Share

Bab 2 Sumur Tua

Kota ini begitu ramai. Banyak kendaaan berseliweran dengan tujuannya masing-masing. Semenjak tiba di Bandara Adisumarmo Solo, mata Lydia masih terlihat tajam menatap sekitarnya. Padahal matanya belum menutup untuk tidur semalam memikirkan kejadian-kejadian aneh yang dilihatnya beberapa hari teakhir saaat masih di Kalimantan. Sekarang, Lydia sudah ada di tanah Jawa dan sangat berharap semoga hal-hal mengerikan yang dilihatnya dahulu tak mengganggunya lagi. Namun demikian, gadis itu masih merasa ada sosok makhluk astral yang mengikutinya sejak hengkang dari Kalimantan. Entah kenapa, makhluk ini tidak menunjukkan wujudnya yang menyeramkan, seperti halnya setan atau jin-jin pada umumnya.

Saat itu, Lydia berada di parkiran bandara. Kepalanya celingak-celinguk mencari sesuatu di sekitarnya.

“Lydia ....!!!” terdengar teriakan seorang pria dari samping kanannya.

Lydia menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia melihat seorang pria bertubuh tambun berlari-lari kecil menghampirinya, sembari melambaikan tangan kanannya. Pria itu mengembangkan senyumnya dan terus menghampiri Lydia.

“Kamu dah lama nunggu, nduk?” tanya pria itu.

“Hayoo .... kamu mesti lupa sama aku tho?! Aku pamanmu, nduk?” ujar sang pria yang ternyata paman Lydia.

Untuk beberapa saat, Lydia dibuat bengong saat melihat pamannya tersebut. Dia mencoba mengingat-ingat sewaktu masih kecil, pamannya yang satu ini masih bertubuh kurus. Sekarang, mungkin sudah mempunyai berat badan lima kali lipatnya.

“Paman .....” ucap Lydia sambil mencium tangan kanan pamannya.

“Kamu mesti pangling (red-lupa) sama aku. Namaku Bachtiar, pamanmu. Terakhir aku melihatmu masih umur satu tahun. Dibawa sama bapak ibumu ke sini. Waktu itu kamu rewel banget lho ..... nangis terus. Kata orang pinter di sini kamu diikuti setan .....” kata Bachtiar.

Lydia terlihat mengerutkan dahinya mendengar cerita singkat pamannya. Sambil membenarkan kacamata minusnya, dia mencoba merangkai dan menganalisis cerita pamannya tersebut dengan beberapa kejadian horor yang dilihatnya waktu terakhir ini.

“Sudah lah .... ceritanya disambung nanti saja di rumah. Sekarang, ayo pulang. Paman bawa mobil sendiri” ajak paman Lydia.

Selanjutnya, Lydia dan pamannya bergegas pulang ke rumah. Perjalanan dari bandara udara menuju rumah Bachtiar cukup jauh. Lydia terlihat terus menerus menolehkan pandangannya di kaca mobil. Dia melihat ramai lalulintas dan hiruk pikuk kota Solo yang makin lama membuatnya pening. Mungkin tak ada bedanya dengan kota-kota besar di Indonesia, di mana banyak kendaraan bermotor, lalulintas padat, polusi udara, dan tentu saja udara panas menyengat. Beruntung AC mobil paman Lydia cukup dingin untuk menghalau hawa panas di luar sana.

Ternyata, rumah Bachtiar masih satu kompleks dengan Keraton Kasunanan Solo. Alamatnya di Kampung Gondorasan, Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo. Orang-orang di sini lebih akrab menyebut lokasi tersebut ‘Njero Beteng’, yang artinya di dalam sebuah beteng. Memang benar, kompleks keraton ini berada di dalam sebuah benteng dengan tembok besar dan tinggi mengelilinginya. Pada empat arah mata angin terdapat Lawang Gapit pintu besar sebagai jalan keluar masuk orang-orang. Sebuah pemandangan yang belum pernah dilihat Lydia di Kalimantan sana.

Entah kenapa, Lydia mulai gelisah dan merasakan ketidakenakan pada dirinya semenjak masuk kawasan keraton ini. Apalagi semakin mendekati rumah pamannya, sepertinya ada yang memperhatikan dirinya. Namun, sosok yang memperhatikannya itu tidak kasat mata. 

“Ayo, masuk dulu Lydia. Saya kenalkan sama bibimu yang mungkin kamu belum mengingatnya”, ujar Bachtiar.

Lydia semakin merasakan keanehan saat memasuki rumah pamannya. Dia lalu bertemu dengan istri pamannya yang diketahui bernama Cyntia. Setelah berjabat tangan dan sedikit berbasa-basi, akhirnya Lydia dapat beristirahat di dalam kamar. Namun, perasaan takut bercampur gelisah lagi-lagi datang menghampirinya. Gadis belia itu memaksakan diri untuk menutup kedua matanya dan terlelap tidur. Rasa capeknya mau tidak mau membuat Lydia sejenak melupakan semua pengalaman horornya saat melakukan perjalanan dari Kalimantan sampai Solo.

*

Kedua mata Lydia masih terpejam. Namun, dibalik mata tersebut terlihat bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Pertanda pemiliknya sedang mengalami sesuatu yang hebat. Sesuatu yang membuatnya gelisah hingga ketakutan. Memang benar, Lydia sedang bermimpi di dalam tidurnya.  Mimpi kali ini tidak menyeramkan seperti biasanya. Gadis berparas ayu itu memang sebulan ini sering bermimpi aneh. Terkesan menakutkan, tetapi sosok makhluk yang ada mimpinya masih berwujud manusia. Entah sosok tersebut setan atau bukan, yang penting ingin berkomunikasi dengan Lydia. Untuk urusan yang ini, Lydia belum memberitahukan siapa pun. Bahkan, orang tuanya di Kalimantan juga belum mengetahuinya. Sepertinya mata batin atau indra keenam Lydia mulai terbuka. Hal itulah yang membuatnya bisa melihat makhluk gaib, seperti setan, jin, hantu, makhluk astral, atau apapun namanya. Lydia pun sedikit demi sedikit mulai paham bahwa kelebihan pada dirinya merupakan pemberian dari Tuhan. Oleh karena itu, dia berkomitmen untuk selalu menjaga dan memanfaatkannya sebaik-baiknya. Tuhan tak akan memberikan kelebihan dan kekuatan kepada hamba-Nya, jika tidak ada alasannya.

“Tolooong akuuuu ......” terdengar suara lirih.

Lydia masih bermimpi dan dia seperti di sebuah ruangan yang gelap gulita. Suara seorang wanita yang didengarnya tersebut tak jauh dari tempat berdirinya sekarang. Saat menengok kanan kiri, yang ada hanya warna hitam. Tiba-tiba ....

“Tolooong akuuuu ......” suara itu terdengar lagi.

“Aaaarrgh ....” jerit Lydia.

Sebuah tangan memegang pundak kanan Lydia. Sontak Lydia kaget dan langsun8g menghindar untuk berlari. Namun, suara itu terdengar lagi dan memelas minta pertolongan. Untuk yang kesekian kalinya, Lydia memberanikan diri untuk menemuinya. Dia menunggu suara itu memanggilnya dan ingin melihat sosoknya.

“Tolooong akuuuu .....” suara memelas minta tolong itu terdengar lagi.

Untuk yang ini, Lydia hanya tenang saja meskipun masih takut. Pundak kanannya lagi-lagi dipegang tangan. Lydia pelan-pelan memalingkan mukanya untuk melihat wajah sosok wanita yang memanggilnya itu. Ternyata, wanita yang memanggilnya itu hanya terlihat bagian rambut panjangnya yang terburai di depan menutupi wajahnya. 

“Siapa kamu .....?” tanya Lydia.

“Sumur .... belakang rumah ......” tutur sosok wanita itu.

Sekejap semuanya menghilang. Lydia baru terbangun dari tidurnya, seperti ada yang membangunkannya. Namun, di tengok kanan kiri tak ada siapa pun. Masih terngiang di ingatannya peristiwa dalam mimpinya. Mulai dari sosok wanita misterius yang meminta tolong, hingga keberadaan sumur di belakang rumah.

Dilihat jam di smartphone-nya menunjukkan pukul 16.05. Berarti hampir lima jam dirinya tertidur. Lalu, Lydia segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Beruntung sekali kamar tidurnya sudah dilengkapi dengan kamar mandi dalam, sehingga lebih mudah menjangkaunya.

“Sudah bangun, Lydia?” tanya pamannya yang melihat sang keponakan sudah duduk manis di ruang tamu.

“Iya, paman ...” jawab Lydia.

“Bagaimana kondisimu? Sudah lebih enakan setelah bangun tidur, kan?” ujar Bachtiar.

Lydia hanya mengangguk dan tersenyum kecil.

“Apakah di belakang rumah ada sumur, paman?” tanya Lydia.

Bachtiar yang baru saja duduk di dekat Lydia sempat kaget.

“Bagaimana kamu tahu? Padahal paman belum bercerita sama kamu?!” kata Bachtiar merasa aneh.

“Mmmm .... nebak aja paman. Biasanya, model rumah seperti ini punya sumur timba di belakang rumah .....” jawab Lydia seadanya.

“Tebakanmu benar. Di belakang rumah ini memang ada sumur, tetapi sudah tak terpakai. Sudah lama paman tutupi karena juga sudah nggak ada airnya lagi. Sekarang, rumah ini sudah pake air ledeng dari PAM” lanjut Bachtiar.

“Kamu mau lihat sumurnya?” Bachtiar menawari Lydia.

Lydia terlihat mengerutkan dahinya dan langsung mengangguk mengiyakan. Rasa penasarannya akan segera terobati, setelah bisa melihat sumur tua di belakang rumah pamannya. Selanjutnya, Bachtiar dan Lydia segera menuju halaman di belakang rumah. Lydia melihat halaman belakang rumah pamannya masih berupa tanah kosong yang dibatasi dengan tembok tinggi. Di pinggiran tembok pembatas itu, tumbuh beberapa pohon pisang. Sementara itu, di pojok bagian kanan Lydia melihat bangunan seperti sumur yang sudah ditumpuki dengan kayu-kayu besar di atasnya. Tangan kanan Bachtiar menunjuk sumur tua itu.

“Jangan mendekat ke sana Lydia .....!!” perintah Bachtiar saat melihat gelagat keponakannya mau mendekati sumur tua tersebut.

“Kenapa paman?” tanya Lydia penuh selidik.

Bachtiar terlihat kebingungan mencari alasan untuk menjawab pertanyaan keponakannya.

“Mmmmhhhh ...... ini sudah sore Lydia. Sebentar lagi Magrib. Menurut orang Jawa, tidak baik keluyuran sore hari apalagi seorang gadis kaya kamu. Ntar ada yang mengganggu ....” jawab Bachtiar sembari bercanda.

Lydia patuh saja dengan perkataan pamannya. Namun demikian, Lydia masih sangat penasaran dengan keberadaan sumur tua tersebut. Apakah masih berhubungan dengan mimpinya? Lalu, kenapa Bachtiar mencegahnya mendekati bangunan tersebut? Semua pertanyaan itu terus mengganggu pikiran Lydia. Di lubuk hatinya terdalam, Lydia percaya ada ‘sesuatu’ yang harus ditolongnya. Sesuatu yang ada di dalam sumur tua itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status