Share

Karma Selingkuh

Bara Sang Pengembara 

Bab 2 

Suara isakan terdengar di bibir mak Djasiah dan Fika. Abah hanya menatap kepergian anaknya. 

"Bara, jaga kalung ini. Jangan sampai hilang!" pesan mak Djasiah mengalungkan kalung emas putih. 

"Bara akan jaga kalung ini. Mak, jangan sedih. Bara akan pulang dan bawa uang yang banyak untuk Mak. Kita akan punya rumah sendiri." 

"Kak Bara, jangan lupain Fika," ucapnya. Matanya mengembun. Bara menghapus air mata yang menetes di pipi gadis itu. 

"Gak akan. Fika tetap ada di hati Bara. Titip mak dan abah. Cuma kamu yang bisa aku percaya." 

Fika menganggukkan kepala. Ia mencium tangan Bara dan pemuda itu juga mencium tangan sahabat kecilnya. 

Bara menaiki truk yang telah menunggunya. Pakde Sulaiman memberikan kode untuk pamit. Lelaki itu akan mengantar barang ke Jawa Tengah. 

Mak Djasiah hanya memberikan uang dua ratus ribu untuk sang anak. Pesan dari kedua orang tuanya akan selalu ia ingat. 

Perjalanan antara desa dan pelabuhan Bakauheni membutuhkan waktu empat jam. Pakde Sulaiman selalu ditemani oleh keponakannya yang akan mengantikannya ketika ia lelah.

"Kenapa kamu gak kerja jadi buruh sawit saja. Dari pada harus merauntau ke luar pulau." 

"Di pabrik sawit sudah terlalu banyak orang. Juragan tak bisa menerima orang lagi."

"Walah, angel ... angel." 

"Juragan sudah menjual sebagian tanahnya kepada orang kota. Entah untuk apa mereka membeli tanah di pedesaan," ucap ponakan Pakde Sulaiman. Pemuda yang berusia sembilan belas tahun. 

"Dijual, memangnya kenapa?" Lelaki yang sedang mengemudi merasa heran. 

"Juragan Udin memiliki utang yang sangat banyak." 

"Owala, pantas saja tanahnya banyak ternyata, utang. Terkadang, orang ingin dipandang kaya dan berkuasa. Mereka akan melakukan segala cara. Berhutang dan melakukan ilmu hitam." 

"Memangnya ada yang seperti itu?" tanya Bara. 

"Tentu saja, Le. Banyak. Orang kalau hanya mengandalkan nafsu saja ia akan terjerumus dalam kesengsaraan. Semua yang dipilih pasti ada titik baliknya." 

Bara menganggukkan kepala. 

-

-

-

Mereka sudah sampai di pelabuhan. Para truk dan mobil lainnya mengantri untuk masuk ke kapal khusus angkutan barang. 

"Kalau sudah sampai di pulau Jawa, pesan Pakde. Kamu harus berhati-hati memilih teman." 

"Baik Pakde." 

"Ini buat tambahan kamu." Menyodorkan uang lima ratus ribu ke arah Bara.

"Tidak usah Pakde," tolak Bara.

"Ambil, Le. Kamu juga anak saya." 

Bara mengambil uang dari tangan lelaki tua itu. Ia tersenyum dan menganggukkan kepala. 

"Kalau sudah sukses. Jangan lupa sama orang tua." Bara mengerti nasihat lelaki itu. Ia akan selalu ingat dengan Mak dan Abah. 

-

-

-

Suara klakson saling sahut menyahut. Bara berjalan kaki menuju arah selatan sesuai feelingnya.

Panas terik matahari tak membuat Bara berhenti melangkah. Berbagi macam kendaraan melewati dirinya. 

Bara sudah berjalan kaki selama dua jam. Karena terbiasa dengan hal tersebut tak jadi beban untuknya. 

Bara berhenti di sebuah warung makan, duduk di pojok. Keadaan warung sangat ramai. 

Sepanjang perjalanan banyak sekali warung nasi dengan berbagai lauk. Ia tak tergiur sedikitpun. Warung sederhana dengan tembok terbuat dari anyaman bambu. 

Suasana warung itu mengingatkan Bara tentang kampung di seberang pulau. 

"Mau makan apa ngopi?" tanya penjaga warung. 

"Nasi satu Mak. Pakai sayur asam dan sambal terasi." 

Pemilik warung menyodorkan piring berisi lauk yang diminta Bara.

Rasa masakan di warung ini sangat pas di mulutnya. Meneguk air putih yang telah disediakan. 

"Ade, mau ke mana?" tanya pemilik warung. 

"Mau cari kerja, Mak." 

"Pantesan, saya baru lihat." 

"Mau kerja apa di sini?" tanyanya. 

"Kerja apa saja yang penting halal." 

"Kerja halal gampang atuh. Dagang pinggir jalan juga halal asal jangan nyopet pinggir jalan," ungkapnya. 

Bara hanya tersenyum mendengar guyonan wanita itu. 

"Ganc*t! Ganc*t!" teriak seorang lelaki. 

Para warga menghampirinya. 

"Siapa? Siapa?" 

"Tuh, di belakang mesjid." 

"Ayo kita ke sana! Kita lihat!" teriak salah satu seorang pemuda. 

Mereka berlima mengahampiri lokasi tersebut. Bara menatap punggung mereka.

"Berapa Bu?" tanya dengan terburu-buru.

"Sepuluh ribu," ucap ibu pemilik warung. 

Bara langsung berlari mengikuti mereka. Melihat apa yang sebenarnya terjadi. Para warga sudah berkumpul di sebuah rumah kecil tepatnya di belakang mesjid. 

"Astaghfirullahaladzim," ucap ibu-ibu berdaster. Ia segera berlari meninggalkan tempat tersebut. Wajahnya terlihat panik. 

"Arak aja mereka! Arak!" 

"Bakar saja mereka!" 

Bara hanya mendengar teriakkan orang-orang di dalam rumah itu. Hendak melihat apa yang terjadi. Tubuh para warga menutupi kejadian yang tak pernah dilihatnya. 

"Dasar kalian tak tahu diuntung!" 

"Sabar bapak-bapak! Sabar!" 

"Tak tahu diri!" 

"Kena ajab mereka!" 

Semakin banyak makian yang dilontarkan Bara semakin ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. 

Suara wanita berteriak histeris seperti orang kesakitan.

"Sakit! Tolong!" 

"Diem kamunya. Saya juga sakit," ungkap suara lelaki. 

Bara semakin memajukan tubuhnya. Menyelip di antara orang-orang. Mata Bara terbelalak, sepasang manusia sedang bertindihan di atas kasur. Mereka tak mengunakan kain sehelai pun. 

"Apa yang mereka lakukan. Mengapa seperti itu?" lirih Bara. 

"Permisi, numpang lewat," ucap seorang wanita bersama dengan wanita berdaster berperut mengunung. Para warga memberikan jalan kepada mereka. 

Kedua wanita itu tampak shock. Bara berdiri tepat di samping mereka.

"Dasar bajingan! Suami gak punga akhlak! Abang!" maki wanita itu dengan wajah memerah. 

Wanita berkisar umur empat puluh tahun memukul-mukul tubuh lelaki yang berada di atas wanita. 

"Sakit! Hentikan Bu!" 

"Laki-laki penzina!" Ia berteriak histeris. Tangannya memukul tubuh suaminya. Para warga tak ada yang berani menghentikan wanita itu seolah-olah tak peduli dengan rasa sakit dari pasangan ganc*t itu. 

"Ampun, Bu! Ampun."

"Mas, suruh istrimu berhenti, aku tak bisa bernapas," ungkap sang perempuan yang berada di bawah.

"Tolong Pak! Kami bisa mati!" teriak lelaki itu. Lelaki berumur empat puluh dua tahun. 

"Biarkan saja! Biar mati sekalian!" 

"Bu, ampun! Bapak minta ampun!" pintanya dengan napas yang tersenggal-sengal. 

Wanita yang sedang mengandung menatap mereka dengan derai air mata. Tubuhnya melemah menahan rasa sakit di bagian perut. 

Air berwarna putih keruh mengalir di bagian pahanya. Ia hampir terhuyung ke belakang kalau saja Bara tak menahan tubuhnya. 

"Lastri ketubanmu pecah, dia mau melahirkan," ucap salah satu warga. 

"Lastri ...." panggil lelaki ganc*t.

"Hei, kamu cepat bawa dia ke bidan!" perintah seorang lelaki dengan mengunakan kopiah kepada Bara. 

Bara langsung membawa wanita hamil itu dengan memapahnya sendirian.

"Di mana tempat bidannya?" tanya Bara panik. Tangannya terkena cairan putih yang disebut air ketuban. 

"Di sana! Ayo saya antar!" 

Mereka berjalan kaki menuju rumah bidan. Tak jauh dari lokasi. Bara sanggup mengangkat wanita hamil dengan bobot lebih dari delapan puluh. 

"Argh! Sakit!" 

"Sabar, sebentar lagi sampai," ucap Bara. 

"Cepat bawa masuk dan letakkan di situ," tunjuk bidan yang mengetahui tanda-tanda melahirkan. 

"Bukannya ini Lastri, istri kedua pak Broto?" tanya bu Bidan. 

"Pak Broto lelaki itu kena karma, Bu." Wanita yang mengantar Bara berbicara dengan emosi.

"Maksudnya?" Bu Bidan tak mengerti.

"Tuh, Broto kena ganc*t sama wanita lain di belakang mesjid." 

"Astaga! Lelaki hidung belang tak pernah kapok." 

"Aduh, bidan sakit!" 

"Iya, sebentar." Bidan membawa masuk Lastri ke dalam ruangannya. 

Bu bidan keluar ruangan dan memanggil Bara." Anda tolong masuk!"

Bara masuk ke dalam tanpa menolak. Tangan Bara digenggam oleh wanita yang hendak melahirkan. 

Wanita itu merintih kesakitan. Bara mengingat mak yang ada di kampung. Baru saja pergi dari wanita itu rasa rindu meraba. 

Apakah mak Djasiah juga melahirkan Bara seperti wanita itu pikir Bara. Wajah Lastri penuh dengan pilu dan air mata. Ia terus menahan rasa sakit dan mulas di bagian perut bawah. 

"Bu Bidan ...." 

"Sebentar lagi, tunggu dikit lagi. Saya siapkan peralatan dulu." Bidan mengeluarkan alat persalinan dan obat jika diperlukan. 

"Sakit ...." 

Mata Bara tak lepas dari wajah wanita itu. 

Wanita berumur belasan tahun segera menjadi seorang ibu. 

"Kalau saja Broto si boborotok tak memperkosamu, mungkin kamu sudah lulus SMA. Sekarang, kena karma dia," ucap bidan kesal. 

"Lastri, korban pemerkosaan?" tanya Bara. 

"Lelaki itu bajingan! Memaksaku untuk melayaninya. Aku benci dia!" teriak Lastri menahan rasa nyeri dan emosi dalam hati. 

"Biar rasa dia kena karma. Dia telah membunuh ibuku. Kalau saja aku tak hamil. Ibuku masih hidup," ucap Lastri.

"Ibu ...." Lastri terisak mengingat masa kelam itu. 

"Ibu .... Lastri kangen ...." Lastri memejamkan mata. Bayangan itu masih melekat jelas di pikirannya. 

Kala itu Lastri ....

****

Lanjut gak? Jangan lupa rate bintang lima dan komentarnya. 

Mampir ke karyaku yang lain. Malam Tanpa Noda dan Tergoda Gadis Muda. Jangan lupa mampir ya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status