Sebuah ruangan dengan nuansa hitam putih menambah kesan simple ruangan itu. Di sana terdapat kasur yang terbalut seprai bola dengan didominasi warna hitam dan putih. Lemari kaca yang dipenuhi oleh piala-piala dan medali-medali juga tersedia disana.
Ruangan yang tampak bersih, tanpa ada sedikit pun sampah yang berceceran. Berbagai buku pelajaran tersusun rapi di meja belajar. Sepertinya, pemilik kamar itu termasuk orang yang apik.
Tampak seorang laki-laki berkacamata sedang berkutat dengan laptop-nya. Ia mengamati satu per satu data peserta Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah di SMA GG tahun ini. Aktivitasnya terhenti kala ia melihat salah satu foto peserta yang wajahnya tak asing.
"Finally ... Maesya Apriliana Zhafran."
Decitan pintu terdengar jelas di telinga lelaki itu. Ia menoleh ke arah pintu. Senyumnya terpancar kala melihat wajah menenangkan dari Bunda tercinta. Ia segera melepas kacamata dan menaruhnya di atas meja belajar. Ia bergegas menghampiri bundanya.
"Bundaaa ...," panggilnya dengan nada manja.
"Eh, eh, eh ... anak Bunda kenapa?"
Pemuda itu tak menggubris pertanyaan yang diberikan. Ia menjatuhkan diri ke pelukan hangat sang bunda. Ia memeluk tubuh itu sangat erat, seakan-akan tak ingin kehilangan sosok wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya itu.
Wanita itu mengelus-elus punggung anaknya dengan penuh kasih sayang. "Mau curhat?"
Wanita itu sudah hafal tabiat anak bungsunya. Jika anaknya itu tiba-tiba memeluknya, sudah dipastikan remaja itu akan mengeluarkan segala keluh kesahnya. Dengan senang hati, ia mendengarkan semua dan siap memberi arahan yang terbaik untuk anaknya.
Sang empu mengangguk dan melepaskan pelukannya. "Ehe ... tau aja, Bun."
Pemuda itu mengulum senyum. Ia menunduk untuk menutupi semburat merah muda yang timbul di pipinya.
"Tapi, makan malam dulu, ya," pinta wanita itu.
Dengan senang hati, ia menggandeng tangan Bundanya. "Ayoo!"
Wanita itu hanya menggeleng. Terkadang, ia juga tertawa kecil menghadapi sikap anak remajanya ini. Ia juga heran, jika anaknya itu bersikap kekanak-kanakan pada dirinya. Padahal, saat di luar rumah, sikap anaknya itu berubah seratus delapan puluh derajat menjadi dingin dan irit bicara.
***
Lelaki itu tetap menggandeng tangan bundanya. Ia menuntun wanita paruh baya itu saat menapaki satu per satu anak tangga. Sebenarnya, wanita itu risih terhadap perhatian berlebih dari anak bungsunya. Namun, ia membiarkan semua itu karena prinsip dirinya adalah 'Bunda lebih bahagia, jika kamu bahagia, Sayang'.
Beberapa anak tangga telah mereka lewati dengan baik. Mereka berjalan mendekati sebuah meja panjang yang terdapat beberapa hidangan di atasnya. Beberapa kursi juga ikut berjejer mengelilingi meja itu.
Pemuda itu tersenyum meledek ke arah gadis yang sedang berjalan mendekati dirinya. Ia mengubah gandengan tangannya menjadi genggaman erat.
"Hilih! Caper banget lo jadi orang," sindir gadis dengan setelan baju tidur berwarna merah yang melekat indah di tubuhnya.
Pemuda itu melepas lembut genggamannya. "Iri? Bilang, Sayang. Sini gue gandeng!"
Gadis itu bergidik ngeri kala pemuda itu perlahan mendekat ke arahnya. Ia berjalan mundur untuk menjauh dari seringaian menakutkan itu. Namun, nahas. Ia terjengkang karena kedua kakinya terbelit satu sama lain. Ia merasakan sakit yang amat di bagian bokongnya.
Pemuda itu tertawa dan menyamakan tinggi badannya dengan gadis yang terjatuh tadi. Ia memeluk erat gadis itu, hingga membuat bulu kuduk gadis itu meradang seketika.
Embusan napas lelaki itu mengenai leher sang gadis. Dengan cepat, gadis itu meronta-ronta agar ia bebas dari pelukan mengerikan yang menimpanya. Namun, sekuat apa pun ia memberontak, tenaganya tak sebanding dengan tenaga lelaki itu.
Lima menit berlalu, akhirnya lelaki itu melepaskan pelukannya. Gadis itu menarik napasnya kuat-kuat, sungguh ia kesulitan bernapas saat dipeluk tadi. Gadis itu memandang bingung pria yang ada di hadapannya.
"Kenapa tiba-tiba dia meluk gue?" batin gadis itu.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kanan pemuda itu. Sang pelaku menatap tajam ke arahnya. Sebaliknya, pemuda itu memegangi pipinya yang berdenyut nyeri.
"Bisa mati gue, Arsa dodol lipet!"
Arsa cekikikan mendengarnya. Ia berdiri dan membantu gadis yang ia peluk tadi untuk berdiri juga. Ia mengedipkan sebelah mata kepada bundanya. Bundanya paham dengan maksud anaknya itu, ia segera pergi meninggalkan mereka berdua.
Arsa memegang kedua bahu lawan bicaranya. "Mbak Milka."
"Apa?" tanya Milka dengan nada ketus sambil menatap lekat netra cokelat terang milik Arsa.
Arsa menyamakan tingginya dengan Milka. "Cuma mau bilang ...."
Milka memutar bola mata jengah. "Bilang apaan?"
"Cuma mau bilang ... Mbak, agak ... gendutan," bisik Arsa tepat di telinga kanan Milka.
Sebelum mendapat amukan dari Milka, Arsa segera berlari kecil ke arah meja makan. Ia bersembunyi di belakang bundanya yang tengah berdiri di samping meja itu.
Benar saja, Milka mengejar Arsa. Ia memukul punggung Arsa dengan sendok yang ia ambil di meja makan. Arsa berteriak kesakitan membuat Milka tertawa terbahak-bahak. Sepertinya, mereka lupa bahwa bundanya ikut terlibat dalam hal itu.
"Milka ... Arsa ... stop!"
Milka menunjuk Arsa. "Dia duluan, Bun."
Arsa mendelik. "Lah, lo duluan yang mukul-mukul gue pake sendok."
"Kalo lo gak ngatain gue gendut, gak bakal gue mukul lo, Sa," protes Milka
"Yeh, emang lo gendut," ejek Arsa.
"Apaan, sih? Orang badan gue langsing gini. Mata lo rabun? Atau ... udah katarak?" tanya Milka dengan nada meledek.
"Enak aja. Mata gue masih sehat walafiat," ucap Arsa. "Kalo lo gak gendut, kenapa lo marah? Berarti bener kalo lo itu .... "
"Bodo, ah," potong bundanya cepat dan segera menduduki kursi yang ada di sampingnya.
Milka merentangkan tangannya dan mendekati Arsa. "Dedek."
"Idih. Jijik gue, Mbak. Kenapa? Mau dipeluk lagi?" tanya Arsa dengan nada malas.
"Ho oh," jawab Mikha dengan nada manja.
Bodohnya Arsa, ia kembali merengkuh tubuh bak seorang model itu. Milka tersenyum menyeringai di pelukan hangat Arsa. Dengan cepat, Milka mengambil sendok yang ada di sakunya dan memukul punggung Arsa sangat keras.
Arsa mengaduh kesakitan dan melepas kasar pelukan itu. Milka tertawa terpingkal-pingkal melihat Arsa yang mengelus-elus punggung yang dipukul tadi.
***
Seperti biasa, angin malam menerpa tubuh gadis cantik itu. Ia tersenyum memandang langit yang ditemani gemerlapnya bintang. Suara jangkrik bersahutan terdengar jelas di telinga gadis itu.
Sasya membuang napas gusar. "Ribet banget, sih, si Rendy."
Tangannya menggenggam erat pagar hitam balkon yang sejajar dengan pinggangnya itu.
"Pake acara ngancem segala lagi. Terus, kenapa yang lain pada setuju coba?" omel Sasya.
Pagar yang ada di hadapannya menjadi sasaran empuk pukulannya. Ia mengibas-ngibaskan tangannya kala terasa sakit akibat memukul pagar tadi.
"Hufft! Ya sudahlah," lirih Sasya.
Sasya mengeluarkan benda pipih dari saku dan menyalakannya. Dahinya berkerut kala melihat banyak notifikasi dari aplikasi chatting berwarna hijau.
Penasaran? Tentu. Selama ini ia tak pernah mendapat notifikasi pesan sebanyak itu.
Jari telunjuknya dengan lihai menekan notifikasi pesan. Ia memasukkan kode yang diminta oleh ponselnya. Dan ....
*
*
♥️Rendy Lovers♥️
~RndyAlfa telah membuat grup "♥️Rendy Lovers♥️"
~RndyAlfa telah menambahkan Anda
~RndyAlfa
Oy sape lg yg blm nih?
~MarissaW12
Kembaran gue blom dimasukkin gimana sih?
~RndyAlfa
Santuy, bntr gue masukin
~RndyAlfa telah menambahkan ~Putra Mahesa
~RndyAlfa
Ck, bkn muka doang yg kembar. Nomor WA juga kembar. Dasar!
(Sedikit informasi, nomor mereka memang mirip. Hanya saja berbeda satu angka di akhir. Nomor Mahesa +628********32 dan nomor Marissa +628********33.)
~Putra Mahesa
Iri? Bilang karyawan!
~No name
Hayo siah! Pawangnya nongol, haha
~DeniR900
Skakmat lo ren
~Kepo
Hahahahhahaaha
~Juna Anggara
Kasian amat, lo
~RndyAlfa
Wah, lknt lo pd. Gue hmps lo dr grup ini
~Juna Anggara
Haha, ngambek dia
~MahkotaDesi1
Haii! Save no gue ya. Nicknamenya Des Imuts, oke?
~ZeldaAlviana
Jgn lupa gue jg. Zelda Alviana. Nickname Ana ga pake aja
~No name
Kak Ari sama Kak El blm dimasukkin Ren
~RndyAlfa telah menambahkan ~AriAkbar
Gue gak punya no Kak El
~AriAkbar
Gue punya, tapi gak blh disebar. Nnti klo ada info penting, gue sampein ke dia
~Mahkota1Desi
Oke, pangeran tamvanku
*
*
"Dih, isinya gak penting semua," gumam Sasya.
Sasya mematikan data seluler dan menekan tombol off pada ponselnya. Ia berjalan menuju kamar apartemen. Tak lupa, ia menutup dan mengunci pintu balkonnya itu. Ia segera merebahkan bobot tubuhnya di ranjang.
Sasya menepuk pelan dahinya. "Oh, iya lupa. Wudu dulu."
Gadis berpipi chubby itu bergegas menuju kamar mandi untuk berwudu. Tak lama, ia keluar dari kamar mandi dan melangkah menuju ranjang. Ia membaca doa. Kemudian, ia memejamkan mata dan mulai memasuki dunia mimpinya.
Siapa yang tidak bahagia memiliki saudara kembar yang identik?Semua orang pasti menjawab, "Ya, aku bahagia. Bahkan, sangat bahagia."Memang benar memiliki saudara kembar identik itu sangat menyenangkan. Ke mana-mana selalu berdua. Mengerjakan PR selalu bersama. Bahkan, sering kali mereka tidur dalam satu kamar.Akan tetapi, bagaimana rasanya jika suatu saat dibanding-bandingkan dengan kembarannya?Apa rasanya jika kasih sayang yang diberikan tidak seimbang?Pedih, perih, dan sakit. Mungkin ketiga kata itulah yang paling cocok untuk perasaan Arshad sekarang.Arshad tak minta dilahirkan ke dunia, tetapi Tuhan telah menakdirkan kehadirannya di sini, di dunia yang amat kejam baginya, di dunia yang penuh tekanan dan cacian untuknya.Terlahir dari keluarga kaya raya tak membuat hidupnya sedikit pun disinggahi kata damai. Hidup bergelimang harta tak membuat kese
Matahari tampak jelas semakin menjauh dari penglihatan seorang gadis cantik bernama Sasya. Rona merah jingga mulai menyelimuti langit ibukota Indonesia. Embusan angin sejuk terus menerpa tubuhnya. Dedaunan pohon menari-nari kala angin meniupnya.Sasya melirik jam yang ada si ponselnya. Sudah pukul 17.00 WIB rupanya. Ia telat pulang karena harus menghadiri rapat di ruangan OSIS tadi. Ini semua gara-gara Rendy. Sasya terus saja mencibir Rendy yang selalu lari dari tanggung jawabnya."Ish, ini kenapa pada di-cancel semua, sih?" gerutu Sasya saat melihat pesanan ojek online-nya kembali dibatalkan.Ini sudah yang kelima kalinya. Kenapa selalu ditolak? Sasya mencoba untuk memesan ojek online lagi. Ia berharap semoga ini menjadi kereta yang mengantarkannya pulang ke apartemen.Sasya mengusap kasar wajahnya. Ia mengentak kesal dengan keadaan. Lagi-lagi pesanannya ditolak. Benar-benar tak ada yang mengerti Sasya sekarang. Ia sudah lelah dan ingin segera reba
Selepas melaksanakan salat Zuhur, Dara dan Alma langsung menduduki sofa empuk di ruang keluarga rumah mewah milik Azhar. Mereka menonton televisi sambil berbincang-bincang untuk mengisi waktu luang mereka hari ini. Tak lupa juga keripik singkong balado sebagai pengganti pop corn seperti di bioskop-bioskop pada umumnya.Saat sedang tegang-tegangnya, acara sinetron itu bergeser menjadi penawaran sabun cuci piring yang terkenal di Indonesia. Dara menggeram kesal. Ia sedang asyik-asyiknya menonton, tiba-tiba berganti menjadi iklan seperti itu. Tak beda jauh dari Dara, Alma juga menggerutu tidak jelas sambil mencibir channel televisi yang sedang ditonton mereka sekarang.Saking emosinya, Dara sampai meninju-ninju bantal sofa yang ia letakkan di pangkuannya. Alma bergidik ngeri melihat kelakuan anaknya. Kesal boleh, tapi jangan sampai seperti itu juga kali, pikir Alma. Alma memperingatkan Dara supaya tenang dan tidak bertingkah aneh seperti tadi. Ia takut anaknya menjadi str
"Lo berdua mau pesen apa? Biar gue pesenin," ucap Ana saat baru sampai di kantin. Belum ada jawaban yang keluar dari bibir Sasya dan Tisa. Mereka sedang sibuk mencari tempat duduk yang kosong supaya bisa ditempati oleh ketiganya."Gue mie ayam sama es teh manis aja, deh," jawab Tisa sembari menarik tangan Sasya dan Ana untuk berjalan menuju pojok kantin. Hanya tersisa satu meja kosong yang bisa mereka tempati. Mereka duduk dengan posisi Ana berhadapan dengan Sasya dan Tisa."Gue pesen jus jeruk aja, ya," timpal Sasya dengan senyuman manisnya."Oke. Pake uang gue dulu. Jangan lupa ganti." Ana terkekeh. Sasya dan Tisa mengangguk. Ana melenggang pergi untuk memesan makanan dan minuman kepada Bu Endah, pemilik kantin.Sepeninggal Ana, Sasya dan Tisa tak henti-hentinya saling menyalurkan kerinduan. Mulai dari berpelukan, berbincang-bincang, tertawa, dan juga menangis karena bahagia. Sasya senang sekali bisa dip
"Ini sebenernya yang anak Bunda siapa, sih?" tanya El yang sudah jemu melihat kebersamaan Sasya dan Alma. Ia menatap jengkel Dara yang terus saja menertawakan nasibnya kali ini."Ututu ... anak Bunda yang satu ini lagi ngambek, toh." Tangan Alma terus saja menyisiri rambut hitam Sasya. Ia mulai mengepangi rambut Sasya seperti model daun.El melirik jam di pergelangan tangannya. "Sya, cepetan! Gue sebagai Ketos harus memberi contoh yang baik. Gak boleh telat.""Eh, kamu makan dulu, Arsa!" kata Alma sembari mengikat ujung rambut Sasya yang sudah dikepang. El melirik hidangan yang ada di hadapannya. Sedari tadi, ia hanya duduk di kursi tanpa tertarik untuk mencicipi masakan yang dibuat oleh Alma."Arsa gak nafsu, Bun," sahut El yang cemburu melihat kedekatan Sasya dan Alma.Arsa? Bukannya nama dia Kak El, ya? Ouh, mungkin Arsa itu nama panggilannya di rumah. Oh, iya. Tadi juga Kak Dara dipanggilnya Milka. Sasya membatin.
Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di tepi jalan raya. Kedua pintu mobil terbuka bersamaan. Menampilkan seorang lelaki dan perempuan dengan pakaian seiras yang melekat di tubuh keduanya. Ya, mereka El dan Dara. El yang berwajah datar itu mengitari mobil dan menghampiri Dara. Mereka berdua berjalan santai memasuki sebuah kedai bakso yang berada tepat di seberang apartemen terkenal di kota itu. Kedai Bakso Pak Malih. Tulisan yang tertera jelas di spanduk yang menggantung tepat di hadapan gerobak bakso tersebut. Banyak pengunjung yang berlalu lalang memasuki area itu. Hampir semua tempat duduk yang disediakan, telah ditempati oleh para pelanggan Kedai Bakso Pak Malih. Meja kedua dari pojok kedai itu tampak segerombolan perempuan sedang tertawa menanggapi lawakan dari satu temannya. Tatapan matanya bagaikan melepaskan kerinduan yang amat mendalam. Sepertinya, baru kali ini mereka kembali bersua. El dan Dara tampak kebingung