Riri melangkah cepat menuju IGD, menahan napas yang terasa berat di dada. Pikirannya kacau. Setya. Delapan tahun tak bertemu, kini pria itu berdiri lagi di hadapannya, dengan tatapan yang sama dinginnya seperti dulu.
"Dia masih sama ... dingin dan sulit ditebak, menyebalkan!" gerutunya. Setibanya di IGD, Riri menyerahkan obat kepada Dokter Yuzha sambil berusaha tersenyum meski hatinya gelisah. "Terima kasih, Ri," ucap Dokter Yuzha ramah. "Sama-sama, Dok. Kalau gitu, saya ijin pamit balik ke farmasi ya, Dok," balasnya singkat. Namun, baru saja Riri hendak berbalik, lengannya kembali di tahan oleh Dokter Yuzha. "Sibuk banget yah? Ada yang mau saya obrolin," ucap Dokter Yuzha penuh harap. Riri hanya mengangguk samar, lalu segera melepaskan cekalan tangannya. Ia berbalik, setengah berlari menuju koridor tempat tadi ia bertemu Setya. Namun— Kosong. Lorong itu kini hanya dipenuhi perawat dan dokter yang berlalu-lalang. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Setya. "Sh*t! Ngeselin banget sih! Selalu aja begitu, kalau disuruh tunggu," umpat Riri sedikit kesal. Riri berlari kecil menyusuri koridor, matanya mencari-cari ke sekeliling. Ia bahkan melirik ke ruang tunggu dan pantry kecil di ujung lorong. Tidak ada. Ia memukul ringan dahinya sendiri. "Dahlah, mending balik ke farmasi aja," putusnya. Riri kembali melanjutkan langkah menuju farmasi, begitu tiba di lobby, ia baru sadar nama rumah sakit ini, RS Prasetya Medika. Kenapa, nama rumah sakit ini mirip dengan nama Setya? Apa mungkin, ini rumah sakit miliknya atau hanya kebetulan kah? Riri mencoba mengingat-ingat, namun sayangnya otaknya seakan buntu. Ia memilih untuk segera ke farmasi dan bertanya langsung saja pada Bu Devi, rekan kerja setimnya. "Ibu, sibuk nggak?" tanya Riri begitu ia tiba di farmasi. "Nggak, Ri. Udah hampir kelar semua ini. Udah siap juga untuk pergantian shift," jawab Bu Devi seraya mengambil kursi tak jauh dari Riri. "Bu Devi udah lama kerja di sini? Aku mau nanya sesuatu dong," ucap Riri kembali. Bu Devi tak langsung menjawab, ia hanya menaikkan sebelah alisnya, seolah bertanya tanpa suara. "Aku baru sadar sama nama rumah sakit ini, Bu. Ibu tahu nggak siapa pemilik rumah sakit ini?" tanya Riri sedikit penasaran. Bu Devi terdiam sejenak. Sebelah tangannya memegang dagu, seolah sedang berpikir. "Kalau pemiliknya kurang tahu, Ri. Tapi, direktur disini, ya ... Dokter Yuzha sama adiknya itu, Mas Setya,' ucap Bu Devi. "Mas Setya tuh yang mana, Bu? Keknya aku nggak pernah ngeliat deh," ucap Riri sedikit heran. "Lah, masa nggak pernah liat sih," ucap Bu Devi tak percaya. "Beneran, Bu. Emang Mas Setya tuh yang mana sih?" tanya Riri kembali. "Ck! Itu loh yang orangnya punya kelainan kek Albino itu, yang badannya putih semua. Itu kan adiknya Dokter Yuza," ucap Bu Devi memberitahu. Deg. Seketika ada perasan nyeri dan sakit menjalar di hati Riri. Albino? Jadi ... Setya adalah adiknya Dokter Yuzha dan salah satu direktur di rumah sakit ini? Mamp*s ini, bisa-bisa, nasibnya tidak akan bertahan lama lagi di sini, pikirnya. * Sementara itu, di lantai lima, tepatnya di ruang khusus kepala rumah sakit, Setya nampak mengusap wajahnya dengan sedikit frustasi. Tatapannya kembali tertuju pada berkas pegawai yang baru saja ia minta dari HRD. Ia menelusuri lembar demi lembar, memastikan sesuatu yang semula sulit ia percayai. Nama itu ada di sana. Riri. "Sh*t! Bagaimana bisa gua kecolongan soal dia?" gerutunya, suara rendahnya menggema di ruangan sunyi. Ia meremas kertas itu, rahangnya mengeras. Rekam jejak Riri terlalu bersih, bahkan kinerjanya terbilang sangat baik. "Ck! Kalau kek gini, gimana caranya bikin dia di keluarin dari rumah sakit ya? Sumpah, gua nggak mau ada perempuan itu di sini," ujarnya setengah frustasi. Setya menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menatap langit-langit yang kosong, sementara otaknya mencoba berpikir keras. Ia tidak bisa membiarkan Riri tetap di rumah sakit ini. Keberadaan perempuan itu bagaikan sebuah luka dihidupnya. Luka yang selama ini, ia coba untuk pendam. Tangannya mengepal, memikirkan berbagai cara untuk menyingkirkan Riri tanpa menimbulkan kecurigaan. Memanfaatkan koneksi? Terlalu berisiko. Memfitnah? Bisa saja, tapi rekam jejak Riri terlalu bersih. Atau ... Setya memijat pelan pelipisnya, lalu mengembuskan napas berat. "Tuhan... ini bagian dari rencana-Mu, ya?" Dulu, memang ia pernah berdoa agar dipertemukan lagi dengan perempuan itu. Namun, jika ini cara-Nya menjawab doa itu, ia belum siap. Tidak untuk sekarang. Setya melirik jam di pergelangan tangan. Pukul empat sore. Ia harus segera pulang—masih ada pasien yang menunggunya di klinik pribadinya malam ini. Dengan enggan, ia merapikan berkas-berkas di mejanya, lalu beranjak menuju lobi rumah sakit. Begitu tiba di loby rumah sakit, lagi dan lagi Riri dan Setya bertemu. Saat itu, Riri tengah berada di dekat mesin absensi. "Heh, Albino! Lu tadi kemana, sih? Disuru nunggu malah pergi! Nggak ngerti bahasa manusia apa?" Riri berkacak pinggang, ekspresinya kesal. Setya menghela napas malas, lalu berjalan melewati Riri tanpa menoleh. "Ck, minggir! Gangguin hidup gue terus, lu nggak punya kerjaan, ya?" tukasnya ketus. Setya membalikkan badan, memilih melangkah lebih dahulu menuju parkiran. Telinganya sedikit sakit jika berada dengan Riri, entahlah, ia sendiri bingung kenapa. Riri melongo, tak percaya dengan sikap dingin lelaki itu. "Ih, ngeselin banget, sih! Selalu aja begitu dari dulu. Heran, nggak berubahnya pisan," gerutu Riri seraya mengejar langkah Setya yang perlahan mulai menjauh. Beruntung, Setya belum pergi terlalu jauh. Ia masih berada di dekat mobilnya sambil menelpon seseorang entah siapa. Tanpa ragu, Riri menghampirinya dan bersedekap di depan dada. "Nyebelin banget, sih, lu!" serunya, lalu menarik kuping Setya tanpa aba-aba. "Argh! Sakit, anjir! Apaan sih lu?!" Setya menepis tangannya, mendelik tajam. "Nggak ngapa-ngapain," Riri terkekeh pelan. "Gua cuma mau bilang ... sekarang lu percaya, kan, kalau Tuhan itu baik? Gue pernah berdoa supaya bisa ketemu lu lagi, dan lihatlah, Tuhan kabulin doa gue. Sekarang gue bakal buktiin, kalau lu bakal jatuh cinta lagi sama gue." "Dih, ngaco! Kalau mimpi, jangan kejauhan, nggak usah berharap yang nggak-nggak deh!" dengus Setya seraya masuk ke dalam mobilnya. Riri tersenyum miring, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Setya dan berbisik pelan, "Liat aja nanti… Miss you, Mr. Albino." Deg! Setya membeku seketika. Napasnya tercekat, jantungnya berdetak lebih kencang. "Sial, kenapa suara itu… masih punya efek ke gue?"Riri berdiri di depan cermin di toilet khusus karyawan. Ia menatap pantulan dirinya yang masih diliputi kecemasan. Seragamnya yang tadi berlumuran darah kini telah berganti dengan pakaian bersih yang dibawakan oleh Bude Siti. Namun, tidak ada yang benar-benar berubah, hatinya masih dipenuhi ketakutan.Tangannya gemetar saat mencoba merapikan kunciran rambutnya. Bayangan Juna yang terbaring lemah di IGD terus menghantuinya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, lalu bergegas keluar."Bu Devi, Putri, semuanya, aku pamit pulang duluan ya," pamit Riri kepada teman-teman di apotek.Bu Devi segera menghampiri lalu memeluknya dengan erat."Kamu hutang banyak penjelasan, Ri," ucapnya sedikit kecewa. "Janji yah, setelah ini kamu harus cerita semuanya."Riri mengangguk lalu segera memeluk temannya satu persatu. Mereka semua menguatkan dan juga memberikan dukungan untuk Riri saat itu. Dan
Riri memutuskan untuk kembali ke IGD tempat dimana Juna berada. Begitu tiba di sana, seorang wanita paruh baya segera menghampirinya."Mbak Riri, maafin, Ibu, Nak," ucapnya seraya memeluk tubuh Riri.Riri yang tadi sudah berhenti menangis akhirnya kembali menangis di pelukan wanita itu."Nggak apa, Bu. Doain aja ya, semoga Juna bisa segera sehat dan pulang," ucap Riri Bude Siti mengangguk lalu segera membelai lembut punggung Riri, memberikan sedikit ketenangan baginya.Tak lama, Kinan dan Nadira menghampiri mereka berdua."Tante ... maafin Kinan ya," lirih Kinan dengan wajah yang tertunduk, suaranya pelan, nyaris berbisik.Riri tak menanggapinya, hanya tersenyum masam saja sambil membelai pucuk kepala Kinan.Ia kembali duduk di kursi ruang tunggu IGD bersama Bude Siti.Tak lama, seorang dokter anak pun masuk menuju IGD dengan wajah yang sedikit tegang."Kakek, tolong selametin Juna," pinta Kinan kepada dokter tersebut."Akan kakek usahakan. Sekarang, kamu sama Mamamu dulu ya. Biar Ka
Perawat terlihat ragu. “Golongan darah A- jarang, Dok. Kalau pakai donor dari keluarga pun, kita masih harus cek kecocokan dulu, dan itu butuh waktu.”Tanpa pikir panjang, Setya langsung membuka mulutnya. "Golongan darah gua, A-, Mas. Coba pake darah gue aja!”Revan menatapnya. “Lu serius?”“Ya, Mas! Kita nggak punya banyak waktu!" suara Setya tajam, nyaris seperti bentakan.Perawat segera bersiap mengambil darah Setya untuk pengecekan kecocokan. Namun, sebelum mereka bergerak lebih jauh, salah satu perawat lain tiba-tiba berseru, “Dok! Juna kehilangan kesadaran lagi! Tekanan darahnya turun drastis!”“Shit!” Revan segera bergerak, memastikan kondisi bocah itu. “Kita harus cepat! Cek darah Setya sekarang!”Setya bisa merasakan tubuhnya mulai tegang, jantungnya berpacu dengan waktu. Ia menatap Juna yang semakin pucat, wajahnya tampak begitu kecil dan rapuh di antara semua alat medis yang mengelilinginya.Di dalam kepalanya, hanya satu hal yang terus menggema—Anak ini harus selamat. Apa
Riri melangkah menuju meja pendaftaran di sebelah apotek."Sat, coba cek berkas ini," ucap Riri seraya menyerahkan sebuah berkas kepada Satria, petugas di bagian administrasi itu.Satria bergegas mengambilnya lalu mengecek di komputer sebentar."Ri, untuk biaya pendaftaran awal, kena dua juta rupiah," ucap Satria lirih. "Ini, masih belum termasuk biaya lain-lain, selain transfusi darah, kamar dan perawatan lainnya."Riri membelalak matanya. "Du--dua juta?"Satria hanya mengangguk, sementara Riri perasaannya langsung berkecamuk."Sat, apa nggak ada discount karyawan atau apa gitu?" tanya Riri kembali memastikan.Satria kembali mengecek komputernya lalu menggelengkan kepalanya pelan."Status lu masih karyawan kontrak di sini, Ri. Dan untuk nama anak ini juga nggak terdaftar. Jadi, kena biaya full," jelas Satria.Riri menghembuskan napasnya berat. "Kalau gua nggak bisa bayar gimana, Sat?"Satria menghembuskan napas berat. "Terpaksa harus di berhentikan, Ri. Dan semua alat yang ada di tub
"Ayo jalan!" seru Yuzha seraya menggendong Kinan membuka jalan bagi Setya untuk ke rumah sakit. Nadira mengikutinya dari belakang, berjalan perlahan, sambil membekap mulutnya tak percaya. Setya terus berlari tanpa henti, meski kakinya terasa berat. Napasnya mulai memburu, tapi ia tak peduli. Ada satu hal yang terus terngiang di kepalanya— Anak ini ... harus selamat! Begitu Setya masuk, suasana IGD langsung berubah kacau. “Mas Revan, bantu aku! Pasien anak, cedera kepala akibat kecelakaan! Cepat siapkan ruang resusitasi!” Revan dan timnya langsung bergerak. Brankar didorong mendekat, dan Setya dengan hati-hati meletakkan Juna di atasnya. Namun, tangannya masih menekan luka di kepala bocah itu, seolah enggan melepaskannya. "Setya, lepaskan. Kami yang akan menangani," ucap Revan tegas. Setya menoleh sekilas, napasnya memburu, tubuhnya berlumuran keringat, dan tangannya yang berlumuran darah Juna masih gemetar. Matanya yang memerah menatap Revan dengan tatapan penuh ketaku
Drrt! Drrt! Sebuah dering khas menggema di apotek. Riri tersentak. Itu nada dering khusus yang hanya ia pasang untuk anaknya. Tanpa membuang waktu, Riri bergegas mencari ponselnya di antara tumpukan resep yang berserakan. Jemarinya gemetar saat akhirnya menemukan ponselnya dan segera menjawab panggilan itu. “Halo, Sayang?!” Suara dari seberang terdengar agak terburu-buru. ["Ibu, aku sama Mbak Kinan ada di depan gang. Kita mau nyebrang, tapi ... mobil di sini pada kencang-kencang banget"] Dada Riri terasa sesak. Firasat buruk yang sejak tadi mengusiknya kini semakin kuat. "Tunggu Ibu di sana. Jangan kemana-mana, jangan nyebrang, diam di situ!" seru Riri ["Iya, Bu."] Riri segera menutup telponnya, dan langsung menarik lengan Setya, menyeretnya keluar dari apotek. "Mau kemana?" tanya Setya. "Depan. Kinan ada di sebrang," jawab Riri cepat tanpa menoleh. Mendengar ucapan itu, tubuh Setya langsung menegang. Ia langsung berlari kecil bersama Riri hingga keduanya tib