"Dokter! Dokter!"
Kesunyian di ruangan serba putih dengan bau obat-obatan yang menyeruak, tiba-tiba menjadi riuh saat gadis berhijab putih itu berteriak-teriak memanggil Dokter. Gadis itu menekan-nekan tombol pemanggil yang ada di sisi kiri brankar.
Cairan bening mengalir deras di kedua pipi gadis itu. Mata merah dan bengkak tak luput ikut terpatri di wajah cantiknya. Suara raungan kian mengeras tersebar di seluruh penjuru ruangan. Hati dan raga tak kuasa menatap layar monitor yang menampilkan garis lurus. Ia menggeleng, berharap bahwa semua ini hanya ilusi belaka.
Sorot netra cokelat gelap milik gadis itu mengarah pada pria berjas putih yang baru saja membuka pintu. Di belakangnya ada wanita yang memakai seragam serba putih, sepertinya ia perawat di rumah sakit ini. Pria itu berlari kecil menghampiri wanita yang terbaring lemah di atas brankar. Berbagai macam selang terpasang di sekujur tubuh wanita itu.
Pandangan pria itu mengarah pada gadis yang memakai baju putih dan rok biru. "Mae, kamu keluar dulu, ya. Biar saya periksa keadaan ibu kamu dulu."
Mae mengangguk pelan dan melangkah menuju pintu dengan perasaan berkecamuk. Badannya lemas, tak kuasa menghadapi semua ini. Orang yang ia sayangi sedang berjuang mempertahankan hidup. Ia tertatih-tatih melangkah dengan penglihatan yang kian berembun. Kelopak matanya siap menumpahkan kembali genangan air yang menutupi separuh penglihatannya.
Kakinya sangat berat untuk diangkat. Tangan yang semula berpegangan di sisi tembok, sekarang ikut terjatuh ke atas pijakan putih. Ia menangis tersedu-sedu dengan tangan yang terus memukuli lantai putih yang tak bersalah itu. Khawatir, takut, sedih, kecewa, berbagai macam rasa menghinggapi pikirannya kali ini.
Gadis cantik itu berusaha menaikkan tubuhnya ke atas kursi tunggu, di sisi kiri pintu ruang rawat. Ia mengangkat tangan, lalu merapalkan segala doa-doa dari bibirnya. Ia memohon kesembuhan untuk sang Mama kepada Allah, Tuhan yang menciptakan alam semesta. Tak henti-hentinya rangkaian doa senantiasa keluar dari mulut si gadis malang.
Hingga pria berjas putih yang kerap disapa Pak Dokter, mampu mengalihkan perhatian sang gadis. Gadis itu segera menghapus buliran air yang setia mengalir di pipinya. Ia menormalkan kembali kinerja sistem pernapasannya yang sempat terengah-engah.
Mae berjalan menghampiri Pak Dokter dan berdiri di hadapannya. Ia melihat raut wajah pria itu yang menampakkan kesedihan yang amat mendalam. Takut. Gadis itu semakin takut melihat ekspresi Dokter yang seperti ini.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi pada Mama? Kenapa Pak Dokter keluar ruangan dengan muka tak bersahabat?" batin gadis itu. Segera ia buang jauh-jauh pemikiran yang menyesakkan dada.
Dokter itu menghela napas berat. "Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, takdir berkata lain. Maaf sekali lagi, Mae. Ibumu sudah meninggal dunia."
Hati Mae bagaikan ditikam jutaan belati. Ribuan bom serasa meledak di dadanya. Kelopak matanya tak mampu menahan air mata yang lagi dan lagi terjun bebas di kedua pipinya. Ia mengguncangkan tubuh Pak Dokter, agar Pak Dokter bilang bahwa berita tadi hanyalah kebohongan belaka. Pria itu menggeleng, seakan-akan tahu hal yang mengganjal di hati Mae.
"Sabar, Mae. Allah lebih sayang sama ibumu. Sekarang ibumu sudah tidak merasakan sakit lagi. Selang-selang itu sudah tidak terpasang lagi di tubuhnya," ujar pria itu menenangkan Mae.
"Kamu yang sabar, ya. Saya yakin kamu perempuan kuat. Kamu masih muda. Perjalananmu masih panjang. Jadi, kejarlah cita-citamu supaya ibumu bangga terhadapmu," imbuhnya dengan nada suara yang lebih tinggi, berusaha menyemangati si gadis.
Mae mengangguk lemas, walau hatinya tak ikhlas. Ia melangkahkan menuju ruang rawat sang Mama. Perlahan-lahan berjalan sambil memegangi kepalanya yang sedikit pusing. Pandangannya mulai berkunang-kunang, tetapi ia tetap paksakan untuk melangkah.
Manik matanya menatap seseorang yang tertutup dengan kain putih. Ya, dia mamanya Mae yang telah tiada. Meninggalkan si gadis malang di sini untuk selama-lamanya. Setelah 6 bulan berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Namun, semua itu sia-sia.
Matanya melotot dan melayangkan tatapan tajam ke arah pintu. Ada kerutan di antara kedua alisnya. Tangannya bergetar dan perlahan tertutup, hingga membentuk dua buah kepalan yang kuat. Wajahnya semakin memerah padam. Ada dendam terselubung di relung kalbunya.
"Saya akan mencarimu sampai ke ujung dunia sekali pun!" batin Mae dengan deruan napas yang menggebu-gebu.
"Kau membuat mamaku meninggal. Maka kau harus menanggung semua akibatnya!" teriak Mae menggema di dalam ruangan tempatnya berdiri.
Dadanya sesak kala menatap jasad sang Mama yang sudah tak bernyawa. Selangkah demi selangkah ia lakukan untuk mengikis jarak dengan sang Mama. Ia mendekap tubuh mamanya untuk yang terakhir kalinya. Kain putih yang menutup tubuh wanita itu semakin lama semakin basah. Air matanya kembali mengalir tanpa permisi.
"I love you, Ma. I can't stop loving you. Terima kasih, sudah menjadi sosok ibu yang baik buat aku," lirih Mae seraya mengurai pelukannya.
Mae terduduk lemas di lantai. Gadis 15 tahun itu meletakkan kepalanya di antara lekukan kedua kakinya. Ia menangis sejadi-jadinya meratapi kepergian sang Mama tercinta. Deraian air mata mengiringi kemalangan nasibnya saat ini.
"Sayang."
Mae mendongak.
"Stop! Jangan mendekat! Gara-gara Anda, Mama saya meninggal!" bentak Mae menyiratkan kemurkaan yang luar biasa pada wanita yang baru saja masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Sabar, Sayang. Kamu harus ikhlas. Biarkan mamamu pergi dengan tenang." Tangan wanita tersebut terulur untuk mengusap kepala Mae yang terbalut hijab.
Mae menepis kasar belaian tersebut. "Gak usah sok baik sama saya. Coba saja waktu itu Anda tidak menyuruh kami menginap di rumah Anda. Pasti mama saya masih hidup sampai sekarang."
"Tante gak bermaksud seperti itu, Sayang. Ini sudah takdir. Kita gak bisa mengelak takdir kematian ini," lirih wanita itu.
Mae tertawa hambar. "Oh, gitu, ya? Gak usah sok alim di depan saya. Ini 'kan yg Anda mau? Menyingkirkan mama saya, supaya Anda bebas menjalin hubungan dengan papa saya. Iya, 'kan?"
Mae tersenyum kecut menatap wanita yang tengah menggeleng itu. "Mana ada maling ngaku maling?"
"Kejadian malam itu gak akan pernah saya lupakan. Malam tragis yang membuat mama saya koma dan berakhir merenggut nyawa mama saya. Saya harus mencari orang yang mengendarai mobil itu. Ini janji saya. Saya akan jebloskan dia ke penjara!" tegas Mae dengan napas yang tak beraturan.
Mae berlari kencang setelah menutup kasar pintu ruang rawat inap tersebut. Mae tak peduli dengan teriakan dari lawan bicaranya tadi. Sesekali gadis itu tak sengaja menabrak pejalan kaki di koridor rumah sakit. Ia ingin mencari ketenangan, ia berusaha untuk menerima semua takdir ini. Namun, hal itu mustahil. Mae tak sanggup menerimanya.
Di sisi lain, wanita tersebut menghela napas lelah. Tak mungkin ia sanggup mengejar Mae, sedangkan dirinya sedang berbadan dua. Ia mengusap pelan perutnya yang sudah membesar, tapi tertutup dengan jilbab. Air mata terus menerus mengalir di pipinya. Namun, dengan segera ia menghapus jejak linangan air mata tersebut.
"Maafkan Tante, Sayang. Suatu saat kamu akan tahu tentang kebenarannya."
Brum! Brum!Deruan motor yang saling beradu, semakin terdengar suaranya. Kumpulan remaja bersorak ria menyaksikan acara balap motor yang akan segera dimulai. Suasana gelap dan keadaan yang ricuh menambah keseruan mereka.Tampak seorang laki-laki yang duduk di jok motor balap berwarna merah tengah memainkan gas motornya. Tak lupa juga, lawan main di sampingnya yang merupakan seorang perempuan."Satu!""Dua!""Tiga!"Seorang wanita berpakaian kurang bahan mengibarkan bendera hitam putih yang ia pegang. Itu tandanya, balapan sudah dimulai. Dengan sekuat tenaga, kedua pengendara itu saling beradu kecepatan.Sorakan para pendukung semakin lama semakin terdengar saja. Masing-masing dari mereka menyebutkan nama idola mereka. Bahkan, ada yang menyanyikan yel-yel untuk membuktikan bahwa mereka adalah pendukung setia.Tikungan pertama, kedua, dan ke
Seketika keringat membasahi pelipisnya. Tangannya mengepal kuat-kuat, seakan-akan ia siap meninju seseorang yang ada di depannya. Ya, sekarang papanya sedang berdiri tegak di hadapan sambil menatap sendu.Zhafran tetap diam di tempatnya berdiri. Namun, sorot matanya memperhatikan penampilan gadis yang ada di depannya. Ia melihat anaknya dari atas sampai bawah dengah raut wajah tak percaya. Pria itu pun mengeluarkan suara untuk memecah keheningan."Nak, kok kamu jadi begini? Mana kerudung kamu? Terus, ini baju kenapa pendek? Itu juga, kok roknya pendek banget?" tanya Zhafran sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah rambut, baju, dan rok anaknya secara bergantian.Namun, Sasya hanya menatap dingin Sang Papa tanpa berniat menjawab rangkaian pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Ia mulai melangkah meninggalkan sang Papa yang mematung di sana.***
Sasya mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Ia mencoba mengingat apa yang telah ia lakukan sebelumnya. Ia menatap bingung kala seragam sekolah masih melekat pada tubuhnya. Sasya menutup mulut dengan telapak tangan. "Hooaaaam! Astagfirullah, kok, ketiduran?" Sasya langsung mendudukan tubuh yang mirip buah pir itu. Ia menggeleng pelan guna mengembalikan seluruh kesadaran. Setelah sadar hampir seratus persen, ia segera melangkah menuju kamar mandi. Setelah 15 menit lamanya, pintu berwarna merah muda itu terbuka. Menampakkan gadis cantik dengan baju santai berwarna hijau daun yang sangat cocok di tubuh pirnya. Ia mengarahkan kakinya menuju meja belajar untuk mengambil mukena hitam bercorak abu-abu. Kemudian, ia menunaikan kewajiban salat Asar. Setelah selesai shalat, Sasya tak sengaja mendengar suara ponsel
Mentari tak malu-malu menyengatkan sinarnya, hingga menembus jendela-jendela kelas SMA Negeri Graha Gemilang. Namun, tak tampak rasa gerah menyelimuti siswa-siswi di ruangan itu. Bahkan, hawa sejuk menerpa tubuh mereka yang dibalut seragam putih abu-abu. Tampaknya, pendingin ruangan di sana bekerja dengan baik.Hari kedua Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah belum usai terlaksana. Buktinya, para peserta itu masih setia berada di dalam ruangannya. Sekitar 10 menit yang lalu, mereka kembali memasuki kelas setelah mengisi stamina tubuh di kantin tadi.Ari bangkit dari duduknya. "Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 tepat. Artinya, langsung aja kita mulai game-nya, ya."Sebagian peserta tersenyum senang. "Horeeeeee!"Suara riuhan tepuk tangan menggema di kelas itu. Suara gelak tawa pun terdengar hebat kala seorang pemuda terjatuh dari tempat duduknya. Ia berdiri sambil mengusap pelan bokongnya yang se
Rasanya hari ini merupakan hari Selasa terpanjang bagi hidup Sasya. Sebenarnya, ia sangat malas sekali menjalani hukuman seperti itu. Namun, ia tetap menjunjung tinggi harga diri.Tak mungkin ia lari dari kenyataan yang menyapanya. Gengsi-lah yang membuat Sasya bersedia menuntaskan hukuman itu, walau dengan sedikit rasa malas menguasai tubuhnya.Sasya berusaha menulikan pendengarannya saat penghuni kelas itu tak henti-hentinya memuji dan mencibir dirinya. Ingin sekali ia pulang ke apartemen untuk mengerjakan hal-hal yang lebih bermanfaat dibanding mendengarkan celotehan mereka.Rasa bosan perlahan menghampiri dirinya. Akhirnya, ia menyenggol pelan lengan Ari, hingga sang empu menoleh dan mengangkat sebelah alisnya sebagai isyarat bertanya 'ada apa?'."Udah?" tanya Sasya kepada Ari.Sasya bingung kala melihat Ari malah mengarahkan pandangannya kepada semua peserta yang ada di hadap
Sebuah ruangan dengan nuansa hitam putih menambah kesan simple ruangan itu. Di sana terdapat kasur yang terbalut seprai bola dengan didominasi warna hitam dan putih. Lemari kaca yang dipenuhi oleh piala-piala dan medali-medali juga tersedia disana.Ruangan yang tampak bersih, tanpa ada sedikit pun sampah yang berceceran. Berbagai buku pelajaran tersusun rapi di meja belajar. Sepertinya, pemilik kamar itu termasuk orang yang apik.Tampak seorang laki-laki berkacamata sedang berkutat dengan laptop-nya. Ia mengamati satu per satu data peserta Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah di SMA GG tahun ini. Aktivitasnya terhenti kala ia melihat salah satu foto peserta yang wajahnya tak asing."Finally ... Maesya Apriliana Zhafran."Decitan pintu terdengar jelas di telinga lelaki itu. Ia menoleh ke arah pintu. Senyumnya terpancar kala melihat wajah menenangkan dari Bunda tercinta. Ia segera melep
Cerahnya mentari menghiasi lapangan luas SMA Negeri Graha Gemilang. Banyak remaja berseragam putih abu-abu yang duduk memenuhi setengah lapangan itu. Mereka sedang bercengkerama satu sama lain. Tampaknya, acara hari ini membuat para peserta MPLS semakin akrab. Demo ekskul. Mereka sangat antusias dengan acara ini. Tentu saja, mereka akan disuguhi penampilan spektakuler dari kakak-kakak ekskul di SMA GG. Tujuannya agar siswa-siswi baru itu tertarik dan ingin bergabung dengan ekskul kesukaannya. Rupanya, SMA GG sangat layak dijuluki sebagai 'sekolah favorit' di kota ini. Bukan hanya dapat ditempati oleh siswa-siswi berprestasi saja, tetapi ekstrakurikuler disana pun banyak dan tentunya menjadi kebanggaan sekolah itu. Satu per satu pembawa acara menyebutkan ekstrakurikuler yang akan tampil. Mulai dari basket, voli, futsal, silat, paskibra, badminton, kabaret, art and design, KIR atau Karya Ilmiah Remaja, pramuka, w
Seorang gadis sedang berjalan santai menyusuri perumahan cluster yang berada di pusat kota Jakarta. Bangunan-bangunan bertingkat yang berhimpitan satu sama lain, memiliki gaya minimalis dan modern.Sasya mengenakan busana hitam yang dipadu dengan warna putih. Kaos hitam kebesaran yang sengaja ia masukkan ke dalam celana kulot hitamnya, hingga menciptakan penampilan yang kasual dan minimalis.Tampilannya semakin modis dengan sneaker putih yang melekat di kedua kakinya. Ia menyematkan topi putih di kepalanya dan menyampirkan tas selempang hitam di bahunya yang menambah kesan elegan dan juga modern.Terdapat beberapa sub-kompleks dengan desain rumah yang berbeda-beda, tetapi tak ada satu pun pagar yang berdiri di depan rumah itu. Hanya terdapat satu gerbang utama yang dijaga ketat oleh satpam.Sasya menghentikan langkahnya tepat di depan rumah nomor sepuluh dari gerbang kom