Kehilangan Mama tercinta, membuat Maesya semakin jauh dari kata ketataan. Rambut yang dulu terbalut hijab, kini terurai bebas. Sifatnya yang dulu ceria, kini sudah suram. Bahkan, ia tak sudi lagi tinggal serumah dengan papanya. SMA GG menjadi saksi bisu pertemuannya dengan El, si cowok dingin yang menjadi idola kaum hawa di sekolah. El juga menjabat sebagai Ketua OSIS di sana. Tak disangka, pertemuan keduanya perlahan mengungkap kebenaran-kebenaran yang sudah tertutup rapat di masa lalunya. Bahkan, bukti-bukti kebohongan yang tersembunyi pun mulai terlihat. Siapakah dalang di balik kematian mama Maesya? Apakah ada hubungannya dengan orang terdekat? Atau, bahkan teman-temannya? Akankah hubungan mereka akan terganggu karena masa lalu kelam keduanya?
Lihat lebih banyak"Dokter! Dokter!"
Kesunyian di ruangan serba putih dengan bau obat-obatan yang menyeruak, tiba-tiba menjadi riuh saat gadis berhijab putih itu berteriak-teriak memanggil Dokter. Gadis itu menekan-nekan tombol pemanggil yang ada di sisi kiri brankar.
Cairan bening mengalir deras di kedua pipi gadis itu. Mata merah dan bengkak tak luput ikut terpatri di wajah cantiknya. Suara raungan kian mengeras tersebar di seluruh penjuru ruangan. Hati dan raga tak kuasa menatap layar monitor yang menampilkan garis lurus. Ia menggeleng, berharap bahwa semua ini hanya ilusi belaka.
Sorot netra cokelat gelap milik gadis itu mengarah pada pria berjas putih yang baru saja membuka pintu. Di belakangnya ada wanita yang memakai seragam serba putih, sepertinya ia perawat di rumah sakit ini. Pria itu berlari kecil menghampiri wanita yang terbaring lemah di atas brankar. Berbagai macam selang terpasang di sekujur tubuh wanita itu.
Pandangan pria itu mengarah pada gadis yang memakai baju putih dan rok biru. "Mae, kamu keluar dulu, ya. Biar saya periksa keadaan ibu kamu dulu."
Mae mengangguk pelan dan melangkah menuju pintu dengan perasaan berkecamuk. Badannya lemas, tak kuasa menghadapi semua ini. Orang yang ia sayangi sedang berjuang mempertahankan hidup. Ia tertatih-tatih melangkah dengan penglihatan yang kian berembun. Kelopak matanya siap menumpahkan kembali genangan air yang menutupi separuh penglihatannya.
Kakinya sangat berat untuk diangkat. Tangan yang semula berpegangan di sisi tembok, sekarang ikut terjatuh ke atas pijakan putih. Ia menangis tersedu-sedu dengan tangan yang terus memukuli lantai putih yang tak bersalah itu. Khawatir, takut, sedih, kecewa, berbagai macam rasa menghinggapi pikirannya kali ini.
Gadis cantik itu berusaha menaikkan tubuhnya ke atas kursi tunggu, di sisi kiri pintu ruang rawat. Ia mengangkat tangan, lalu merapalkan segala doa-doa dari bibirnya. Ia memohon kesembuhan untuk sang Mama kepada Allah, Tuhan yang menciptakan alam semesta. Tak henti-hentinya rangkaian doa senantiasa keluar dari mulut si gadis malang.
Hingga pria berjas putih yang kerap disapa Pak Dokter, mampu mengalihkan perhatian sang gadis. Gadis itu segera menghapus buliran air yang setia mengalir di pipinya. Ia menormalkan kembali kinerja sistem pernapasannya yang sempat terengah-engah.
Mae berjalan menghampiri Pak Dokter dan berdiri di hadapannya. Ia melihat raut wajah pria itu yang menampakkan kesedihan yang amat mendalam. Takut. Gadis itu semakin takut melihat ekspresi Dokter yang seperti ini.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi pada Mama? Kenapa Pak Dokter keluar ruangan dengan muka tak bersahabat?" batin gadis itu. Segera ia buang jauh-jauh pemikiran yang menyesakkan dada.
Dokter itu menghela napas berat. "Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, takdir berkata lain. Maaf sekali lagi, Mae. Ibumu sudah meninggal dunia."
Hati Mae bagaikan ditikam jutaan belati. Ribuan bom serasa meledak di dadanya. Kelopak matanya tak mampu menahan air mata yang lagi dan lagi terjun bebas di kedua pipinya. Ia mengguncangkan tubuh Pak Dokter, agar Pak Dokter bilang bahwa berita tadi hanyalah kebohongan belaka. Pria itu menggeleng, seakan-akan tahu hal yang mengganjal di hati Mae.
"Sabar, Mae. Allah lebih sayang sama ibumu. Sekarang ibumu sudah tidak merasakan sakit lagi. Selang-selang itu sudah tidak terpasang lagi di tubuhnya," ujar pria itu menenangkan Mae.
"Kamu yang sabar, ya. Saya yakin kamu perempuan kuat. Kamu masih muda. Perjalananmu masih panjang. Jadi, kejarlah cita-citamu supaya ibumu bangga terhadapmu," imbuhnya dengan nada suara yang lebih tinggi, berusaha menyemangati si gadis.
Mae mengangguk lemas, walau hatinya tak ikhlas. Ia melangkahkan menuju ruang rawat sang Mama. Perlahan-lahan berjalan sambil memegangi kepalanya yang sedikit pusing. Pandangannya mulai berkunang-kunang, tetapi ia tetap paksakan untuk melangkah.
Manik matanya menatap seseorang yang tertutup dengan kain putih. Ya, dia mamanya Mae yang telah tiada. Meninggalkan si gadis malang di sini untuk selama-lamanya. Setelah 6 bulan berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Namun, semua itu sia-sia.
Matanya melotot dan melayangkan tatapan tajam ke arah pintu. Ada kerutan di antara kedua alisnya. Tangannya bergetar dan perlahan tertutup, hingga membentuk dua buah kepalan yang kuat. Wajahnya semakin memerah padam. Ada dendam terselubung di relung kalbunya.
"Saya akan mencarimu sampai ke ujung dunia sekali pun!" batin Mae dengan deruan napas yang menggebu-gebu.
"Kau membuat mamaku meninggal. Maka kau harus menanggung semua akibatnya!" teriak Mae menggema di dalam ruangan tempatnya berdiri.
Dadanya sesak kala menatap jasad sang Mama yang sudah tak bernyawa. Selangkah demi selangkah ia lakukan untuk mengikis jarak dengan sang Mama. Ia mendekap tubuh mamanya untuk yang terakhir kalinya. Kain putih yang menutup tubuh wanita itu semakin lama semakin basah. Air matanya kembali mengalir tanpa permisi.
"I love you, Ma. I can't stop loving you. Terima kasih, sudah menjadi sosok ibu yang baik buat aku," lirih Mae seraya mengurai pelukannya.
Mae terduduk lemas di lantai. Gadis 15 tahun itu meletakkan kepalanya di antara lekukan kedua kakinya. Ia menangis sejadi-jadinya meratapi kepergian sang Mama tercinta. Deraian air mata mengiringi kemalangan nasibnya saat ini.
"Sayang."
Mae mendongak.
"Stop! Jangan mendekat! Gara-gara Anda, Mama saya meninggal!" bentak Mae menyiratkan kemurkaan yang luar biasa pada wanita yang baru saja masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Sabar, Sayang. Kamu harus ikhlas. Biarkan mamamu pergi dengan tenang." Tangan wanita tersebut terulur untuk mengusap kepala Mae yang terbalut hijab.
Mae menepis kasar belaian tersebut. "Gak usah sok baik sama saya. Coba saja waktu itu Anda tidak menyuruh kami menginap di rumah Anda. Pasti mama saya masih hidup sampai sekarang."
"Tante gak bermaksud seperti itu, Sayang. Ini sudah takdir. Kita gak bisa mengelak takdir kematian ini," lirih wanita itu.
Mae tertawa hambar. "Oh, gitu, ya? Gak usah sok alim di depan saya. Ini 'kan yg Anda mau? Menyingkirkan mama saya, supaya Anda bebas menjalin hubungan dengan papa saya. Iya, 'kan?"
Mae tersenyum kecut menatap wanita yang tengah menggeleng itu. "Mana ada maling ngaku maling?"
"Kejadian malam itu gak akan pernah saya lupakan. Malam tragis yang membuat mama saya koma dan berakhir merenggut nyawa mama saya. Saya harus mencari orang yang mengendarai mobil itu. Ini janji saya. Saya akan jebloskan dia ke penjara!" tegas Mae dengan napas yang tak beraturan.
Mae berlari kencang setelah menutup kasar pintu ruang rawat inap tersebut. Mae tak peduli dengan teriakan dari lawan bicaranya tadi. Sesekali gadis itu tak sengaja menabrak pejalan kaki di koridor rumah sakit. Ia ingin mencari ketenangan, ia berusaha untuk menerima semua takdir ini. Namun, hal itu mustahil. Mae tak sanggup menerimanya.
Di sisi lain, wanita tersebut menghela napas lelah. Tak mungkin ia sanggup mengejar Mae, sedangkan dirinya sedang berbadan dua. Ia mengusap pelan perutnya yang sudah membesar, tapi tertutup dengan jilbab. Air mata terus menerus mengalir di pipinya. Namun, dengan segera ia menghapus jejak linangan air mata tersebut.
"Maafkan Tante, Sayang. Suatu saat kamu akan tahu tentang kebenarannya."
Siapa yang tidak bahagia memiliki saudara kembar yang identik?Semua orang pasti menjawab, "Ya, aku bahagia. Bahkan, sangat bahagia."Memang benar memiliki saudara kembar identik itu sangat menyenangkan. Ke mana-mana selalu berdua. Mengerjakan PR selalu bersama. Bahkan, sering kali mereka tidur dalam satu kamar.Akan tetapi, bagaimana rasanya jika suatu saat dibanding-bandingkan dengan kembarannya?Apa rasanya jika kasih sayang yang diberikan tidak seimbang?Pedih, perih, dan sakit. Mungkin ketiga kata itulah yang paling cocok untuk perasaan Arshad sekarang.Arshad tak minta dilahirkan ke dunia, tetapi Tuhan telah menakdirkan kehadirannya di sini, di dunia yang amat kejam baginya, di dunia yang penuh tekanan dan cacian untuknya.Terlahir dari keluarga kaya raya tak membuat hidupnya sedikit pun disinggahi kata damai. Hidup bergelimang harta tak membuat kese
Matahari tampak jelas semakin menjauh dari penglihatan seorang gadis cantik bernama Sasya. Rona merah jingga mulai menyelimuti langit ibukota Indonesia. Embusan angin sejuk terus menerpa tubuhnya. Dedaunan pohon menari-nari kala angin meniupnya.Sasya melirik jam yang ada si ponselnya. Sudah pukul 17.00 WIB rupanya. Ia telat pulang karena harus menghadiri rapat di ruangan OSIS tadi. Ini semua gara-gara Rendy. Sasya terus saja mencibir Rendy yang selalu lari dari tanggung jawabnya."Ish, ini kenapa pada di-cancel semua, sih?" gerutu Sasya saat melihat pesanan ojek online-nya kembali dibatalkan.Ini sudah yang kelima kalinya. Kenapa selalu ditolak? Sasya mencoba untuk memesan ojek online lagi. Ia berharap semoga ini menjadi kereta yang mengantarkannya pulang ke apartemen.Sasya mengusap kasar wajahnya. Ia mengentak kesal dengan keadaan. Lagi-lagi pesanannya ditolak. Benar-benar tak ada yang mengerti Sasya sekarang. Ia sudah lelah dan ingin segera reba
Selepas melaksanakan salat Zuhur, Dara dan Alma langsung menduduki sofa empuk di ruang keluarga rumah mewah milik Azhar. Mereka menonton televisi sambil berbincang-bincang untuk mengisi waktu luang mereka hari ini. Tak lupa juga keripik singkong balado sebagai pengganti pop corn seperti di bioskop-bioskop pada umumnya.Saat sedang tegang-tegangnya, acara sinetron itu bergeser menjadi penawaran sabun cuci piring yang terkenal di Indonesia. Dara menggeram kesal. Ia sedang asyik-asyiknya menonton, tiba-tiba berganti menjadi iklan seperti itu. Tak beda jauh dari Dara, Alma juga menggerutu tidak jelas sambil mencibir channel televisi yang sedang ditonton mereka sekarang.Saking emosinya, Dara sampai meninju-ninju bantal sofa yang ia letakkan di pangkuannya. Alma bergidik ngeri melihat kelakuan anaknya. Kesal boleh, tapi jangan sampai seperti itu juga kali, pikir Alma. Alma memperingatkan Dara supaya tenang dan tidak bertingkah aneh seperti tadi. Ia takut anaknya menjadi str
"Lo berdua mau pesen apa? Biar gue pesenin," ucap Ana saat baru sampai di kantin. Belum ada jawaban yang keluar dari bibir Sasya dan Tisa. Mereka sedang sibuk mencari tempat duduk yang kosong supaya bisa ditempati oleh ketiganya."Gue mie ayam sama es teh manis aja, deh," jawab Tisa sembari menarik tangan Sasya dan Ana untuk berjalan menuju pojok kantin. Hanya tersisa satu meja kosong yang bisa mereka tempati. Mereka duduk dengan posisi Ana berhadapan dengan Sasya dan Tisa."Gue pesen jus jeruk aja, ya," timpal Sasya dengan senyuman manisnya."Oke. Pake uang gue dulu. Jangan lupa ganti." Ana terkekeh. Sasya dan Tisa mengangguk. Ana melenggang pergi untuk memesan makanan dan minuman kepada Bu Endah, pemilik kantin.Sepeninggal Ana, Sasya dan Tisa tak henti-hentinya saling menyalurkan kerinduan. Mulai dari berpelukan, berbincang-bincang, tertawa, dan juga menangis karena bahagia. Sasya senang sekali bisa dip
"Ini sebenernya yang anak Bunda siapa, sih?" tanya El yang sudah jemu melihat kebersamaan Sasya dan Alma. Ia menatap jengkel Dara yang terus saja menertawakan nasibnya kali ini."Ututu ... anak Bunda yang satu ini lagi ngambek, toh." Tangan Alma terus saja menyisiri rambut hitam Sasya. Ia mulai mengepangi rambut Sasya seperti model daun.El melirik jam di pergelangan tangannya. "Sya, cepetan! Gue sebagai Ketos harus memberi contoh yang baik. Gak boleh telat.""Eh, kamu makan dulu, Arsa!" kata Alma sembari mengikat ujung rambut Sasya yang sudah dikepang. El melirik hidangan yang ada di hadapannya. Sedari tadi, ia hanya duduk di kursi tanpa tertarik untuk mencicipi masakan yang dibuat oleh Alma."Arsa gak nafsu, Bun," sahut El yang cemburu melihat kedekatan Sasya dan Alma.Arsa? Bukannya nama dia Kak El, ya? Ouh, mungkin Arsa itu nama panggilannya di rumah. Oh, iya. Tadi juga Kak Dara dipanggilnya Milka. Sasya membatin.
Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di tepi jalan raya. Kedua pintu mobil terbuka bersamaan. Menampilkan seorang lelaki dan perempuan dengan pakaian seiras yang melekat di tubuh keduanya. Ya, mereka El dan Dara. El yang berwajah datar itu mengitari mobil dan menghampiri Dara. Mereka berdua berjalan santai memasuki sebuah kedai bakso yang berada tepat di seberang apartemen terkenal di kota itu. Kedai Bakso Pak Malih. Tulisan yang tertera jelas di spanduk yang menggantung tepat di hadapan gerobak bakso tersebut. Banyak pengunjung yang berlalu lalang memasuki area itu. Hampir semua tempat duduk yang disediakan, telah ditempati oleh para pelanggan Kedai Bakso Pak Malih. Meja kedua dari pojok kedai itu tampak segerombolan perempuan sedang tertawa menanggapi lawakan dari satu temannya. Tatapan matanya bagaikan melepaskan kerinduan yang amat mendalam. Sepertinya, baru kali ini mereka kembali bersua. El dan Dara tampak kebingung
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen