Arkan tertawa bangga karena bisa membungkam mulut Maria yang menuduhnya macam-macam. Lagian, mana ada tampang paras rupawan seperti dirinya yang tega menuduhnya pencuri kecuali Maria. Kalau tidak mengingat siapa Maria, Arkan sudah menyeretnya ke kantor polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Maria memutar bola matanya malas saat mendengar tawa Arkan yang begitu lepas karena berhasil membuatnya kicep. Memang, dari penampilnya Arkan bukan termasuk orang biasa, pakaian necis dan mahal, mobil mewah Mercedes Benz, Dan jangan lupakan wajah yang tampan di dukung tubuh atletisnya. Maria sebel sendiri jadinya.
"Masuk, gih!" Arkan mengedikan dagunya ke arah rumah Maria. "Istirahat yang banyak dan jangan kecapean."
"Lagamu sudah seperti kakak beneran." Maria mencibir. Namun, tak urung Maria membuka pagar.
"Maria." Arkan memanggil saat Maria sudah menutup kembali pagar.
"Apa?"
"Kamu bertahan sampai sejauh ini sampai rela ters
Jangan lupa tinggalkan jejak, berupa komentar atau apapun 😉🤗
Sesampainya di Kantor Polisi Maria langsung meminta pihak Polisi untuk mengantarnya bertemu dengan Fiko dan yang lainnya.Polisi mengantar Maria di mana Fiko, Marni, dan Sela tengah meringkuk di dalam sel jeruji besi. Maria memandang mereka bergantian, tatapannya jatuh pada tangan Sela yang tengah di pegang erat sambil dielus pelan oleh tangan Fiko.Sela yang sudah menyadari Maria tengah berdiri memperhatikan kegiatannya dan Fiko menyeringai sinis. Tatapan puas dia layangkan pada Maria yang tengah mengepalkan tangannya kuat."Akhirnya kamu datang juga. Lama banget, sih." Marni yang baru saja menyadari ada Maria langsung membentaknya karena begitu membutuhkan waktu lama untuk menyusulnya ke sini.Maria melirik Marni yang terduduk di kursi roda depan Fiko dan Sela yang terduduk di atas tikar tipis. Maria tidak membalas ucapan Marni melainkan langsung kembali untuk meminta penjelasan pada Polisi membuat Marni mencebikan bibirnya kesal."Lihat tu
Pagi ini suasanarumah begitu ricuh. Fiko yang uring-uringan karena kesiangan berangkat kerja, Marni yang misuh-misuh karena lapar dan tidak ada makanan sedikitpun di atas meja, terakhir Sela yang terus-terusan kena teguran Fiko karena tidak becus menyiapkan segala perlengkapannya dari mulai baju, celana, dan segala sesuatu yang dia pakai untuk kerja. "Kamu ini gimana sih, udah hampir dua bulan jadi istri Mas. Kok masih keteteran gini nyiapin segala keperluan Mas untuk kerja." Fiko mengerang frustasi karena Sela belum menemukan juga baju dinasnya. Fiko saat ini masih menggunakan celana bahan dan dalaman baju saja, Sedangakan waktu kerjanya sudah telat setengah jam yang. Sela yang tengah mengacak-ngacak lemari pakaian sontak mendelik ke arah Fiko. "Loh, kok Mas malah nyalahin aku. Harusnya Mas dong yang tidak naruh sembarangan bajunya, kalau begini siapa juga yang susah." "Kok gitu, selama ini Mas sudah bekerja untuk membiyayai kalian, masa baju jug
Fiko menelan saliva susah payah. Dia melupakan satu hal, tentang kamar itu. Dulu, Fiko sebenarnya hanya mencari alasan untuk membujuk Maria agar mau pindah. "Itu... nanti kamu bisa pakai kamar itu lagi." Fiko menjawab tidak yakin. Dia melirik Sela yang saat ini memandangnya tak percaya. "Loh, kok gitu Mas. Bukannya kamar itu sudah menjadi miliku?" Napas Sela memburu karena kesal merasa sudah dibohongi. Maria menyipitkan mata, tapi tetap diam menunggu balasan Fiko pada Sela. Fiko menggosok lehernya canggung, bingung dengan apa yang harus ia ucapkan agar tidak menyinggung kedua istrnya. Melihat kebingungan Fiko, Maria tersenyum sinis. "Bingungkan kamu. Sok-sokan punya istri dua, ngasih tempat tinggal aja belum mampuh. Kamu kira wanita itu apa, hanya pemuas nafsumu atau pemberi keturunan. Memangnya tidak dosa apa kalau mempersatukan wanita yang dipoligami dalam satu atap? Ingat Mas, kelakuanmu ini bisa me
"Ok, saya ceritakan."Maria tersenyum puas karena sebentar lagi dia dapat mencari tahu siapa Ibu kandungnya itu."Sepertinya ibu butuh istirahat. Sela, cepat antar ibu ke kamarnya! Jangan biarkan ibu keluar, mulai sekarang ibu harus lebih banyak beristirahat agar lebih bisa mengontrol darahnya." Dengan segera Fiko menyuruh Sela membawa Marni masuk ke kamarnya agar tidak dapat menceritakan tentang rahasia Ibu kandung Maria."Tapi, Mas." Sela menyela."Cepat!" Fiko mendesis rendah membuat Sela tersentak dan dengan cepat memutar balik kursi roda Marni."Eh, Sela jangan dorong ibu. Ibu butuh menjelaskan sesuatu pada Maria agar wanita itu pergi dari rumah ini." Marni membalikan setengah badannya ke belakang ke arah Maria.Sela hanya diam dan terus mendorong Marni menuju kamarnya. Kurang ajar, kenapa semuanya jadi begini. Pokoknya aku harus segera mengetahui rahasia tentang
Maria kembali memikirkan alasan di balik Fiko menikahi Sela. Bukan, bukan dia senang karena itu artinya Fiko tetap hanya mencintainya seorang melainkan ada rasa iba di hatinya untuk Sela. Walaupun Sela ingin menyingkirkannya demi menjadi istri Fiko satu-satunya, Maria tetap tau bagaimana perasaannya nanti saat tau dia cuma dimanpaatkan.Andai Sela tau bahwa dia hanya Fiko jadikan sebatas wanita yang harus melahirkan anaknya saja, Maria tidak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya dia nanti.Dari pada memikirkannya terus, Maria memilih pergi ke dapur guna memasak sesuatu untuk mengisi perutnya.Begitu sampai di dapur, Maria meletakan terlebih dahulu tas belanja yang dia bawa di kursi makan. Lalu dia menghampiri kulkas untuk mencari bahan yang bisa diolah menjadi omlet.Maria menghembuskan napas pasrah karena begitu membuka kulkas, ternyata bahan-bahan sudah habis. Padahal dia rasa belum lama ini mengisin
Sudah tujuh bulan lamanya Maria hidup dalam kesengsaraan. Sela benar-benar sukses membuat Maria tidak pergi dari rumah dan kembali menjalankan aktvitasnya seperti biasa. Tentu itu membuat Fiko sangat puas, lalu tidak jadi menceraikan dirinya.Kebaikan hati Maria ternyata menjadi kelemahannya. Dia tidak tega tatkala Sela datang mengadu kalau Maria pergi, Sela akan diceraikan.Awalnya Maria cuek, tapi saat mendengar bahwa Sela juga ternyata sebatang kara mau tidak mau perasaannya ikut terbawa. Maria tau bagaimana sepinya hati saat tidak ada yang namanya keluarga. Katakan Maria bodoh, tapi itu yang dia rasakan. Sehingga bertahan demi madunya.Namun, saat Maria mau menjalankan pernikahan kembali, ternyata Fiko tidak berubah sama sekali. Perlakuan Fiko pada Maria malah menjadi.Janji Fiko yang hanya akan memakai kamar tidurnya untuk Sela selama satu bulan itu nyatanya hanya janji palsu. Sampai bulan selanjutnyapun kamar itu tetap dipakai Sela. Mari
Sela kini tengah menggigit bibirnya gusar. Berkali-kali dia berjalan kesana-sini karena bingung harus melakukan apa. Dia takut kebohongannya terbongkar dan Fiko meninggalkannya untuk kembali pada Maria. Dia tadi spontan mengucapkan bahwa dia hamil agar Fiko bisa melepaskan Maria. Tentu dia tak ingin usahanya selama 7 bulan ini gagal setelah susah payah dia berusaha mengalihkan perhatian Fiko dari Maria.Fiko masuk kedalam kamar dalam keadaan berantakan dengan mata bengkak dan rambut serta baju acak-acakan. Dia mengeenyit heran karena mendapati Sela tengah mondar-mandir tak jelas. "Kenapa kamu terlihat gusar?""A...ah tidak." Sela menjawab gugup. "Mas Fiko kapan masuk?" Sela balik bertanya karena baru menyadari Fiko sudah ada didalam kamar."Baru saja."Fiko berjalan mendekati Sela, dia menunduk dengan tangan terulur mengusap perut rata Sela pelan. "Benarkah anaku kini tumbuh didalam perutmu?"Tubuh Sela menegang otomatis mendengar penutur
Maria memandangi rumah minimalis peninggalan sang nenek dengan sendu. Sebelum menikah dengan Fiko, disinilah dia tinggal bersama sang nenek. Kini rumah ini kosong karena sang nenek sudah pulang ke Rahmatullah tiga tahun lalu sebelum dirinya menikah dengan Fiko. Bunyi derit pintu terdengar kasar karena banyak debu menghalangi. Rumah ini sudah lama tak dibersihkan karena memang Maria tak pernah menginjakan kakinya lagi kerumah ini setelah menikah. Dipandangnya setiap sudut sisi rumah dengan perasaan sesak. Dulu, sebelum neneknya meninggal, sang nenek pernah memintanya untuk sesekali membersihkan rumah ini walau tidak dia tempati. Karena kesibukannya mengurus rumah dan mertuanya yang sakit, ditambah jaraknya yang lumayan cukup jauh, Maria tidak sempat melaksanakan tugas itu. Sungguh dia sangat merasa bersalah terhadap neneknya. Maria mulai memberseskan dan membersihkan rumah itu sampai menghabiskan waktu seharian penuh. Dia membaringkan badannya yang pegal