_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
Belum genap seminggu usai melahirkan caesar. Rasa sakit yang kurasa sungguh tak terperi. Jangankan bergerak, ingin batuk saja harus menahan.Namun ... begini sikap suamiku,"Sudah kubilang jangan buat dia menangis!" bentak Mas Sabil yang membuatku terkesiap. Kontan saja bayi dalam gendongan, yang awalnya hanya merengek kecil lantaran tak puas menghisap ASI, kini menangis lebih keras.Wajah pria itu semakin merah padam. "Kan? Nangis! Kamu itu ibu yang gimana, sih? Ngurus anak aja gak becus!" hardiknya lagi.Jelas saja kembar terus merengek. Mereka tak kenyang minum ASI-ku. Bayangkan menyusui dua bayi dalam satu waktu. Mereka tak akan puas dan kenyang karena berbagi. Saat si sulung baru selesai dan tertidur dalam buaian, si bungsu bangun menangis karena sudah lapar.Seminggu ini aku benar-benar merasa dihajar oleh keadaan, mengurus dua puteriku sendirian. Untung saja, Bude dan anaknya datang membantu tadi.Kalau saja Mas Sabil mengizinkan, mendampingi dengan susu formula, pasti rasanya
Sore hari, belum ada tanda-tanda Fatma akan datang. Padahal sebentar lagi Mas Sabil pulang kerja. Ini membuatku cemas.Sementara Bulek sibuk memasak untuk makan malam di dapur, siapa yang akan membantuku nanti kalau kembar terbangun. Aku tak ingin memperdengarkan suara tangis mereka pada suami. Dia pasti lelah pulang kerja, dan tangis dua bayi itu pasti membuatnya stress."Assalamualaikum." Terdengar suara merdu Fatma di depan. Derap langkahnya semakin mendekat ke kamarku.Fatma akhirnya datang. Aku tersenyum lega menyambutnya. Gadis itu kemudian meletakkan barang-barang pesananku di pojok kamar. Lalu .meletakkan cemilan di nakas yang bisa kujangkau."Maaf, ya. Mbak. Lama. Apa kembar rewel?" tanyanya."Oh, nggak Fatma. Alhamdulillah dibantu Bulek jadi ada yang bantu diemin. Oya, apa tadi hujan? Kenapa kerudung kamu basah, Fat?""Oh, ini. Aku keringetan aja Mbak. Muter-muter pasar. Hehe." Wanita itu memegangi kerudungnya.Aku manggut-manggut. "Syukurlah. Aku takut kamu sakit karena keh
Kenapa ini sangat kebetulan. Mas Sabil dan Fatma datang hampir berbarengan dan dua-duanya ... memiliki keanehan. Sama-sama basah. Ish, mikir apa sih, aku?Dua-duanya orang baik. Mana mungkin pria yang memiliki idealisme seperti Mas Sabil berkhianat? Apalagi kondisi istrinya sakit setelah melahirkan caesar."Kamu udah makan?" tanya Mas Sabil, seolah tengah mengalihkan perhatian.Kuanggukkan kepala pelan. Tentu saja aku sudah makan, ada Bulek yang sangat telaten memasak untukku.Hanya saja aku tak fokus pada pertanyaan itu, pikiranku masih terganggu oleh kebetulan-kebetulan tadi. Sikap pria ini juga aneh. Dia jadi kalem begini. Atau mungkin karena tak sesetres biasa saat pulang.Dalam seminggu ini, Mas Sabil saat pulang dari toko, biasa disambut dengan tangisan bayi, popok kotor yang menumpuk. Belum lagi makan seadanya yang dibeli di luar. Juga ditambah membantuku ke kamar mandi.Yah, tentu saja lelahnya berlipat-lipat. Aku tahu bagaimana pekerjaan di toko. Satu-satunya peninggalan Bapa
"Waalaikumsalam." Suara berat seorang pria terdengar di ujung telepon."Masnya ada Mbak?""Mas Sabil?""Benar. Eh, ya bukan, ya. Tadi yang ketemu sama saya di pasar." Pria itu menyambung ragu. Mungkin pelanggan Mas Sabil yang baru. Makanya nomornya belum sempat disimpan juga."Oh ya, benar berarti," sahutku. "Ada yang bisa saya bantu? Suami saya ada di belakang, apa perlu saya panggilkan?""Oh, istrinya? Saya pikir Kakaknya soalnya suaranya beda dengan yang tadi.""Hah?" Ada sesuatu yang menyentakku. Berbeda dengan yang tadi? Apa maksudnya? Kami kan tadi tidak ketemu.Sabar, Halimah. Ini pasti ada kesalahan. "Nggak usah dipanggil, Mbak. Mungkin Masnya sibuk, tolong disampein saja. Begini, Mbak. Tolong kasih tahu. Nomor rekening yang tadi saya kasih, salah. Itu rekening istri saya, masalahnya saya sudsh pisah rumah dengannya," jelasnya. "Hem?" Aku kembali terhenyak mendengar berita itu.Ada-ada saja. Kenapa aku harus mendengar hal seperti ini? Aku paling benci perceraian. Benci pela
"Halimah! Apa yang kamu lakukan?!" Mas Sabil datang merebut ponsel di tanganku."Apa itu, Mas? Untuk siapa kamu menyewa rumah? Kenapa tak membicarakannya denganku? Lalu siapa wanita yang tadi katanya bareng Mas Sabil?" tanyaku tegas tanpa basa-basi. AkuDi waktu yang sama, suara piring pecah yang jatuh di lantai terdengar. Saat itulah, aku dan Mas Sabil yang sedang bersitegang menoleh ke sana. Aku memperhatikan seorang gadis yang seketika berjongkok membersihkan pecahan piring di lantai. Puding buatan Bulek yang sepertinya akan diberikan padaku berserakan di sana.Bulek sangat tahu kalau aku menyukai makanan itu. Dia pasti ingin membuatku senang dan menghilangkan stress yang melanda pasca melahirkan. Wanita paruh baya itu, banyak tahu medis karena dulu saat muda sempat bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Fatma ke kamar kami pasti ingin mengantarkan kue itu.Tapi ... kenapa piringnya pecah? Apa dia terkejut karena semua kebohongannya dengan Mas Sabil akan terbongkar?"Ah
Aku terdiam. Dan berusaha mengalihkannya dengan menggnedong sulung kemudian menyusuinya. Namun, Bulek tak terima dan mengejar jawabanku. Wanita tua itu segera duduk di sisi ranjang, memiringkan tubuh menghadapku. Mataku hanya bisa menangis tanpa berani menatapnya.Detik kemudian, Fatma mendekat dan menarik tangan Bulek."Sudah Bund. Jangan dibahas, kita pergi saja." Fatma menggeleng kepala. Saat melihat ke arah matanya, dua mata gadis itu sudah menangis. Ya Tuhan, baru sekarang Fatma meminta bundanya meninggalkanku.Waktu terjeda. Hening. Bulek menatap kami secara bergantian. Waktu-waktu itu cukup memberi kesempatan sulung untuk kembali tidur.Tampaknya Bulek juga sengaja menunggu bayi itu tidur. Aku pun meletakkannya."Halimah, Bulek sangat mengenalmu, Bapak dan Ibumu. Mereka baik, dan Bulek tak mau membalas kebaikan mereka dengan keburukan yang menyakitimu. Percayalah ... Fatma tak mungkin merebut suamimu. Bulek bisa jamin." Bulek menatapku dalam-dalam. Dalam penglihatanku yang b