Share

Bab 3 Tolong Aku

Pak Bachtiar dan istrinya bekerja sebagai pedagang baju batik di Pasar Klewer, Solo. Tiap hari mereka berdua berangkat pagi sekitar jam 8, dan sampai rumah sore hari sekitar jam 5. Tak ada hari liburnya. Mereka bekerja tiap hari dengan giat mencari penghasilan hidup. Dari hasil berdagangnya, Pak Bachtiar sudah memiliki sebuah rumah, satu mobil, serta beragam fasilitas cukup mewah di rumahnya. Mungkin bisa dikatakan salah satu orang terpandang di kampungnya. Namun sayangnya, mereka berdua belum dikaruniai anak hingga sekarang, di usia perkawinan ke-10 tahun.

“Ojo nganti Lydia ngerti bu .... (Red-Jangan sampai Lydia tahu bu ...) ....” terdengar bisikan di kamar sebelah yang sempar didengar Lydia.

Gadis berkacamata minus itu sempat berhenti sejenak. Lalu, terdengar orang membuka pintu kamar. Lydia bergegas pergi ke dapur.

Hingga detik ini, Lydia masih penasaran dengan sumur tua di belakang rumah pamannya tersebut. Rasa penasaran ini dibumbui dengan perasaan takut. Bukan takut bertemu hantu atau makhluk astral, tetapi Lydia takut ada hubungannya dengan keluarga pamannya.

“Lydia .... pakde sama bude mau berangkat dulu ke pasar .....!!” sebuah teriakan kecil terdengar.

“Iyaaa ....” jawab singkat Lydia.

Suara mesin mobil terdengar lalu mulai hilang dari pendengaran. Sekarang, Lydia sendirian tinggal di rumah. Dia melamun sendirian memikirkan banyak hal di dalam kepalanya. Mau tidak mau harus dirampungkan satu per satu. 

“ Pyaaaarrghh.....” sebuah suara keras membuyarkan lamunan Lydia.

Piring yang ada di meja makan jatuh dan pecah. Lydia mendekatinya coba memeriksa pecahan piring tersebut. Tahu-tahu ada sesosok bayangan di dekatnya.

“Meeoonggg .....” seekor kucing berwarna hitam putih sudah ada di depannya.

Lydia tersenyum melihatnya. Dia melihat kucing itu, lalu membelai bulu di badannya. Kucing itu hanya diam saja. 

“Kamu ya yang mecahin piring ini?? Kucing nakal ya .....” ujar Lydia gemas sama kucing itu.

Sang kucing yang ternyata berkelamin jantan itu digendong Lydia dijauhkan dari pecahan piring. Selanjutnya, dia membersihkan pecahan kaca piring.

“Kamu lagi laper ya ...??” bisik Lydia sambil memberikan secuil ayam goreng di atas meja makan.

Lydia memperhatikan sang kucing. Dia lalu mengalihkan perhatiannya di halaman belakang rumah, dimana ada sumur tua di situ yang selalu membuatnya penasaran. 

“Apa aku coba dekati sekarang saja ya ....” kata Lydia dalam hati.

Dia lalu membuka pintu belakang, memakai sandalnya, lalu mulai mendekati sumur tua itu. Suasana rimbun, dingin, dan sepi langsung dirasakan Lydia. Ada beberapa pohon besar di sekeliling sumur. Rumput dan gulma tanaman juga terlihat lebat karena tidak dicabuti. 

Akhirnya, Lydia sampai juga di pinggir lubang sumur yang tertutupi papan serta kayu. Dalam hati kecilnya, memang masih ada rasa takut, tetapi dia sangat penasaran untuk mengetahui bagian dalamnya.

“Meeoongg ......” terdengar meongan kucing di belakang Lydia.

Sepertinya kucing itu menangkap suatu sinyal yang mengganggu panca indranya, tetapi Lydia belum mengetahuinya. 

“Meong ..... meong ..... meong .....” makin keras suara meongannya.

Lydia yang mengetahui itu jua merasa aneh. Ada sesuatu energi seperti menarik dirinya untuk mendekati sumur.

“Apa ini???!!” tandas Lydia

Dia seperti bergerak sendiri. Tangannya menyingkirkan beberapa papan dan kayu yang menutupi sumur. Lalu, Lydia menengok ke dalamnya.

“Aaaaaarrrrggghhh ........” teriak Lydia.

*

“Pokok e ojo nganti Lydia ngerti bu ..... Bocah kui mengko wedi dewe” ucap Bachtiar berbicara dengan istrinya memakai bahasa Jawa.

“Iya pak .... ak ngerti” jawab istrinya.

Pak Bachtiar dan istrinya seperti membicarakan sesuatu hal yang masih berkaitan dengan Lydia. Entah apa itu, belum diketahui.

Siang itu di Pasar Klewer cukup ramai orang yang bertransaksi jual beli. Begitu juga dengan kios milik Pak Bachtiar yang bisa dibilang paling ramai di antara deretan kios lainnya. Padahal di blok tersebut mayoritas juga menjual baju batik dan sejenisnya, seperti yang dijual Pak Bachtiar.

“Apa kabarmu Bachtiar ....??” sebuah pertanyaan terlontar dari seorang pria tua.

Pak Bachtiar yang mendengarnya langsung menoleh dan terkejut. Dia terkejut dengan kehadiran pria tua berbaju serba hitam yang ada di depannya tersebut.

“Mm ....mm .... Mbah Parjo .... monggo, silakan duduk ...” ucar Pak Bachtiar tergagap-gagap.

Langsung dicarikan bangku dan mempersilakan pria tua yang diketahui bernama Mbah Parjo itu.

Pak Bachtiar terlihat gugup luar biasa hingga keluar keringat di sekujur tubuhnya. Sangat kelihatan Pak Bachtiar sangat menghormati Mbah Parjo. Bahkan, Pak Bachtiar tak berani menatap langsung mata orang tua di hadapannya itu. Sementara Cyintia istri Pak Bachtiar masih sibuk melayani para pembeli di kiosnya. Sesekali matanya melirik Mbah Parjo yang ada di sudut kios. 

“Pye kabarmu??” Mbah Parjo bertanya untuk kedua kalinya.

“Alkhamdulillah .... saya sekeluarga baik mbah ...” jawab Pak Bachtiar masih terlihat gugup.

Dia tidak menyangka Mbah Parjo menemuinya langsung di kiosnya Pasar Klewer. Biasanya, Pak Bachtiar langsung sowan ke rumah Mbah Parjo jika ada keperluan. Jadi, bisa saja ada keperluan mendadak atau penting kalau begitu. Pak Bachtiar bertanya-tanya sendiri di dalam hati hingga salah tingkah. 

“Usahamu laris banget ya .... itu banyak orang yang beli baju batik .....” ujar Mbah Parjo sambil menyalakan sebatang rokok kretek di mulutnya.

“Iya mbak .... ini juga berkat bantuan Mbah Parjo ....” kata Pak Bachtiar sambil tersenyum.

“Ada yang mau aku katakan .... ikut aku sekarang ...!!” tandas Mbah Parjo.

Pak Bachtiar yang mendengarnya langsung saja mengikuti Mbah Parjo di belakangnya. Dia sempat memberikan kode kepada istrinya mau pergi sebentar.

Mbah Parjo menuju parkiran, tepatnya mobil sedan merah miliknya. Dia masuk dan duduk di balik kemudi. Pak Bachtiar mengikutinya duduk di sampingnya. Sambil masih menghisap rokok kreteknya, Mbah Parjo mulai berkata.

“Kamu nggak lupa janjimu dulu kan ....?!” tanya Mbah Parjo.

Pak Bachtiar terkejut dan menghela napas panjang. Ingatannya langsung flashback lima tahun yang lalu.

Saat itu Pak Bachtiar dan istrinya baru datang ke Kota Solo mengadu nasib. Setelah harta bendanya di Wonogiri habis untuk membayar hutang kepada rentenir, mereka berdua nekat pergi ke Solo. Sebenarnya, Pak Bachtiar sudah punya rumah sendiri, usaha toko kelontong kecil-kecilan, serta sepetak sawah yang masih digarapnya dan menghasilkan uang tiap tahunnya. Namun karena godaan ingin mendapatkan uang lebih banyak, Pak Bachtiar berinvestasi yang ternyata bodong. Padahal dia berinvestasi dalam jumlah yang cukup besar, hingga ratusan juta rupiah.

Uang yang diinvestasikan itu juga bukan miliknya keseluruhan. Dia meminjamnya kepada rentenir dengan jaminan semua asetnya. Nasib Pak Bachtiar memang sangat menyedihkan saat itu. Dia ditipu oleh investasi bodong. Semua uang yang diinvestasikan hilang tak berbekas. Ditambah dia dikejar-kejar preman debt colector hampir setiap hari.

Akhirnya, Pak Bachtiar menyerah dan menyerahkan semua harta dan asetnya untuk membayar hutang sekaligus bunga-bunganya kepada rentenir bangsat itu. Setelah semuanya habis, dia minta bantuan kepada saudaranya sendiri maupun kerabat istrinya, mereka juga menolaknya.

“Pak .... ayo lungo wae seko kene ....” tutur Cyntia, sang istri Pak Bachtiar, yang sudah sangat menyerah dengan kondisi kehidupannya.

Mereka berdua memutuskan pergi dari Wonogiri dan menuju Solo untuk mengadu nasib. Dengan menaiki bus, mereka sampai di Kota Solo yang menghadirkan keramaian dan gemerlapnya. Hampir saja suami istri itu kena tipu lagi, tetapi untungnya ada seorang pria yang menolongnya. Dialah Mbah Parjo.

*

Lydia kaget karena kucing hitam putih mencakar tangan kanannya. Tidak begitu sakit, tetapi cukup mengagetkannya. 

“Huush ...huush ... sana pergi ...” usir Lydia.

Lalu, gadis itu membuka lagi papan dan kayu yang menutupi sumur tua tersebut. Setelah semua terbuka, Lydia coba menengok ke dalamnya. Begitu gelap dan pengap. Banyak sarang laba-laba di sekitar bibir sumur. Lydia hanya melihat kegelapan di kedalaman sumur.

“Aku butuh senter ....” lirih Lydia

Sesaat setelah membalikkan badan mau ke dalam rumah mengambil senter, ada hembusan angin dingin yang meniup rambut panjang Lydia. Dia merasakannya dan menjadikan bulu kuduknya berdiri.

“Tooloonngg .... aakuuu ...” terdengar suara lirih.

Lydia menghentikan langkahnya dan perlahan membalikkan badannya. Dia tidak melihat apapun, hingga suara kucing mengalihkan perhatiannya. Kucing itu memeong keras ke sebuah pohon mangga dekat sumur. Terus bersuara keras hingga Lydia menghampirinya. Lydia baru sadar jika ada sosok makhluk astral berada di atasnya. Tepatnya di salah satu dahan pohon itu.

Lydia sekilas merasa takut karena melihatnya. Namun setelah itu, dia malahan penasaran untuk melihatnya lebih dekat. Dia teringat waktu masih tinggal di Kalimantan juga pernah melihat makhluk astral seperti itu. Lydia menyimpulkan bahwa dirinya memang dianugerahi Tuhan memiliki mata ketiga. Mata yang bisa melihat makhluk gaib. Bahkan, Lydia juga bisa berkomunikasi dengannya.

“Kamu siapa ....?” tanya Lydia.

“Tooloonngg .... aakuuu ...” jawab sang makhluk astral, sambil tangannya menunjuk ke arah sumur tua itu.

Lydia menengok ke sumur tua. Dia menengok ke makhluk astral ternyata sudah menghilang. Lydia mencari-cari keberadaannya dan ternyata benar-benar sudah menghilang.

“Meeeooong ...” suara kucing itu terdengar lagi.

“Dugaanku benar .... ada sesuatu di dasar sumur tua itu ...” kata Lydia dalam hati.

Namun, Lydia tidak mengetahui ada apa sebenarnya. Pastinya berhubungan dengan makhluk astral yang baru saja ditemuinya.

Lydia masuk ke dalam rumah dan mengambil senter ,ilik pamannya di dalam lemari. Setelah itu, dia segera bergegas menuju ke sumur lagi. Dia perlahan menyalakan senter dan menyorot bagian dalam sumur. Masih belum jelas bagian dalamnya karena tertutup sarang laba-laba juga banyak tumpukan batu di dasarnya. 

Lalu, Lydia melihat sebuah kain yang sepertinya baju. Setelah benar-benar dilihat, Lydia kaget sekali.

“A...apa.... apa itu??!” pekik Lydia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status