Share

Mata Batin
Mata Batin
Penulis: Nannys0903

Bara Barista

Bara Sang Pengembara

Bara adalah pemuda berusia dua puluh tahun. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya yang jauh dari perkotaan. 

Bara memandang ketiga kambingnya dengan tatapan kosong. Kambing yang telah titipkan oleh tetangganya yang tinggal di kota.

Bara akan mendapatkan seekor kambing jika kambing itu melahirkan untuk yang kedua kali. Kali ini kambing yang akan lahir adalah miliknya. 

"Bara!" panggil Mak Djasiah dari kejauhan.

"Iya Mak," jawabnya. Pemuda itu segera bangkit dari duduknya dan menghampiri wanita yang berdaster bunga-bunga dengan hijab instannya yang sudah kumal. 

"Kamu lupa bawa arit sama karung," ungkap wanita itu dengan senyum. 

"Bara lupa, Mak!" Bara Barisata tersenyum memperlihatkan giginya. 

"Kamu cari rumput di sebelah sana. Rumputnya tinggi-tinggi. Hati-hati juga takut ada ular," ucap wanita itu. Menunjukkan ke arah selatan. 

"Kalau ada ular, Bara akan kasih Mak dan dimasak gulai," ungkapnya. Sudah lama sekali tak makan daging ular. Salah satu makanan kesukaannya.

"Mak lebih suka biawak. Kemarin ada yang lewat. Tangkep dan bawa pulang. Kita bikin sate biawak." 

"Siap, Mak. Nanti Bara cari yang banyak." 

"Gak usah banyak-banyak cukup satu tapi, yang gede." Ia terkekeh. 

Mak Djasiah meninggalkan Bara setelah memberikan karung dan arit. 

Keluarga Bara hidup sederhana. Rumah yang ditempati mereka adalah tanah milik orang. Abah Djumadi, bapak Bara menjaga kebun dan tanah milik orang lain yang bukan sanak saudara. 

Orang tua Bara adalah pedatang dari pulau Jawa. Bara lahir di Lampung Selatan desa Mekarsari tempat tinggalnya saat ini. 

Bara mulai mengarit rumput dan memasukkan ke dalam karung. Dengan kecepatannya, karung sudah penuh. 

Sst ... sst ... 

Bara mencari sumber suara. Pemuda itu mengenal suara itu. 

"Ular cobra," ucapnya sumringah. Ia sudah lama tak meminum darah ular. 

Sepertinya sang ular mengetahui niat Bara. Binatang itu pergi meninggalkan Bara." Hei, mau ke mana kamu!" teriaknya. Bara mengejar ular itu hingga masuk ke sebuah lubang dekat rumah tua tanpa penghuni. 

"Sial! Dia masuk ke dalam tanah." 

Bara mendongakkan kepala, melihat gadis kembar yang sangat cantik berada di lantai atas. Gadis berbaju putih dan merah.

Gadis berbaju putih memandang ke arah barat dengan wajah sedih. Sedangkan, gadis berpakaian merah hanya menatap tubuh saudaranya. Seperti menginginkan sesuatu.

Bara terkejut, ketika seorang wanita tua berpakaian hitam mendorong gadis berpakaian putih dengan kasar. 

Gadis itu terjatuh ke bawah tanpa suara.

"Jangan!" teriak Bara berlari menghampiri gadis yang terjatuh. 

Bara mencari tubuh gadis itu. Matanya memandang ke tanah yang ditumbuhi rumput liar. Wanita tua itu menyeringai dan menarik tubuh gadis di sampingnya dengan paksa.

"Tunggu! Kalian mau ke mana?" teriaknya. 

Bara berlari hendak masuk ke dalam. Akan tetapi, rumah besar itu terkunci rapat. 

Bara berusaha membuka paksa pintu tersebut. Tak berhasil. 

"Kak Bara!" panggil seseorang dari belakang punggungnya. 

"Fika, kamu lihat gadis terjatuh tidak?" tanyanya. 

"Gadis terjatuh?" Fika mengernyit heran. Gadis berumur tujuh belas tahun menatap Bara aneh. 

Fika adalah anak tetangga Bara yang tinggal berada di belakang rumahnya. Jarak antara rumah Bara dan Fika cukup jauh. Desa Mekarsari yang hanya dihuni beberapa orang saja. 

"Tadi ada gadis yang didorong dari lantai atas." 

"Kak Bara, ngigau ya? Gak ada siapa-siapa di sini." 

"Aku lihat ada gadis kembar di atas dan didorong sengaja oleh wanita tua." 

"Mungkin Kakak lapar. Masa iya, siang bolong ada setan. Rumah ini sudah tak berpenghuni sejak kita belum ada dalam perut. Kakak lupa." 

Bara terdiam, menatap ke arah lantai atas.

Apa yang dilihatnya terasa nyata. 

"Kak Bara, jangan melamun nanti kesambet setan siang bolong gini." 

"Ini bukan siang bolong. Ini mau sore. Sekarang sudah jam tiga sore." 

Fika menatap langit-langit. Hawa panas masih terasa di tubuhnya. Bara sangat pandai menebak waktu tanpa melihat jam dinding atau tangan. 

"Iya kah. Masih panas banget!" ungkap Fika mengibas tangannya. 

"Mau dugan tidak?" tawarnya menatap pohon kelapa yang melambai. 

Di desa itu banyak sekali pohon kelapa dan pisang. Mereka akan minum dan makan sepuasnya tanpa membeli di pasar.

Kadang hasil pisang satu kebun, mereka jual atau ditukar dengan sekarung beras.

"Mau-mau. Ambil yang banyak buat besok," pintanya dengan manja. Gadis dengan kaos oblong dan celana pendek tersenyum manis. Kulitnya yang sedikit gelap dan rambut panjang diikat asal.

"Ehm, mau kamu itu. Ambil secukupnya kalau berlebihan tidak baik. Masih ada hari esok." 

Bibir Fika mengerucut, ia ingin meminum air dugan yang banyak. 

"Itu bibir kayak bebek gombreng," ledek Bara dengan tawa ciri khasnya.

Bara memanjat pohon kelapa dengan lincah. Tangan dan kakinya begitu cepat. Hingga sampai di atas dalam waktu beberapa detik. 

Fika menjauh dari pohon kelapa setelah Bara menjatuhkan kelapa yang berwarna hijau. 

Bara turun dengan cepat. Menyeret tubuhnya ke bawah tanpa lecet sedikitpun. 

"Kok, cuma empat," cicit Fika menghitung kelapa yang terjatuh bergantian.

"Kamu satu saja. Buat aku tiga."

"Satu mana cukup! Bagi dua, Kak," pintanya memaksa hendak mengambil kelapa dari tangan Bara.

"Ambil saja sendiri," ledek Bara.  Pemuda itu meraih karung berisi rumput dan berlari ke arah kambingnya 

"Kak Bara pelit!" Teriaknya. Fika berjalan mengikuti Bara. Ia juga harus mengarit rumput untuk kerbau bapaknya.

Fika anak semata wayang. Bapaknya bekerja sebagai buruh sawit sedangkan sang ibu sudah tiada. Fika memiliki sifat tomboy. Ia tak suka bermain boneka, memakai rok, dan baju wanita lainnya. 

Memilih bermain kelereng atau gangsing. Sejak kecil mereka sudah bersama. Fika lahir tanpa kasih sayang seorang ibu. 

Mak Djasiah yang mengurusnya sejak lahir. Mereka bagaikan kakak adik tak terpisahkan.

**

"Bara, ayo makan!" ajak Mak. Meletakkan piring berisi lauk yang masih mengebul. 

"Mak, masak jengkol goreng balado." Menatap piring dengan aroma mengiurkan.

"Iya, kesukaan kamu. Tahun ini jengkol kita berbuah lebat. Kita bisa menjualnya. Pisang juga sudah mulai matang. Besok kamu ke pasar jual semuanya." 

"Siap, Mak!" Bara mencuci tangan dan kakinya. Ia meletakkan dugan di belakang pintu. 

Nasi sudah tersaji dua piring di atas meja yang dibuat Bara dari bambu, kemudian tertutup plastik. 

Abah sudah duduk terlebih dulu. Ia melahap nasinya. Bara menoleh ke arah mak Djasiah. 

"Mak, gak makan?" tanyanya. Matanya melirik karung beras samping meja makan. 

"Mak sudah kenyang," ungkap wanita itu berbohong. 

Bara menatap nasinya yang menjulang tinggi. Mengambil piring lain dan menuangkan nasi miliknya. 

"Mak, ayo makan!" Bara menarik tubuh mak Djasiah ikut bergabung dengan mereka. Abah juga memberikan sedikit nasinya kepada istri yang telah bertahun-tahun menemaninya. 

Bara paham dan mengerti sifat wanita itu. Ketika beras habis. Ia tak akan makan dan hanya meminum air putih saja hingga esok pagi. 

Mereka makan dengan lahap. Saling mengisi kekosongan masing-masing. 

Setelah magrib, mereka berkumpul di ruang depan. Jalanan di luar sangat gelap. Subsidi listrik belum masuk ke wilayah itu. 

Kepala desa sudah memberi info kepada seluruh kepala keluarga agar menyiapkan uang untuk pembagian listrik dengan harga satu setengah juta. 

"Mak, Abah. Bagaimana kalau Bara kerja merantau ke pulau seberang," ungkapnya. 

"Bara, mau kerja apa di luar?" tanya Mak dengan khawatir. 

"Apa saja yang penting halal. Bara sudah dewasa. Semua pemuda penduduk di sini akan pergi mengembara di luar sana. Bara ingin mencari nafkah buat Mak dan Abah." 

Mak Djasiah sangat berat hati melepaskan kepergian anak satu-satunya. 

"Kamu yakin Bara, akan pergi ke pulau seberang?" Abah menyentuh bahu anaknya. 

"Yakin, Abah. Bara ingin membahagiakan Abah dan Mak." 

Mak Djasiah mulai terisak." Mak, jangan nangis!" ucap Bara menyentuh jemari wanita yang duduk di sampingnya. 

"Pade Sulaiman datang dari kota. Bara akan ikut dengannya. Lusa, ia akan berangkat." 

Abah menatap istrinya. Mak Djasiah mengelengkan kepala pelan. 

"Mak, Bara mohon izinkan Bara mandiri dan membantu perekonomian keluarga kita." Bara duduk bersimpuh di hadapan sang ibunya yang berderai air mata. 

Mak Djasiah memeluk tubuh anaknya yang beranjak dewasa. Sudah saatnya pemuda itu akan pergi mencari jati dirinya. 

"Mak, restui kamu. Semoga kamu menjadi orang sukses." Doa sang ibu untuk anaknya. 

Bara tersenyum menatap kedua orang tuanya. Ia mencium kaki Mak Djasiah meminta maaf atas kesalahan selama ini. 

"Pesan Abah padamu, hidup di luar sangat keras. Jangan kamu tergoda dengan uang haram. Ingat itu!" 

Bara menganggukkan kepala. Entah sudah berapa kali lelaki tua itu mengingatkan anaknya agar berada di jalan benar. 

****

Pertualangan di mulai, Bagaimana Bara menjalankan kehidupan barunya di pulau seberang yaitu pulau Jawa. Di mana banyak sekali pengalaman yang ia dapatkan. 

Bara Sang Pengembara

Nannys 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status