"Nov, ada apa?" tanya Halimah yang merasa kesulitan bangkit dari posisinya."Kita harus ke rumah sakit, Lim. Kamu harus memperjelas semuanya. Jangan ada abu-abu saat kamu ingin memutuskan sesuatu!" Novi mengatakan dengan nada memaksa.Ibu kembar sedikit terkejut melihat banyak orang datang ke kamarnya."Si, siapa mereka?" tanya Halimah kebingungan. "Maaf, ya, Lim aku gak bilang-bilang dulu." Dengan cekatan, Novi bergerak ke arah dua bayi di atas ranjang."Mereka yang akan membawa Salma dan Salwa," lanjutnya sembari mengganti popok kembar.Orang-orang itu mengangguk, memberi hormat pada Halimah."Tap, tapi ...." "Sudah. Nanti saja bicaranya. Mereka adalah keluargaku, jadi kamu tak usah takut anakmu diculik." Novi terus bicara, tanpa melihat Halimah. Ia hanya sesekali mengarahkan tatapan ke wajah Halimah yang kini menatap intens ke arahnya."Oya, Bi. Tolong yang satunya!" Novi meminta salah seorang dari mereka. Tanpa menunggu, mereka pun langsung bergerak."Biar aku siapkan tasnya. Di
Bagi Halimah. Kesalahan Sabil satu-satunya adalah ... menikah diam-diam di belakangnya dengan Fatma. Itulah hal yang paling menyakitkan. Lalu hal lain ... adalah ketidak jujurannya kalau Adiknya Nabil juga menginginkan Halimah.Untuk kesalahan pertama, seharusnya itu bukan sebuah dosa, karena Islam mengizinkannya. Namun, tetap saja menikah tanpa berkomunikasi dengan istri pertama adalah kedzoliman. Tak beradab dan berpotensi menghancurkan rumah tangga pertama. Lalu ... bukankah pernikahan kedua yang menghancurkan rumah tangga sebelumnya adalah keharaman?Halimah yakin Sabil tahu persis tentang itu.Mobil Van yang mereka tumpangi terus melaju, membelah jalanan kota menuju rumah sakit. Di mana Sabil dan adik kembarnya kini dirawat.Halimah membisu. Sesekali menyeka air matanya kala hati terasa nyeri.Novi memerhatikan itu. Ia masih ingin memberi banyak waktu agar Halimah merasa tenang. Namun, tidak keadaaan di depan mereka. Keadaan yang memaksa Halimah segera mengambil tindakan.Dari
"Tu, tung ...!" Sabil berteriak seiring kepergian Halimah, dia benar-benar kehilangan kesempatan. Tubuh sakitnya dipaksa untuk bangkit. Namun, apa daya? Alih-alih bisa bangun. Sabil justru merasakan nyeri luar biasa. Rasa sakit inilah yang membuatnya sadar, bahwa ada ruang di hati Nabil adiknya terisi kebencian untuknya.Suster jaga yang melihat mereka dari kejauhan sejak tadi, akhirnya memeriksa ke kamar Sabil. Saat tahu, pria itu berteriak sambil meringis menahan sakit, suster itu segera memeganginya dan meminta Sabil untuk tenang."Ada apa, Pak!? Anda tidak boleh begini. Kondisi tubuh Anda masih sangat lemah!" Suster memegangi tubuh pasien. Ia mengucap lembut tapi juga menahan kesal.Tak ada jawaban dari mulut Sabil. Ia hanya bisa meringis dengan napas tersengal, karena menahan sakit memaksakan diri sebelumnya.'Bagaimana ini? Bagaimana kalau keadaan berubah? Bukan Nabil yang tak kunjung sadar dan Halimah berbalik padaku sebagai Nabil karena anak-anaknya adalah anak kandung Nabil.
"Aku bukan pelakor! Aku lah istri sah Mas Sabil walau pernikahan kami tidak terdaftar di KUA. Setidaknya kami sudah menikah secara agama, sedang dia ...." Fatma mengucap dengan bibir bergetar. Takut tapi juga emosi. Menunjuk ke arah Halimah.Novi yang bisa menangkap maksud Fatma pun, mendekat. Dan ingin memperjelas maksudnya."Apa maksudmu? Apa Halimah bukan istri Sabil?"Halimah mendorong kursi rodanya. Semua orang tampak bingung melihatnya. Mereka melihat dengan melebarkan mata, saat wanita itu mendekat pada Fatma. Begitu sampai di depan perempuan itu ... Fatmalah yang paling terkejut. Saat dadanya naik turun karena emosi, dengan mata menyipit, benaknya bertanya-tanya apa yang akan dilakukan kakak sepupunya? Sepersekian detik, Halimah menamparnya dengan keras. "Ah!" Fatma mengaduh memegangi pipinya yang terasa nyeri."Tutup mulutmu pelacur kecil!" maki Halimah dengan tatapan marah. Sama halnya Fatma, ia sampai tersengal menahan emosi. Jangankan harus bicara dan memberi pelakor i
[Mungkin 30 menit lagi. Ini aku lagi di jalan menuju rumah sakit]Sabil mendesah membaca pesan dari Fatma. Sudah satu jam sejak ia mengirim pesan itu. Akan tetapi tak juga muncul."Ke mana dia? Apa terjadi sesuatu? Hiss." Sabil merasa bosan. Tanpa sadar ia cemas pada kondisi Fatma. Wanita yang sempat dilupakan beberapa hari ke belakang."Telpon kek kalau ada kepentingan lain, kalau kaya gini bikin orang cemas." "Kalau aku telpon duluan, nanti dia maah curiga kalau aku sebenarnya adalah Sabil."Sabil geleng-geleng. Entah, sejak rencananya dibuat, ada saja halangan untuk melakukannya."Selamat pagi, Bapak Nabil. Bagaimana kabar Anda?" tanya salah satu dari dua Suster yang datang membawa nampan berisi obat-obatan dan alat medis."Pagi." Nabil yang belum bisa bangkit dari posisi tidurnya menoleh ke arah suara.Pria itu mendesah. Suster yang kemarin datang lagi. Masih ada perasaan kesal, karena dia menolak tawarannya semalam. Padahal uang yang ditawarkan lumayan. 'Apa karena penampilank
Halimah yakin, bukan hanya waktu dan tenaga Novi saja yang terkuras. Tapi juga uangnya. Termasuk keberadaan mereka di rumah sakit ini. Kalau saja, bukan karena 'orang dalam' yang juga keluarga Novi, Halimah pasti akan mengalami kesulitan memindah suaminya.Wanita itu berharap, Sabil segera bangun. Lalu mereka bisa memperbaiki semuanya dari awal.Ibu kembar itu menghela napas. Memutar kursi rodanya, kembali menatap pada sang suami. Pria yang untuk bernapas saja memerlukan bantuan alat. Namun, harapan itu masih ada baginya. Kalau Sabil bisa melewati masa kritisnya, dia juga pasti akan sembuh."Apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Halimah, yang membuat Novi menatap ke arahnya. Lalu, pria di depan sana yang diperhatikan oleh Halimah di depan sana.Novi ikut menghela napas panjang. Ikut lelah hati melihat semua kesulitan yang Halimah alami."Oya, Lim. Keadaanmu sendiri gimana?" tanya Novi kemudian. Baginya, Halimah terlalu sibuk memberikan perhatiannya pada sekitar, sampai lupa memperhati
Tanpa disangka, Halimah merasakan pergerakan di tangannya. Perempuan itu terkejut, tatapannya sontak beralih ke tangan lalu ke wajah Sabil. Mata yang terpejam itu perlahan membuka, sedikit lalu melebar perlahan."Mas?!" panggilnya. Ia sangat senang. Akhirnya suaminya bangun.Pria itu berkedip. Ia ingin menyahut dan tersenyum pada Halimah. Namun, mulutnya tertutup alat yang terhubung ke tabung oksigen.Mata Nabil berkedip beberapa kali. Ia sangat bahagia saat membuka mata dan mendapati senyum Halimah ada untuknya. Meski tak mengerti apa yang terjadi setelah ia kehilangan kesadaran penuh. Kenapa ia tak mampu bergerak? Kenapa ia tak ingat apa pun selain kejadian terkahir kali yang terjadi di toko Abangnya.Mungkinkah keberadaan Halimah kali ini adalah sebuah pertanda semua berjalan sesuai kemauan awalnya. Mungkinkah Sabil sudah menyerah pada Halimah dan kini telah kembali pada Fatma?"Mas, sebentar. Aku panggil Dokter!" Halimah mengucap bahagia. Lalu menarik tangannya untuk menggerakkan
"Assalamualaikum. Bu.""Waalaikumsalam.""Em, aku mau bilang kalau pulang telat. Mungkin malam." Fatma mengabari ibunya agar tak khawatir. Sesekali terdengar suara cairan dihirup dari ujung telepon."Kamu nggak apa-apa kan, Fatma? Maksud Ibu apa kamu sedang menjaga Sabil? Apa dia sudah sadar dan baik-baik saja?""Hem. Ya. Bu. Alhamdulillah." Fatma terpaksa berbohong. Karena dia perlu waktu untuk melakukan rencananya dengan Nabil.Kalau saja ibunya tahu, bahwa Halimah membawa pergi Sabil dan menghapus jejak mereka pasti wanita itu akan syok. Dan lagi, Fatma tak punya alasan untuk berlama-lama berada di luar rumah."Alhamdulillah. Syukurlah. Kalau begitu setelah selesai beberes, Ibu akan langsung ke sana." Ibu Fatma sangat senang. Walau dia merasa ada yang aneh.'Lalu bagaimana dengan Halimah? Apa dia baik-baik saja dan sudah bersikap lunak pada Fatma? Sampai-sampai Fatma bisa tinggal merawat Sabil? Atau ada sesuatu antara Halimah dan Sabil, sampai Halimah meninggalkannya.'"Oh, jangan,