MasukSetya mengeratkan genggamannya di kemudi, berusaha mengendalikan debaran yang tiba-tiba menggila di dadanya. Sial. Kenapa hanya dengan bisikan singkat itu, tubuhnya bereaksi seakan ia dilempar kembali ke masa lalu?
Ia menarik napas dalam, mencoba menepis sensasi aneh yang mengganggunya. Itu cuma suara. Itu cuma Riri yang sedang menggoda. Itu seharusnya nggak berarti apa-apa. Tapi kenapa detak jantungnya masih berantakan? Matanya melirik ke arah kaca spion, di mana ia masih bisa melihat sosok Riri yang berdiri di parkiran dengan ekspresi penuh kemenangan. Senyuman miring perempuan itu masih melekat di benaknya, seakan menantang sesuatu dalam dirinya. "Miss you, Mr. Albino." Tiga kata sederhana itu menggema di kepalanya, menghidupkan kembali sesuatu yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Setya mengumpat pelan sebelum akhirnya menekan pedal gas, meninggalkan tempat itu. Namun, sejauh apa pun ia pergi, bayangan Riri tetap tertinggal di pikirannya. Setya mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Menyalip beberapa mobil yang ada didepannya, dan tak memperdulikan klakson yang menggema karena ulahnya. Jemarinya mencengkeram kemudi erat, seakan mencoba menyalurkan kegelisahan yang mendadak menguasai dirinya. Sial. Seharusnya ini bukan masalah besar. Seharusnya hanya angin lalu.Tapi kenapa dadanya masih sesak? Kenapa suara Riri masih terngiang di telinganya? Setya menggeleng pelan, mencoba menepis pikiran-pikiran yang mulai berantakan di kepalanya. Itu cuma permainan kata. Itu cuma Riri yang masih sama seperti dulu—suka menggoda, suka menantang, suka membuatnya kehilangan kendali. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ada sesuatu di mata perempuan itu yang terasa lebih tajam, lebih yakin. "Jangan ge-er, Set," gumamnya sendiri. Namun, semakin ia berusaha mengabaikan, semakin ingatan itu menghantamnya. Sial! Setya membelokkan mobilnya, keluar dari tol, lalu berhenti mendadak di sebuah taman kota. Dadanya naik-turun, mencoba menenangkan debaran yang terasa terlalu asing. Kenapa ini terasa… berbeda? Kenapa hanya dengan satu kalimat dari Riri, pertahanan yang selama ini ia bangun nyaris runtuh? Setya menenggelamkan wajahnya di atas kemudi. Napasnya masih berat, dadanya masih sesak oleh sesuatu yang tak bisa ia pahami. Riri ... Kenapa perempuan itu masih bisa mempengaruhinya seperti ini? Ia pikir semuanya sudah selesai. Ia pikir perasaan itu sudah ia kubur dalam-dalam, tertinggal di masa lalu yang tak ingin ia ungkit lagi. Tapi nyatanya, hanya dengan satu kalimat sederhana, Riri berhasil mengacaukan ketenangan yang susah payah ia bangun selama ini. Setya mengangkat wajahnya, menatap lurus ke jalanan yang mulai padat. Lampu-lampu kota mulai menyala, menciptakan sinar yang sedikit temaram. Hatinya sedikit berkecamuk, apa itu tandanya ia masih belum benar-benar lepas dari Riri? Apa selama ini ia hanya berpura-pura bahagia? Delapan tahun, bukanlah waktu yang singkat. Segala cara ia coba lalukan untuk membunuh perasaannya terhadap wanita itu. Namun kali ini ... Setya mendengus, mencoba menertawakan kebodohannya sendiri. “Jangan ge-er, Set. Dia cuma main-main! Inget, dia dulu pernah bilang, nggak akan pernah suka sama lu!" Tapi dalam hati kecilnya, ia tahu—Riri tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan. Jika perempuan itu mengatakan sesuatu, maka pasti ada maksud di baliknya. Dan yang lebih gila lagi, bagian terdalam dari dirinya… mungkin mengharapkan sesuatu dari Riri. Sial! Ia tak bisa terus seperti ini. Ia harus menjauh. Ia harus memastikan cepat atau lambat Riri harus kembali pergi dari hidupnya. Setidaknya, agar dirinya tetap waras dan tidak gila. Setelah beberapa saat diam di parkiran taman kota, Setya menghela napas panjang, lalu kembali menyalakan mobilnya. Kali ini, ia mengemudikannya dengan sedikit tenang menuju rumahnya. Namun, sayangnya, meskipun tubuhnya bergerak menjauh dari rumah sakit, pikirannya masih saja tertinggal di sana. Tidak, lebih tepatnya pada bisikan yang Riri katakan tadi. Pada semua rada yang nyaris ia lupakan, tapi kini kembali menghantui. * Sementara itu, setelah pertemuannya dengan Setya tadi, Riri melangkah santai menuju parkiran sepeda. Ia meraih sepeda listriknya, lalu segera pulang. Rumahnya tak terlalu jauh dari rumah sakit itu. Hanya berjarak sekitar sepuluh menit saja menggunakannya sepeda listrik. Sepanjang jalan, senyuman kecil terus tersungging di wajahnya. Ia terus memikirkan bagaimana reaksi Setya tadi. "Mr. Albino, ya?" gumamnya pelan, mengingat tatapan terkejut pria itu. "Udah lama nggak manggil di dengan nama itu." Sepedanya terus melaju, melewati deretan kedai yang menjajakan aneka makanan dan cemilan. Ia menepi sebentar di salah satu kedai pecel ayam favoritnya. Lalu, membeli dua porsi pecel ayam, sebagai teman makan malamnya nanti. Ia memang jarang memasak, karena sudah lelah bekerja. Jadi, memilih membeli lauk matang saja untuk menghemat tenaganya. Setelah selesai, ia kembali melajukan sepeda listriknya. Namun, pikirannya masih terbayang tentang pertemuannya dengan Setya tadi. Entah mengapa, ada perasaan yang berbeda di pertemuan kali ini. Sesuatu yang ... ia sendiri sulit mendefinisikannya. Tak lama, sepedanya pun berbelok tepat di sebuah kontrakan tingkat. Ia memarkirkan sepedanya di tempat parkir, lalu melangkah dengan tenang menuju salah satu pintu di sana. Begitu sampai di depan pintu, ia mengeluarkan kunci dari tasnya dan membuka pintu dengan satu tarikan pelan. Namun, baru saja ia melangkah masuk… “Ibuuuu!” Suara nyaring itu menghentikan langkahnya. Riri menoleh. Di depannya, seorang anak kecil berlari menghampirinya dengan penuh semangat.Tak lama, pintu ruangan Putri pun kembali terbuka. Aroma harum dari Soto Betawi nampak menguar dari sana, bersamaan dengan Yuzha yang masuk ke dalam. Tangan Yuzha penuh dengan beberapa kantung plastik yang ia genggam. "Put," panggil Yuzha lembut seraya menaruh tentengannya di atas nakas. "Mas abis dari mana? Katanya cuma nengokin Garda, kenapa pulang-pulang bawa banyak tentengan?" tanya Putri sambil tersenyum samar. Yuzha tak langsung menjawab. Ia segera duduk di sisi ranjang Putri, menatap wanita itu dengan penuh kerinduan. Ia mengangkat tangannya perlahan, lalu menghapus sisa air mata di pipi wanitanya. "Kamu punya masalah, Put?" tanya Yuzha. Putri tak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan bohong, Put. Saya tahu kamu lagi nggak baik-baik saja. Ada apa sebenernya?" tanya Yuzha kembali. Hening untuk beberapa saat. Putri menatap wajah Yuzha lekat-lekat, sebelum akhirnya kembali bersuara. "Sebenernya, aku sama A Ilham ...,"***"Kok bisa, Put? Kenapa?" Yuzha te
Sementara itu, tak lama setelah Yuzha pergi, Putri bergegas mengambil ponselnya.Cukup lama tangannya tertahan di kontak dengan nama "Bapak" itu. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menetralkan degub jantungnya yang berdebar cepat.Setelah beberapa saat, barulah ia menekan tombol panggil di sana. Panggilan pun tersambung, namun sayangnya tak ada jawaban Putri kembali mencoba menghubungi sang bapak sampai tiga kali berturut-turut. Namun sayangnya, responnya tetap sama. Tak ada jawaban sama sekali.Putri mendesah pelan, lalu mengalihkan perhatiannya pada nomer sang ibu. Dengan sedikit ragu, akhirnya ia menghubungi wanita yang telah melahirkannya 28 tahun silam.Panggilan pertama dan kedua sama seperti sang bapak. Tak diangkat padahal terlihat online. Putri sedikit ragu untuk melakukan panggilan ke tiga. Namun, keinginan untuk memberitahu keluarganya bahwa ia telah melahirkan cukup kuat. Hingga akhirnya, ia pun kembali menghubun
"Mas nggak makan kah?" tanya Putri sambil menyendokkan makanannya ke dalam mulutnya. "Belum," jawab Yuzha cepat. "Aku belum mau makan, masih pingin maen sama Garda." Putri menggeleng pelan lalu tersenyum tipis. "Keknya ada yang pingin banget punya anak lagi, yah. Kenapa nggak nikah lagi aja?" tanya Putri sedikit menggoda. Yuzha terdiam sebentar lalu melirik ke arah Putri dan tersenyum masam. "Kinan masih nunggu Tante Uti katanya. Udah di ulti duluan sama dia. Pokoknya papa nggak boleh nikah, selain sama mama pilihan Kinan. Kalau dia udah ngasih perintah gitu, siapa yang berani ngelarang. Aku cuma papanya." Putri terkekeh pelan. "The real mama pilihan anak gadis ya, Mas," ledek Putri kemudian. Yuzha hanya mengangguk, lalu segera menimang-nimang tubuh Garda. Tak lama, akhirnya
Tak lama, seorang perawat kembali menghampiri mereka berlima yang berada di sana. "Dokter Yuzha, maaf. Bayinya sudah selesai belum yah? Mau saya bawa, dan kasih bedongan dulu, sekalian nanti mau di cek sama Dr. Endang," ucap salah satu bidan yang berada di sana. "Oh, udah, Mbak," ucap Yuzha seraya mengambil Garda dari gendongan Putri. "Ini ya, Mbak. Makasih ya, bantuannya." Sang bidan pun hanya mengangguk, lalu segera membawa Garda pergi dari hadapan mereka. Begitu Garda pergi, Cantika kembali mengucapkan selamat setelah itu ia pun bergegas pamit ke ruang operasi. Karena masih ada dua orang pasien yang akan ia tangani proses operasi caesarnya. Sementara Setya, setelah berdiam diri selama beberapa menit, barulah ia pamit karena takut Riri sedikit kerepotan mengurus 'tiga orang bayi' sekaligus. Tak hanya Cantika dan Setya yang pamit pergi. Namun juga Revan, yang ikut
Putri meraih lengan Yuzha sambil menggeleng pelan. Ia berusaha menahan lelaki itu agar tetap di sisinya. "Mas, aku takut. Jangan kemana-mana.""Jangan takut. Mas nggak akan kemana-mana, Mas bantuin kamu lahiran di sini," ucap Yuzha.Dua orang perawat perempuan pun telah bersiap untuk membantu Yuzha. Namun, tak lama pintu triase kembali terbuka menampilkan sosok Cantika dengan napas yang terengah."Mas, biar Can yang nanganin. Mas disamping temenin dia," ucapnya cepat seraya menggelung rambutnya agar lebih rapih dan memakai sarung tangannya.Yuzha menoleh sekilas lalu mengangguk pelan. Ia pun segera melepas sarung tangannya dan berdiri di sisi Putri.Ia kembali menggenggam lengan Putri dengan erat, sementara sebelah tangannya membelai lembut rambut wanitanya."Put, kuat, ya. Ada Mas di sini. Kalau sakit, pegang aja tangan Mas yang kenceng. Mau dicakar juga nggak apa-apa," ucap
Yuzha melangkah dengan cepat menuju samping ranjang Putri. Wanita itu masih bisa tersenyum saat melihatnya, meskipun saat wajahnya sudah sangat pucat."Mas, akhirnya ketemu kamu lagi," lirihnya pelan nyaris berbisik.Yuzha hanya mengangguk samar, lalu segera memakai stetoskopnya dan mulai menjalankan tugasnya sebagai dokter.Ia harus tetap mempertahankan profesionalisme-nya meskipun yang kini ada didepannya adalah wanita yang begitu ia cintai."Denyut nadi normal, dengan kontraksi yang begitu kencang. Pasang NST segera!" perintah Yuzha kepada salah satu perawat yang berada di sampingnya."Baik, Dok," ucap perawat itu seraya menyerahkan buku pink kepada Yuzha. "Ini rekam medis tentang kehamilannya, Dok. Bidan yang merujuk juga masih ada di depan."Yuzha mengangguk lalu segera melihat buku pink tersebut. Hatinya sedikit mencelos saat melihat rekam medisnya. Dua kali induksi ber







