Beranda / Fantasi / Mata Batin / Karma Selingkuh

Share

Karma Selingkuh

Penulis: Nannys0903
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-27 00:11:31

Bara Sang Pengembara 

Bab 2 

Suara isakan terdengar di bibir mak Djasiah dan Fika. Abah hanya menatap kepergian anaknya. 

"Bara, jaga kalung ini. Jangan sampai hilang!" pesan mak Djasiah mengalungkan kalung emas putih. 

"Bara akan jaga kalung ini. Mak, jangan sedih. Bara akan pulang dan bawa uang yang banyak untuk Mak. Kita akan punya rumah sendiri." 

"Kak Bara, jangan lupain Fika," ucapnya. Matanya mengembun. Bara menghapus air mata yang menetes di pipi gadis itu. 

"Gak akan. Fika tetap ada di hati Bara. Titip mak dan abah. Cuma kamu yang bisa aku percaya." 

Fika menganggukkan kepala. Ia mencium tangan Bara dan pemuda itu juga mencium tangan sahabat kecilnya. 

Bara menaiki truk yang telah menunggunya. Pakde Sulaiman memberikan kode untuk pamit. Lelaki itu akan mengantar barang ke Jawa Tengah. 

Mak Djasiah hanya memberikan uang dua ratus ribu untuk sang anak. Pesan dari kedua orang tuanya akan selalu ia ingat. 

Perjalanan antara desa dan pelabuhan Bakauheni membutuhkan waktu empat jam. Pakde Sulaiman selalu ditemani oleh keponakannya yang akan mengantikannya ketika ia lelah.

"Kenapa kamu gak kerja jadi buruh sawit saja. Dari pada harus merauntau ke luar pulau." 

"Di pabrik sawit sudah terlalu banyak orang. Juragan tak bisa menerima orang lagi."

"Walah, angel ... angel." 

"Juragan sudah menjual sebagian tanahnya kepada orang kota. Entah untuk apa mereka membeli tanah di pedesaan," ucap ponakan Pakde Sulaiman. Pemuda yang berusia sembilan belas tahun. 

"Dijual, memangnya kenapa?" Lelaki yang sedang mengemudi merasa heran. 

"Juragan Udin memiliki utang yang sangat banyak." 

"Owala, pantas saja tanahnya banyak ternyata, utang. Terkadang, orang ingin dipandang kaya dan berkuasa. Mereka akan melakukan segala cara. Berhutang dan melakukan ilmu hitam." 

"Memangnya ada yang seperti itu?" tanya Bara. 

"Tentu saja, Le. Banyak. Orang kalau hanya mengandalkan nafsu saja ia akan terjerumus dalam kesengsaraan. Semua yang dipilih pasti ada titik baliknya." 

Bara menganggukkan kepala. 

-

-

-

Mereka sudah sampai di pelabuhan. Para truk dan mobil lainnya mengantri untuk masuk ke kapal khusus angkutan barang. 

"Kalau sudah sampai di pulau Jawa, pesan Pakde. Kamu harus berhati-hati memilih teman." 

"Baik Pakde." 

"Ini buat tambahan kamu." Menyodorkan uang lima ratus ribu ke arah Bara.

"Tidak usah Pakde," tolak Bara.

"Ambil, Le. Kamu juga anak saya." 

Bara mengambil uang dari tangan lelaki tua itu. Ia tersenyum dan menganggukkan kepala. 

"Kalau sudah sukses. Jangan lupa sama orang tua." Bara mengerti nasihat lelaki itu. Ia akan selalu ingat dengan Mak dan Abah. 

-

-

-

Suara klakson saling sahut menyahut. Bara berjalan kaki menuju arah selatan sesuai feelingnya.

Panas terik matahari tak membuat Bara berhenti melangkah. Berbagi macam kendaraan melewati dirinya. 

Bara sudah berjalan kaki selama dua jam. Karena terbiasa dengan hal tersebut tak jadi beban untuknya. 

Bara berhenti di sebuah warung makan, duduk di pojok. Keadaan warung sangat ramai. 

Sepanjang perjalanan banyak sekali warung nasi dengan berbagai lauk. Ia tak tergiur sedikitpun. Warung sederhana dengan tembok terbuat dari anyaman bambu. 

Suasana warung itu mengingatkan Bara tentang kampung di seberang pulau. 

"Mau makan apa ngopi?" tanya penjaga warung. 

"Nasi satu Mak. Pakai sayur asam dan sambal terasi." 

Pemilik warung menyodorkan piring berisi lauk yang diminta Bara.

Rasa masakan di warung ini sangat pas di mulutnya. Meneguk air putih yang telah disediakan. 

"Ade, mau ke mana?" tanya pemilik warung. 

"Mau cari kerja, Mak." 

"Pantesan, saya baru lihat." 

"Mau kerja apa di sini?" tanyanya. 

"Kerja apa saja yang penting halal." 

"Kerja halal gampang atuh. Dagang pinggir jalan juga halal asal jangan nyopet pinggir jalan," ungkapnya. 

Bara hanya tersenyum mendengar guyonan wanita itu. 

"Ganc*t! Ganc*t!" teriak seorang lelaki. 

Para warga menghampirinya. 

"Siapa? Siapa?" 

"Tuh, di belakang mesjid." 

"Ayo kita ke sana! Kita lihat!" teriak salah satu seorang pemuda. 

Mereka berlima mengahampiri lokasi tersebut. Bara menatap punggung mereka.

"Berapa Bu?" tanya dengan terburu-buru.

"Sepuluh ribu," ucap ibu pemilik warung. 

Bara langsung berlari mengikuti mereka. Melihat apa yang sebenarnya terjadi. Para warga sudah berkumpul di sebuah rumah kecil tepatnya di belakang mesjid. 

"Astaghfirullahaladzim," ucap ibu-ibu berdaster. Ia segera berlari meninggalkan tempat tersebut. Wajahnya terlihat panik. 

"Arak aja mereka! Arak!" 

"Bakar saja mereka!" 

Bara hanya mendengar teriakkan orang-orang di dalam rumah itu. Hendak melihat apa yang terjadi. Tubuh para warga menutupi kejadian yang tak pernah dilihatnya. 

"Dasar kalian tak tahu diuntung!" 

"Sabar bapak-bapak! Sabar!" 

"Tak tahu diri!" 

"Kena ajab mereka!" 

Semakin banyak makian yang dilontarkan Bara semakin ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. 

Suara wanita berteriak histeris seperti orang kesakitan.

"Sakit! Tolong!" 

"Diem kamunya. Saya juga sakit," ungkap suara lelaki. 

Bara semakin memajukan tubuhnya. Menyelip di antara orang-orang. Mata Bara terbelalak, sepasang manusia sedang bertindihan di atas kasur. Mereka tak mengunakan kain sehelai pun. 

"Apa yang mereka lakukan. Mengapa seperti itu?" lirih Bara. 

"Permisi, numpang lewat," ucap seorang wanita bersama dengan wanita berdaster berperut mengunung. Para warga memberikan jalan kepada mereka. 

Kedua wanita itu tampak shock. Bara berdiri tepat di samping mereka.

"Dasar bajingan! Suami gak punga akhlak! Abang!" maki wanita itu dengan wajah memerah. 

Wanita berkisar umur empat puluh tahun memukul-mukul tubuh lelaki yang berada di atas wanita. 

"Sakit! Hentikan Bu!" 

"Laki-laki penzina!" Ia berteriak histeris. Tangannya memukul tubuh suaminya. Para warga tak ada yang berani menghentikan wanita itu seolah-olah tak peduli dengan rasa sakit dari pasangan ganc*t itu. 

"Ampun, Bu! Ampun."

"Mas, suruh istrimu berhenti, aku tak bisa bernapas," ungkap sang perempuan yang berada di bawah.

"Tolong Pak! Kami bisa mati!" teriak lelaki itu. Lelaki berumur empat puluh dua tahun. 

"Biarkan saja! Biar mati sekalian!" 

"Bu, ampun! Bapak minta ampun!" pintanya dengan napas yang tersenggal-sengal. 

Wanita yang sedang mengandung menatap mereka dengan derai air mata. Tubuhnya melemah menahan rasa sakit di bagian perut. 

Air berwarna putih keruh mengalir di bagian pahanya. Ia hampir terhuyung ke belakang kalau saja Bara tak menahan tubuhnya. 

"Lastri ketubanmu pecah, dia mau melahirkan," ucap salah satu warga. 

"Lastri ...." panggil lelaki ganc*t.

"Hei, kamu cepat bawa dia ke bidan!" perintah seorang lelaki dengan mengunakan kopiah kepada Bara. 

Bara langsung membawa wanita hamil itu dengan memapahnya sendirian.

"Di mana tempat bidannya?" tanya Bara panik. Tangannya terkena cairan putih yang disebut air ketuban. 

"Di sana! Ayo saya antar!" 

Mereka berjalan kaki menuju rumah bidan. Tak jauh dari lokasi. Bara sanggup mengangkat wanita hamil dengan bobot lebih dari delapan puluh. 

"Argh! Sakit!" 

"Sabar, sebentar lagi sampai," ucap Bara. 

"Cepat bawa masuk dan letakkan di situ," tunjuk bidan yang mengetahui tanda-tanda melahirkan. 

"Bukannya ini Lastri, istri kedua pak Broto?" tanya bu Bidan. 

"Pak Broto lelaki itu kena karma, Bu." Wanita yang mengantar Bara berbicara dengan emosi.

"Maksudnya?" Bu Bidan tak mengerti.

"Tuh, Broto kena ganc*t sama wanita lain di belakang mesjid." 

"Astaga! Lelaki hidung belang tak pernah kapok." 

"Aduh, bidan sakit!" 

"Iya, sebentar." Bidan membawa masuk Lastri ke dalam ruangannya. 

Bu bidan keluar ruangan dan memanggil Bara." Anda tolong masuk!"

Bara masuk ke dalam tanpa menolak. Tangan Bara digenggam oleh wanita yang hendak melahirkan. 

Wanita itu merintih kesakitan. Bara mengingat mak yang ada di kampung. Baru saja pergi dari wanita itu rasa rindu meraba. 

Apakah mak Djasiah juga melahirkan Bara seperti wanita itu pikir Bara. Wajah Lastri penuh dengan pilu dan air mata. Ia terus menahan rasa sakit dan mulas di bagian perut bawah. 

"Bu Bidan ...." 

"Sebentar lagi, tunggu dikit lagi. Saya siapkan peralatan dulu." Bidan mengeluarkan alat persalinan dan obat jika diperlukan. 

"Sakit ...." 

Mata Bara tak lepas dari wajah wanita itu. 

Wanita berumur belasan tahun segera menjadi seorang ibu. 

"Kalau saja Broto si boborotok tak memperkosamu, mungkin kamu sudah lulus SMA. Sekarang, kena karma dia," ucap bidan kesal. 

"Lastri, korban pemerkosaan?" tanya Bara. 

"Lelaki itu bajingan! Memaksaku untuk melayaninya. Aku benci dia!" teriak Lastri menahan rasa nyeri dan emosi dalam hati. 

"Biar rasa dia kena karma. Dia telah membunuh ibuku. Kalau saja aku tak hamil. Ibuku masih hidup," ucap Lastri.

"Ibu ...." Lastri terisak mengingat masa kelam itu. 

"Ibu .... Lastri kangen ...." Lastri memejamkan mata. Bayangan itu masih melekat jelas di pikirannya. 

Kala itu Lastri ....

****

Lanjut gak? Jangan lupa rate bintang lima dan komentarnya. 

Mampir ke karyaku yang lain. Malam Tanpa Noda dan Tergoda Gadis Muda. Jangan lupa mampir ya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mata Batin   Ending

    Fika menatap Bara dengan kebimbangan, ia terus menatap pemuda yang sedang merapikan pakaiannya. "Jangan di tatap terus, Kakak tahu kalau ganteng.""Eh, pede banget." Fika menjulurkan lidahnya ke arah Bara. pemuda yang sibuk memilih pakaiannya hanya terkekeh saja. "Kakak, kamu yakin mau kembali ke kampung. Memangnya Mak dan Abah sudah ketemu?" "Sudah, mereka baik-baik saja dan bahagia di sana." Bara mengulum senyum ketika melihat Abah dan Mak bahagia. "Kok gak ajak aku?" Fika mulai merajuk. Bara menoleh ke arah Fika yang semakin hari semakin cantik dan dewasa. umurnya sudah matang untuk berumah tangga. Bara mengusap lembut puncak kepala Fika."Abah dan emak sudah lihat kamu. Kamu juga jangan khawatirkan mereka. Berdoa untuk kesehatan mereka.""Apa jangan-jangan mereka sudah berada di kampung makanya kamu mau kembali ke sana?""Tidak ada. Mereka tak ada di sana. Apa kamu tak ingin pulang?"Wajah manis Fika menunduk lesu. Mengingat hal dulu membuatnya sakit hati. Kalau saja waktu i

  • Mata Batin   Hidup Bara

    Bara Seorang gadis berkemeja biru merah dengan logo di kantung depan, mengusap lembut tubuh pemuda yang kini terbaring di atas tempat tidur di dalam kamar. Tangan halusnya mengusap lembut kulit pemuda itu dengan tangkas. Perlahan memakaikan kembali pakaian yang baru untuk pria yang kini terbaring tak berdaya. Selang infus masuk dari pergelangan tangan kanan. Cairan itu yang masuk ke dalam tubuh sebagai sumber tenaga. kedua mata pemuda itu masih terpejam, entah sampai kapan mata elang akan terbuka kembali. Rasa rindu akan canda dan perhatiannya kian membuncah. Gadis berkuncir kuda tetap sabar menanti. "Sampai kapan kamu akan tertidur Kak Bara. Apakah kamu tak merindukanku. Bangunlah." Fika selalu menjaga dan merawat Bara yang sudah lima bulan tak sadarkan diri. Melalui infus, Bara mengomsumsi makanan. Setelah memastikan semua selesai, Fika merapikan peralatannya dan berpamitan. "Aku harus pergi. aku harus bekerja untuk biaya hidup kita." Fika mengusap lembut surai Bara. mengulum

  • Mata Batin   Akhir Peperangan

    Bara menghampiri dua raja yang memiliki dendam terselubung. Mereka bertaruh dengan ganas dan sadis tak memberikan ampun atau permohonan maaf. Hingga sang Raja Merah terhempas dari hadapan makhluk hijau. Kini, hanya Bara yang bisa melawan Raja Kijo.Langkah Bara pasti dan akan mengalahkan raja jahanam itu. Raja yang memiliki maksud busuk kepada manusia. Maka Bara mengorbankan diri untuk saudara-saudaranya di dua dunia. "Bocah tengil, Raja merah saja tak bisa melawanku. Kamu ingin ikut mati bersamanya, ah!" Raja Kijo tersenyum sinis menatap pemuda dihadapnya. "Kalau sudah takdirku kenapa tidak." Bara melompat dan menjulurkan kaki hingga menyentuh dada raja Kijo. Sang raja terhuyung ke belakang ketika mendapat tendangan dari Bara. "Kurang ajar!" teriak raja Kijo mengema hingga ke luar kerajaan. Para anak buah gusar mendapat teriakan dari sang Baginda raja. Raja Kijo bersiap menyerang dengan kekuatan ilmu dalam yang selama ini ia simpan untuk digunakan ketika menemukan musuh lebih

  • Mata Batin   Penyerangan Brutal

    Napas Bara memburu, ia memilih menjauh. Gerak-gerik saat menghindari serangan adalah miliknya. "Sial, dari mana dia tahu gerakkan itu. Bagaimana aku bisa mengalahkannya?" geram Bara dalam hati. "Kenapa? Kamu tak bisa mengalahkan ku. Jangan harap kamu bisa!" Bara berpikir sejenak tetapi serangan tiba-tiba datang begitu cepat hingga bagian dada Bara terpukul keras, cairan merah keluar dari mulut pemuda itu. Bara terbatuk-batuk mengeluarkan cairan pekat. Raja Kijo tak memberikan ampun kepada pemuda itu. Ia melanjutkan penyerangan. Kedua kaki Bara tak berpijak. Tubuhnya melayang ke udara. "Ha ... ha ... Kekuatanmu tak sebanding denganku!" "Aku tak peduli kekuatanmu seberapa besar. Aku tak peduli berapa banyak jurusmu. Aku hanya ingin kamu musnah!" Bara melepaskan kalung merah yang melingkar di lehernya hingga dua orang muncul bersamaan menatap Raja Kijo. Mereka adalah ayah Bara dan Sang Raja yang telah hilang. Ternyata ia berada di kalung itu menunggu waktu yang tepat untuk menyer

  • Mata Batin   Raja Kijo

    Bara melanjutkan langkah hingga lantai yang ia pijak berubah, suasana menjadi mencekam. Sekeliling Bara berubah gelap. Hanya ada pepohonan menjulang tinggi dengan langit hitam. Tak ada bulan maupun bintang. Suara jangkrik atau kodok tak ada. Senyap dan sepi bagaikan di dalam kuburan. "Apakah aku telah kembali ke dunia nyata atau ini dunia Raja Kijo?" Monolognya dalam hati. Kaki Bara melangkah mencari jalan menuju cahaya. Tetapi, tak ada cela cahaya di sekitar ini. Suara apapun tak terdengar hingga kalung merah Bara berkelap-kelip menandakan bahaya mengintai. Bara menyentuh kalung itu saling berkomunikasi dengan penghuni kalung. Bara merasakan sesuatu mendekat sangat cepat seperti sebuah kilatan. Kedua kaki bersiap untuk menerima serangan tiba-tiba. Hingga cahaya menyerang Bara tetapi tak berwujud. Lengan Bara mengeluarkan cairan merah akibat goresan. Terasa nyeri dan perih. Bara mengindari kilatan itu agar tak terluka untuk kedua kali. Bara mengeluarkan tenaga dalam hingga diri

  • Mata Batin   Serangan Nyai

    "Mati kau!" Suara tawa mengema di ruangan itu. Waktu yang tepat untuk menghentikan wanita berkebaya hijau. Jika ia bersuara lagi tubuh Bara bisa tak berdaya. Hingga kepala terasa berat seperti tertimpa batu besar. Bara berlari secepat kilat menghajar wanita berkebaya hijau dan menyerang sekali tebasan. Bara mengores bagian perut Nyai dengan senjata daun beracun miliki wanita itu. Bara berdiri di samping wanita itu dan menambah serangannya dengan cara mencari kelemahan Nyai. Sebuah tusuk konde berada di kepala wanita tua yang mengeram kesakitan akibat luka dari senjatanya sendiri. Teriakkan wanita tak memiliki hati mengema dan semakin kencang. "Argh ....!" Bara menjauhi wanita itu dan menatap detik-detik pertumbangan diri Nyai. Wanita yang memberikan jalan kepada Kijo ke dunia. Hingga para gadis kehilangan nyawa dan kehormatan yang harus dijaga sebelum menikah. Para ibu yang baru saja melahirkan kehilangan bayi mereka karena tubuh bayi tak berdosa menjadi santapan bagi Kijo. Banya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status