Share

Mata Biru

Penulis: Ririichan13
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-24 12:55:23

Riri terpaku sejenak, menatap anak kecil yang kini berdiri di hadapannya. Bocah itu menengadah dengan mata berbinar, senyumnya lebar, penuh kegembiraan.

“Ibu lama banget pulangnya!” protesnya dengan suara renyah.

Riri tersenyum tipis, lalu segera memeluk tubuh anak semata wayangnya.

"Hmm, anak ibu udah wangi aja. Udah mandi, Nak?" tanya Riri sambil tersenyum.

"Udah, Bu. Ibu kenapa lama banget sih, pulangnya?" tanyanya lagi, kali ini sambil bersedekap dada.

Riri terkekeh pelan, mendengar rajukannya, lalu segera mengangkat tentengannya.

"Iya, maaf ya. Tadi ibu beli pecel ayam dulu. Katanya kamu mau makan pecel ayam," ucap Riri sambil membelai lembut pipi sang anak.

Sang anak pun nampak girang karenanya. Ia seger mengambil tentengan itu, lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya.

Tak lama, seorang ibu paruh baya pun menghampiri Riri, sambil membawa tas ransel milik sang anak.

"Duh, Mbak Riri maaf. Si Juna dari tadi udah ribut mulu nanyain ibu kapan pulang. Terus, pas keluar liat sepeda ibunya dah dateng, dia langsung nyelonong pergi aja," ucap Bude Siti merasa bersalah, sambil menyerahkan ransel anak itu.

Riri menerima ransel itu dan tertawa pelan.

"Ndak apa, Bu. Emang kan, udah waktunya dia pulang juga. Makasih ya, Bu, udah mau jagain Juna selama aku kerja," ucap Riri sambil tersenyum. "Ah iya, gimana hari ini? Juna nggak bikin ulah kan?" tanya Riri kembali seraya mempersilahkan Bude Siti untuk masuk ke dalam rumahnya.

Bude Siti menggeleng pelan, lalu mengikuti langkah Riri yang lebih dahulu masuk ke dalam rumah itu.

Rumah Riri sendiri berupa kontrakan dengan 3 petak, bagian depannya nampak tertata rapih dan bersih. Arjuna sudah anteng duduk di sana sambil menyalakan televisinya. Sementara Riri, berlalu menuju kamarnya sebentar untuk menaruh tasnya.

"Ah iya, Mbak Riri, ada yang mau Bude omongin," ucap Bude Siti setelah Riri duduk kembali diantara mereka.

"Ah apa itu, Bude?" tanya Riri heran. "Bude nggak mau jagain Juna lagi kah?" tanyanya kembali, nada suaranya sedikit panik dan juga bingung.

Bude Siti menggeleng pelan, "bukan itu, Mbak. Tapi mau nanya soal jatah mingguan saya, he," ucap Bude Siti kembali.

Riri mengernyit sebentar, jatah mingguan? Apakah Bude Siti, menuntutnya untuk memberi lebih? Jika iya, ia jadi bingung sendiri menghadapinya.

"Gini, Mbak, maaf sebelumnya ya. Jatah mingguan bude kan, masih dua hari lagi tuh dikasihnya. Boleh nggak, Bude ambil seratus dulu, buat ongkos pakde kerja," ucap Bude Siti lirih. "Bude lagi bener-bener bingung, soalnya tadi motor pakde sempet bocor bannya dan harus diganti. Jadi, jatah belanja dua hari kedepan, abis buat ganti ban," ucapnya sendu.

Riri segera membelai lembut lengan Bude Siti, dan merasa tak enak karenanya.

"Ya Allah bude, kenapa minta maaf sih? Nggak apa kali. Riri kebetulan ada uang cash, tapi cuma dua ratus ribu. Sebentar ya, Riri ambil dulu," ucap Riri seraya bangkit dari duduknya.

Ia beralih ke kamarnya, lalu tak lama ia keluar lagi membawa empat lembar uang berwarna biru muda.

"Ini jatah 4 hari kemarin, Bude. Jadi, Riri nanti tinggal ngasih 100 lagi, ya. Ndak apa, kan?" tanya Riri, seraya menyerahkan uang itu kepada Bude Siti.

Bude Siti menggeleng pelan sambil menerima uang itu. "Nggak kok, Mbak. Makasih bantuannya ya, Mbak. Kalau gitu, bude ijin pamit ya," ucapnya lagi.

Riri mengangguk, dan tak lama Bude Siti pun pamit untuk pulang.

Setelah Bude Siti pulang, Riri pun kembali beralih pada sang anak.

"Juna udah laper belum?" tanya Riri.

"Belum, Bu. Tadi, sebelum pulang, Juna abis jajan papeda dulu, jadi masih kenyang," jawabnya.

"Ya udah, kalau gitu, ibu mandi dan beberes dulu ya. Ibu juga belum masak nasi soalnya," ucap Riri kembali.

"Oke, Bu. Juna nonton TV ya kalau gitu," ucapnya dan mendapat anggukan dari Riri.

Riri pun bergegas untuk segera mandi dan masak nasi. Sementara Juna, fokus kembali menonton TV.

Juna adalah anak kandung Riri yang kini berusia 6 tahun. Kesalahan yang ia lakukan pada malam itu, ternyata menumbuhkan benih di rahimnya. Jangan tanya, Juna anak siapa, karena Riri pun tak tahu dengan siapa ia melakukannya.

Tidak, lebih tepatnya, Riri seakan mengubur kenangan pahit itu, dan berusaha untuk tak mengingatnya.

*

Malam mulai menyapa, setelah Riri mandi dan beberes rumah, kini keduanya pun segera bersiap untuk makan malam bersama.

Saat ia hendak menuangkan nasi ke piring, tatapannya tanpa sadar jatuh pada wajah anaknya. Sekilas, tidak ada yang aneh. Ia sudah melihat wajah itu setiap hari, sejak bocah itu lahir.

Tapi…

Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Ada sesuatu yang terasa janggal.

Matanya.

Juna menatapnya dengan mata bulat berwarna biru jernih. Warna yang begitu mencolok, begitu berbeda dari dirinya.

Riri menelan ludah. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar memperhatikan.

Seharusnya tidak ada yang aneh, bukan? Bukankah ia sudah sering mendengar orang bilang anaknya istimewa karena warna matanya? Bukankah ia selalu berpikir itu hanya keberuntungan genetik semata?

Tapi, sekarang ... setelah ia bertemu dengan Setya. Tiba-tiba, warna mata itu terasa begitu familiar?

Dan entah kenapa, ia pun baru sadar, bahwa setiap detail wajah anaknya seakan mirip sekali dengan Setya dahulu. Hanya warna kulit dan rambutnya yang berbeda. Kulit Juna, berwarna kuning langsat seperti dirinya, dengan rambut berwarna hitam pekat. Namin kebiasaannya ... persis seperti Setya.

Seketika, ia merasa tak yakin. Jika, ini hanya mitos yang orang-orang katakan bahwa ia membenci seseorang saat hamil, sehingga ada yang terbawa ke diri anaknya.

Namun, ini karena ada sesuatu dalam dirinya yang sejak awal menolak kebenaran.

Seketika, ia merasakan dadanya sesak. Tangannya yang menggenggam sendok sedikit bergetar.

Sementara itu, bocah kecil di hadapannya masih menatapnya dengan polos. Tak menyadari gejolak yang kini berkecamuk di hati ibunya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mata Biru | Jejak Albino Yang Tertinggal   S2 - Jejak Luka

    Tak lama, pintu ruangan Putri pun kembali terbuka. Aroma harum dari Soto Betawi nampak menguar dari sana, bersamaan dengan Yuzha yang masuk ke dalam. Tangan Yuzha penuh dengan beberapa kantung plastik yang ia genggam. "Put," panggil Yuzha lembut seraya menaruh tentengannya di atas nakas. "Mas abis dari mana? Katanya cuma nengokin Garda, kenapa pulang-pulang bawa banyak tentengan?" tanya Putri sambil tersenyum samar. Yuzha tak langsung menjawab. Ia segera duduk di sisi ranjang Putri, menatap wanita itu dengan penuh kerinduan. Ia mengangkat tangannya perlahan, lalu menghapus sisa air mata di pipi wanitanya. "Kamu punya masalah, Put?" tanya Yuzha. Putri tak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan bohong, Put. Saya tahu kamu lagi nggak baik-baik saja. Ada apa sebenernya?" tanya Yuzha kembali. Hening untuk beberapa saat. Putri menatap wajah Yuzha lekat-lekat, sebelum akhirnya kembali bersuara. "Sebenernya, aku sama A Ilham ...,"***"Kok bisa, Put? Kenapa?" Yuzha te

  • Mata Biru | Jejak Albino Yang Tertinggal   S2 - Jejak Luka

    Sementara itu, tak lama setelah Yuzha pergi, Putri bergegas mengambil ponselnya.Cukup lama tangannya tertahan di kontak dengan nama "Bapak" itu. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menetralkan degub jantungnya yang berdebar cepat.Setelah beberapa saat, barulah ia menekan tombol panggil di sana. Panggilan pun tersambung, namun sayangnya tak ada jawaban Putri kembali mencoba menghubungi sang bapak sampai tiga kali berturut-turut. Namun sayangnya, responnya tetap sama. Tak ada jawaban sama sekali.Putri mendesah pelan, lalu mengalihkan perhatiannya pada nomer sang ibu. Dengan sedikit ragu, akhirnya ia menghubungi wanita yang telah melahirkannya 28 tahun silam.Panggilan pertama dan kedua sama seperti sang bapak. Tak diangkat padahal terlihat online. Putri sedikit ragu untuk melakukan panggilan ke tiga. Namun, keinginan untuk memberitahu keluarganya bahwa ia telah melahirkan cukup kuat. Hingga akhirnya, ia pun kembali menghubun

  • Mata Biru | Jejak Albino Yang Tertinggal   S2 - Penjaga Bayangan

    "Mas nggak makan kah?" tanya Putri sambil menyendokkan makanannya ke dalam mulutnya. "Belum," jawab Yuzha cepat. "Aku belum mau makan, masih pingin maen sama Garda." Putri menggeleng pelan lalu tersenyum tipis. "Keknya ada yang pingin banget punya anak lagi, yah. Kenapa nggak nikah lagi aja?" tanya Putri sedikit menggoda. Yuzha terdiam sebentar lalu melirik ke arah Putri dan tersenyum masam. "Kinan masih nunggu Tante Uti katanya. Udah di ulti duluan sama dia. Pokoknya papa nggak boleh nikah, selain sama mama pilihan Kinan. Kalau dia udah ngasih perintah gitu, siapa yang berani ngelarang. Aku cuma papanya." Putri terkekeh pelan. "The real mama pilihan anak gadis ya, Mas," ledek Putri kemudian. Yuzha hanya mengangguk, lalu segera menimang-nimang tubuh Garda. Tak lama, akhirnya

  • Mata Biru | Jejak Albino Yang Tertinggal   S2 - Anak Yuzha?

    Tak lama, seorang perawat kembali menghampiri mereka berlima yang berada di sana. "Dokter Yuzha, maaf. Bayinya sudah selesai belum yah? Mau saya bawa, dan kasih bedongan dulu, sekalian nanti mau di cek sama Dr. Endang," ucap salah satu bidan yang berada di sana. "Oh, udah, Mbak," ucap Yuzha seraya mengambil Garda dari gendongan Putri. "Ini ya, Mbak. Makasih ya, bantuannya." Sang bidan pun hanya mengangguk, lalu segera membawa Garda pergi dari hadapan mereka. Begitu Garda pergi, Cantika kembali mengucapkan selamat setelah itu ia pun bergegas pamit ke ruang operasi. Karena masih ada dua orang pasien yang akan ia tangani proses operasi caesarnya. Sementara Setya, setelah berdiam diri selama beberapa menit, barulah ia pamit karena takut Riri sedikit kerepotan mengurus 'tiga orang bayi' sekaligus. Tak hanya Cantika dan Setya yang pamit pergi. Namun juga Revan, yang ikut

  • Mata Biru | Jejak Albino Yang Tertinggal   S2 - Garda Dewangga

    Putri meraih lengan Yuzha sambil menggeleng pelan. Ia berusaha menahan lelaki itu agar tetap di sisinya. "Mas, aku takut. Jangan kemana-mana.""Jangan takut. Mas nggak akan kemana-mana, Mas bantuin kamu lahiran di sini," ucap Yuzha.Dua orang perawat perempuan pun telah bersiap untuk membantu Yuzha. Namun, tak lama pintu triase kembali terbuka menampilkan sosok Cantika dengan napas yang terengah."Mas, biar Can yang nanganin. Mas disamping temenin dia," ucapnya cepat seraya menggelung rambutnya agar lebih rapih dan memakai sarung tangannya.Yuzha menoleh sekilas lalu mengangguk pelan. Ia pun segera melepas sarung tangannya dan berdiri di sisi Putri.Ia kembali menggenggam lengan Putri dengan erat, sementara sebelah tangannya membelai lembut rambut wanitanya."Put, kuat, ya. Ada Mas di sini. Kalau sakit, pegang aja tangan Mas yang kenceng. Mau dicakar juga nggak apa-apa," ucap

  • Mata Biru | Jejak Albino Yang Tertinggal   S2 - Pertemuan Di ambang Nyawa

    Yuzha melangkah dengan cepat menuju samping ranjang Putri. Wanita itu masih bisa tersenyum saat melihatnya, meskipun saat wajahnya sudah sangat pucat."Mas, akhirnya ketemu kamu lagi," lirihnya pelan nyaris berbisik.Yuzha hanya mengangguk samar, lalu segera memakai stetoskopnya dan mulai menjalankan tugasnya sebagai dokter.Ia harus tetap mempertahankan profesionalisme-nya meskipun yang kini ada didepannya adalah wanita yang begitu ia cintai."Denyut nadi normal, dengan kontraksi yang begitu kencang. Pasang NST segera!" perintah Yuzha kepada salah satu perawat yang berada di sampingnya."Baik, Dok," ucap perawat itu seraya menyerahkan buku pink kepada Yuzha. "Ini rekam medis tentang kehamilannya, Dok. Bidan yang merujuk juga masih ada di depan."Yuzha mengangguk lalu segera melihat buku pink tersebut. Hatinya sedikit mencelos saat melihat rekam medisnya. Dua kali induksi ber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status