ke arah kanan dan kiri secara bergantian. Ia melihat banyak orang yang mengenakan seragam persis seperti dirinya. Beberapa dari mereka ada yang berlari kencang dan ada yang berlari-lari kecil untuk menuju lapangan. Ia juga melihat beberapa orang yang berjalan santai dengan pandangan mata tak lepas dari ponsel. 

Sasya hanya menatap datar orang-orang tersebut. Tak sedikit pun senyum terlukis di wajah cantiknya. Tak ingin berlama-lama, ia segera memasuki lapangan yang hampir dipenuhi oleh para peserta MPLS itu. 

"Ehm ... selamat pagi!" sapa Ari yang tengah menggenggam mikrofon. 

Seketika, para peserta memusatkan pandangannya pada pria yang berdiri membelakangi tiang bendera itu. 

"Pagi, Kak!" balas segerombolan gadis yang berada di tengah lapangan sambil memasukkan ponsel ke dalam saku baju mereka. 

Ari cemberut. "Kok cuma sedikit, sih, yang jawab?"

"Ulangi lagi, ya," pinta Ari. 

"Selamat pagi!" ulang Ari dengan suara yang sedikit meninggi agar semua peserta dapat mendengar suaranya. 

"Pagi, Kak!" jawab para peserta MPLS. 

Ari mengangguk. "Oke, terima kasih atas perhatiannya. Pukul 7 tepat, bel sekolah akan berbunyi. Apel Pembukaan MPLS akan dilaksanakan setelah bel sekolah berbunyi. Jadi, segera masuk ke barisan sesuai gugusnya, ya!" 

***

Pemuda berjas biru dongker mengambil alih mikrofon. "Seluruh peserta MPLS segera memasuki aula di samping perpustakaan!" 

"Baik, Kak," jawab sebagian peserta MPLS. 

Ari menepuk bahu tegap milik pemuda itu. "Udah, Bro?"

Pemuda itu mengangguk. Ia mengembalikan mikrofon kepada petugas pengurus audio di dekat sumber suara. Lalu, ia melenggang pergi menuju aula. Ari pun berlari kecil untuk menyamakan langkahnya karena tinggi badan Ari hanya sebatas telinga lelaki itu. 

Sesampainya di depan aula, mereka mendudukkan bokongnya di atas bangku panjang. Lelaki pemilik netra cokelat terang itu mengambil benda pipih dari saku jasnya dan mulai hanyut ke dalam dunia maya. 

"El, gue pergi ke kantin dulu, ya. Perut gue gak bisa diajak kompromi, nih. Lo mau ikut gak?" tanya Ari kepada El yang sedang fokus pada benda pipihnya. 

El mendongak dan menggeleng sebagai jawaban. Ari membuang napas gusar sambil berjalan menuju kantin. 

Mengapa sahabatnya ini selalu hemat bicara? Apakah ada tagihan menanti saat El berbicara? Atau ... El bisu? pikir Ari. Oh, tentu tidak. Tadi, El sempat mengucapkan sembilan kata di lapangan, sanggah Ari di dalam hati. 

***

Sasya berjalan menuju aula yang terletak di samping perpustakaan. Sesampainya di ambang pintu aula, ia hanya melihat beberapa peserta yang sedang duduk di sana. 

Sasya mengarahkan langkahnya menuju pojok kiri aula paling belakang. Lalu, ia mendudukkan tubuhnya dan mengeluarkan benda persegi panjang dari saku kiri roknya. 

Sasya mulai fokus berselancar di akun media sosial miliknya. Sampai lupa, bahwa sekarang ia sedang berada di dunia nyata. 

"Hai! Nama gue Zelda Alviana. Biasa dipanggil Ana," sapa gadis bertubuh ramping. 

Ana mengulurkan tangan kanannya ke depan wajah Sasya karena posisinya sedang membungkuk di hadapan gadis itu. Ia berharap agar tangannya disambut hangat oleh gadis yang sedang duduk di hadapannya. 

Sasya mendongak. "Sasya."

Sasya tak berniat sedikit pun membalas uluran tangan Ana. Setelah menyebutkan namanya secara singkat, ia kembali memusatkan perhatiannya pada benda pipih yang tengah ia genggam. 

Gadis berambut hitam kecokelatan itu pun tersenyum. Lalu, ia mendudukkan tubuh rampingnya di samping Sasya. Ia berusaha membuang rasa sedikit kecewa yang hadir di dalam hatinya. 

Tak ada satu pun yang mengeluarkan suara di antara mereka berdua. Hingga suara mikrofon dari depan aula memecah kecanggungan dua gadis tersebut. 

"Ehmm ... ehem ... cek, cek ... satu, dua, tiga ... oke, bagus."

"Assalamualaikum, Adek-Adek!" sapa Ari bersemangat diiringi senyuman manis yang selalu menghiasi wajah tampannya.

"Wa'alaikumussalam, Kakak-Kakak." Ari tertawa kecil mendengar ucapan adik kelasnya itu. 

"Sebelumnya, Kakak ucapkan terima kasih kepada kalian semua yang sudah hadir di sini. Perkenalkan nama Kakak, Ari Adrian Akbar. Biar akrab panggil aja Kak Ari atau Kakak ganteng," canda Ari sambil menyapu rambutnya ke belakang dengan tangan kanannya. 

"Huuuuuuuuu ...!" sorak beberapa orang yang ada di situ. 

Ari menggaruk leher belakangnya yang tak gatal. "Hehe, maaf, maaf. Tadi Kakak cuma bercanda. Tapi, kalau mau serius juga gak papa, sih. Hehehe." 

Ari menormalkan mimik wajah gugupnya itu. "Di sini, Kakak menjabat sebagai wakil ketua OSIS."

"Oke, tak perlu basa-basi lagi, langsung saja kita mulai MPLS hari ini," imbuh Ari sambil menepukkan kedua tangannya. 

Seluruh peserta ikut menepukkan kedua tangan mereka, sehingga menciptakan suasana meriah di dalam aula tersebut. Namun, hal itu tak berlaku bagi Sasya. Ia hanya berdecak kesal, kenapa semua penghuni aula ini sangat norak?

"Baik, acara pertama adalah sambutan dari Kepala Sekolah SMA Negeri Graha Gemilang. Kepadanya kami persilakan," sorak Ari yang disusul riuhan tepuk tangan penghuni aula. 

***

Hari pertama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah berjalan dengan lancar. Tak terasa, jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 siang. Bel pulang pun sudah berbunyi, menandakan bahwa acara hari ini sudah selesai. 

"Alhamdulillah, MPLS hari ini berjalan dengan lancar. Besok kegiatannya hampir sama seperti tadi, ya, tapi ada sedikit games dari kami. Cukup sekian, mohon maaf atas segala kekurangannya. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," jelas Ari. 

"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh." Suara menggema di dalam aula. 

Semua penghuni aula segera pergi meninggalkan tempat itu. 

***

El sedang berjalan ke arah parkiran sekolah untuk mengambil motor kesayangan. Jari telunjuk remaja itu terus memutar-mutarkan gantungan kunci motor miliknya. Tiba-tiba ....

Bruk! 

Badan El terhuyung ke depan, hingga kedua telapak tangan dan lutut kirinya mencium tanah. El mendongak ingin melihat siapa yang menabraknya, hingga jatuh seperti ini. Remaja itu melihat gadis cantik, bertubuh sedang, bermata cokelat, dan rambut sebahu sedang mengulurkan tangan kanan di hadapan wajahnya. 

El tak menyambut uluran tangan gadis putih itu. Ia berusaha untuk bangkit sendiri sambil membersihkan pakaian yang sedikit kotor. El melangkah menuju parkiran. Tak disangka, sudut kanan bibirnya terangkat, hingga membentuk bulan sabit.

"Sorry," gumam Sasya saat menatap datar punggung El yang mulai menjauh dari hadapannya.

Gadis yang tak sengaja menabrak El adalah Sasya. Saat berjalan menuju gerbang sekolah, ia sengaja memainkan ponsel agar mengusir rasa bosan yang melanda. Maka dari itu, Sasya tidak memperhatikan sesuatu yang ada di depannya. Ia hanya fokus menunduk dan menatap benda pipih itu. 

Sasya menurunkan tangannya yang disia-siakan oleh pemuda itu. "Cowok tadi siapa, ya?" 

"Sumpah ... gue gak asing sama mukanya."

"Kayanya pernah ketemu. Tapi ... di mana?" Sasya berpikir sambil mengetuk-ngetuk jari telunjuk di dagunya.

"Ini, nih. Kekurangan gue dari dulu, kagak pernah berubah."

"Beginilah nasib orang pelupa. Ck! Sabar, sabar!" Sasya mengusap-usap dadanya. 

Gadis berpipi chubby itu melenggang pergi menuju gerbang depan sekolah. Ia kembali mengotak-atikkan ponsel saat sampai di sana. 

"Neng Sasya, ya?" tanya pengemudi ojek online kepada gadis yang ada di hadapannya. 

Gadis itu hanya menggangguk dan segera mengempaskan bobot tubuhnya di jok motor bagian belakang milik pengemudi ojek online tersebut. 

"Sudah, Pak," ucap Sasya yang hanya dibalas anggukan oleh si pemilik motor itu.

Perlahan, motor yang Sasya tumpangi mulai menjauh dari gedung tingkat berwarna putih dan bergaris abu-abu itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status