Rasanya hari ini merupakan hari Selasa terpanjang bagi hidup Sasya. Sebenarnya, ia sangat malas sekali menjalani hukuman seperti itu. Namun, ia tetap menjunjung tinggi harga diri.
Tak mungkin ia lari dari kenyataan yang menyapanya. Gengsi-lah yang membuat Sasya bersedia menuntaskan hukuman itu, walau dengan sedikit rasa malas menguasai tubuhnya.
Sasya berusaha menulikan pendengarannya saat penghuni kelas itu tak henti-hentinya memuji dan mencibir dirinya. Ingin sekali ia pulang ke apartemen untuk mengerjakan hal-hal yang lebih bermanfaat dibanding mendengarkan celotehan mereka.
Rasa bosan perlahan menghampiri dirinya. Akhirnya, ia menyenggol pelan lengan Ari, hingga sang empu menoleh dan mengangkat sebelah alisnya sebagai isyarat bertanya 'ada apa?'.
"Udah?" tanya Sasya kepada Ari.
Sasya bingung kala melihat Ari malah mengarahkan pandangannya kepada semua peserta yang ada di hadapannya itu.
"Dih, gue dikacangin," batin Sasya.
"Tolong perhatiannya," pinta Ari dengan suara lantang sambil menepuk kedua telapak tangan agar semua peserta fokus kepadanya.
"Gimana? Hukuman Sasya hanya senyum aja, nih? Kalau kata Kakak, sih, masih kurang. Ada usul?" Ari menatap Rendy yang sedang mengacungkan jari telunjuknya ke udara.
"Enak aja senyum doang. Terlalu mudah. Menurut gue, lo harus minta nomor W******p si Ketos itu, deh!" usul Rendy.
Sasya membulatkan netranya kala mendengar penuturan makhluk aneh itu. Sasya mengedarkan pandangannya ke seluruh penghuni kelas. Ia melihat semuanya mengangguk pertanda setuju. Dadanya naik turun, tangannya mengepal, tetesan keringat mulai membasahi pelipisnya. Ia mengarahkan langkahnya menuju meja pemuda itu.
Brak!
"Mau lo apa, sih, Ren?"
"Lo, ada dendam apa sama gue, hah?!"
Sasya meremas ujung roknya. Dirinya benar-benar naik pitam atas sikap Rendy. Beruntung ia masih bisa mengendalikan emosi. Jika tidak, mungkin saja wajah Rendy sudah babak belur sejak tadi. Tak disangka, Rendy hanya tersenyum sinis melihat wajah Sasya yang memerah akibat ulahnya itu.
Rendy berdiri menghadap Sasya. "Gue–"
Tok, tok, tok!
Ucapan Rendy terpotong saat terdengar suara yang berasal dari ketukan pintu kelas itu.
"Assalamualaikum." Suaranya terdengar sangat kecil dari dalam kelas.
Cklek!
Pintu terbuka, menampilkan gadis cantik bermata sipit. Pandangan gadis itu tertuju pada Sasya yang sedang berdiri di hadapan Rendy. Ia pun berlari kecil menghampiri mereka berdua dengan berbagai pertanyaan mengalir deras di dalam benaknya.
Ana menatap Rendy dan Sasya bergantian. "Lo kenapa, Sya?"
Ana memegang lengan kiri milik Sasya. Tak disangka, Sasya menepis cepat tangan Ana dari lengannya.
"Gue ... apa?" tanya Sasya kepada Rendy dengan napas yang memburu.
"Gue ... gue ... gu—" Lagi-lagi ucapan Rendy harus terpotong.
"Ada apa, sih?" tanya Ana kepada Sasya dengan raut wajah bingung.
"Ana, duduk!" bentak Sasya. Emosinya sudah tak bisa dikontrol.
Degh!
Ana menunduk. "Sorry."
Ana berlari menuju tempat duduknya. Ia mendongak guna menahan air mata yang siap menetes. Namun, usahanya sia-sia. Saat sampai di tempat duduknya, tetesan air mata sudah membasahi kedua pipi.
Sasya mengusap kasar wajahnya saat melihat mata Ana yang berkaca-kaca. "Sorry, Na. Gue gak bermaksud kaya gitu," batin Sasya. Ia melihat punggung Ana yang perlahan menjauh dari hadapannya. Ia kembali menatap wajah Rendy yang membuat hatinya semakin berapi-api.
"Gue ... gue ... gue ... gue cuma iseng, Sya. Gak lebih," ujar Rendy dengan senyuman terukir di wajah tampannya itu.
Brak!
Sasya berjalan menuju tempat duduknya. Ia terus mengumpat atas perlakuan Rendy terhadapnya. Namun, saat ia melewati Ari, tangannya dicekal olehnya. Dengan sangat terpaksa, ia menghentikan langkah dan menatap Ari dengan wajah datar. Tak lupa, ia menepis kasar cekalan lelaki itu.
"Oke, hukuman kedua kamu harus minta nomor W******p-nya Kak El, ya. Dia lagi duduk di depan kelas," tutur Ari kepada Sasya.
Sasya hanya mengangguk pasrah. Tak lupa, ia melayangkan tatapan tak bersahabat kepada Rendy sambil tersenyum sinis. Dengan senang hati, ia menanggapi bendera perang yang Rendy kibarkan saat ini.
"Lo jual ... gue beli," batin Sasya.
***
"Kak."
Sasya memanggil pemuda yang sedang duduk di bangku panjang, tepat di depan kelas. Sang empu hanya berdeham pelan menanggapi panggilan Sasya barusan. Ia tetap fokus pada benda pipih yang ia genggam sekarang.
Sasya menghela napas lelah. Lalu, ia mendekati lelaki itu dan membungkuk agar dapat melihat wajah milik lawan bicaranya tersebut.
"Kak."
Lelaki itu mendongak. Ia membeku kala manik matanya berpapasan dengan manik mata Sasya.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Empat detik.
Lima detik.
Enam detik.
Tujuh detik.
Delapan detik.
Sembilan detik.
Sepuluh detik.
Dan ....
"Woy!"
El terkejut. Sasya pun tak kalah kaget. Bahkan, ia hampir terjungkal ke belakang. Namun, dengan sigap, El menarik lengan Sasya agar tak terjatuh.
Sasya menepis lembut tangan kekar milik El. "Maaf, Kak. Terima kasih sebelumnya."
El mendengar jelas lirihan Sasya. Tentu saja, posisi mereka sangat dekat. El duduk di bangku panjang, sedangkan Sasya berdiri di hadapan El. El hanya berdeham untuk menanggapinya.
El menatap sengit pemuda yang sedang duduk di sampingnya itu. Ari hanya menyengir kuda dan mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara sebagai tanda damai.
"Apa?" tanya El dengan nada kesal kepada Ari.
El memang tidak suka basa-basi. Ari sangat tahu itu. Sebisa mungkin, Ari langsung memberitahu tujuan utamanya ketika berbicara dengan El.
"Ini, si Sasya dapat hukuman—"
"Terus?" potong El dengan cepat.
"Hufft! Diam dulu napa!" ketus Ari.
El mengangguk. Ia menatap gadis yang ada di hadapannya dan menepuk tempat duduk di sampingnya. Sasya mengangguk paham apa yang dimaksud pemuda yang ada di hadapannya itu.
Sasya duduk sesuai arahan El. Lalu, ia kembali menatap kedua Kakak kelas yang berada di sampingnya itu.
"Hukumannya berurusan sama lo. Daaah! Gue pamit. Inget ini sekolah." El yang paham terhadap alur pembicaraan Ari, langsung menyenggol lengan Ari hingga terhuyung ke samping.
"El, jahat bener, lo!" pekik Ari.
Ari menormalkan posisi duduknya seperti sedia kala. Ia berdiri dan berjalan menuju kelas yang ada di hadapannya. Tak lupa, ia menatap sebal El yang sedang memasang raut wajah andalan, datar.
El menoleh ke samping kiri untuk melihat gadis yang ada di sampingnya itu. Ia mengerutkan dahi kala gadis itu menyodorkan ponsel hitam kepadanya.
"Untuk?" tanya El kepada Sasya.
"Nomor W******p," jawab Sasya sangat singkat.
Sebenarnya, El paham maksud Sasya. Namun, ia hanya ingin sedikit berlama-lama dengan gadis itu. Ia merasa bahagia, nyaman, dan tentram saat berada di dekat Sasya. Entahlah, ada sesuatu yang menjalar di bagian dadanya saat dekat dengan Sasya.
"Buat?"
El tersenyum sangat tipis. Ingat! Sangat tipis. Sasya pun tak dapat melihatnya.
"Hukuman," jawab Sasya tak kalah singkat dengan ucapan El.
"Unik," lirih El yang terdengar samar oleh Sasya.
"Uli? Kakak laper?" tanya Sasya dengan raut wajah dingin. Ia tak suka basa-basi, apalagi dengan orang yang tak dikenal.
El menggeleng. Lalu, tangannya terulur untuk mengacak pucuk rambut milik Sasya dengan gemas. Desiran hebat mengalir cepat di dalam tubuh Sasya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari sebelumnya.
Dengan tangan gemetar, Sasya mencoba menurunkan tangan El dari kepalanya. Ya, Sasya berhasil.
El menyunggingkan senyum. "Lo unik ... bukan uli."
Sasya memasang raut wajah malas. "Udah modusnya? Saya gak suka basa-basi, Kak. To the point aja, Kakak mau ngasih nomor W******p-nya gak?"
Bukannya menjawab, tangan El kembali terangkat untuk mengacak pucuk rambut Sasya. Dengan sigap, Sasya menahan tangan El dan menurunkannya kembali.
Sasya memutar bola mata jengah. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan perlahan menuju kelas yang ada di hadapannya itu.
Cklek!
"Gimana? Udh dapet? Ciee, dapet nomor si El. Jarang-jarang, loh, dia ngasih nomornya ke orang lain. Mungkin di sekolah ini hanya ada beberapa orang yang punya nomor El," jelas Ari.
Sasya memutar bola mata malas saat mendengar ocehan dari kakak kelasnya itu. Ia menggeleng untuk memberi jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan Ari kepadanya.
Ari membuka mulutnya hingga berbentuk 'O' karena tak menyangka dengan respon yang diberikan Sasya kepadanya.
"Berarti ... belum dapet nomornya?" tanya Ari dengan raut wajah tak percaya.
"Hm, permisi," jawab Sasya sambil berjalan menuju tempat duduknya.
"Eh, eh, eh ... gak bisa gitu, dong!"
Dengan segera, Sasya mengedarkan pandangannya untuk mencari pemilik suara tadi. Namun, suara itu tak asing bagi Sasya. "Rendy?" duga Sasya dalam hati. Ternyata dugaan Sasya benar seratus persen.
Netra cokelat gelap milik Sasya menatap malas pemilik suara itu. Saat Rendy ingin membuka mulutnya untuk berbicara, dengan cepat Sasya menaruh jari telunjuk di bibirnya sendiri. Sasya melanjutkan langkah yang sempat terhenti tadi.
Rendy? Ia bungkam atas perilaku Sasya barusan.
Sasya berdiri di samping kursi Ana. Ia menunggu gadis itu berdiri untuk memberi jalan kepadanya. Ia melihat mata Ana yang sembab, hidung yang merah, dan pipi yang basah.
Oh, tidak! Ana benar-benar menangis karena hal itu.
Ana tersadar dari lamunannya. Ia langsung berdiri dan bergeser sedikit untuk memberi jalan kepada Sasya tanpa mengucap sepatah kata pun.
Sebuah ruangan dengan nuansa hitam putih menambah kesan simple ruangan itu. Di sana terdapat kasur yang terbalut seprai bola dengan didominasi warna hitam dan putih. Lemari kaca yang dipenuhi oleh piala-piala dan medali-medali juga tersedia disana.Ruangan yang tampak bersih, tanpa ada sedikit pun sampah yang berceceran. Berbagai buku pelajaran tersusun rapi di meja belajar. Sepertinya, pemilik kamar itu termasuk orang yang apik.Tampak seorang laki-laki berkacamata sedang berkutat dengan laptop-nya. Ia mengamati satu per satu data peserta Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah di SMA GG tahun ini. Aktivitasnya terhenti kala ia melihat salah satu foto peserta yang wajahnya tak asing."Finally ... Maesya Apriliana Zhafran."Decitan pintu terdengar jelas di telinga lelaki itu. Ia menoleh ke arah pintu. Senyumnya terpancar kala melihat wajah menenangkan dari Bunda tercinta. Ia segera melep
Cerahnya mentari menghiasi lapangan luas SMA Negeri Graha Gemilang. Banyak remaja berseragam putih abu-abu yang duduk memenuhi setengah lapangan itu. Mereka sedang bercengkerama satu sama lain. Tampaknya, acara hari ini membuat para peserta MPLS semakin akrab. Demo ekskul. Mereka sangat antusias dengan acara ini. Tentu saja, mereka akan disuguhi penampilan spektakuler dari kakak-kakak ekskul di SMA GG. Tujuannya agar siswa-siswi baru itu tertarik dan ingin bergabung dengan ekskul kesukaannya. Rupanya, SMA GG sangat layak dijuluki sebagai 'sekolah favorit' di kota ini. Bukan hanya dapat ditempati oleh siswa-siswi berprestasi saja, tetapi ekstrakurikuler disana pun banyak dan tentunya menjadi kebanggaan sekolah itu. Satu per satu pembawa acara menyebutkan ekstrakurikuler yang akan tampil. Mulai dari basket, voli, futsal, silat, paskibra, badminton, kabaret, art and design, KIR atau Karya Ilmiah Remaja, pramuka, w
Seorang gadis sedang berjalan santai menyusuri perumahan cluster yang berada di pusat kota Jakarta. Bangunan-bangunan bertingkat yang berhimpitan satu sama lain, memiliki gaya minimalis dan modern.Sasya mengenakan busana hitam yang dipadu dengan warna putih. Kaos hitam kebesaran yang sengaja ia masukkan ke dalam celana kulot hitamnya, hingga menciptakan penampilan yang kasual dan minimalis.Tampilannya semakin modis dengan sneaker putih yang melekat di kedua kakinya. Ia menyematkan topi putih di kepalanya dan menyampirkan tas selempang hitam di bahunya yang menambah kesan elegan dan juga modern.Terdapat beberapa sub-kompleks dengan desain rumah yang berbeda-beda, tetapi tak ada satu pun pagar yang berdiri di depan rumah itu. Hanya terdapat satu gerbang utama yang dijaga ketat oleh satpam.Sasya menghentikan langkahnya tepat di depan rumah nomor sepuluh dari gerbang kom
Suara azan Magrib mendengung di seluruh penjuru SMA Negeri Graha Gemilang. Kaum Adam berbondong-bondong memasuki area masjid di dalam sekolah. Mereka berlarian untuk berwudu dan menduduki saf paling pertama.Seiring waktu berjalan, setiap saf mulai ditempati para jemaah laki-laki. Muazin pun mulai mengumandangkan ikamah. Mereka berdiri dan bersiap untuk menunaikan salat berjemaah.Durasi yang terbilang cukup singkat, mereka telah selesai menjalankan kewajiban sebagai umat muslim. Satu per satu, mereka meninggalkan area masjid dengan candaan dan tawaan yang mengiringi langkah mereka.Beramai-ramai, mereka menelusuri koridor sekolah yang sedikit terang. Langit yang gelap dan suara merdu jangkrik menjadi pelengkap kebersamaan mereka.Mereka mengarahkan langkahnya menuju kawasan khusus laki-laki. Perlahan, gerombolan laki-laki itu menghilang dari koridor. Mereka semua memasuki baraknya masing-masing.
Hari Minggu merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya oleh kebanyakan orang. Hari yang digunakan untuk beristirahat sejenak selepas melakukan aktivitas rutin di hari kerja.Tak bisa dipungkiri, anak sekolah pun ikut menuntut kebebasan di hari yang spesial itu. Walaupun, hanya sekadar menjernihkan otak usai menggarap ilmu yang tak sedikit di sekolah.Buktinya, seorang pemuda tengah duduk bersantai di atas sofa sambil menonton acara televisi kesukaannya. Sesekali, ia tertawa saat menyaksikan adegan lucu dari televisi itu.Seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster kekinian, menghampiri pemuda tersebut. Ia terus menerus memanggil nama pemuda itu. Namun, tak terdengar sahutan dari sang empu. Mungkin, pemuda itu tak mendengar panggilannya, pikir wanita itu.Sesampainya di sana, wanita itu langsung duduk di samping pemuda tersebut. Merasa ada pergerakan di sofa, pemuda itu menoleh dan mendapa
Tap, tap, tap! Seorang pria berpakaian dinas sedang berjalan di koridor lantai dasar SMA Negeri Graha Gemilang. Ia menyapa setiap orang yang tak sengaja berpapasan dengannya. Senyuman manis senantiasa terlukis di pipinya yang sedikit gembul. Derap langkahnya terhenti di depan pintu kelas X IPA 7. Ia mengetuk pelan pintu yang menjulang tinggi di hadapannya. Merasa tak ada respon dari dalam, ia membuka pintu itu dan melangkah masuk ke dalam kelas tersebut. Ia duduk di kursi guru. "Assalamualaikum ... selamat pagi, murid-muridku tercinta." "Waalaikumussalam, bapak guruku tercinta," balas semua murid dengan tersenyum kikuk, kecuali seorang gadis yang duduk sendiri di pojok kelas. "Sudah masuk semua? Atau ... masih ada yang di luar?" tanya pria itu dengan nada lembut. Semua murid saling pandang, kecuali gadis itu. Mereka bertanya melalui kode mata. Selam
"Diharap perwakilan dari setiap kelas X untuk segera berkumpul di ruangan OSIS!"Suara itu kembali terdengar untuk kedua kalinya di seluruh penjuru SMA GG. Semua murid yang ada di kelas melirik pemuda yang sedang menelungkupkan kepala di atas lipatan kedua tangannya.Mereka tersenyum licik menatap satu sama lain. Kemudian, mereka kembali melirik pemuda yang sedang tertidur pulas itu. Bagaimana tidak disebut pulas? Suara pengumuman tadi saja, tak mampu mengganggu ketenangannya."Satu.""Dua.""Tiga."Duk, duk, duk, brak, duk, brak, duk, duk, brak, duk, brak!"Rendy! Bangun, oy!" teriak mereka sembari memukul dan menggebrak meja untuk membangunkan Rendy."Allahu Akbar!" pekik Rendy, ia terlonjak kaget dan refleks membuat matanya yang tertutup menjadi terbuka lebar."Wahahahaha ...." Mereka tertawa terpingkal-pingkal
"Assalamualaikum, Bunda," ucap Arsa saat menutup pintu rumahnya. "Bunda ...," panggil Arsa. Tak ada sahutan dari siapa pun. "Lah, ini pada ke mana? Rumah, kok, sepi kek kuburan," kata Arsa sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang tamu. Arsa berjalan melewati ruang tamu yang cukup luas itu. Ia terus saja melangkah sampai di ruang keluarga. Remaja bertubuh jangkung itu melihat Alma yang sedang bersandar di sofa sambil serius menonton sinetron di televisi. Tak lupa, camilan yang selalu Alma masukkan ke dalam mulutnya. Mungkin Alma tak menyadari kedatangan dirinya. "Bunda," panggil Arsa seraya berjalan mendekati Alma dan duduk di sampingnya. Alma menoleh. "Eh, si bungsu udah pulang." Arsa menyalimi tangan Alma. "Iya, Bun. Tumben di sini? Biasanya, kalo sore Bunda lagi berduaan sama laptop." "Kayak apa aja berduaan." Arsa menyengir kuda sembari menggaruk tengkuknya yang sedikit gatal.