Home / Sci-Fi / Mata Ajaib Pembaca Pikiran / Bab 2: Kau Tak Sendiri

Share

Bab 2: Kau Tak Sendiri

Author: kafhaya
last update Last Updated: 2024-10-22 23:44:33

Pundakku terasa makin sakit, namun aku terus berusaha menggenggam tangan Tedi sekuat tenaga. Ku pandang dalam-dalam mata Tedi, mencoba menjangkau pikiran dan hatinya.

“Hidup ini keras, Tedi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Jangan pernah berharap orang lain menjadi pahlawan bagimu. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri! Hanya kau yang bisa mengubah hidupmu!” Aku tiba-tiba jadi seorang motivator yang sedang menyemangati hidup orang lain. Padahal entah nasihat itu masuk dalam diriku sendiri atau tidak.

Aku merasakan tangannya berhenti bergetar, seolah untuk pertama kalinya ia mulai mendengarkan. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Entah itu kesedihan yang dalam, atau secercah harapan yang samar-samar.

Seketika, keraguan tergambar jelas di mata Tedi. Dia terdiam, dan aku tahu inilah kesempatan satu-satunya untuk menariknya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menarik tubuhnya ke atas. Tangan dan seluruh tubuhku bergetar. Aku hampir berpikir aku tak akan kuat menarik tubuhnya, Namun akhirnya aku berhasil juga. Kami terhempas di pinggir jembatan, napas kami terengah-engah, sementara dunia seakan berhenti berputar.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas kami yang terdengar, berat dan penuh kelelahan. Kami berdua terbaring di pinggir jembatan. Sambil menatap langit, aku lalu berkata. “Tedi,” bisikku, suaraku parau oleh emosi, “hidup ini memang berat, tapi setiap detik yang kita jalani itu berharga. Tolong, percayalah padaku. Jangan akhiri semuanya seperti ini.”

Tedi terdiam. Perlahan, air mata mengalir dari sudut matanya melewati telinganya, lalu menetes ke tanah. Wajahnya berperang antara putus asa dan keinginan untuk tetap bertahan. “Thomas, aku nggak tahu kalau aku bisa bertahan,” isaknya lirih. “Pikiranku sudah gelap. Aku nggak tahu harus apa lagi. Aku sudah capek. Capek banget.”

Jantungku tersentak mendengar kata-katanya. Aku mengerti rasa itu, rasa putus asa yang membuat dunia tampak kelam. “Aku juga pernah ada di titik terendah, Tedi." suaraku pecah oleh kenangan masa lalu yang menyakitkan.

“Aku pernah berpikir, apa gunanya hidup kalau semua hanya rasa sakit? Aku juga pernah ingin menyerah. Tapi, saat itu aku bertanya pada diriku... kalau aku mengakhiri hidup, apakah itu benar-benar akan menyelesaikan semuanya? Atau hanya akan meninggalkan luka yang lebih dalam bagi mereka yang masih peduli padaku?”

Tedi menggigit bibirnya, suaranya bergetar. “Tapi siapa yang peduli, Thomas? Siapa? Nggak ada yang peduli sama aku. Orang tuaku, mereka nggak peduli. Mereka cuma saling menyakiti dan aku selalu jadi korban.”

Isakannya memecah hatiku. Aku mengulurkan tangan, menyentuh pundaknya dengan lembut, mencoba menyampaikan apa yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.

“Tedi, dengar aku. Aku peduli. Aku benar-benar peduli padamu. Teman-temanmu, meski mereka nggak selalu menunjukkannya, mereka peduli. Guru-gurumu juga peduli. Dan aku yakin, jauh di lubuk hati orangtuamu, mereka juga sayang padamu. Kadang mereka hanya tersesat dalam masalah mereka sendiri. Tapi mereka masih orangtuamu. Aku yakin, mereka mencintaimu, meski cara mereka tidak selalu benar.”

Tedi menoleh pelan, matanya berkaca-kaca, penuh keraguan, namun ada secercah harapan yang mulai muncul. “Kau pikir begitu? Kau benar-benar yakin?” suaranya terdengar putus asa, seolah mencari pegangan di tengah lautan kepedihan.

“Ya, Tedi,” kataku dengan penuh keyakinan. “Aku yakin. Jangan biarkan perasaan ini membutakanmu dari semua yang masih bisa kamu raih. Hidupmu punya arti, dan kau bisa melewati semua ini. Jangan ambil jalan yang salah hanya karena kau merasa tidak ada jalan lain. Ingat! Selalu ada pilihan, selalu ada harapan.”

Dia terdiam sejenak, merenung dalam keheningan yang terasa begitu tegang. Perlahan, ia menganggukkan kepalanya, air mata mengalir semakin deras. “Baiklah,” bisiknya, suaranya pecah oleh emosi yang tak tertahankan. “Aku akan mencoba. Meski aku tak yakin bisa."

Tedi bangkit perlahan, debu yang menempel di bajunya ia tepuk-tepuk dengan tangan gemetar. Wajahnya masih kusut, seolah ada beban yang tak bisa ia lepaskan sepenuhnya, tapi aku bisa melihat sesuatu yang berbeda di matanya—sebutir harapan kecil, setipis benang, namun cukup untuk mengikatnya kembali ke dunia ini.

"Aku mau pulang." suaranya terdengar parau, nyaris tak berdaya, seolah pertempuran dalam dirinya masih belum benar-benar usai.

Aku segera ikut berdiri, mencoba menatapnya dengan penuh keyakinan. "Biar kuantar. Aku nggak bisa membiarkanmu begitu saja. Aku takut kau berubah pikiran lagi. Aku harus pastikan kau sampai rumah dengan selamat." ucapku tegas, nada suaraku memantulkan keteguhan yang aku sendiri kadang ragu aku miliki.

Tedi memandangku dengan mata setengah terpejam, penuh kelelahan. “Nggak usah! Rencanaku tadi udah gagal gara-gara kau. Semua kata-katamu, entah kenapa, sedikitnya memberiku alasan untuk tetap bertahan. Meski aku nggak tahu pasti apakah semuanya benar.” Ia meniup bajunya yang penuh debu, seolah mencoba menyingkirkan beban hidup yang masih melekat padanya.

Wajahnya tetap murung, namun di balik kemuraman itu, aku bisa melihat—ada secercah sinar, sangat tipis, tapi nyata. Sebuah cahaya yang mungkin bisa tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar jika diberi waktu dan kesempatan.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menyampaikan kepedulianku dalam kata-kata yang sederhana tapi penuh makna. "Baiklah, aku percaya padamu. Tapi kau harus kuat, Tedi. Aku ingin besok masih melihatmu di sekolah, oke?" Ucapku, sambil mengulurkan kelingkingku, mengajaknya berjanji seperti yang biasa dilakukan anak-anak kecil ketika berjanji.

Tedi menatap kelingkingku, lalu tersenyum samar, sebuah senyum yang lebih mirip seringai getir.

"Janji?” tanyaku lagi, suaraku serak penuh harap. Tapi Tedi hanya berbalik, punggungnya menyapa pandanganku. Senyumnya yang tipis tadi seakan hanyut oleh angin sore yang dingin. Namun, meski ia tak mengucapkan sepatah kata pun, aku tahu—sesuatu di dalam dirinya telah berubah.

Ia melangkah perlahan, tubuhnya tampak lelah, seolah ia membawa beban yang tak terlihat di pundaknya. Tapi kali ini, langkahnya tak lagi mengarah ke tepi jurang. Rumahnya tak jauh dari sini, seperti aku, dia juga selalu berjalan kaki ke sekolah. Tapi hari ini langkah kami berbeda; jalan yang kami ambil berlawanan arah, tapi takdir kami baru saja berpotongan di tempat yang sama—di jembatan ini, tempat yang sempat menjadi saksi keputusasaannya.

Aku berdiri di sana, menatap punggungnya semakin menjauh dan menghilang. Dadaku sesak oleh campuran emosi—lega, takut, cemas. Apakah dia benar-benar akan baik-baik saja? Apakah besok aku masih akan melihatnya di sekolah?

Tiba-tiba, kurasakan sebuah tangan menepuk pundakku dari belakang, membuatku tersentak kaget.

Jantungku berdegup kencang, tubuhku membeku. Aku tidak mendengar ada siapa pun datang. Perlahan, dengan napas tertahan, dan pikiran yang penuh tanya, aku menoleh ke belakang.

Aku terkejut ketika ku lihat siapa yang sudah ada di hadapanku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 30: Perubahan Drastis

    Aku menatap lembar soal yang terbuka di depanku. Nomor lima, yang tadi dijelaskan Bu Susi, kini terasa seperti terpatri jelas di kepalaku. Bukan karena aku memahaminya dengan baik, tapi karena aku… membaca semua itu dari pikirannya.Aku tahu itu tidak sepenuhnya benar. Tapi juga… tidak sepenuhnya salah, kan?Tanganku mulai bergerak pelan, menuliskan rumus percepatan, massa, gaya, dan angka-angka yang muncul dalam pikiran Bu Susi. Semuanya mengalir lancar seolah aku benar-benar mengerti. Padahal tidak.Perasaan bersalah mulai mengintip dari sudut hati. Tapi aku menekannya."Aku hanya… menggunakan kemampuan yang ku miliki. Aku tak merugikan siapapun.” bisikku dalam hati.Beberapa soal berikutnya bisa kujawab sendiri. Tapi begitu sampai ke soal yang lebih sulit, yang aku benar-benar tidak tahu, aku mulai melirik ke kanan dan ke kiri. Sekilas saja. Tidak lama. Cukup untuk menangkap sepotong pikiran dari teman-temanku.Mereka berpikir keras, mengingat rumus, mengaitkan teori dengan contoh

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 29: Apakah Ini Curang?

    Aku masih duduk di kursi, pura-pura fokus pada tugas biologi, meskipun pikiranku masih bercampur aduk. Tedi sudah sedikit lebih tenang, meski sesekali aku bisa merasakan tatapan tak puasnya. Rossi asyik mencatat, sementara Nina…BRAK!Pintu depan terbuka, dan nenek muncul dengan beberapa kantong belanjaan yang hampir jatuh dari tangannya. Nafasnya sedikit tersengal, kacamata hitamnya agak miring."Aduh, berat juga ini…" gumam nenek.Tanpa pikir panjang, Nina langsung berdiri dan bergegas menghampiri nenek. "Biar aku bantu, Nek!" katanya sigap, mengambil sebagian kantong belanjaan dari tangan nenek sebelum sempat ditolak.Nenek terkejut, tapi akhirnya tersenyum kecil. "Terima kasih, Nak. Wah, kamu cekatan juga, ya?"Aku hanya bisa menatap mereka. Ini pertama kalinya ada orang lain yang masuk begitu saja ke kehidupanku dan berinteraksi dengan nenek seperti ini. Biasanya, hanya aku dan nenek yang ada di rumah ini.Setelah semua belanjaan diletakkan di dapur, Nina langsung menggulung leng

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 28: Antara Tedi dan Nina

    Aku mendengar suara langkah nenek dari dapur. Langkah nenek terhenti mendadak. Di bawah pencahayaan ruang tamu, aku bisa melihat tubuhnya menegang. Ia mengenakan celemek lusuh dengan sedikit noda kuah di ujungnya. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah kacamata hitam yang terus ia kenakan—bahkan di dalam rumah.Aku menahan napas. Nenek memandangi kami satu per satu, meski matanya tersembunyi di balik kacamata hitam itu. Nina, Rossi, dan Tedi, yang tadi masih tertawa, kini ku lihat mereka semua diam. Mereka pasti merasakan perubahan atmosfer yang mendadak ini."Thomas..." suara nenek terdengar datar, tapi ada ketegangan di baliknya. "Siapa mereka?"Aku menelan ludah. Aku tahu nenek pasti akan bereaksi seperti ini."Teman-teman sekolahku, Nek." jawabku pelan.Nenek diam. Matanya masih tersembunyi di balik kacamata itu, membuatku tidak bisa membaca ekspresinya. Tapi dari bibirnya yang sedikit mengerut dan cara jemarinya meremas celemek, aku tahu ia tidak menyukai ini."Tumben kamu b

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 27: Perasaan yang Tersembunyi

    Aku terdiam beberapa saat. Seolah tenggelam dalam lamunan. Aku masih tak percaya akhirnya akan ada teman yang main ke rumahku. Ku lirik ke dapur. Nenek sedang asik memasak. Aku belum memberi tahu nya tentang teman-temanku yang akan datang ke sini. Tapi nanti saja ah memberi tahunya pas mereka datang.Tiba-tiba ponselku berdering lagi.“Halo?” suaraku terdengar agak pelan.“Thomas! Aku sama Tedi dan Rossi udah sampai jalan yang tadi kamu kasih tahu. Tapi rumah kamu tuh di sebelah mana sih? Kita udah muter-muter dari tadi.”“Kalian di mana sekarang?” tanyaku.“Di depan warung kelontong yang catnya warna biru”Aku langsung paham lokasi yang dimaksud.“Yaudah, tunggu di situ. Aku jemput sekarang.”Tanpa pikir panjang, aku keluar rumah. Udara siang masih panas. Aku jalan cepat ke ujung gang.Begitu sampai di pinggir jalan, aku langsung melihat mereka bertiga duduk di atas motor masing-masing. Nina melambaikan tangan heboh, sementara Rossi duduk manis di belakang Tedi. Tedi malah nyender sa

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 26: Ada Apa Dengan Rumahku?

    Aku tertegun beberapa saat. Ku rasakan tubuhku agak lengket perpaduan keringat dan hujan yang tadi membasahiku. Akhirnya aku memilih menurut perkataan nenek. Aku berjalan menuju kamar mandi dengan kepala penuh pikiranku sendiri.Air dingin menyentuh kulitku membuatku sedikit menggigil.Ku rasakan air mengalir membasahi tubuhku, menyapu keringat, debu, dan sisa hujan yang menempel di kulit. Tapi air itu tak bisa membilas semua keresahan yang berkecamuk di kepalaku. Suara dari kamar kosong. Nenek yang muncul tiba-tiba. Kacamata hitam. Semua hal itu berputar-putar bagai pusaran air yang tak mau berhenti. Aku mencoba menenangkan diriku. Mungkin aku cuma terlalu capek. Terlalu paranoid. Tapi di dalam hati kecilku, aku tahu—ada sesuatu di rumah ini yang tidak aku ketahui, dan aku harus mencari tahu.Saat air mengalir membasahi wajahku, aku mencoba mengosongkan pikiran. Tapi gagal. Semua kembali berputar seperti film yang diputar ulang di kepala.Selesai mandi, aku mengeringkan rambutku yang

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 25: Jelaskan Padaku Nek!

    Aku mendapati nenek berdiri di ambang pintu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Nenek memakai kacamata hitam. Aku mengerutkan kening. Seingatku, aku belum pernah melihat nenek memakai kacamata hitam. Buat apa nenek memakai kacamata hitam? Dari mana ia mendapatkannya? Apa nenek sengaja membelinya? "Thomas? Kok sudah pulang?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Aku masih menatapnya, berusaha mencerna situasi ini. "Sekolah hari ini diliburkan. Jadi aku pulang lebih cepat." Nenek mengangguk pelan. Tapi aku masih merasa ada yang aneh. Kenapa nenek masih memakai kacamata hitam di dalam rumah? Apakah nenek sudah tahu kalau aku bisa membaca pikiran? Apakah dia sedang berusaha menghalangi matanya dariku. Aku mencoba menepis pikiranku dan bertanya dengan nada biasa, "Nenek dari mana?" "Tadi habis dari warung," jawabnya cepat. "Sekalian jalan-jalan sekedar melihat-lihat keadaan sekitar." Aku memperhatikan nenek lebih saksama. Pakaiannya rapi, tidak ada tanda-tanda kehujanan atau basah, padah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status