Share

Perasaan Aneh

Author: Ririichan13
last update Last Updated: 2025-04-24 12:54:54

Setya mengeratkan genggamannya di kemudi, berusaha mengendalikan debaran yang tiba-tiba menggila di dadanya. Sial. Kenapa hanya dengan bisikan singkat itu, tubuhnya bereaksi seakan ia dilempar kembali ke masa lalu?

Ia menarik napas dalam, mencoba menepis sensasi aneh yang mengganggunya. Itu cuma suara. Itu cuma Riri yang sedang menggoda. Itu seharusnya nggak berarti apa-apa. Tapi kenapa detak jantungnya masih berantakan?

Matanya melirik ke arah kaca spion, di mana ia masih bisa melihat sosok Riri yang berdiri di parkiran dengan ekspresi penuh kemenangan. Senyuman miring perempuan itu masih melekat di benaknya, seakan menantang sesuatu dalam dirinya.

"Miss you, Mr. Albino."

Tiga kata sederhana itu menggema di kepalanya, menghidupkan kembali sesuatu yang selama ini ia kubur dalam-dalam.

Setya mengumpat pelan sebelum akhirnya menekan pedal gas, meninggalkan tempat itu. Namun, sejauh apa pun ia pergi, bayangan Riri tetap tertinggal di pikirannya.

Setya mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Menyalip beberapa mobil yang ada didepannya, dan tak memperdulikan klakson yang menggema karena ulahnya. Jemarinya mencengkeram kemudi erat, seakan mencoba menyalurkan kegelisahan yang mendadak menguasai dirinya.

Sial. Seharusnya ini bukan masalah besar. Seharusnya hanya angin lalu.Tapi kenapa dadanya masih sesak? Kenapa suara Riri masih terngiang di telinganya?

Setya menggeleng pelan, mencoba menepis pikiran-pikiran yang mulai berantakan di kepalanya. Itu cuma permainan kata. Itu cuma Riri yang masih sama seperti dulu—suka menggoda, suka menantang, suka membuatnya kehilangan kendali.

Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ada sesuatu di mata perempuan itu yang terasa lebih tajam, lebih yakin.

"Jangan ge-er, Set," gumamnya sendiri.

Namun, semakin ia berusaha mengabaikan, semakin ingatan itu menghantamnya.

Sial!

Setya membelokkan mobilnya, keluar dari tol, lalu berhenti mendadak di sebuah taman kota.

Dadanya naik-turun, mencoba menenangkan debaran yang terasa terlalu asing.

Kenapa ini terasa… berbeda?

Kenapa hanya dengan satu kalimat dari Riri, pertahanan yang selama ini ia bangun nyaris runtuh?

Setya menenggelamkan wajahnya di atas kemudi. Napasnya masih berat, dadanya masih sesak oleh sesuatu yang tak bisa ia pahami.

Riri ... Kenapa perempuan itu masih bisa mempengaruhinya seperti ini?

Ia pikir semuanya sudah selesai. Ia pikir perasaan itu sudah ia kubur dalam-dalam, tertinggal di masa lalu yang tak ingin ia ungkit lagi. Tapi nyatanya, hanya dengan satu kalimat sederhana, Riri berhasil mengacaukan ketenangan yang susah payah ia bangun selama ini.

Setya mengangkat wajahnya, menatap lurus ke jalanan yang mulai padat. Lampu-lampu kota mulai menyala, menciptakan sinar yang sedikit temaram.

Hatinya sedikit berkecamuk, apa itu tandanya ia masih belum benar-benar lepas dari Riri? Apa selama ini ia hanya berpura-pura bahagia?

Delapan tahun, bukanlah waktu yang singkat. Segala cara ia coba lalukan untuk membunuh perasaannya terhadap wanita itu. Namun kali ini ...

Setya mendengus, mencoba menertawakan kebodohannya sendiri. “Jangan ge-er, Set. Dia cuma main-main! Inget, dia dulu pernah bilang, nggak akan pernah suka sama lu!"

Tapi dalam hati kecilnya, ia tahu—Riri tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan. Jika perempuan itu mengatakan sesuatu, maka pasti ada maksud di baliknya.

Dan yang lebih gila lagi, bagian terdalam dari dirinya… mungkin mengharapkan sesuatu dari Riri.

Sial! Ia tak bisa terus seperti ini. Ia harus menjauh. Ia harus memastikan cepat atau lambat Riri harus kembali pergi dari hidupnya. Setidaknya, agar dirinya tetap waras dan tidak gila.

Setelah beberapa saat diam di parkiran taman kota, Setya menghela napas panjang, lalu kembali menyalakan mobilnya. Kali ini, ia mengemudikannya dengan sedikit tenang menuju rumahnya. Namun, sayangnya, meskipun tubuhnya bergerak menjauh dari rumah sakit, pikirannya masih saja tertinggal di sana.

Tidak, lebih tepatnya pada bisikan yang Riri katakan tadi. Pada semua rada yang nyaris ia lupakan, tapi kini kembali menghantui.

*

Sementara itu, setelah pertemuannya dengan Setya tadi, Riri melangkah santai menuju parkiran sepeda. Ia meraih sepeda listriknya, lalu segera pulang.

Rumahnya tak terlalu jauh dari rumah sakit itu. Hanya berjarak sekitar sepuluh menit saja menggunakannya sepeda listrik.

Sepanjang jalan, senyuman kecil terus tersungging di wajahnya. Ia terus memikirkan bagaimana reaksi Setya tadi.

"Mr. Albino, ya?" gumamnya pelan, mengingat tatapan terkejut pria itu.

"Udah lama nggak manggil di dengan nama itu."

Sepedanya terus melaju, melewati deretan kedai yang menjajakan aneka makanan dan cemilan.

Ia menepi sebentar di salah satu kedai pecel ayam favoritnya. Lalu, membeli dua porsi pecel ayam, sebagai teman makan malamnya nanti.

Ia memang jarang memasak, karena sudah lelah bekerja. Jadi, memilih membeli lauk matang saja untuk menghemat tenaganya.

Setelah selesai, ia kembali melajukan sepeda listriknya. Namun, pikirannya masih terbayang tentang pertemuannya dengan Setya tadi.

Entah mengapa, ada perasaan yang berbeda di pertemuan kali ini. Sesuatu yang ... ia sendiri sulit mendefinisikannya.

Tak lama, sepedanya pun berbelok tepat di sebuah kontrakan tingkat. Ia memarkirkan sepedanya di tempat parkir, lalu melangkah dengan tenang menuju salah satu pintu di sana.

Begitu sampai di depan pintu, ia mengeluarkan kunci dari tasnya dan membuka pintu dengan satu tarikan pelan.

Namun, baru saja ia melangkah masuk…

“Ibuuuu!”

Suara nyaring itu menghentikan langkahnya.

Riri menoleh.

Di depannya, seorang anak kecil berlari menghampirinya dengan penuh semangat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mata Biru | Jejak Albino Yang Tertinggal   Perjalanan Menuju RS Permana

    Riri berdiri di depan cermin di toilet khusus karyawan. Ia menatap pantulan dirinya yang masih diliputi kecemasan. Seragamnya yang tadi berlumuran darah kini telah berganti dengan pakaian bersih yang dibawakan oleh Bude Siti. Namun, tidak ada yang benar-benar berubah, hatinya masih dipenuhi ketakutan.Tangannya gemetar saat mencoba merapikan kunciran rambutnya. Bayangan Juna yang terbaring lemah di IGD terus menghantuinya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, lalu bergegas keluar."Bu Devi, Putri, semuanya, aku pamit pulang duluan ya," pamit Riri kepada teman-teman di apotek.Bu Devi segera menghampiri lalu memeluknya dengan erat."Kamu hutang banyak penjelasan, Ri," ucapnya sedikit kecewa. "Janji yah, setelah ini kamu harus cerita semuanya."Riri mengangguk lalu segera memeluk temannya satu persatu. Mereka semua menguatkan dan juga memberikan dukungan untuk Riri saat itu. Dan

  • Mata Biru | Jejak Albino Yang Tertinggal   Perlakuan Istimewa

    Riri memutuskan untuk kembali ke IGD tempat dimana Juna berada. Begitu tiba di sana, seorang wanita paruh baya segera menghampirinya."Mbak Riri, maafin, Ibu, Nak," ucapnya seraya memeluk tubuh Riri.Riri yang tadi sudah berhenti menangis akhirnya kembali menangis di pelukan wanita itu."Nggak apa, Bu. Doain aja ya, semoga Juna bisa segera sehat dan pulang," ucap Riri Bude Siti mengangguk lalu segera membelai lembut punggung Riri, memberikan sedikit ketenangan baginya.Tak lama, Kinan dan Nadira menghampiri mereka berdua."Tante ... maafin Kinan ya," lirih Kinan dengan wajah yang tertunduk, suaranya pelan, nyaris berbisik.Riri tak menanggapinya, hanya tersenyum masam saja sambil membelai pucuk kepala Kinan.Ia kembali duduk di kursi ruang tunggu IGD bersama Bude Siti.Tak lama, seorang dokter anak pun masuk menuju IGD dengan wajah yang sedikit tegang."Kakek, tolong selametin Juna," pinta Kinan kepada dokter tersebut."Akan kakek usahakan. Sekarang, kamu sama Mamamu dulu ya. Biar Ka

  • Mata Biru | Jejak Albino Yang Tertinggal   Petunjuk Pertama

    Perawat terlihat ragu. “Golongan darah A- jarang, Dok. Kalau pakai donor dari keluarga pun, kita masih harus cek kecocokan dulu, dan itu butuh waktu.”Tanpa pikir panjang, Setya langsung membuka mulutnya. "Golongan darah gua, A-, Mas. Coba pake darah gue aja!”Revan menatapnya. “Lu serius?”“Ya, Mas! Kita nggak punya banyak waktu!" suara Setya tajam, nyaris seperti bentakan.Perawat segera bersiap mengambil darah Setya untuk pengecekan kecocokan. Namun, sebelum mereka bergerak lebih jauh, salah satu perawat lain tiba-tiba berseru, “Dok! Juna kehilangan kesadaran lagi! Tekanan darahnya turun drastis!”“Shit!” Revan segera bergerak, memastikan kondisi bocah itu. “Kita harus cepat! Cek darah Setya sekarang!”Setya bisa merasakan tubuhnya mulai tegang, jantungnya berpacu dengan waktu. Ia menatap Juna yang semakin pucat, wajahnya tampak begitu kecil dan rapuh di antara semua alat medis yang mengelilinginya.Di dalam kepalanya, hanya satu hal yang terus menggema—Anak ini harus selamat. Apa

  • Mata Biru | Jejak Albino Yang Tertinggal   Mengurus Berkas Administrasi

    Riri melangkah menuju meja pendaftaran di sebelah apotek."Sat, coba cek berkas ini," ucap Riri seraya menyerahkan sebuah berkas kepada Satria, petugas di bagian administrasi itu.Satria bergegas mengambilnya lalu mengecek di komputer sebentar."Ri, untuk biaya pendaftaran awal, kena dua juta rupiah," ucap Satria lirih. "Ini, masih belum termasuk biaya lain-lain, selain transfusi darah, kamar dan perawatan lainnya."Riri membelalak matanya. "Du--dua juta?"Satria hanya mengangguk, sementara Riri perasaannya langsung berkecamuk."Sat, apa nggak ada discount karyawan atau apa gitu?" tanya Riri kembali memastikan.Satria kembali mengecek komputernya lalu menggelengkan kepalanya pelan."Status lu masih karyawan kontrak di sini, Ri. Dan untuk nama anak ini juga nggak terdaftar. Jadi, kena biaya full," jelas Satria.Riri menghembuskan napasnya berat. "Kalau gua nggak bisa bayar gimana, Sat?"Satria menghembuskan napas berat. "Terpaksa harus di berhentikan, Ri. Dan semua alat yang ada di tub

  • Mata Biru | Jejak Albino Yang Tertinggal   Kecelakaan Juna

    "Ayo jalan!" seru Yuzha seraya menggendong Kinan membuka jalan bagi Setya untuk ke rumah sakit. Nadira mengikutinya dari belakang, berjalan perlahan, sambil membekap mulutnya tak percaya. Setya terus berlari tanpa henti, meski kakinya terasa berat. Napasnya mulai memburu, tapi ia tak peduli. Ada satu hal yang terus terngiang di kepalanya— Anak ini ... harus selamat! Begitu Setya masuk, suasana IGD langsung berubah kacau. “Mas Revan, bantu aku! Pasien anak, cedera kepala akibat kecelakaan! Cepat siapkan ruang resusitasi!” Revan dan timnya langsung bergerak. Brankar didorong mendekat, dan Setya dengan hati-hati meletakkan Juna di atasnya. Namun, tangannya masih menekan luka di kepala bocah itu, seolah enggan melepaskannya. "Setya, lepaskan. Kami yang akan menangani," ucap Revan tegas. Setya menoleh sekilas, napasnya memburu, tubuhnya berlumuran keringat, dan tangannya yang berlumuran darah Juna masih gemetar. Matanya yang memerah menatap Revan dengan tatapan penuh ketaku

  • Mata Biru | Jejak Albino Yang Tertinggal   Tabrak Lari

    Drrt! Drrt! Sebuah dering khas menggema di apotek. Riri tersentak. Itu nada dering khusus yang hanya ia pasang untuk anaknya. Tanpa membuang waktu, Riri bergegas mencari ponselnya di antara tumpukan resep yang berserakan. Jemarinya gemetar saat akhirnya menemukan ponselnya dan segera menjawab panggilan itu. “Halo, Sayang?!” Suara dari seberang terdengar agak terburu-buru. ["Ibu, aku sama Mbak Kinan ada di depan gang. Kita mau nyebrang, tapi ... mobil di sini pada kencang-kencang banget"] Dada Riri terasa sesak. Firasat buruk yang sejak tadi mengusiknya kini semakin kuat. "Tunggu Ibu di sana. Jangan kemana-mana, jangan nyebrang, diam di situ!" seru Riri ["Iya, Bu."] Riri segera menutup telponnya, dan langsung menarik lengan Setya, menyeretnya keluar dari apotek. "Mau kemana?" tanya Setya. "Depan. Kinan ada di sebrang," jawab Riri cepat tanpa menoleh. Mendengar ucapan itu, tubuh Setya langsung menegang. Ia langsung berlari kecil bersama Riri hingga keduanya tib

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status