"Kamu juga! ikut ibu ke bawah!" sentak ibu mertuanya pada Fiona. Bahkan nada suaranya terdengar lebih garang daripada saat dia berbicara dengan dua insan yang masih bersembunyi di balik selimut itu.
"M-Mas!" cicit Fiona tak rela.Dia ingin berjalan mendekati ranjang yang terlihat menjijikkan itu dan menjambak rambut wanita tak tahu malu ini. Namun, cengkraman keras di lengannya membuat Fiona menghentikan langkahnya."Ikut Ibu!" desis mertuanya dengan mata melotot tajam pada Fiona.Akibat kegemarannya membaca novel dan menonton drama, Fiona seolah bisa mengetahui bagaimana sikap yang akan diambil oleh sang mertua. Dari gelagatnya, Fiona yakin tebakannya pasti benar.Meski jantungnya berdenyut menyesakkan. Fiona harus menahan semuanya. Dia menolak menjadi pihak yang kalah dan menyerah. Tidak peduli apakah dia akan merasa lebih menyakitkan dengan menjalankan rencana ini atau tidak, tapi yang pasti, dia harus membuat para pengkhianat itu menyesali adanya hari ini.Tidak bisa dibiarkan!Dia akan membuat seorang Sanjaya Adiguna menyesal hingga ke ruh-ruhnya karena telah selingkuh darinya. Dia akan membuat suaminya itu sadar, bahwa dia adalah istri terbaik yang pernah pria itu miliki.Gelombang rencana seketika membanjiri kepala Fiona. Dia akan menunjukkan bagaimana dia menghempas suaminya ini. Nanti, begitu sang suami mulai menunjukkan gelagat penyesalan. Tunggu saja!Sudut bibir Fiona berkedut samar. Dia berusaha untuk menahan agar antusiasme akan rencana yang baru saja berputar dalam kepalanya tidak sampai bocor keluar.Dengan patuh, dia kemudian mengikuti langkah sang mertua menuju lantai bawah. Dia menuruni satu demi satu anak tangga dengan langkah gamang. Sorot mata kasihan yang paling dia benci pun menyambutnya di ruang keluarga."Fi, kamu baik-baik aja?"Pertanyaan Mbak Arum membuat Fiona kembali memeras air matanya. Namun, dalam hati dia mengomel.'Menurut ngana aja?'"Mbak, kenapa Mas Jaya tega melakukan ini sama aku sih?" Fiona menyerut hidungnya. Dia kembali menangis tersedu."Ini juga salah kamu. Apa Ibu bilang 'kan? Kamu tuh gak becus urus rumah, dan urus suami! Kalau aja kamu dengerin kata Ibu, suami kamu gak mungkin selingkuh!" sentak Ibu dengan marah.Benar-benar, kalimat ini membuat Fiona langsung kehilangan kata-kata. Bibirnya sampai tidak bisa lagi dikatupkan saat melihat kemarahan mertuanya yang begitu menggelegak. Bah, mana kemarahan itu ditunjukkan untuknya pula."Lagian kamu kenapa sih masuk ke kamar orang tanpa izin?"Fiona menelan ludahnya yang terasa pahit. Tenggorokannya menjadi kering dengan hanya mendengar pertanyaan ini.Inilah alasan kenapa dia menyebut ibu mertuanya tidak masuk akal. Jelas-jelas di sini dialah yang menjadi korban. Tapi kenapa dia masih dipersalahkan?"Bu ... " sapaan yang datang dari atas tangga membuat suasana ruang keluarga segera jatuh dalam keheningan yang ambigu.Mas Jaya dan Mbak Zoya yang telah berpakaian rapi menuruni satu demi satu anak tangga sambil bergandengan tangan. Tampaknya mereka mulai berpikir bahwa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan hubungan mereka."Kalian duduk!" perintah mertuanya pada kedua orang itu sambil menunjuk sofa panjang di depannya dengan dagu. Meski terdengar tegas, tapi nada suaranya sudah jauh lebih lunak.Cih. Fiona mendecih dalam hati ketika melihat perlakuan mertuanya yang berbanding terbalik terhadapnya.Mas Jaya dan Mbak Zoya duduk bersisian di sofa panjang dengan patuh. Mereka bahkan tidak melirik Fiona yang terlihat mengenaskan. Sorot mata tegas mereka hanya menatap pada sang mertua yang sejak tadi hanya menghela nafas lelah."Lalu apa rencana kalian?"'Nah, kan?' Fiona mendengus dalam hati kala mendengar intonasi lembut ibu mertuanya itu.Meski sudah menduga bahwa sang mertua tidak akan mungkin berada dipihaknya. Tetap saja hati Fiona meradang. Kemarahan serasa sudah sampai di ubun-ubunnya. Namun, dia enggan melampiaskannya. Dia akan tetap bermain anggun. Dia akan membuat mereka merasa menang, kemudian membuat mereka jatuh sejatuh-jatuhnya. Lihat saja, dia bahkan tidak akan membuat hidup mertuanya ini aman, damai, apalagi sejahtera.Dia pasti akan membuat suami dan mertuanya ini berlutut meminta kesediaanya untuk kembali menjadi keluarga. Dia akan pastikan hal itu benar-benar terjadi.Apakah kalian pikir dia kejam? Tak mengapa. Dia tidak peduli. Dia akan tunjukkan bagaimana kejam yang sesungguhnya."Bu, Jaya mencintai Zoya. Jaya ingin menikahi Zoya." suaminya berkata dengan tegas. Menatap lurus ke manik mata tua ibunya.Alis Fiona berkedut mendengar permintaan suaminya ini. Sepertinya memang benar, bahwa dalam hati pria ini dia tidak pernah memiliki arti. Begitu keras usaha Fiona untuk menumpahkan air matanya, tapi pria ini sama sekali tidak memiliki niat bahkan hanya untuk meliriknya."Zoya...?""Bu, Zoya ... hiks ... Zoya juga mencintai Mas Jaya ... hiks," ucap Mbak Zoya. Air mata tiba-tiba turun berderai di pipinya.Entah sudah berapa kali Fiona memutar matanya karena kalimat dan tingkah laku tak masuk akal orang-orang ini."Ya udah, apa mau dikata. Karena semuanya sudah terlanjur, sesegera mungkin urus pernikahan kalian. Jangan biarkan hubungan kalian menjadi aib untuk keluarga," tukas ibu mertuanya sambil memijit pelipisnya yang berdenyut pusing.Fiona memutar lehernya dengan keras kala mendengar ultimatum mertuanya itu.Hei, dia masih ada di sini. Jangan mengabaikannya!Sungguh keterlaluan. Mertuanya mengambil keputusan tanpa bertanya bagaimana tanggapannya. Tidakkah ada seorang saja di ruangan ini yang menaruh simpati padanya? Tidak adakah seorang saja yang peduli bahwa di sini, hatinya hancur? Sejujurnya dilangkahi seperti ini membuat Fiona merasa sangat terhina. Ternyata mengetahui kenyataan bahwa dia tidak pernah dianggap berarti oleh orang yang selama ini dia pikir dia cintai rasanya sangat menyakitkan.Fiona menggigit bibirnya dengan keras untuk mencegah air mata agar tidak berguling jatuh dari sudut matanya. Jemarinya terkepal semakin erat. Keengganan terhadap suami dan mertuanya kini berubah menjadi kebencian total. Fiona menggiling giginya dengan keras. Dia semakin mantap dengan rencananya. Dia tidak hanya akan membuat suaminya menyesali hari ini, bahkan mertuanya akan menyesalinya hingga ke tulang-tulang tuanya."Bu! Mas!" pekik Fiona sambil berjalan menghampiri Mas Jaya. "Mas belum menjelaskan apa-apa sama aku," tegur Fiona. Air mata kembali dia peras dari matanya yang sudah memerah."Aku rasa sudah tidak ada yang perlu dijelaskan. Kamu melihat semuanya dengan jelas. Jika tidak ingin dimadu, aku tidak masalah jika kamu ingin bercerai!"Kembali Fiona tak bisa berkata-kata. Respon suaminya ini jauh di luar perkiraannya. Tapi respon ini juga yang membuatnya semakin meradang.Secepat inikah pria ini melepaskannya? Dia dihempas begitu saja saat tidak lagi dibutuhkan? Apakah enam tahun kebersamaan mereka sungguh tidak memiliki arti sama sekali bagi pria ini?Hati Fiona kembali dilanda kekecewaan. Kecewa karena dia benar-benar menghabiskan enam tahunnya dengan sia-sia. Tawa pahit hampir lolos dari bibirnya ketika mengingat hal-hal yang telah dia lalui.Enam tahun lalu, di antara banyaknya pria yang mengantri untuk menyatakan cinta padanya, bodohnya Fiona lebih memilih mengejar Sanjaya Adiguna. Alasannya, karena pria yang 3 tahun lebih tua darinya ini tidak pernah neko-neko. Sepanjang mereka saling kenal, dia juga memperlakukan Fiona dengan penuh perhatian dan kepedulian. Sikapnya yang terkadang dingin pada wanita lain membuat Fiona seringkali merasa bangga. Dia pikir, karena pria ini cukup menjaga jarak dengan wanita lain, dia akan menjadikan Fiona sebagai satu-satunya wanita dalam hidupnya. Tentu saja, selain keluarganya. Begitu mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, Fiona bahkan lebih bahagia.Lalu, setelah tiga tahun menjalin hubungan asmara, mereka pun memutuskan untuk menikah. Awalnya semua baik-baik saja. Dia masih diperlakukan sebagai ratu dalam rumah tangga mereka. Bahkan sang suami bersedia agar mereka tinggal terpisah dari ibunya sesuai permintaan Fiona.Meski kemudian suaminya hanya memberikan uang saku satu juta sebulan sebagai nafkah, yang terkadang tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan rumah tangga mereka, Fiona tidak rewel. Dia memiliki gajinya sendiri untuk menutupi semua kekurangan nafkah yang diberikan oleh suaminya.Bahkan membayar pembantu rumah tangga karena mereka berdua terlalu sibuk bekerja pun menggunakan gaji Fiona. Meski begitu, dia tidak pernah marah berlebihan. Dia hanya dongkol pada mertuanya karena sudah dengan egois menguasi lebih dari setengah gaji suaminya.Jika memikirkan semua pengorbanan yang telah dia lakukan dalam rumah tangga mereka ini membuat Fiona sangat tidak rela. Dan sekarang, keinginan suaminya untuk menghempasnya bagaikan kain lap bekas membuat Fiona merasa harga dirinya terinjak-injak.Bercerai?Dia tidak mau!Dia harus membuat suaminya ini mengembalikan setiap sen pengorbanan yang telah dia lakukan selama mereka berumah tangga."Mbak Arum. Apa hal ini akan dibiarkan? Apa Mbak Arum gak kasian sama Mas Agung? Bahkan kuburannya belum kering." Fiona melirik kakak iparnya untuk meminta bantuan.Lagipula, aneh saja jika sang mertua justru menyetujui hubungan dua insan ini. Baru saja memasuki bulan keempat sejak Mas Agung meninggal karena kecelakaan yang merenggut nyawanya. Tapi istrinya sudah bermain gila dengan adik suaminya sendiri.Namun, ratapan menyedihkan yang Fiona lemparkan pada ipar perempuannya itu justru tak mendapat tanggapan. Mbak Arum lebih memilih untuk mengalihkan perhatian darinya. Pura-pura tidak melihat.'Oke, bagus. Sikap kalian makin jelas!' batin Fiona nelangsa."Diam kamu!"Mertuanya tiba-tiba memekik tak terima. Dia menatap Fiona dengan tatapan nyalang. Bahkan tubuh tua itu terlihat bergetar karena kemarahan hebat yang terkandung di dalamnya. Sepertinya dia baru saja membuat mertuanya marah karena membawa-bawa nama Mas Agung dalam kasus ini."Kamu hanya perlu memilih, dimadu atau bercerai?" desis Mas Jaya dengan nada dinginnya yang menusuk hingga ke tulang.Fiona memberikan tampilan gemetar ketakutan. Dia kemudian menjatuhkan lututnya yang berharga hingga menghantam karpet bulu tebal dan bertekuk lutut di bawah paha suaminya."Mas, aku gak mau diceraikan sama kamu," ucap Fiona sambil meraung pilu.Nada permohonan dalam suaranya mampu menyayat hati. Sayangnya, hati keluarga suaminya ini terlalu dingin untuk bisa bersimpati.Fiona menggertakkan gigi. "Aku bersedia dimadu," ucap Fiona pada akhirnya.Dari mata yang tertutup kabut, Fiona bisa melihat senyum samar pada bibir Mas Jaya. Kemarahan yang dipendam Fiona dalam hati semakin membumbung tinggi. Jika melihat dari kemulusan restu yang diberikan ibu mertuanya, Fiona curiga bahwa hubungan mereka berdua sebenarnya sudah diketahui oleh semua orang di rumah ini.'Aku bersumpah akan membuat keluarga kalian tidak harmonis!' janji Fiona dalam hati.* * *Selama sebulan sejak Fiona setuju untuk dimadu, hubungannya dengan Mas Jaya semakin renggang. Suaminya itu mulai sering menginap di rumah ibunya. Katanya sih untuk mengurus pernikahannya dengan Mbak Zoya. Fiona sendiri pun mulai tak peduli. Dia memilih mengalah dengan memindahkan semua pakaian dan barang-barangnya ke kamar tamu. Membiarkan calon pengantin baru menempati kamar utama. Dalam pikirannya saat ini, hanya ada rencana untuk menguras harta suaminya dan membuat keluarga suaminya menjadi tidak harmonis. Bagi Fiona, kerugian non materi yang dia alami sudah cukup. Dia tidak ingin mengalami kerugian materi lain. Dia harus mengambil kembali setiap sen dari gajinya yang telah hilang hanya demi menyenangkan pria yang sama sekali tidak layak itu. "Fi, kamu baik-baik aja?" pertanyaan berulang Freya membuat Fiona menggulung matanya dengan bosan. "Berhenti deh nanya kamu baik-baik aja atau enggak! Kelihatannya aja gimana?" dumel Fiona pada sahabat sekaligus teman sejawatnya ini."Kamu
Rumah yang tiga tahun belakangan ini hanya ditempati berdua dengan sang suami kini kedatangan anggota barunya. Terhitung hari ini, Fiona harus rela berbagi atap dengan wanita lain, bersama dengan anak-anak dari wanita itu. "Pantas aja ibu selalu bilang kamu gak becus!"Fiona menatap sang suami yang langsung marah-marah begitu mereka tiba di rumah. "Kenapa?" tanya Fiona halus. Makin kesini tempramen suaminya terlihat semakin buruk. Dia hampir tidak lagi bisa mengenalinya. "Kenapa?!" Mas Jaya berkata dengan bersungut-sungut. Urat-urat biru terlihat menonjol di dahinya. "Ini kamar anak-anak kenapa belum kamu atur?" Mas Jaya menunjuk ke dalam kamar di samping kamar utama. Fiona menjulurkan kepalanya untuk mengintip kamar yang tadinya kamar tamu itu, dengan hanya ada satu ranjang berukuran king size tergeletak di tengah ruangan yang terlihat membosankan. "Kan aku gak tau selera mereka Mas. Nanti kalau aku lancang utak-atik, kamu nyalahin aku lagi,"Fiona berkilah. "Lagian, mungkin Mb
Menjelang maghrib, Fiona kembali dari rumah Freya dengan sekantong belanjaan ala kadarnya. Dari dalam mobilnya yang diparkir di bahu jalan, Fiona bisa melihat dengan jelas sebuah mobil Mercedes-Benz berwarna hitam metalik terparkir mentereng di garasi rumahnya. Mengambil alih lahan parkir untuk mobil Ayla bututnya. Dari tempatnya, Fiona bisa melihat Mbak Zoya mengelus-elus mobil mengkilap itu dengan pandangan kagum. "Apakah ada tamu?" Fiona bertanya-tanya pada kekosongan yang tidak bisa memberikan jawaban. Dan dikarenakan hatinya penuh akan tanda tanya, Fiona memutuskan untuk turun dari mobil sambil membawa kantong belanjaannya. "Wow, mobil siapa nih?" tanya Fiona pada wanita yang anehnya terlihat terlalu senang itu. "Mobil hadiah pernikahan dari Mas Jaya," jawab Mbak Zoya sambil terkikik disertai dengan sorot mata penuh provokasi. "Mobil ini dibeli cash loh sama Mas Jaya buat aku. Baik banget ya, Mas Jaya." lanjut Mbak Zoya kesenangan ketika melihat wajah keruh Fiona. Fiona se
Fiona sedang menunggu lift dengan wajah datar diiringi oleh orang yang bergosip terang-terangan tentangnya. Meskipun dia tidak mengundang salah satu dari mereka ke acara pernikahan suaminya, tetap saja gosip mengenai dia yang dimadu telah menyebar ribuan mil jauhnya. Fiona tidak peduli. Sejak dia bersedia diduakan oleh sang suami, dia sudah siap dengan hal ini. Bahkan jika ada kalimat tidak menyenangkan yang mampir di telinganya, Fiona hanya mengambil sikap acuh tak acuh. "Pantas aja suaminya nyari orang lain, judes gitu!" kata seseorang yang tidak dia kenal. "Mungkin di rumah dia juga bossy orangnya, makanya suaminya jadi enggak betah!" timpal yang lain. "Hush, nanti dia dengar!""Biarin aja dia dengar. Biar dia sadar diri kalau dunia gak cuma berputar sama dia seorang!" Fiona melirik orang yang baru saja berbicara dan hanya mendengus dengan sudut bibir sedikit terangkat. "Udah-udah, dia ngeliat ke sini barusan!" seseorang berkata dengan panik. Alis Fiona sedikit berkedut mend
Helaan nafas lolos dari hidung Fiona ketika melihat kemarahan yang tampak di wajah Igor. Meski dia tidak apakah kemarahan ini bersifat sungguhan atau hanya dibuat-buat. "He-em," gumam Fiona membenarkan. Tidak ada yang perlu disembunyikan dari pria ini. Karena, lebih dari siapapun, pria ini adalah orang yang paling mengetahui segala hal tentang dirinya. Dialah Igor Samudra. Sumber rasa pusing Fiona yang paling. Bahkan melebihi rasa pusing yang bisa diberikan suaminya padanya. Pria ini bisa dikatakan fans berat Fiona sejak dulu ketika mereka masih SMA, kemudian berlanjut hingga mereka kuliah. Sampai tiga tahun lalu ketika dia menikah dengan Sanjaya Adiguna. Pria ini akhirnya memutuskan untuk menjauh dari hidupnya. Banyak orang bertanya-tanya, kenapa dia lebih memilih Mas Jaya dibandingkan pria ini. Jawabannya hanya satu, karena pria ini terlalu kaya! Dia adalah putra bungsu dari pemilik perusahaan Samudra Group, salah satu perusahan F&B terbesar di Asia yang tak lain adalah tempat
Saat jam makan siang, Tidak sampai lima menit, Fiona sudah tiba di cafe Kenangan yang memang biasa dia kunjungi saat jam makan siang. Setibanya disana, dia mengedarkan pandangan ke segala penjuru cafe dengan desain interior bernuansa tradisional itu. Dengan segala furnitur yang terbuat dari kayu dan berbagai pajangan antik yang menghiasi membuat setiap pengunjung bisa merasakan nuansa hangat rumah tempo dulu. Apalagi dengan penggunaan lampu-lampu berwarna kuning yang hangat dan temaram. Belum lagi dengan adanya kipas angin yang berputar berderit-derit mengkhawatirkan di atas kepala mereka memperkuat nuansa tradisional cafe ini. Tidak butuh waktu lama bagi Fiona untuk menemukan Aruna, sang adik ipar di antara manusia-manusia lain yang sedang sibuk menyantap makan siang mereka. Wanita cantik itu terlihat melambai anggun ke arahnya dari meja nomor lima yang ada di sudut cafe. Sebelum berjalan menghampiri adik iparnya, Fiona menghentikan langkahnya di depan meja kasir. "Aku pesan dua
Fiona menelan makanan yang ada di dalam mulutnya. Dia kemudian berdehem pelan sebelum kemudian berkata. "Loh, kamu benar-benar gak tau, Run? Mobilnya Mbak Zoya baru aja sampai di rumah kemarin sore!" beritahu Fiona dengan nada pura-pura terkejutnya."Kemarin banget ini, Mbak?" tanya Aruna memastikan. Fiona mengangguk sembari sekali lagi menyendok makan siangnya ke dalam mulut. "Benar-benar mobil baru, Mbak?" tanya Aruna sekali lagi. Dia benar-benar sanksi. Disela kunyahannya Fiona menganggukkan kepala dengan antusias. Dia semakin menuangkan bensin pada api yang sudah menyala. "Uhh. Bagus banget mobilnya. Mercedes-Benz warna hitam mengkilap," beritahu Fiona setelah menelan makanannya. Aruna memundurkan punggungnya ke sandaran kursi dan mulai sibuk mengutak-atik iPhone di tangannya. Mungkin mencari bagaimana penampilan mobil yang dimaksud. Fiona tidak peduli. Dia sendiri memilih fokus dengan makanan yang ada di hadapannya. "Ini gak bisa dibiarin!" gumam Aruna yang samar-samar bisa
Matahari telah tenggelam sepenuhnya, menyisakan gelap yang terus beranjak naik. Lampu-lampu jalan juga telah dinyalakan untuk memberikan penerangan bagi sekitar. Semenjak suaminya menikah lagi, Fiona selalu pulang terlambat. Dia sengaja mampir di restauran, atau cafe terdekat terlebih dulu untuk makan malam. Sehingga ketika dia sampai di rumah nanti, dia tidak perlu berada di meja makan yang sama dengan pasangan pasutri baru itu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam ketika Fiona tiba di rumah. Dia masih memarkir mobil bututnya di bahu jalan karena mobilnya ini tidak lagi memiliki tempat di garasi. Untung rumah mereka berada di ujung kompleks, dan jalanan di depan rumah tergolong lebar sehingga keberadaan mobilnya tidak perlu mengganggu pengguna jalan lain. Setelah menarik nafas panjang, dan menghembuskannya keras, Fiona mengunci mobilnya sebelum menyeret langkah kakinya ke dalam rumah. "Adik kamu kayaknya lebih butuh mobil deh daripada Zoya. Sekarang adik kamu