"Kamu mau kemana?" tanya Freya ketika melihat Fiona menekan tombol lift menuju lantai 20."Ke ruangan bos!""Ah~" Freya mengeluarkan nada panjang sebagai tanda mengerti. Tidak lupa, dia juga melemparkan kerlingan menggoda pada Fiona yang memilih untuk tidak peduli. "Kamu ada rencana memulai kisah baru nih sama dia?" "Gak dulu!" tegas Fiona. "Yakin?~""Yakin!""Hati-hati loh. Hati kamu saat ini adalah hati yang biasanya paling rentan tergoda asmara lain!" nasihat Freya setengah serius, setengah bercanda. " ... ""Semoga sukses ya!" Freya mengacungkan kedua kepalan tangannya di udara sebelum keluar dari lift yang akhirnya berhenti di lantai tempat ruangannya berada. Alis Fiona berkedut. Dia tidak mengerti apa yang menjadi niat sahabatnya itu, apakah dia mendukungnya untuk bersama Igor atau apa? Ting, Pintu lift yang membawa Fiona ke lantai 20 berhenti. Dengan langkah mantap dia keluar dari kotak besi itu, dan terus berjalan menuju ruangan Igor. "Apa Pak Igor ada di ruangan?"
Keesokan hari, Fiona masih berangkat ke kantor seperti biasa. Tapi kali ini hatinya penuh dengan antisipasi. Lupakan hubungan ambigunya dengan Igor kemarin. Pagi ini dia baru saja mendapat pesan dari Max bahwa dia sudah siap mengeksekusi rencana perampokan mereka. Sebelum berangkat, tidak banyak perdebatan yang terjadi antara Fiona beserta suami dan istri baru suaminya itu. Mbak Zoya juga dengan patuh memasak sarapan untuk suami serta kedua putranya, tentu saja minus Fiona. Dan yang jelas, Fiona sama sekali tidak peduli. Dengan uang tebal di dompet, apa yang perlu dia khawatirkan? Dia bisa makan kapan, dan dimanapun dia mau. 'Boy, ini terakhir kalinya kamu ada di garasi rumah ini!" bisik Fiona sembari mengelus body mulus mobil mewah itu. Hanya sekilas, dan dia terus berjalan menuju mobilnya sendiri yang terparkir di bahu jalan di luar sana. * * *Zoya tak henti-hentinya menebar senyum sehangat sinar matahari. Janji Mas Jaya padanya membuat hati Zoya berbunga-bunga. Akhirnya setel
Zoya mencengkram erat-erat stir mobilnya. Dadanya membuncah naik-turun karena kemarahan yang dihasilkan oleh ancaman pamannya sendiri. Dia tiba-tiba menyesali keputusannya untuk menawari istri pria itu pekerjaan di rumahnya dan Mas Jaya. "Sial. Rahasia yang mana yang dia ketahui?" dumel Zoya sambil mengunyah gigi gerahamnya dengan gemas. Dia hanya ingin menikmati bagaimana rasanya menjadi nyonya rumah, tapi kenapa segalanya begitu penuh lika-liku? Keluarga yang seharusnya menjadi pendukungnya malah menjadi orang yang mengancam dirinya. Hati Zoya benar-benar tidak bisa didamaikan! Tiiiinnnn,, Zoya menekan klakson di mobilnya dengan sekuat tenaga ketika melihat sebuah sepeda motor butut Supra tiba-tiba berhenti di depan mobilnya. Zoya menurunkan kaca mobil di sampingnya sembari menjulurkan kepalanya dengan kesal. "Kamu ingin mati idiot?!" makinya dengan keras. Max yang bersembunyi di balik topeng segera turun dari jok penumpang dan mengambil langkah berderap menuju mobil Zoya.
Sepanjang hari ini Fiona masih menjalankan rutinitas hariannya seperti biasa. Setelah pulang dari kantor paling lambat pukul enam sore, dia menyempatkan diri untuk mampir ke sembarang cafe atau restauran untuk makan malam yang sudah menjadi kebiasaannya baru-baru ini. Dia pun baru tiba di rumah ketika jarum jam menunjukkan pukul 8 malam. Meski dia tahu bahwa tidak ada lagi mobil Mercedes-Benz hitam metalik itu terparkir di garasi, Fiona tetap memarkirkan mobil bututnya di bahu jalan depan pagar rumahnya. Sebelum melangkah ke dalam rumah, Fiona terlebih dulu mengatur wajahnya agar tidak terlihat terlalu bahagia. Dia membuat wajahnya sedatar mungkin sebelum membuka pintu ruang tamu. "Kok mobil itu bisa hilang sih?!" suara tinggi ibu mertuanya membuat Fiona sedikit ragu untuk terus melangkah. "Aku dirampok, Bu!" keluh Mbak Zoya dengan suara tersedu-sedu. "Kok bisa kamu dirampok siang-siang bolong? Emang kamu habis darimana aja?!" sentak ibu mertuanya dengan kejam. Sama sekali tidak
[Bagianmu sudah aku transfer!]Fiona membaca pesan dari Naura yang masuk ke ponselnya dengan senyum sumringah. Tanpa basa-basi dia langsung mengintip saldo ATM melalui m-banking yang ada di ponselnya. Ada ratusan juta rupiah uang yang masuk ke dalam rekeningnya membuat mata Fiona hijau. Senyum di wajahnya juga tak terhindarkan semakin mekar. "Mau aku traktir apa?" tanya Fiona pada Igor yang terlihat begitu fokus pada dokumen yang ada di atas meja kerjanya. Ya! Saat ini dia lagi-lagi terdampar di ruangan bosnya. Hal ini terjadi lantaran Freya yang beberapa hari belakang ini sibuk berurusan dengan kliennya. Terlalu membosankan bagi Fiona untuk menghabiskan waktu makan siang seorang diri. "Dalam rangka apa nih?" tanya Igor sambil mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen yang sudah sangat menyita perhatiannya ini. "Keberhasilan morotin uang Jaya? Aku mau ngajak kamu menikmati hasil rampasanku!"Senyum di wajah Igor semakin dalam ketika melihat betapa girangnya Fiona saat ini. Untu
Sementara menunggu Igor selesai memasak, Fiona duduk di kursi meja makan dengan patuh. Dalam rangka membunuh waktu, dia memilih untuk bermain dengan ponselnya. Semua media sosial dia buka untuk melihat postingan baru beberapa kenalan serta berita-berita yang memang sedang viral di kalangan masyarakat. Setelah men-scroll layar ponselnya bolak-balik, Fiona diterpa kebosanan. Tidak ada hal menarik yang dia temukan selain sambatan orang-orang tentang kehidupan penuh liku yang mereka jalani. Entah itu terkait dengan sekolah, maupun kehidupan di dunia kerja yang begitu menguras energi. Fiona mematikan layar ponselnya, dan meletakkan benda pipih yang masuk dalam kategori barang penting itu di atas meja. Sambil menggeliatkan tubuhnya yang terasa kaku, Fiona kembali beranjak menuju balkon. Dia untuk sementara mengabaikan aroma harum daging panggang yang sudah memicu kelenjar ludah di dalam mulutnya. Semilir angin malam menerjang tubuh Fiona sesaat setelah dia membuka pintu penghubung balkon
Ruang makan yang hanya dihuni oleh dua anak manusia itu diselimuti keheningan. Baik Igor maupun Fiona terlarut dalam pikiran masing-masing. Hanya suara detak jarum jam dinding yang terdengar mengisi latar belakang. "Walaupun aku tidak bisa memberikan jaminan apa-apa, tapi aku tetap tidak akan menyerah!" Igor berucap setelah kebisuan yang lama. Fiona tidak memberikan tanggapan apapun. Hanya matanya yang menatap penuh arti pada pria di depannya. "Adanya perbedaan status sosial memang sulit untuk diarungi, tapi bukan berarti tidak mungkin 'kan?" Igor melanjutkan dengan mantap. Fiona kemudian menganggukkan kepala melihat kepercayaan diri ini. "Lalu, jika semisal kamu disuruh memilih antara aku atau keluarga kamu, siapa yang akan kamu pilih?" tanya Fiona. Dia hanya sekedar ingin tahu bagaimana pria ini akan menjawab pertanyaan yang sarat akan dilema ini. Dia tidak begitu naif berharap bahwa dirinya akan dijadikan pilihan pertama, dan yang paling utama. Anggap saja dia sedang menguji b
Fiona tiba di rumah ketika jarum jam menunjukkan pukul 9 malam. Ada satu jam lebih lambat daripada biasanya."Assalamu'alaikum." ucap Fiona memberi salam. Hening, Jam sembilan malam, rumah masih dalam kondisi terang benderang. Suara dialog orang dari televisi terdengar menyambangi indera pendengaran Fiona yang sedang mengunci pintu ruang tamu. Akan tetapi, tidak ada yang membalas salamnya. Fiona sendiri tidak mau peduli. Setelah mematikan lampu ruang tamu untuk menghemat listrik, dia terus melangkah menuju ruang tengah dengan langkah cuek. "Kamu darimana aja jam segini baru pulang?" tanya Mas Jaya yang tumben-tumbenan menyapanya. "Lembur di kantor." jawab Fiona acuh tak acuh. Dia bahkan tidak mengalihkan perhatiannya pada Mas Jaya yang sedang berada di ruang tengah, dan terus berjalan ke arah kamarnya sendiri. "Dulu kamu gak pernah tuh lembur-lemburan. Kok sekarang aku liat kamu banyak lemburnya." tegur Mas Jaya yang membuat Fiona menggulung matanya. "Sekarang dan dulu jelas be