Share

Bab 3: Melawan Bobi

Penulis: kafhaya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-23 10:04:20

Dia Bobi. Entah kenapa dia bisa sampai ada di sini. Ku lihat Bobi tersenyum sinis. Di kiri dan kananku, Riko dan Jejen dengan cepat langsung memegangi tanganku erat. Di belakang Bobi, terlihat ada motor yang terparkir cukup jauh, mungkin agar suaranya tidak terdengar olehku.

"Halo, Bule kampung... hahahaa!" ledek Bobi dengan nada yang menyakitkan. Dia adalah teman sekelasku, orang yang tak pernah bosan mengganggu dan menjahiliku.

"Kok di kampung ada Bule ya? Ini kan di Bandung. Ini Indonesia Bro! Semua orang di sini berambut hitam. Kenapa kamu pirang?" lanjutnya, senyumnya sinis, menyebar rasa malu dan marah di dalam diriku.

Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Riko dan Jejen, namun sia-sia. Tatapanku bertemu dengan mata Bobi, dan seketika itu semua pikiran dan niatnya membanjiri kepalaku. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut pikiranku.

"Aku akan menghajarmu sampai puas. Lihat saja," ancamnya dalam batinku.

"Kau mau apa? Lepaskan aku!" suaraku bergetar, campuran antara ketakutan dan kemarahan menguasai diriku.

Bobi menyeringai, seolah menikmati momen ini. "Kau tanya aku mau apa? Aku akan menghajarmu sampai puas!" Ucap Bobi.

"Apa salahku?" Tanyaku dengan gemetar.

"Apa salahmu? Gara-gara kau melaporkanku pada Pak Udin, aku dihukum lari 20 keliling lapangan di bawah terik matahari. Itu sangat melelahkan, tau!

"Tapi itu salahmu! Aku tidak mengadu, Pak Udin yang bertanya padaku!" jawabku dengan suara yang berusaha tegar, meski ketakutan masih menyelimuti hatiku.

Aku teringat jelas kejadian di sekolah siang tadi saat jam istirahat. Bobi dan dua temannya menyeretku ke halaman belakang sekolah. Riko dan Jejen memegang tanganku dengan kuat, tak memberi ruang untuk melawan.

"Matamu bagus sekali. Satu biru, satu hijau. Seperti mata kucing. Atau jangan-jangan kamu keturunan alien?" Bobi melontarkan ledekan, tawanya menggelora di udara.

Tiba-tiba, ia menengadahkanku, jari-jarinya menahan kelopak mataku agar tak bisa terpejam. "Mari kita lihat apa yang terjadi kalau mata seperti ini diberi sinar matahari!" serunya, dan aku terpaksa menatap matahari yang begitu menyilaukan. Air mata mulai mengalir dari sudut mataku, kepalaku terasa berputar, dan rasa pedih menjalar. Aku memberontak, tetapi Riko dan Jejen menahan tubuhku, tawa mereka menggelegar di sekelilingku.

Waktu terasa terhenti. Dalam hitungan detik, rasa pusing menyergapku, dan aku merasakan tangan mereka mulai melepaskanku. Suara tawa mereka semakin menjauh, langkah kaki meninggalkanku dalam kegelapan. Aku terduduk, memejamkan mata, berusaha meredakan dunia yang berputar. Ku rasakan diriku terjatuh berkali-kali sebelum akhirnya bisa berdiri. Namun, pandanganku semakin kabur. Aku berhasil masuk ke kelas walau dengan langkah sempoyongan.

Bel berbunyi, menandakan istirahat telah usai. Kepalaku berdenyut-denyut, gelap menutupi pandanganku, sampai semuanya benar-benar hitam. "Apakah aku buta?" pikirku, ketakutan menyelubungi hatiku. Aku terus mengucek mataku.

Suara langkah kaki mendekat; aku mengenali suaranya, Pak Udin. "Thomas, kamu kenapa?" tanyanya.

"Aku tak bisa melihat apa-apa. Semuanya gelap." jawabku, suaraku bergetar.

"Apa yang terjadi?" tanya Pak Udin.

"Tadi Bobi, dia memaksaku melihat matahari," kataku dengan napas terputus-putus.

"Astaga, Bobi! Apa yang kamu lakukan? Itu sangat berbahaya! Bagaimana jika Thomas jadi buta?" kemarahan Pak Udin membahana, memecah kesunyian.

"Tedi, tolong bawa Thomas ke Ruang UKS. Beritahu anggota PMR, minta mereka melakukan penanganan segera!" perintahnya tegas.

Tedi membopongku, langkahnya tergesa-gesa menuju Ruang UKS. Di sana, aku diberi obat tetes mata dan disuruh memejamkan mata, beristirahat dalam kegelapan yang menyesakkan.

"Heh! Tetap saja itu namanya kamu melapor kepada guru!" teriak Bobi, membuyarkan lamunanku.

Ketakutan menyergapku. Apa yang harus kulakukan? Aku berpikir keras, lalu dengan spontan, aku berkata, "Memalukan! Beraninya keroyokan. Kalau mau, kita satu lawan satu." Walau aku tahu, hasilnya mungkin aku akan tetap dihajar Bobi. Namun, jika Riko dan Jejen tidak menahanku, setidaknya aku bisa berusaha melawan.

"Wow! Ide yang bagus. Aku suka. Kau pikir aku akan takut? Yang ku takutkan malah kalau ternyata ini cuma caramu agar Riko dan Jejen melepaskanmu, lalu kau lari. Hahaha.. Kau tidak terpikir untuk melakukan itu, kan?" ucap Bobi dengan wajah sinis.

Aku tertegun. Sebenarnya aku tidak pernah terpikir untuk melakukannya. Bobi malah memberi ide itu. Tapi, aku tidak akan melakukannya.

"Jika aku melakukannya, itu sama saja aku tak punya harga diri. " kataku berusaha tegas, meski hatiku bergetar oleh ketakutan.

"Bagus! Aku suka keberanianmu. Tantanganmu kuterima," jawab Bobi, lalu memberi isyarat kepada Riko dan Jejen untuk melepaskanku.

Sejak tadi aku berharap ada seseorang yang lewat sehingga aku bisa meminta perlindungan padanya, atau setidaknya membubarkan kami. Namun jalan ini sangat sepi. Jarang ada yang lewat sini. Seperti saat ini. Belum juga ada yang lewat.

"Baiklah, siap? Terima ini!" teriak Bobi, ia mulai menyerangku. Aku pasrah dengan keadaan ini kalaupun aku akan babak belur dihajar Bobi. Aku akan melawan semampunya saja.

Namun sepersekian detik saat aku menatap mata Bobi dan seketika itu, aku bisa membaca ke mana arah pukulannya. Tanpa ku sadari, dengan cepat, aku bisa menghindar, dan pukulan Bobi hanya mengenai udara. Keterkejutan tampak di wajahnya. Sama terkejutnya denganku.

"Oh hebat juga ya. Kau bisa menghindar dari pukulanku. Rasakan ini!" Ucap Bobi dengan kembali menyerangku, namun karena aku bisa membaca gerakannya, aku bisa menghindar dari serangan Bobi. Bobi terus menyerangku berusaha agar pukulannya mengenaiku. Namun setiap kali ia mengarahkan pukulannya padaku, aku bisa menghindarinya.

Bibirnya yang tadinya tersenyum kini berubah, menunjukkan frustrasi yang mulai menyelimuti. "Kita lihat sampai kapan kau bisa bertahan!" ucap Bobi, suaranya mulai meninggi. Ia kembali menyerangku, namun aku selalu bisa menghindari serangannya.

Riko dan Jejen yang tadinya bersorak kini terdiam, saling berpandangan, merasakan ketegangan yang semakin membesar. Bobi terlihat semakin lelah. "Jangan hanya menghindar! Ayo, kalau berani, serang aku!" teriaknya, napasnya tersengal-sengal, tanda bahwa ia mulai kehabisan tenaga.

Tubuhku terasa lemah, sisa-sisa kelelahan setelah tadi menolong Tedi masih terasa jelas di pundakku yang sakit. Tapi aku berusaha untuk tetap tegak. Aku tak pandai berkelahi. Jika aku menyerang, Bobi mungkin bisa dengan mudah menangkap tanganku, lalu dia akan menghajarku tanpa ampun.

Bobi terlihat mulai kehabisan tenaga. Dia masih mencoba menyerangku dengan sisa kekuatannya, namun kali ini saat dia melayangkan pukulan, aku berhasil menangkap tangannya, lalu memelintir pergelangannya dengan gerakan yang tak kusangka bisa kulakukan. Lalu ku dorong tubuh Bobi hingga tersungkur ke tanah.

Brugh!!! suara Bobi terjatuh. Wajahnya penuh amarah dan ketidakpercayaan.

Aku melirik ke arah Riko dan Jejen yang berdiri tak jauh dariku. Mata mereka saling bertatapan, kebingungan jelas terlihat di wajah mereka. Aku, meski gemetar karena kelelahan, tak bisa menahan amarah yang meluap. Dengan suara serak yang terdengar lebih seperti raungan, aku berteriak pada mereka, "Ayo! Siapa lagi yang mau maju?"

Bobi bangkit perlahan dari tanah. Matanya menatapku tajam. Bobi melirik kedua temannya seperti memberi isyarat. Apa yang akan dilakukan mereka selanjutnya? Akankah mereka maju serentak dan menghajarku dan tak ada lagi satu lawan satu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 30: Perubahan Drastis

    Aku menatap lembar soal yang terbuka di depanku. Nomor lima, yang tadi dijelaskan Bu Susi, kini terasa seperti terpatri jelas di kepalaku. Bukan karena aku memahaminya dengan baik, tapi karena aku… membaca semua itu dari pikirannya.Aku tahu itu tidak sepenuhnya benar. Tapi juga… tidak sepenuhnya salah, kan?Tanganku mulai bergerak pelan, menuliskan rumus percepatan, massa, gaya, dan angka-angka yang muncul dalam pikiran Bu Susi. Semuanya mengalir lancar seolah aku benar-benar mengerti. Padahal tidak.Perasaan bersalah mulai mengintip dari sudut hati. Tapi aku menekannya."Aku hanya… menggunakan kemampuan yang ku miliki. Aku tak merugikan siapapun.” bisikku dalam hati.Beberapa soal berikutnya bisa kujawab sendiri. Tapi begitu sampai ke soal yang lebih sulit, yang aku benar-benar tidak tahu, aku mulai melirik ke kanan dan ke kiri. Sekilas saja. Tidak lama. Cukup untuk menangkap sepotong pikiran dari teman-temanku.Mereka berpikir keras, mengingat rumus, mengaitkan teori dengan contoh

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 29: Apakah Ini Curang?

    Aku masih duduk di kursi, pura-pura fokus pada tugas biologi, meskipun pikiranku masih bercampur aduk. Tedi sudah sedikit lebih tenang, meski sesekali aku bisa merasakan tatapan tak puasnya. Rossi asyik mencatat, sementara Nina…BRAK!Pintu depan terbuka, dan nenek muncul dengan beberapa kantong belanjaan yang hampir jatuh dari tangannya. Nafasnya sedikit tersengal, kacamata hitamnya agak miring."Aduh, berat juga ini…" gumam nenek.Tanpa pikir panjang, Nina langsung berdiri dan bergegas menghampiri nenek. "Biar aku bantu, Nek!" katanya sigap, mengambil sebagian kantong belanjaan dari tangan nenek sebelum sempat ditolak.Nenek terkejut, tapi akhirnya tersenyum kecil. "Terima kasih, Nak. Wah, kamu cekatan juga, ya?"Aku hanya bisa menatap mereka. Ini pertama kalinya ada orang lain yang masuk begitu saja ke kehidupanku dan berinteraksi dengan nenek seperti ini. Biasanya, hanya aku dan nenek yang ada di rumah ini.Setelah semua belanjaan diletakkan di dapur, Nina langsung menggulung leng

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 28: Antara Tedi dan Nina

    Aku mendengar suara langkah nenek dari dapur. Langkah nenek terhenti mendadak. Di bawah pencahayaan ruang tamu, aku bisa melihat tubuhnya menegang. Ia mengenakan celemek lusuh dengan sedikit noda kuah di ujungnya. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah kacamata hitam yang terus ia kenakan—bahkan di dalam rumah.Aku menahan napas. Nenek memandangi kami satu per satu, meski matanya tersembunyi di balik kacamata hitam itu. Nina, Rossi, dan Tedi, yang tadi masih tertawa, kini ku lihat mereka semua diam. Mereka pasti merasakan perubahan atmosfer yang mendadak ini."Thomas..." suara nenek terdengar datar, tapi ada ketegangan di baliknya. "Siapa mereka?"Aku menelan ludah. Aku tahu nenek pasti akan bereaksi seperti ini."Teman-teman sekolahku, Nek." jawabku pelan.Nenek diam. Matanya masih tersembunyi di balik kacamata itu, membuatku tidak bisa membaca ekspresinya. Tapi dari bibirnya yang sedikit mengerut dan cara jemarinya meremas celemek, aku tahu ia tidak menyukai ini."Tumben kamu b

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 27: Perasaan yang Tersembunyi

    Aku terdiam beberapa saat. Seolah tenggelam dalam lamunan. Aku masih tak percaya akhirnya akan ada teman yang main ke rumahku. Ku lirik ke dapur. Nenek sedang asik memasak. Aku belum memberi tahu nya tentang teman-temanku yang akan datang ke sini. Tapi nanti saja ah memberi tahunya pas mereka datang.Tiba-tiba ponselku berdering lagi.“Halo?” suaraku terdengar agak pelan.“Thomas! Aku sama Tedi dan Rossi udah sampai jalan yang tadi kamu kasih tahu. Tapi rumah kamu tuh di sebelah mana sih? Kita udah muter-muter dari tadi.”“Kalian di mana sekarang?” tanyaku.“Di depan warung kelontong yang catnya warna biru”Aku langsung paham lokasi yang dimaksud.“Yaudah, tunggu di situ. Aku jemput sekarang.”Tanpa pikir panjang, aku keluar rumah. Udara siang masih panas. Aku jalan cepat ke ujung gang.Begitu sampai di pinggir jalan, aku langsung melihat mereka bertiga duduk di atas motor masing-masing. Nina melambaikan tangan heboh, sementara Rossi duduk manis di belakang Tedi. Tedi malah nyender sa

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 26: Ada Apa Dengan Rumahku?

    Aku tertegun beberapa saat. Ku rasakan tubuhku agak lengket perpaduan keringat dan hujan yang tadi membasahiku. Akhirnya aku memilih menurut perkataan nenek. Aku berjalan menuju kamar mandi dengan kepala penuh pikiranku sendiri.Air dingin menyentuh kulitku membuatku sedikit menggigil.Ku rasakan air mengalir membasahi tubuhku, menyapu keringat, debu, dan sisa hujan yang menempel di kulit. Tapi air itu tak bisa membilas semua keresahan yang berkecamuk di kepalaku. Suara dari kamar kosong. Nenek yang muncul tiba-tiba. Kacamata hitam. Semua hal itu berputar-putar bagai pusaran air yang tak mau berhenti. Aku mencoba menenangkan diriku. Mungkin aku cuma terlalu capek. Terlalu paranoid. Tapi di dalam hati kecilku, aku tahu—ada sesuatu di rumah ini yang tidak aku ketahui, dan aku harus mencari tahu.Saat air mengalir membasahi wajahku, aku mencoba mengosongkan pikiran. Tapi gagal. Semua kembali berputar seperti film yang diputar ulang di kepala.Selesai mandi, aku mengeringkan rambutku yang

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 25: Jelaskan Padaku Nek!

    Aku mendapati nenek berdiri di ambang pintu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Nenek memakai kacamata hitam. Aku mengerutkan kening. Seingatku, aku belum pernah melihat nenek memakai kacamata hitam. Buat apa nenek memakai kacamata hitam? Dari mana ia mendapatkannya? Apa nenek sengaja membelinya? "Thomas? Kok sudah pulang?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Aku masih menatapnya, berusaha mencerna situasi ini. "Sekolah hari ini diliburkan. Jadi aku pulang lebih cepat." Nenek mengangguk pelan. Tapi aku masih merasa ada yang aneh. Kenapa nenek masih memakai kacamata hitam di dalam rumah? Apakah nenek sudah tahu kalau aku bisa membaca pikiran? Apakah dia sedang berusaha menghalangi matanya dariku. Aku mencoba menepis pikiranku dan bertanya dengan nada biasa, "Nenek dari mana?" "Tadi habis dari warung," jawabnya cepat. "Sekalian jalan-jalan sekedar melihat-lihat keadaan sekitar." Aku memperhatikan nenek lebih saksama. Pakaiannya rapi, tidak ada tanda-tanda kehujanan atau basah, padah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status