"Sayang, bangun!" Aku mendengar suara suamiku dari dekat, ternyata sudah balik ke rumah.
"Iya, Sayang," jawabku dengan malas membuka mata karena masih terasa sangat berat.
"Yuk, makan dulu! Kamu belum makan, kan? Panggil Andin dan Andita juga, mereka harus ikut makan takutnya masuk angin pula." Beni mengajak kami semua makan malam padahal juga sudah sangat larut.
Dengan tubuh yang masih terasa lemah aku melangkah ke kamar putri kembar ku. Perlahan membuka pintu dan berjalan ke arah dua gadis mungil yang masih pulas di alam mimpinya.
"Sayang, bangun! Kita makan malam dulu, Yuk!" ajakku dengan mengguncang ke dua bahu mungil mereka.
"Ma, tapi Andin masih ngantuk banget. Andita masih tidur tu, dia, Ma." Andin menoleh pada adiknya kemudian bangun menatap aku yang tersenyum kecil.
"Andita ... Andita ... Bangun, Sayang!" Adinda membangunkan putrinya untuk kedua kalinya.
"Ya udah, Sayang. Kamu duluan aja ada Papa nunggu di sana." Aku me
"JANGAN!"Aku berteriak sekeras mungkin agar suamiku segera bangun dari tidurnya.Sumpah!Aku takut setengah mati kali ini. Tapi, bagaimana caranya hantu itu tidak menggubris sama sekali teriakanku melainkan kukunya yang tajam itu telah mencengkram kuat leher Beni. Aku menatap wajah suamiku yang sudah tidak berdaya dengan matanya yang melotot menahan cekik sosok yang mengambang itu hingga darah mengucur begitu deras saking tajam kukinya mencengkram.Setelah Beni tak bernyawa lagi, kini kedua tangan perem puan itu menjulur ke arah batang leherku. Dengan sekuat tenaga aku meronta-ronta berusaha keras melepaskan tangan yang mengerikan itu dari leherku.Aku terbangun dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku. Kupalingkan wajahku ke samping dan ternyata Beni masih tertidur di sebelahku.Astaga! Ternyata ini semua cuma mimpi? Aku mengucap syukur tanpa henti lantas kuedarkan pandangan ke seluruh sisi kamar, lega karena
Mata ini seperti memaksa untuk tidak berkedip dan menahan untuk tidak melihatnya. Semakin lama semakin jelas tampak bayangan hitam meliuk-liuk di sekitar pohon besar itu. Kali ini aku seperti terkuras energi yang begitu besar sehingga gumpalan seperti asap hitam itu seperti menarik aku ke sana. Sungguh, energiku sudah habis semua dan tubuhku juga ikut melemah hingga semuanya menjadi gelap. "Sayang, kamu udah bangun?" "Ma, Mama buka matanya, Ma!" "Ma, kenapa tiba-tiba pingsan, Pa?" "Kok, Mama nggak jawab, Pa?" Aku ternyata pindang dan tidak sadarkan diri beberapa menit. Terdengar olehku di serentetan pertanyaan dari Beni, Andin, dan Andita. "Aku, nggak apa-apa, kok, Sayang." Aku menatap wajah Beni dan kembali tersenyum padanya. "Andin, Andita. Makasih karena kalian udah menunggu Mama dari tadi di sini. Mama nggak kenapa-kenapa
“Sayang, Mama peringatin ya?! Jangan keluar rumah tanpa izin dulu karena nggak aman, Sayang,” kataku dengan nada rendah tapi agak tegas.“Iya, Ma. Tapi Andin masih boleh main sama Tante Maya kan, Ma?” tanya Andin serius menatap padaku dengan tatapannya yang begitu polos.“Mama tadi nggak liat siapa-siapa, Sayang.” Aku mencoba bersikap seolah tidak mengetahui apa-apa di hadapan mereka.“Ada, Ma! Andita juga liat, ya, kan?” Andita melirik ke arah adiknya.“Iya, Mama. Tadi Andita yang nanyain nama Tante Maya,” jawab Andita tersenyum kecil menatap tepat padaku.“Ya, udah. Yuk masuk ke dalam, Sayang!” Akhirnya aku meraih ke dua tangan mereka dan mengajaknya melangkah menuju ruang makan.Saat aku menutup pintu belakang, hawa aneh mulai kembali menyergap jiwa ini. Lagi, untuk kesekian kalinya aku mencium arom
Waktu berjalan dengan cepat, aku dan keluarga kecil ku sudah menempati rumah ini seminggu. Rasanya, baru kemarin aku menghirup udara segar dan juga merasakan mencekam di waktu malam menjelang yang begitu kental di tempat ini. Berjalan bersama dua putri kembar ku di awal pagi sungguh menyenangkan apa lagi bisa bercengkerama dengan mereka berdua semua ini luar biasa bagiku. Tiba-tiba gerak langkah ini seolah menarikku kembali ke halaman belakang. Entah kenapa ketika pandangan lurusku menatap tajam ke arah dahan pohon di sana, seketika pikiranku melayang pada tulisan nama sosok perempuan cantik bermata sendu itu. Aku sempat berpikir mungkin dengan menuliskan namanya aku bisa berbagi cerita dengannya. Atau mungkin aku saja yang tidak bisa memahami maksud hantu itu apa. Aku maju tiga langkah, memastikah apa yang tertangkap oleh pandanganku tadi pada dahan pohon angker itu. Ternyata sosok mata sendu--Maya muncul juga pada pagi hari. Masi
Gerimis yang datang tiba-tiba terkadang memberi pertanda tidak biasa. Tetesan kristal bening itu mengalir dari atap hingga menyentuh kaca jendela kamarku. Hawa dingin tanpa permisi menyelinap mengisi ruangan hingga efeknya bagai menusuk ke dalam tulang. Biasanya ini waktu aku dan suami menghabiskan malam berdua, iya, hanya aku dan Beni.Magrib tadi, kalau boleh jujur, aku masih sedikit merasakan ketakutan. Perempuan itu hampir setiap waktu mencoba mengganggu ketenangan di rumah ini. Aku tahu, penglihatan ini bukan penglihatan normal tapi dengan aku memilikinya, membuat hati dan jiwa seperti melanglang buana ke alam yang mungkin berbeda dengan dunia ini.Oke! Mungkin aku harus menyesuaikan diri dengan lingkungan di sini tapi bukan berarti aku bisa mengatasi semua hal yang terjadi. Terlebih saat sosok dari mereka hadir tanpa diundang masuk d
"Andin, Andita, Sayang? Sebagai permintaan maaf, papa mau ajak kalian jalan-jalan ke kebun binatang," ucap Beni lembut pada mereka. Aku lega, karena Beni mau memahami dua putrinya."Beneran, Pa? Asik ...," tanya Andin masih ragu dengan ajakan papanya barusan."Andita nanti mau main kejar-kejaran sama binatang-binatang yang lucu banget di sana. Boleh kan, Pa?" rengek Andita terlihat jelas di mata polosnya.Aku bahagia melihat mereka bisa dekat dengan papanya sekarang. Tangan kokoh Beni perlahan memeluk kedua putri kami dengan hangat. Sedang aku mendekat sesaat setelah momen itu berlangsung."Mama ikut juga kan, Pa?" celetuk Andita berikutnya dengan memperlihatkan sederatan gigi yang berwarna putih sebagian karena sebagian lagi cokelat."Iya, dong, S
"Adinda! aku tunggu di kamar lima menit lagi."Sesampai rumah, aku menuntun Andin dan Andita masuk ke kamar. Heran. Kenapa tiba-tiba Beni menatapku begitu tajam, apa salahku? Iya, aku harus segera menyusulnya dari pada suamiku marah nantinya.Usai menutup pintu kamar si kembar, Lantas aku segera bergegas ke arah kamar kami. Benar saja, terlihat olehku Beni tengah meanarik napas dalam seperti sedang menahan amarahnya yang tak ingin keluar tanpa diinginkan."Sayang, kamu kenapa terlihat gelisah begitu?" tanyaku mencoba mencari tahu mungkin ia akan cerita padaku--istrinya."Apa? kamu masih nanya kenapa aku gelisah? Jelas-jelas kamu penyebabnya, Dinda." Aku kaget ketika mendengar ini dari mulut suamiku sendiri."Emangnya aku buat salah apa sama kamu, Sayang? Tolong kasih tahu, sungguh aku benar-benar nggak mengerti apa maksud kamu," tanyaku sembari maju selangkah me
Setiap kali melihat senyum polos putri-putriku, seketika diri ini hancur bahkan berkeping-keping jadinya. Suara isak tangis mereka masih dapat kurasa, dalam dekapanku mereka menumpahkan air matanya. Oleh karena sikap Papanya terkadang buat mereka tidak mengerti bahkan aku sendiri tidak mampu memahaminya.Baru saja Beni menepis tangan-tangan mungil gadis kecil kami dengan sangat kasar seperti ia memperlakukan orang lain.Aku mencoba mamahami kondisi yang terjadi akan tetapi lagi-lagi aku tidak bisa melihat putriku berdiri dalam keadaan ketakutan seperti ini.Dan aku sangat tahu kalau Beni--suamiku menginginkan aku melayaninya malam ini tanpa gangguan si kembar. Semua ini bukan salah mereka karena wajar untuk usia sekecil mereka ada ketakutan mimpi buruk di waktu malam.Sungguh suara ketakutan sekaligus napas mereka yang terengah-engah berlari ke kamarku."Mama! Ma ...