Home / Sci-Fi / Mata Ajaib Pembaca Pikiran / Bab 7: Di Antara Tuduhan dan Dukungan

Share

Bab 7: Di Antara Tuduhan dan Dukungan

Author: kafhaya
last update Last Updated: 2025-01-18 20:49:39

Nina tak kuasa lagi menahan tangisnya. Ia sesegukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Entah ini apakah tangis penyesalan dan perasaan bersalah, atau malah sebaliknya ia merasa tertekan dan merasa dituduh atas apa yang dia tidak lakukan. Pak Luki, lalu bertanya lagi, nadanya kali ini lebih hati-hati seolah ingin agar Nina tidak merasa tertekan, “Nina, apakah kau ada hubungannya dengan hilangnya HP dan uang Bu Rini?” tanya Pak Luki lagi. Nina lalu menatap Pak Luki, dengan menahan isak tangisnya, ia lalu berkata, “Tidak, Pak. Aku sama sekali tidak tahu. Aku bukan pelakunya. Aku tak tahu kenapa antingku bisa sampai ada di kolong meja Bu Rini,” jawab Nina, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tapi kemarin, ketika HP dan uang Bu Rini hilang, apa kau ke ruang guru?” tanya Pak Luki dengan nada khawatir. “Aku... aku kemarin sore memang ke ruang guru, Pak. Tapi aku ke mejanya Pak Udin, hanya untuk menyimpan tugas yang harus dikumpulkan. Waktu itu tanpa sengaja pulpenku jatuh. Aku mencari ke kolong meja Pak Udin untuk mengambil pulpenku. Mungkin saat itulah antingku terjatuh. Namun entah kenapa, antingku yang terjatuh itu berpindah ke bawah meja Bu Rini. ” jawab Nina. Aku yang membaca mata Nina bisa memastikan bahwa dia berkata jujur.

“Kami kemarin ke ruang guru berdua, Pak. Aku menemani Nina ke ruang guru. Dan kami memang tidak melakukan apapun selain menyimpan tugas di meja Pak Udin. Waktu itu memang ruang guru sedang kosong. Jadi tidak ada yang melihat kami,” ucap Rossi, matanya berkilau penuh keyakinan. Aku tidak mau Bu Rini mengira aku pencuri. Aku bukan pencuri, Rossi. Kau juga tahu. Kita waktu itu berdua ke ruang guru. dan kau menyaksikannya sendiri. Aku tak mengambil apa-apa dari meja Bu Rini,” ucap Nina sambil menatap Rossi dengan penuh harapan. “Ya, baik dari penjelasanmu ini, aku percaya padamu Nina. Sudah jangan bersedih lagi. Jika memang kau yakin kau tak bersalah, Nina. Apalagi ada Rossi yang menjadi saksimu. Nanti di ruang kepala sekolah, ceritakan dan jelaskan saja apa yang sebenarnya terjadi. Jangan takut! Aku yakin Bapak Kepala Sekolah dan Bu Rini juga pasti akan paham dan tak akan mencurigaimu lagi.” kata Pak Luki, seolah menyemangati Nina yang tampak lelah dengan semua ini. "Baik anak-anak. Kita lanjutkan lagi pelajarannya. Jangan sampai kejadian ini menghambat pelajaran yang sekarang sedang kita pelajari. Ayo semuanya kembali fokus pada pelajaran agar sama-sama bisa memahami apa yang sekarang sedang kita pelajari. Bapak akan meneruskan untuk menjelaskan." Pak Luki berusaha meneruskan pelajaran, melanjutkan penjelasan materi yang seharusnya kami serap dengan baik. Namun, suasana kelas benar-benar berbeda. Setiap kata yang keluar dari mulut Pak Luki seperti berlalu begitu saja, tanpa ada yang benar-benar mendengarkannya. Mataku berkeliling, memperhatikan teman-temanku yang sepertinya juga mengalami hal yang sama. Beberapa dari mereka menunduk, beberapa lainnya melirik Nina dengan rasa ingin tahu bercampur was-was. Semua pikiran kami tertuju pada kejadian yang baru saja terjadi, seolah setiap huruf yang keluar dari mulut Pak Luki tenggelam dalam keraguan dan ketakutan. Di kursinya, Nina masih duduk dengan tatapan kosong, sesekali mengusap sisa air mata di wajahnya. Rossi terus berada di sampingnya, sesekali menepuk punggungnya untuk memberikan dukungan. Namun, meski ada dukungan dari sahabatnya, jelas sekali bahwa Nina merasa sangat tertekan. Ia tak menyangka semuanya bisa jadi seperti ini. Pikiranku pun terus melayang. Bagaimana caranya anting Nina bisa ada di kolong meja Bu Rini? Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku, mencari jawaban yang tak kunjung datang. Bel tanda jam pelajaran terakhir akhirnya berbunyi, menandai akhir dari hari yang panjang dan penuh tekanan. Biasanya, bel itu disambut dengan sorakan dan tawa dari teman-teman sekelasku. Tapi kali ini, tidak ada suara kegembiraan. Meski beberapa siswa tampak senang bisa meninggalkan kelas, aura kegelisahan masih menyelimuti ruangan. Sementara teman-teman yang lain mulai bergegas keluar, Nina dan Rossi tetap duduk di kursinya. Wajah Nina pucat, matanya masih sembab, dan jelas bahwa di dalam hatinya sedang ada perasaan yang berkecamuk. Aku sendiri belum beranjak dari tempatku. Ada sesuatu yang menahanku untuk tidak pergi. Aku merasa perlu berada di sini, di samping Nina. Dia butuh dukungan, dan entah kenapa aku merasa bertanggung jawab untuk memberikan dukungan itu. Aku melihat ke arah pintu, di sana ada Tedi. Tedi melirik ke arah kami, wajahnya tampak ragu sejenak sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan kelas.

Aku memutuskan untuk menghampiri Nina. Di dalam ruangan yang kini nyaris kosong, hanya tersisa kami bertiga—aku, Nina, dan Rossi. Keheningan melingkupi kami.

“Nina," ucapku dengan perlahan. Nina menoleh padaku. Wajahnya penuh kesedihan dan tertekan. Aku melanjutkan, "aku percaya padamu. Aku yakin bukan kamu pencurinya,” ucapku lembut, mencoba menghapus sedikit beban yang Nina rasakan. "Aku yakin orang lain pelakunya, walaupun sampai detik ini kita belum tahu siapa." Ucapku. Nina menahan tangisnya, matanya yang merah dan sembab menatapku dengan penuh haru. Wajahnya masih dibasahi air mata, namun dalam pandangannya terselip secercah harapan.

“Terima kasih, Thomas. Ternyata masih ada yang percaya padaku,” ucapnya dengan suara serak, diselingi sesenggukan.

“Kita harus menemukan siapa pencurinya. Agar Bu Rini tidak lagi mencurigai salah satu dari kita yang telah mencuri uang dan HP nya.” ucapku dengan penuh keyakinan.

"Tapi bagaimana?” Rossi menyela, suaranya masih dipenuhi kebingungan.

“Sekarang sepertinya Bu Rini yakin kalau pencurinya adalah Nina, karena dia mempunyai bukti yang menurutnya kuat, yaitu anting Nina. Apa yang harus kita lakukan?” lanjut Rossi dengan raut wajah cemas.

Aku menatap Rossi, mencoba mencari kata-kata yang bisa meyakinkan. Bagaimana kami bisa membuktikan bahwa Nina tidak bersalah ketika ada sebuah bukti yang justru mengarah padanya? Namun, seperti yang ku baca dari mata Nina, aku tahu Nina tidak bersalah.

“Sebaiknya kau tetap ke ruang kepala sekolah. Jelaskan kepada mereka bahwa memang kau bukan pelakunya.” ucapku meyakinkan Nina.

“Tapi aku takut,” jawab Nina dengan nada yang semakin rendah.

"Nina, jangan takut! Aku dan Rossi akan menemanimu pergi ke ruang kepala sekolah. Iya kan Rossi?” ucapku sambil melirik Rossi yang dari tadi mengusap-ngusap punggung Nina. Rossi mengangguk dengan penuh keyakinan.

Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu—seolah baru menyadari ada seseorang di luar kelas. Dari sudut mataku, aku melihat bayangan samar bergerak di balik jendela kelas.

“Sepertinya… ada seseorang di luar,” bisikku pelan, membuat Nina dan Rossi saling berpandangan dengan wajah cemas.

“Ada yang menguping percakapan kita dari tadi?” Rossi bertanya, suaranya berbisik hampir tak terdengar.

Aku mengangguk pelan, “Aku rasa begitu.”

Tanpa banyak bicara lagi, kami bertiga bangkit dari tempat duduk. Dengan langkah hati-hati, kami berjalan keluar kelas. Siapa orang di luar itu? Mengapa dia seolah menguping percakapan kami? Apa dia ada hubungannya dengan kasus pencurian ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 30: Perubahan Drastis

    Aku menatap lembar soal yang terbuka di depanku. Nomor lima, yang tadi dijelaskan Bu Susi, kini terasa seperti terpatri jelas di kepalaku. Bukan karena aku memahaminya dengan baik, tapi karena aku… membaca semua itu dari pikirannya.Aku tahu itu tidak sepenuhnya benar. Tapi juga… tidak sepenuhnya salah, kan?Tanganku mulai bergerak pelan, menuliskan rumus percepatan, massa, gaya, dan angka-angka yang muncul dalam pikiran Bu Susi. Semuanya mengalir lancar seolah aku benar-benar mengerti. Padahal tidak.Perasaan bersalah mulai mengintip dari sudut hati. Tapi aku menekannya."Aku hanya… menggunakan kemampuan yang ku miliki. Aku tak merugikan siapapun.” bisikku dalam hati.Beberapa soal berikutnya bisa kujawab sendiri. Tapi begitu sampai ke soal yang lebih sulit, yang aku benar-benar tidak tahu, aku mulai melirik ke kanan dan ke kiri. Sekilas saja. Tidak lama. Cukup untuk menangkap sepotong pikiran dari teman-temanku.Mereka berpikir keras, mengingat rumus, mengaitkan teori dengan contoh

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 29: Apakah Ini Curang?

    Aku masih duduk di kursi, pura-pura fokus pada tugas biologi, meskipun pikiranku masih bercampur aduk. Tedi sudah sedikit lebih tenang, meski sesekali aku bisa merasakan tatapan tak puasnya. Rossi asyik mencatat, sementara Nina…BRAK!Pintu depan terbuka, dan nenek muncul dengan beberapa kantong belanjaan yang hampir jatuh dari tangannya. Nafasnya sedikit tersengal, kacamata hitamnya agak miring."Aduh, berat juga ini…" gumam nenek.Tanpa pikir panjang, Nina langsung berdiri dan bergegas menghampiri nenek. "Biar aku bantu, Nek!" katanya sigap, mengambil sebagian kantong belanjaan dari tangan nenek sebelum sempat ditolak.Nenek terkejut, tapi akhirnya tersenyum kecil. "Terima kasih, Nak. Wah, kamu cekatan juga, ya?"Aku hanya bisa menatap mereka. Ini pertama kalinya ada orang lain yang masuk begitu saja ke kehidupanku dan berinteraksi dengan nenek seperti ini. Biasanya, hanya aku dan nenek yang ada di rumah ini.Setelah semua belanjaan diletakkan di dapur, Nina langsung menggulung leng

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 28: Antara Tedi dan Nina

    Aku mendengar suara langkah nenek dari dapur. Langkah nenek terhenti mendadak. Di bawah pencahayaan ruang tamu, aku bisa melihat tubuhnya menegang. Ia mengenakan celemek lusuh dengan sedikit noda kuah di ujungnya. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah kacamata hitam yang terus ia kenakan—bahkan di dalam rumah.Aku menahan napas. Nenek memandangi kami satu per satu, meski matanya tersembunyi di balik kacamata hitam itu. Nina, Rossi, dan Tedi, yang tadi masih tertawa, kini ku lihat mereka semua diam. Mereka pasti merasakan perubahan atmosfer yang mendadak ini."Thomas..." suara nenek terdengar datar, tapi ada ketegangan di baliknya. "Siapa mereka?"Aku menelan ludah. Aku tahu nenek pasti akan bereaksi seperti ini."Teman-teman sekolahku, Nek." jawabku pelan.Nenek diam. Matanya masih tersembunyi di balik kacamata itu, membuatku tidak bisa membaca ekspresinya. Tapi dari bibirnya yang sedikit mengerut dan cara jemarinya meremas celemek, aku tahu ia tidak menyukai ini."Tumben kamu b

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 27: Perasaan yang Tersembunyi

    Aku terdiam beberapa saat. Seolah tenggelam dalam lamunan. Aku masih tak percaya akhirnya akan ada teman yang main ke rumahku. Ku lirik ke dapur. Nenek sedang asik memasak. Aku belum memberi tahu nya tentang teman-temanku yang akan datang ke sini. Tapi nanti saja ah memberi tahunya pas mereka datang.Tiba-tiba ponselku berdering lagi.“Halo?” suaraku terdengar agak pelan.“Thomas! Aku sama Tedi dan Rossi udah sampai jalan yang tadi kamu kasih tahu. Tapi rumah kamu tuh di sebelah mana sih? Kita udah muter-muter dari tadi.”“Kalian di mana sekarang?” tanyaku.“Di depan warung kelontong yang catnya warna biru”Aku langsung paham lokasi yang dimaksud.“Yaudah, tunggu di situ. Aku jemput sekarang.”Tanpa pikir panjang, aku keluar rumah. Udara siang masih panas. Aku jalan cepat ke ujung gang.Begitu sampai di pinggir jalan, aku langsung melihat mereka bertiga duduk di atas motor masing-masing. Nina melambaikan tangan heboh, sementara Rossi duduk manis di belakang Tedi. Tedi malah nyender sa

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 26: Ada Apa Dengan Rumahku?

    Aku tertegun beberapa saat. Ku rasakan tubuhku agak lengket perpaduan keringat dan hujan yang tadi membasahiku. Akhirnya aku memilih menurut perkataan nenek. Aku berjalan menuju kamar mandi dengan kepala penuh pikiranku sendiri.Air dingin menyentuh kulitku membuatku sedikit menggigil.Ku rasakan air mengalir membasahi tubuhku, menyapu keringat, debu, dan sisa hujan yang menempel di kulit. Tapi air itu tak bisa membilas semua keresahan yang berkecamuk di kepalaku. Suara dari kamar kosong. Nenek yang muncul tiba-tiba. Kacamata hitam. Semua hal itu berputar-putar bagai pusaran air yang tak mau berhenti. Aku mencoba menenangkan diriku. Mungkin aku cuma terlalu capek. Terlalu paranoid. Tapi di dalam hati kecilku, aku tahu—ada sesuatu di rumah ini yang tidak aku ketahui, dan aku harus mencari tahu.Saat air mengalir membasahi wajahku, aku mencoba mengosongkan pikiran. Tapi gagal. Semua kembali berputar seperti film yang diputar ulang di kepala.Selesai mandi, aku mengeringkan rambutku yang

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 25: Jelaskan Padaku Nek!

    Aku mendapati nenek berdiri di ambang pintu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Nenek memakai kacamata hitam. Aku mengerutkan kening. Seingatku, aku belum pernah melihat nenek memakai kacamata hitam. Buat apa nenek memakai kacamata hitam? Dari mana ia mendapatkannya? Apa nenek sengaja membelinya? "Thomas? Kok sudah pulang?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Aku masih menatapnya, berusaha mencerna situasi ini. "Sekolah hari ini diliburkan. Jadi aku pulang lebih cepat." Nenek mengangguk pelan. Tapi aku masih merasa ada yang aneh. Kenapa nenek masih memakai kacamata hitam di dalam rumah? Apakah nenek sudah tahu kalau aku bisa membaca pikiran? Apakah dia sedang berusaha menghalangi matanya dariku. Aku mencoba menepis pikiranku dan bertanya dengan nada biasa, "Nenek dari mana?" "Tadi habis dari warung," jawabnya cepat. "Sekalian jalan-jalan sekedar melihat-lihat keadaan sekitar." Aku memperhatikan nenek lebih saksama. Pakaiannya rapi, tidak ada tanda-tanda kehujanan atau basah, padah

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 24: Apakah Aku Berhalusinasi Lagi?

    Aku berjalan menyusuri trotoar, langkahku sedikit tergesa. Langit yang tadi terlihat cerah kini mendadak dipenuhi awan kelabu, sebuah pertanda bahwa hujan akan segera turun. Benar saja, beberapa saat kemudian, rintik-rintik hujan mulai berjatuhan membasahi kepala, pundak dan tubuhku. Aku mempercepat langkah, bahkan mulai berlari kecil agar cepat sampai ke rumah.Pikiranku masih dipenuhi kejadian yang tadi ku alami. Bobi yang tiba-tiba datang meminta maaf. Riko dan Jejen yang terlihat masih ragu-ragu untuk mengakui kesalahan mereka. Tedi yang bersikeras mengingatkanku untuk tidak terlalu percaya pada Bobi. Dan kucing hitam itu… tatapannya yang misterius dan tajam masih terasa seolah menembus pikiranku. Semua itu bercampur menjadi satu, membuatku semakin ingin segera sampai di rumah, ku ingin menenangkan diri.Biasanya, jam segini aku masih berada di sekolah, dan sore hari baru pulang. Nenek pasti akan terkejut melihatku pulang lebih cepat hari ini. Aku membayangkan ekspresi herannya sa

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 23: Sebuah Tatapan Tajam

    Seekor kucing hitam menatapku tajam. Matanya berkilat, pupilnya sedikit menyempit seolah sedang meneliti sesuatu yang mencurigakan. Aku mengernyit. Ada sesuatu yang aneh. Biasanya, setiap kucing yang melihatku akan langsung berlari menjauh sambil mendesis penuh kemarahan. Tapi kucing ini… tidak. Ia tidak berlari, tidak mendesis, hanya diam dan menatapku lekat-lekat seakan penuh dengan tanya.Rasa penasaran menjalar di benakku. Aku menatap balik kucing itu, mempertanyakan sesuatu yang tak bisa kuutarakan dengan kata-kata. Lalu, sebuah pikiran terbersit—apakah aku juga bisa membaca pikiran kucing? Sejauh ini, aku hanya pernah membaca pikiran manusia, karena manusia memiliki bahasa yang bisa kutangkap dalam bentuk kata dan kalimat di dalam benak mereka. Tapi hewan? Mereka tidak memiliki bahasa seperti manusia.Aku memfokuskan pandanganku pada mata kucing itu, mencoba masuk ke dalam pikirannya seperti yang biasa kulakukan pada manusia.Dunia di sekitarku tiba-tiba bergetar. Ada sensasi an

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 22: Amarah Tedi

    Aku terbelalak kaget. Bobi tersungkur, dan sosok yang menyerangnya kini berada di atasnya, mencengkeram kerah bajunya dengan penuh emosi."Kau pikir kau bisa menjahili kami lagi?!" teriak orang itu, suaranya penuh amarah.Riko dan Jejen berusaha menarik orang itu, namun Ia berhasil menepis tangan Riko dan Jejen. Aku masih terlalu terkejut untuk bereaksi, tetapi saat aku melihat wajah orang itu dengan jelas, dadaku langsung terasa sesak.Itu Tedi.Tedi, yang selama ini terlihat lemah dan hanya selalu bisa pasrah ketika dijahili oleh mereka bertiga tanpa bisa sedikitpun melawan, kini berada di atas Bobi dengan wajah penuh amarah. Matanya menyala, rahangnya mengeras, dan tangannya mencengkeram erat kerah baju Bobi seakan ingin meremukkannya. Entah apa yang merasukinya hingga ia sampai bisa bersikap seperti itu. "Tedi, berhenti!" suaraku serak, tapi aku tidak bergerak. Kakiku seperti tertanam di tanah, sementara mataku terpaku pada apa yang sedang terjadi di hadapanku.Namun, Tedi tidak

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status