Masuk"Suatu saat, gua bakal bikin lu jatuh cinta lagi sama gua, meskipun dengan cara kotor sekali pun!" - Riri "Jangan mimpi, Ri!" - Setya *** 8 tahun berlalu, tanpa sengaja keduanya pun bertemu di rumah sakit yang sama. Riri bekerja sebagai apoteker di sana, sementara Setya sebagai direktur rumah sakit. Disaat Riri mulai jatuh cinta kepada salah satu dokter IGD bernama Yuzha, di sanalah ia kembali dipertemukan dengan Setya. Dan yang lebih parahnya, Yuzha dan Setya adalah Kakak Beradik. Hingga akhirnya, suatu tragedi menguak kisah diantara mereka bertiga. Siapakah yang akan Riri pilih? Yuzha, lelaki dimasa sekarangnya? Atau Setya, lelaki dimasa lalunya? Ikuti terus kisahnya disini ...
Lihat lebih banyak"Setya!"
Panggilan itu menggema di lorong sekolah yang nampak sepi. Hanya suara langkah kaki dan derit pintu kelas yang berbunyi samar. Namun, lelaki yang dipanggil namanya itu, tetap melangkah dengan tenang, seolah teriakan itu hanyalah sebuah angin yang berlalu. Sementara Riri, sosok yang memanggilnya, nampak menggerutu kesal sambil berkacak pinggang, karena lelaki itu tak jua merespon. "Dasar budeg!" umpatnya. Hilang sudah kesabarannya saat ini. Tanpa pikir panjang, ia pun segera melepas salah satu flat shoes-nya, dan ... Pluk! "Awww," Setya berhenti. Ia menunduk, mengambil sepatu yang mendarat tepat di kepalanya, lalu berdecak pelan. "Shit, ngeselin banget sih!" gerutunya kesal, nyaris tanpa emosi. Sementara Riri, nampak berseru senang karena lemparannya tepat pada sasaran. Ia pun segera mengangkat rok lilitnya sedikit lebih tinggi, lalu segera menghampiri Setya yang masih terdiam disana. Setya yang masih berdecak kesal, tiba-tiba kembali terkesiap karena tiba-tiba telinganya di tarik oleh gadis itu. "Makanya punya kuping tuh di pake! Dipanggilin dari tadi bukannya nengok, malah acuh! Kuping lu budeg apa yak?!" seru Riri tak kalah kesal. Setya menghembuskan napas berat, lalu menepis lengan Riri yang berada di kupingnya. "Ck! Mau ngapain lagi sih lu? Kurang puas apa lu ganggu hidup gua yang aman dan tentram?" tanya Setya sedikit ketus, matanya nampak bergerak cepat --antara kesal dan juga bingung. Riri mengangkat sebelah alisnya. Dengan santai, ia mengambil sepatunya dari tangan Setya. "Lu bener," katanya, tersenyum tipis. "Cinta dan benci emang beda tipis. Tipis banget, kek tisu dibagi tujuh." Setya mengernyitkan dahi, lalu menyilangkan tangannya di dada. "To the point aja deh, apa mau lu?" tanya Setya, kali ini tatapannya lebih serius. Riri melangkah mendekat. Jarak di antara mereka hanya beberapa inci. Setya nyaris bisa merasakan napas gadis itu. "Gua bakal bikin lu jatuh cinta... lagi. Sama gua. Kayak dulu." Keheningan seketika menyelimuti lorong itu. Setya terpaku. Matanya menatap Riri, mencari kepastian di balik ucapannya. Tapi Riri hanya tersenyum—penuh misteri. Setya terdiam. Wajahnya tetap datar, tapi ada kilatan aneh di matanya. Sebuah bayangan masa lalu yang berusaha ia kubur rapat-rapat. "Hah? Kayak dulu?" Ia mendengus pelan, lalu berbalik, kembali melangkah menuju halaman belakang, tujuannya di awal. "Jangan mimpi, Ri!" Riri tersenyum miring, lalu dengan langkah ringan ia mengejar Setya. "Gua serius, Set. Gua nggak main-main kali ini," ucapnya, menyamakan langkah. "Lu bakal lihat. Gua bakal bikin lu jatuh cinta lagi sama gua!" Setya menghentikan langkahnya. Seketika, lorong yang tadinya sunyi terasa penuh dengan ketegangan. "Jatuh cinta lagi?" Setya menoleh perlahan, menatap Riri tajam. "Sorry, cinta gua ke lu udah terkubur rapat-rapat. Sekarang yang ada, hanya kebencian di hati gua!" Riri terdiam. Senyum di wajahnya menghilang seketika. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang nyaris meluncur dari bibirnya. "Ke-- kebencian?" gumamnya pelan, tapi matanya tak beralih sama sekali dari wajah Setya. "Ya! Segala rasa cinta gua ke lu sudah menguap. Lu nggak lupa kan, dengan ucapan lu dulu?" tanyanya pelan. "Gua ingetin sekali lagi biar lu nggak pura-pura amnesia. 'Sekalipun cowok di dunia ini tinggal gua doang, lu nggak akan pernah jatuh cinta sama cowok kek gua,' inget itu!" ucapnya penuh penekanan. Riri mengepalkan tangan. "Gu-- gua bisa jelasin, Set." "Jelasin?" Setya tertawa miris. "Nggak ada yang perlu di jelasin lagi, Ri. Kisah kita sudah usai, bahkan sebelum kita memulainya." Riri mundur selangkah. Pandangannya meredup. "Udahlah, gua capek bahas masa lalu," ucap Setya, berbalik tanpa ekspresi. "Kalau mau bercanda, cari orang lain." Namun, sebelum Setya sempat melangkah lebih jauh, Riri meraih tangannya. "Set, dengar gua dulu." Setya menghentikan langkahnya. Ia menatap tangan Riri yang mencengkeram pergelangan tangannya. Hangat. Sama seperti dulu. Lalu ... Cup! "You're my first kiss, Bin," suara Riri melembut, "tapi, gua janji. Suatu saat, gua bakal bikin lu jatuh cinta lagi sama gua, meskipun dengan cara kotor sekali pun!" Setya menarik tangannya perlahan. Ia menatap Riri lama, seakan mencari kebohongan di mata gadis itu. Riri pun berbalik, lalu melangkah pergi, meninggalkan Setya yang berdiri membisu, sambil memegangi bibirnya yang baru saja di kecup oleh Riri. Ia menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Sh*t! Kenapa harus sekarang, Ri? Kenapa harus saat kita hampir berpisah?" Sementara itu, Riri melangkah dengan mantap, menggenggam erat sebelah sepatunya yang belum sempat ia pakai, "gua janji, Bin. Dan gua bakal buktiin itu ...." * Delapan tahun berlalu ... Bunyi dering telepon rumah sakit bersahutan, bercampur dengan suara langkah kaki para dokter dan perawat yang berlalu-lalang. Bau antiseptik memenuhi udara, memberikan kesan khas rumah sakit yang sibuk. Di ruang farmasi, Riri merapikan beberapa resep obat dengan cepat. Rambutnya kini dicepol rapi menyisakan sedikit poni untuk menutupi jidatnya yang sedikit lebar. Ia mengenakan seragam apoteker putih yang membuatnya terlihat lebih cantik dan bersinar. "Ri, Dokter Yuzha telpon, katanya pasien di IGD butuh resep tambahan. Bisa tolong antar ke sana?" tanya Bu Devi, rekan kerjanya. "Siap, Bu, otewe," jawab Riri. Dengan langkah cepat, Riri membawa baki berisi obat-obatan. Ia melirik jam tangan. Sudah hampir jam pergantian shift. "Kalau buru-buru gini, jangan sampai—" Bruk! "Aduh!" Obat-obatan di tangannya jatuh berserakan di lantai koridor. Riri tersentak. "Maaf, Pak! Saya nggak—" Ucapan itu terhenti. Matanya membelalak saat melihat siapa yang ia tabrak. Seorang pria dengan kaos santai berwarna biru tua berdiri di depannya, membungkuk untuk membantu memungut obat yang berjatuhan. Wajah itu ... Ia mengenalnya. Garis rahang tegas, tatapan mata yang dulu selalu ia ingat— "Albino?" Pria itu terhenti. Perlahan, ia menegakkan tubuhnya. Tatapan tajam namun datar mengarah padanya. "Riri?" Suasana koridor yang sibuk seakan hening seketika. Riri menelan ludah, tak yakin harus berkata apa. Sementara Setya, berdiri tegap dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kamu ... kerja di sini?" tanya Riri, mencoba tersenyum canggung. "Hmm," gumam Setya, singkat dan dingin seperti dulu. Riri segera meraih obat-obatan dari tangan Setya, dan menaruhnya kembali ke atas baki. "Setya, bisa tunggu sebentar? Gua mau anter obat ke Dokter Yuzha dulu. Abis itu, gua mau ngomong sesuatu sama lu," ucap Riri. Setya mengerutkan keningnya, "Ngobrol apa?" "Pokoknya, tunggu di sini dulu, bentar. Gua anter obat ke Dokter Yuzha dulu, tunggu yaa," ucap Riri seraya melangkah tergesa ke arah IGD. Namun, Setya seolah tak memperdulikan permintaan Riri. Ia memilih untuk kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai 5. Saat tiba di dalam lift, ia memejamkan matanya sejenak, seolah berusaha meredam perasaan yang lama terkubur. "Bagaimana bisa, Ri? Bagaimana bisa kamu bekerja di rumah sakit ini? Kenapa aku bisa sampai kecolongan saat penerimaan karyawan baru?"Tak lama, pintu ruangan Putri pun kembali terbuka. Aroma harum dari Soto Betawi nampak menguar dari sana, bersamaan dengan Yuzha yang masuk ke dalam. Tangan Yuzha penuh dengan beberapa kantung plastik yang ia genggam. "Put," panggil Yuzha lembut seraya menaruh tentengannya di atas nakas. "Mas abis dari mana? Katanya cuma nengokin Garda, kenapa pulang-pulang bawa banyak tentengan?" tanya Putri sambil tersenyum samar. Yuzha tak langsung menjawab. Ia segera duduk di sisi ranjang Putri, menatap wanita itu dengan penuh kerinduan. Ia mengangkat tangannya perlahan, lalu menghapus sisa air mata di pipi wanitanya. "Kamu punya masalah, Put?" tanya Yuzha. Putri tak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan bohong, Put. Saya tahu kamu lagi nggak baik-baik saja. Ada apa sebenernya?" tanya Yuzha kembali. Hening untuk beberapa saat. Putri menatap wajah Yuzha lekat-lekat, sebelum akhirnya kembali bersuara. "Sebenernya, aku sama A Ilham ...,"***"Kok bisa, Put? Kenapa?" Yuzha te
Sementara itu, tak lama setelah Yuzha pergi, Putri bergegas mengambil ponselnya.Cukup lama tangannya tertahan di kontak dengan nama "Bapak" itu. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menetralkan degub jantungnya yang berdebar cepat.Setelah beberapa saat, barulah ia menekan tombol panggil di sana. Panggilan pun tersambung, namun sayangnya tak ada jawaban Putri kembali mencoba menghubungi sang bapak sampai tiga kali berturut-turut. Namun sayangnya, responnya tetap sama. Tak ada jawaban sama sekali.Putri mendesah pelan, lalu mengalihkan perhatiannya pada nomer sang ibu. Dengan sedikit ragu, akhirnya ia menghubungi wanita yang telah melahirkannya 28 tahun silam.Panggilan pertama dan kedua sama seperti sang bapak. Tak diangkat padahal terlihat online. Putri sedikit ragu untuk melakukan panggilan ke tiga. Namun, keinginan untuk memberitahu keluarganya bahwa ia telah melahirkan cukup kuat. Hingga akhirnya, ia pun kembali menghubun
"Mas nggak makan kah?" tanya Putri sambil menyendokkan makanannya ke dalam mulutnya. "Belum," jawab Yuzha cepat. "Aku belum mau makan, masih pingin maen sama Garda." Putri menggeleng pelan lalu tersenyum tipis. "Keknya ada yang pingin banget punya anak lagi, yah. Kenapa nggak nikah lagi aja?" tanya Putri sedikit menggoda. Yuzha terdiam sebentar lalu melirik ke arah Putri dan tersenyum masam. "Kinan masih nunggu Tante Uti katanya. Udah di ulti duluan sama dia. Pokoknya papa nggak boleh nikah, selain sama mama pilihan Kinan. Kalau dia udah ngasih perintah gitu, siapa yang berani ngelarang. Aku cuma papanya." Putri terkekeh pelan. "The real mama pilihan anak gadis ya, Mas," ledek Putri kemudian. Yuzha hanya mengangguk, lalu segera menimang-nimang tubuh Garda. Tak lama, akhirnya
Tak lama, seorang perawat kembali menghampiri mereka berlima yang berada di sana. "Dokter Yuzha, maaf. Bayinya sudah selesai belum yah? Mau saya bawa, dan kasih bedongan dulu, sekalian nanti mau di cek sama Dr. Endang," ucap salah satu bidan yang berada di sana. "Oh, udah, Mbak," ucap Yuzha seraya mengambil Garda dari gendongan Putri. "Ini ya, Mbak. Makasih ya, bantuannya." Sang bidan pun hanya mengangguk, lalu segera membawa Garda pergi dari hadapan mereka. Begitu Garda pergi, Cantika kembali mengucapkan selamat setelah itu ia pun bergegas pamit ke ruang operasi. Karena masih ada dua orang pasien yang akan ia tangani proses operasi caesarnya. Sementara Setya, setelah berdiam diri selama beberapa menit, barulah ia pamit karena takut Riri sedikit kerepotan mengurus 'tiga orang bayi' sekaligus. Tak hanya Cantika dan Setya yang pamit pergi. Namun juga Revan, yang ikut
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasan