Riri terpaku sejenak, menatap anak kecil yang kini berdiri di hadapannya. Bocah itu menengadah dengan mata berbinar, senyumnya lebar, penuh kegembiraan.
“Ibu lama banget pulangnya!” protesnya dengan suara renyah. Riri tersenyum tipis, lalu segera memeluk tubuh anak semata wayangnya. "Hmm, anak ibu udah wangi aja. Udah mandi, Nak?" tanya Riri sambil tersenyum. "Udah, Bu. Ibu kenapa lama banget sih, pulangnya?" tanyanya lagi, kali ini sambil bersedekap dada. Riri terkekeh pelan, mendengar rajukannya, lalu segera mengangkat tentengannya. "Iya, maaf ya. Tadi ibu beli pecel ayam dulu. Katanya kamu mau makan pecel ayam," ucap Riri sambil membelai lembut pipi sang anak. Sang anak pun nampak girang karenanya. Ia seger mengambil tentengan itu, lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya. Tak lama, seorang ibu paruh baya pun menghampiri Riri, sambil membawa tas ransel milik sang anak. "Duh, Mbak Riri maaf. Si Juna dari tadi udah ribut mulu nanyain ibu kapan pulang. Terus, pas keluar liat sepeda ibunya dah dateng, dia langsung nyelonong pergi aja," ucap Bude Siti merasa bersalah, sambil menyerahkan ransel anak itu. Riri menerima ransel itu dan tertawa pelan. "Ndak apa, Bu. Emang kan, udah waktunya dia pulang juga. Makasih ya, Bu, udah mau jagain Juna selama aku kerja," ucap Riri sambil tersenyum. "Ah iya, gimana hari ini? Juna nggak bikin ulah kan?" tanya Riri kembali seraya mempersilahkan Bude Siti untuk masuk ke dalam rumahnya. Bude Siti menggeleng pelan, lalu mengikuti langkah Riri yang lebih dahulu masuk ke dalam rumah itu. Rumah Riri sendiri berupa kontrakan dengan 3 petak, bagian depannya nampak tertata rapih dan bersih. Arjuna sudah anteng duduk di sana sambil menyalakan televisinya. Sementara Riri, berlalu menuju kamarnya sebentar untuk menaruh tasnya. "Ah iya, Mbak Riri, ada yang mau Bude omongin," ucap Bude Siti setelah Riri duduk kembali diantara mereka. "Ah apa itu, Bude?" tanya Riri heran. "Bude nggak mau jagain Juna lagi kah?" tanyanya kembali, nada suaranya sedikit panik dan juga bingung. Bude Siti menggeleng pelan, "bukan itu, Mbak. Tapi mau nanya soal jatah mingguan saya, he," ucap Bude Siti kembali. Riri mengernyit sebentar, jatah mingguan? Apakah Bude Siti, menuntutnya untuk memberi lebih? Jika iya, ia jadi bingung sendiri menghadapinya. "Gini, Mbak, maaf sebelumnya ya. Jatah mingguan bude kan, masih dua hari lagi tuh dikasihnya. Boleh nggak, Bude ambil seratus dulu, buat ongkos pakde kerja," ucap Bude Siti lirih. "Bude lagi bener-bener bingung, soalnya tadi motor pakde sempet bocor bannya dan harus diganti. Jadi, jatah belanja dua hari kedepan, abis buat ganti ban," ucapnya sendu. Riri segera membelai lembut lengan Bude Siti, dan merasa tak enak karenanya. "Ya Allah bude, kenapa minta maaf sih? Nggak apa kali. Riri kebetulan ada uang cash, tapi cuma dua ratus ribu. Sebentar ya, Riri ambil dulu," ucap Riri seraya bangkit dari duduknya. Ia beralih ke kamarnya, lalu tak lama ia keluar lagi membawa empat lembar uang berwarna biru muda. "Ini jatah 4 hari kemarin, Bude. Jadi, Riri nanti tinggal ngasih 100 lagi, ya. Ndak apa, kan?" tanya Riri, seraya menyerahkan uang itu kepada Bude Siti. Bude Siti menggeleng pelan sambil menerima uang itu. "Nggak kok, Mbak. Makasih bantuannya ya, Mbak. Kalau gitu, bude ijin pamit ya," ucapnya lagi. Riri mengangguk, dan tak lama Bude Siti pun pamit untuk pulang. Setelah Bude Siti pulang, Riri pun kembali beralih pada sang anak. "Juna udah laper belum?" tanya Riri. "Belum, Bu. Tadi, sebelum pulang, Juna abis jajan papeda dulu, jadi masih kenyang," jawabnya. "Ya udah, kalau gitu, ibu mandi dan beberes dulu ya. Ibu juga belum masak nasi soalnya," ucap Riri kembali. "Oke, Bu. Juna nonton TV ya kalau gitu," ucapnya dan mendapat anggukan dari Riri. Riri pun bergegas untuk segera mandi dan masak nasi. Sementara Juna, fokus kembali menonton TV. Juna adalah anak kandung Riri yang kini berusia 6 tahun. Kesalahan yang ia lakukan pada malam itu, ternyata menumbuhkan benih di rahimnya. Jangan tanya, Juna anak siapa, karena Riri pun tak tahu dengan siapa ia melakukannya. Tidak, lebih tepatnya, Riri seakan mengubur kenangan pahit itu, dan berusaha untuk tak mengingatnya. * Malam mulai menyapa, setelah Riri mandi dan beberes rumah, kini keduanya pun segera bersiap untuk makan malam bersama. Saat ia hendak menuangkan nasi ke piring, tatapannya tanpa sadar jatuh pada wajah anaknya. Sekilas, tidak ada yang aneh. Ia sudah melihat wajah itu setiap hari, sejak bocah itu lahir. Tapi… Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Ada sesuatu yang terasa janggal. Matanya. Juna menatapnya dengan mata bulat berwarna biru jernih. Warna yang begitu mencolok, begitu berbeda dari dirinya. Riri menelan ludah. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar memperhatikan. Seharusnya tidak ada yang aneh, bukan? Bukankah ia sudah sering mendengar orang bilang anaknya istimewa karena warna matanya? Bukankah ia selalu berpikir itu hanya keberuntungan genetik semata? Tapi, sekarang ... setelah ia bertemu dengan Setya. Tiba-tiba, warna mata itu terasa begitu familiar? Dan entah kenapa, ia pun baru sadar, bahwa setiap detail wajah anaknya seakan mirip sekali dengan Setya dahulu. Hanya warna kulit dan rambutnya yang berbeda. Kulit Juna, berwarna kuning langsat seperti dirinya, dengan rambut berwarna hitam pekat. Namin kebiasaannya ... persis seperti Setya. Seketika, ia merasa tak yakin. Jika, ini hanya mitos yang orang-orang katakan bahwa ia membenci seseorang saat hamil, sehingga ada yang terbawa ke diri anaknya. Namun, ini karena ada sesuatu dalam dirinya yang sejak awal menolak kebenaran. Seketika, ia merasakan dadanya sesak. Tangannya yang menggenggam sendok sedikit bergetar. Sementara itu, bocah kecil di hadapannya masih menatapnya dengan polos. Tak menyadari gejolak yang kini berkecamuk di hati ibunya.Yuzha mengerutkan keningnya tanda penasaran."Rumah sakit? Tumben amat. Ini kan hari sabtu, Dek?" tanyanya.Setya tidak segera menjawab. Ia hanya menggigit roti panggangnya dengan malas, mengunyah tanpa benar-benar menikmati. Perasaannya masih tidak enak. Gelisah. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi, tapi ia tidak tahu apa. "Kamu ada masalah apa, Dek? Cerita lah," ucap Yuzha kembali. Namun, Setya malah menggelengkan kepalanya pelan. "Nggak ada apa-apa, Mas. Aku mau input laporan, biar hari senin atau selasa gaji karyawan udah di transfer semua. Terus sekalian restock obat dan alat-alat nakes yang abis. Jadi rencananya, dua hari ini aku rada lembur," jawabnya memberi alasan. Yuzha hanya mengangguk. Alasan yang diberikan Setya sedikit masuk akal, apalagi ini sudah masuk tanggal 25, ia sendiri memang suka lembur jika sudah tanggal-tanggal segitu. Setya menatap kopi yang mulai dingin. Lalu mengeluarkan ponselnya dan kembali membuka pesan dari @arr_prass tadi. 'Aku nggak punya ayah
Keesokan paginya, Riri bangun lebih pagi karena perasaan aneh yang mendera dirinya. Ada perasaan yang sedikit mengganjal di hatinya, seolah ada beban berat yang tidak terlihat. Riri mengusap wajahnya pelan, berharap bahwa rasa itu segera menghilang. Namun, tetap saja perasaan gelisah itu tetap ada.Ia menengok ke samping. Juna masih tidur dengan lelapnya sambil memegangi tab yang memang dari semalam tak dilepasnya sama sekali. Riri tersenyum tipis lalu mengecup pelan pucuk kepalanya.Riri pun segera beranjak dari tidurnya, memilih untuk segera mandi dan menyiapkan sarapan untuk sang anak.Sebisa mungkin, Riri menyibukkan dirinya dengan fokus membuat sarapan dan bebenah. Namun sayangnya perasaan gelisah itu tidak hilang sama sekali."Ibuu ...," teriak Juna seraya memeluk tubuh sang ibu dari belakang.Riri berbalik dan langsung membalas pelukan itu. "Udah bangun anak ganteng? Tumben manja banget ini, ada apa?" tanyanya lembut.Juna menengadah dengan mata berbinar. "Udah, Bu.""Bu, masa
Langit mulai menggelap, pertanda malam sudah tiba. Riri mencebik kesal melihat kelakuan sang anak hari ini.Padahal, hari ini, niatnya ingin jalan-jalan ke mall sambil membeli baju baru untuk Juna. Namun sayangnya, anak itu sama sekali tak mau lepas dari tab barunya.Ia sangat senang, bahkan seharian ini, anak itu tak mau lepas dari perangkatnya. Terlalu asyik menggambar dan mengeksplor berbagai fitur baru."Juna, udah malem. Waktunya istirahat, nanti matamu sakit loh liat tab terus," ucap Riri berusaha menahan kekesalannya.Juna masih menatap layar, jari kecilnya sibuk menggeser stylus. “Bentar lagi, Bu. Ini Juna lagi minta saran dan kritik dari Oom White."Riri mengerutkan kening. “Om White?”Juna akhirnya menoleh, lalu mengangkat tabnya, memperlihatkan layar chat yang terbuka.@mr.albino[Ar, sketsa kamu makin bagus. Tanganmu gimana keadaannya, masih sakit?]@arr_prass[Tadi udah lebih baik, Oom. Soalnya udah pake tab, jadi nggak terlalu pegel. Makasih ya, Oom, udah sering kasih sa
Keesokkan harinya, saat Riri tengah membuat kimbab untuk bekal Juna, saat ia tengah menggulung nasi dan nori, tiba-tiba pikirannya pun teringat pada Setya. 'Bikinin Setya sekalian nggak ya?' batinnya dalam hati. Tak ingin menduga-duga, ia pun langsung beralih pada ponselnya dan segera menghubungi Setya. [Albino, gua lagi bikin sushi. Lu mau gua bawain kaga?] pesan Riri kepadanya. Tak berapa lama, pesannya pun terbalas oleh Setya. [Kagak! Sushi lu kaga enak] balasnya. Riri memanyunkan bibirnya. Rasanya kesal sekali mendengar ucapan lelaki itu. Ia pun melampiaskan emosinya pada timun yang saat itu hendak ia jadikan isian kimbab. Ia cacah dengan kasar sebagai bentuk pelampiasannya. Tak lama, ponselnya kembali bergetar, Setya kembali mengirimkan pesan kepadanya. [Kalau mau, bikinin kimbab
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 saat Riri tiba di parkiran rumahnya. Ia bergegas menuju rumah ibu kontrakan untuk menjemput Juna yang saat itu sudah tertidur. "Makasih ya, Bu, maaf kalau Riri ngerepotin ibu terus," pamit Riri pada sang empunya kontrakan. "Sama-sama. Ibu nggak ngerasa di repotin kok, malah seneng karena ada temennya," ucapnya. "Ini tasnya Juna, hp sama buku gambarnya udah di dalam ya." Riri mengangguk setelah itu barulah ia masuk ke dalam kontrakannya di lantai dua. Juna tak bereaksi apapun saat di gendong, sepertinya anak itu sudah terlalu lelah bermain. Riri pun bergegas menaruhnya di atas ranjang, setelah itu ia pun segera mandi dan membersihkan diri. Setelah mandi, badannya pun terasa lebih segar dan fresh. Ia segera menghampiri Juna, mengamati setiap inci tubuh sang anak. Fokusnya teralihkan pada jemarinya yang sedikit memerah dan membengkak.
Riri hanya mengangguk, dan langsung masuk ke farmasi. Begitu melihat jumlah yang di transfer, matanya sedikit membola. Ia pun buru-buru menchat Setya saat itu.[Albino, ini beneran buat gua? Lu nggak salah transfer kan?] pesan Riri kepadanya.Hanya berselang beberapa menit, balasan pun di terima Riri.[Nggak. Kenapa emangnya? Kurang? Di e-wallet gua cuma ada segitu. Kalau kurang, paling besok soalnya M-banking gua eror]Riri menggigit kukunya dan mengusap wajahnya kasar. Nominal yang diberikan Setya saat itu adalah satu juta rupiah, dan Riri rasa itu uang banyak. Kenapa Setya malah berpikir bahwa uang itu kurang? Astaga, gini amat punya temen orang kaya.***Malam mulai menyapa, Setya duduk di balkon sendirian menikmati semilir angin malam yang menerpa wajahnya.Di pangkuannya, iPad Pro 12.9 inci terbaru tergeletak, layar cerahnya memantulkan guratan sketsa yang sedang ia buat