Share

Senyuman Langka

Mentari tak malu-malu menyengatkan sinarnya, hingga menembus jendela-jendela kelas SMA Negeri Graha Gemilang. Namun, tak tampak rasa gerah menyelimuti siswa-siswi di ruangan itu. Bahkan, hawa sejuk menerpa tubuh mereka yang dibalut seragam putih abu-abu. Tampaknya, pendingin ruangan di sana bekerja dengan baik.

Hari kedua Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah belum usai terlaksana. Buktinya, para peserta itu masih setia berada di dalam ruangannya. Sekitar 10 menit yang lalu, mereka kembali memasuki kelas setelah mengisi stamina tubuh di kantin tadi.

Ari bangkit dari duduknya. "Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 tepat. Artinya, langsung aja kita mulai game-nya, ya."

Sebagian peserta tersenyum senang. "Horeeeeee!"

Suara riuhan tepuk tangan menggema di kelas itu. Suara gelak tawa pun terdengar hebat kala seorang pemuda terjatuh dari tempat duduknya. Ia berdiri sambil mengusap pelan bokongnya yang sempat mencium lantai tadi. Lalu, ia kembali duduk di tempatnya dengan ekspresi wajah yang menahan malu.

"Jadi, game-nya seperti ini. Nanti Kakak akan berkeliling dan menepuk meja kalian. Nah, nanti kalian semua tutup mata, jangan ada yang melek! Habis itu, Kakak akan menyebutkan udara, darat, dan laut. Misalnya, Kakak berhenti di meja kamu," jelas Ari sambil mengarahkan telunjuknya pada gadis yang duduk tepat di depannya.

"Terus Kakak sebut darat, maka kamu harus menyebutkan 2 ekor hewan yang ada di darat, ya."

"Mengerti?" tanya Ari dengan suara tegas.

"Siap. Mengerti, Kak," jawab para peserta itu.

"Tapi," kata Ari, "Kalau ada yang salah, dihukum. Hukumannya sesuai kesepakatan kita bersama."

Penghuni kelas itu mengangguk pertanda setuju. Ari mulai melangkah menuju meja paling depan dari sisi pintu.

"Udara, darat, laut, udara, darat, laut ...." Ari menghentikan langkahnya.

Gadis itu mendongak. "Mmmm ... i–i–kan sa–sa–ma ... ubur-ubur, Kak."

Ari menyipitkan mata untuk membaca name tag gadis itu. "Bagus, In–tan Mar–wangi."

Intan mengulum senyum sambil mengangguk. Ari menyunggingkan senyumnya dan kembali melanjutkan langkahnya.

"Lanjuuut ...!"

"Udara, darat, laut, udara, darat ...."

Langkah Ari terhenti di meja paling depan pada barisan ketiga. Bukannya menjawab, lelaki yang terpilih itu malah berdiri dan sukses menjadi pusat perhatian semua penghuni kelas tersebut.

"Sebelum menjawab, alangkah baiknya kita kenalan dulu. Kenalin nama gue Rendy Al-Farizi. Panggil aja Babang Rendy."

Rendy tersenyum penuh percaya diri sembari meletakkan dagu di antara ibu jari dan jari telunjuk. Ari tertawa kecil melihat perilaku adik kelasnya yang satu ini. "Wah! Penerus gue, nih," pikir Ari. Ari mengangkat alis kanannya sebagai isyarat bertanya 'Apa jawabannya?'

Rendy mengangguk paham. "Jadi, jawabannyaaaaaa ... jawabannyaaaaaaa ...."

Rendy tersenyum meledek. "Nungguin, yaaa?"

Sontak penghuni kelas itu geram atas perilaku Rendy saat ini. Mata mereka melotot sebagai tanda permusuhan. Sedangkan yang dipelototi hanya cengengesan dan mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara sebagai tanda damai.

Rendy menyengir kuda. "Jawabannya ... sapi dan kerbau."

Ari menahan tawanya. "Lo, yang jatuh tadi, 'kan?"

Rendy menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Hehehe. Iya, Kak."

Satu ....

Dua ....

Tiga ....

"Wahahahahaha ...."

Tawa yang ditahan tadi pun meledak seketika. Ada yang tertawa terpingkal-pingkal, ada yang tersenyum, ada yang tertawa sambil memukul lengan temannya, dan ada juga yang asik bergulat dengan pikirannya sendiri. Siapa lagi kalau bukan Sasya?

"Sudah, sudah," pinta Ari.

Ari menatap gadis bermata sipit tengah mengangkat tangan kanannya ke udara. "Iya, kenapa?"

Ana menurunkan tangannya. "Maaf, Kak. Ana izin ke toilet."

Ari tersenyum dan mengangguk sebagai tanda mengizinkan gadis itu pergi ke toilet.

"Terima kasih, Kak," lembut Ana.

Ana menoleh. "Gue ke toilet dulu, ya."

Sasya mengangguk menanggapi ucapan Ana. Ana pun segera bangkit dari duduknya dan bergegas menuju toilet.

"Oke. Lanjut gak, nih?" tanya Ari kepada para penghuni kelas itu.

"Lanjuttt ...!"

Ari mulai berjalan. "Udara, darat, laut, udara, darat, laut, udara, darat, laut, udara, darat, laut, udara ...."

Ari menyudahi langkahnya tepat di samping meja ketiga dari sisi pintu. Ia kembali menepuk meja itu dengan tenaga yang lebih kuat agar gadis di hadapannya menoleh.

Duk!

Gadis itu tersentak kaget. "Eh ... pesawat!"

Gelak tawa kembali hadir di kelas itu. Semuanya tertawa, kecuali gadis yang sedang ditertawakan. Ia berdeham beberapa kali untuk menetralkan ekspresi malu yang tersirat di wajahnya.

Ari menghentikan tawanya. "Mana ada pesawat jadi hewan. Kamu kenapa, sih?"

"Anu ... anu ...," jawab Sasya terbata-bata.

Sasya menunduk cepat. Ari mengulurkan tangannya tepat di hadapan gadis bermata cokelat gelap itu.  Sebenarnya, Sasya melihat jelas tangan itu. Namun, Sasya tetaplah Sasya, ia tak ingin membalas uluran tangan Ari.

Ari menghela napas. Ia menarik lembut tangan lawan bicaranya. Para penghuni kelas menjerit heboh. Ada yang menangis sambil bernyanyi lagu patah hati, ada yang tersenyum kecut, dan ada juga yang bertepuk tangan.

Lebay!

Ari menggengam erat jari jemari Sasya. Tubuh Sasya menegang sesaat kala menyadari sentuhan lembut yang mendarat tepat di tangan kanan miliknya. Ari menarik pelan tangan Sasya untuk beranjak ke depan kelas. Sasya terpaksa mengikuti langkah panjang milik Ari.

"Ayo, perkenalkan namamu," suruh Ari saat sudah sampai di depan kelas.

Sasya menatap malas tangannya yang masih digenggam oleh Ari. Ari bingung. "Kenapa diam?" tanya Ari di dalam hati.

Mengurungkan banyak pertanyaan yang mulai muncul dalam benaknya. Ari pun mengikuti arah pandang Sasya. Tersadar atas kesalahannya, Ari langsung melepas genggaman tangannya.

"Ck! Modus," lirih Sasya yang terdengar jelas di telinga Ari.

Ari menyengir kuda. "Maaf, yah. Kakak lupa. Habisnya terlalu nyaman. Hehe."

Sasya memutar bola mata jengah dan berdeham pelan untuk merespons kakak kelasnya itu.

"Et dah, dingin amat, Neng," gumam Ari yang masih terdengar jelas oleh gendang telinga Sasya.

Sasya membulatkan kedua matanya. "Apa?"

"Ehh ... eng–enggak, kok. Kamu cantik, maksud Kakak. Hehe," elak Ari.

Ari mengusap pelan wajah tampannya untuk menghilangkan rasa canggung yang muncul. Jantungnya pun ikut berdetak lebih cepat dari biasanya. Buliran bening mulai menetes dari pelipisnya. Ia memejamkan mata sementara untuk menormalkan kembali sistem kerja jantungnya. Satu menit telah berlalu, ia kembali membuka kedua matanya.

"Hufft! Ayo, perkenalkan namamu sekarang." Ari kembali tersenyum menatap Sasya, hingga tercetak lesung di pipi kirinya.

"Sasya," katanya dengan nada malas.

Ari mengangguk. "Hmm ... karena tadi Sasya gak bisa jawab nama hewan yang ada di udara, sesuai kesepakatan kita bersama, Sasya harus dihu–"

"Lo harus dihukum!"

Para penghuni kelas itu pun mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Mereka mengangguk setuju atas perkataan Rendy tadi, kecuali Sasya. Sasya menatap tajam manik hitam milik Rendy.

Sasya tersenyum sinis pada Rendy. "Gue gak takut."

"Gimana, Guys? Hukuman yang cocok buat Sasya apa, nih?" tanya Ari.

"Nyanyi, Kak," usul gadis yang ada di pojok kelas.

"Joget, Kak," timpal salah satu pemuda di sana.

Sasya menatap nyalang lelaki yang memberi usulan itu. Sedangkan sang empu hanya mampu menyengir untuk menutupi rasa takutnya saat ini.

"Suruh dia senyum, Kak!"

Penghuni kelas itu menatap lekat netra milik Rendy. Sasya menahan emosinya yang hampir meledak.

"Lo ada masalah apa, sih, sama gue?"

"Yaelah senyum doang apa susahnya, sih, Sya? Senyum itu kan ibadah."

Sasya menghela napas jengah. Ia malas berdebat dengan makhluk satu ini. Tenaganya akan habis, jika ia meladeni ucapan Rendy. Tanpa basa-basi, ia langsung tersenyum lebar, hingga terlihat jelas gigi gingsul yang bertengger di gusi sebelah kanan. Lima detik berjalan, ia kembali menormalkan ekspresi wajahnya, datar.

"Wih! Cantik banget kalau senyum."

"Aaaaa! Senyuman yang spesial. Pasti buat gue."

"Gebet, yok! Gebet, kuy!"

"Bidadari turun dari layangan. Eh, maksudnya kayangan. Maafin Abang, Neng."

"Halah! Sok cantik aja bangga."

"Iya, tuh. Cantikan juga elo, Mar!"

"Heh! Cantikkan juga dia kali daripada elo."

"Ck! Kejam banget lo sama adik sendiri. Puji aja terus si Sasya. Pas pulang gue aduin ke Mami."

"Eh, jangan, dong! Cantikkan elo, kok. Jangan diaduin, ya, Marissa yang cantik."

Sasya mendengkus kesal saat mendengar pujian dan cibiran yang dilontarkan kepadanya. Waktunya habis hanya untuk mendengar hal-hal yang sangat tidak bermutu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status