Tiga tahun pernikahan Maria dan Fiko belum dikaruniai seorang anak. Fiko yang sudah rindu dipanggil ayah memutuskan untuk menikah kembali. Ketidak adilan Fiko dalam membagi nafkah lahir dan batin pada kedua istrinya, membuat Fiko harus memilih di antara Maria atau Istri mudanya. Fiko sangat mencintai Maria, tapi apa yang bisa dia lakukan ketika ternyata istri mudanya kini tengah hamil anaknya? Mawar Hitam Berdarah adalah lambang yang menggambarkan cinta mati yang sejati. Tapi, bagi Maria Mawar Hitam Berdarah adalah sebuah kesakitan. Cinta tulus untuk sang Suami, kini menjadi cinta mati yang mengalir luka.
View MoreMaria yang tengah membuat bubur untuk Marni sang mertua terkejut dengan kedatangan Fiko sambil menggandeng tangan seorang perempuan cantik. Tanpa rasa bersalah, Fiko memperkenalkan perempuan di sampingnya sebagai istri barunya kepada Maria. Maria hanya mematung shok tanpa bisa berucap apa-apa sampai perempuan itu mengulurkan tangannya untuk mengajak Maria berjabat tangan.
"Perkenalkan! Nama aku Sela Anastsya Arindi, istri keduanya Mas Fiko." Sela tersenyum manis kearah Maria. " Kamu pasti Maria, istri pertamanya Mas Fiko."
Maria tidak menanggapai perempuan yang mengaku bernama Sela itu membuat Fiko menggeram marah. "Maria! Mana sopan santunmu? Cepat terima uluran tangannya Sela!" Fiko meninggikan suaranya karena merasa Maria malah melamunkan sesuatu dan bukannya dengan cepat menyambut uluran tangan Sela. Fiko tau Maria shock, tapi tidak dengan mengabaikan Sela. Kalau Maria tau tujuannya menikahi Sela, Fiko yakin Maria akan berterima kasih pada dirinya dan Sela.
Maria tersentak karena mendengar nada tinggi yang diucapkan Fiko padanya. Pelan, sebuah air mata lolos dari sudut matanya. Selama ini sesalah apapun Maria pada Fiko, Fiko tidak pernah membentak atau meninggikan suaranya dalam menegur. Namun sekarang hanya demi wanita yang baru, Fiko tega membentaknya. Dia juga tidak menyangka Fiko akan menduakannya setelah 3 tahun pernikahan mereka. "Mas, ka-kamu menikah lagi?"
Hati Fiko tercubit ketika menyadari ada air mengalir dari mata Maria. Istri yang ia nikahi 3 tahin lalu itu kini meminta kejelasan dengan apa yang ia perbuat. Keinginannya untuk segera memiliki keturunan mendorongnya agar menikahi perempuan lain tanpa menceraikan Maria. "Maafkan Mas, Maria. Mas sangat ingin segera memiliki anak. Karena kamu belum bisa kasih itu ke Mas, terpaksa Mas menikahi Sela."
Hati Maria sakit mendengarnya. Maria memindai penampilan Sela yang terlihat berkelas, rambut hitam bergelombang, wajah cantik, kulit mulus, serta baju dan perhiasan lainnya melekat indah di tubuhnya. Sedangkan dirinya hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang kesehariannya berada didapur, mengurus rumah, serta mengurus mertua yang terduduk dikursi roda.
"Fiko, kamu sudah pulang nak." Seorang wanita paruh baya menghampiri mereka dengan menggunakan kursi roda. Dia Marni, Ibunya Fiko yang terkena setruk hingga harus duduk dikursi roda.
Dengan cepat Fiko menghampirinya untu membantu mendorong sampai kehadapan semua orang. Kemudian dia mengangkat Marni dan mendudukannya dikursi makan. "Ya, Ibu. Aku membawa Sela untuk bertemu ibu dan Maria."
Seketika senyum cerah Marni terbit. Dia menatapa Sela dengan binar mata yang membuat hati Maria makin sakit karena tidak pernah melihat binar itu untuk dirinya. "Ya ampun, Mantu kesayangan ibu sudah datang. Cantik banget kamu, sayang."
"Terima kasih atas pujiannya, ibu." Sela tersenyum manis. "Gimana kabarnya ibu?" Tanya Sela dengan lembut, Sela membawa tangan Marni dan menggemgamnya di atas paha.
Marni makin melebarkan senyumannya. Dia balik menggemgam tangan Sela erat."Sangat baik setelah bertemu denganmu." Jawabnya lugas sambil melirikan matanya sedikit ke arah Maria, Marni tersenyum puas karena mendapati wajah Maria yang keruh.
Fiko ikut duduk dikursi sebelah Marni, dan ikut memegang tangan Sela dengan lembut. "Terima kasih Sela. Kamu sudah buat Ibu Mas bahagia. Padahal, kamu baru saja datang di rumah ini."
Sela mengibaskan tangannya yang tak digenggam Fiko dan Marni. "Itu bukan apa-apa. Ibunya Mas kan, ibunya aku juga. Kalau ibu bahagia, aku juga ikut bahagia."
Mereka tertawa bersama melupakan seseorang yang tengah menahan sakit karena tak dianggap ada. Maria melihat mata Marni yang memandang Sela lembut, padahal Sela baru datang hari ini. Namun, dia sudah bisa menarik perhatian Marni untuk menyukainya. Sedangkan dirinya yang sudah 3 tahun ini selalu merawatnya, mulai dari memberi makan, obat, memandikan, mengantar pup serta buang air kecil, tak pernah sekalipun di pandang selembut itu. Maria selalu terkena marah dengan alasan tak becus, inilah, itulah, dan berakhir mengadukannya pada Fiko.
Dalam diam, Maria meninggalkan mereka dan masuk kekamarnya. Dia terduduk diatas ranjang dengan pandangan kosong. Tak lama pintu terbuka menampilkan Fiko yang menatapnya rumit.
"Maria, sekarang kamu bereskan semua barangmu yang ada dikamar ini."
Maria menatap heran kearah Fiko. "Kenapa, Mas?"
Fiko membuang muka enggan melihat wajah Maria. "Mas dan Sela yang akan menempati kamar ini."
Mari berdiri menatap marah Fiko. Dia tidak menyangka Fiko tega mengusirnya hanya demi Sela. "Tega kamu mas! Aku ini juga istri kamu! Kalau tidak tidur disini, dimana aku tidur?"
Fiko menghela napas lelah. Dia berjalan mendekati Maria dan memegang kedua bahunya. "Mas minta maaf, Maria. Mas juga tidak tega, tapi Sela tidak mau tinggal disini kalau tidak menempati kamar ini. Tolong mengerti Mas, Maria!"
Mari menepis kedua tangan Fiko yang bertengger dibahunya. "Aku tidak mau mengerti Mas. Kalau dia tidak mau tinggal disini, biarkan saja dia pergi. Lagian, tidak ada dalam sunnah Nabi, wanita yang di madu tinggal serumah dengan madunya.
"Tapi, Mas hanya punya rumah satu? Kalau tidak di sini, kemana lagi?" Fiko mencoba memberi pengertian.
"Makanya jangan sok-sok an ingin beristri dua!" Maria menjawab ketus.
Fiko menatap Maria tak suka. Dia tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut istri yang sangat dia cintai itu, terlebih dia tau Maria adalah gadis sopan santun yang tak pernah dengan sengaja menyakiti hati orang lain. "Mas gak nyangka kamu bisa bicara seperti itu, Maria!"
"Dan aku juga tidak menyangka Mas tega mengusirku dari kamar ini demi istri barumu!"
Fiko mengusap wajah kasar. Dia juga tidak tega harus memperlakukan Maria seperti ini, namun dia juga bingung kalau tidak dikamar ini dimana Sela bisa tidur. "Kamu tidur bareng Ibu." Putusnya tanpa mengerti perasaan Maria.
Sekali lagi air mata Maria menitik, buru-buru dia mengusapnya kasar, "Ibu tidak pernah menerimaku dengan baik, bagaimana bisa aku tidur sekamar dengannya?"
"Itu karena kamu tidak pernah memperlakukan Ibu dengan baik, makanya Ibu begitu. Coba saja kalau kamu bisa sedikit lebih pengertian ke Ibu, ku yakin, Ibu pasti menyukaimu." Jawab Fiko enteng.
"Kurang pengertian apa aku, mas. Setiap hari yang merawat dan memperhatikan Ibu itu aku. Lalu apalagi yang kurang?" Maria menyorot Fiko terluka. Memang Fiko sering memarahinya karena Marni selalu mengadu yang tidak-tidak pada Fiko tentang Maria. Namun, dia selalu mencoba bersabar demi mempertahankan rumah tangganya. "Kenapa kamu tidak menyuruh Sela saja yang tidur dengan Ibu, Ibu menyukai Sela."
Fiko menghembuskan napas frustasi. "Sela itu baru dirumah ini, tentu dia harus beradaptasi dulu. Setidaknya beri dia waktu satu bulan. Setelah itu, kamu boleh kembali menempati kamar ini."
Tanpa persetujuan Maria, Fiko mengeluarkan semua barang Maria dan memindahkannya kekamar Marni. Maria hanya berdiri tanpa berbuat apa-apa. Matanya memang tidak menangis, namun hatinya sakit luar biasa. Dia sudah diperlakukan seperti pembantu dirumah ini, namun hanya ketidak adilan yang dia dapat.
Maria berjalan dengan menyeret langkahnya yang berat menuju kamar sang mertua. Begitu pintu terbuka, sebuah bantal melayang tepat mengenai mukanya. "Tidur dilantai kamu, saya tidak sudi seranjang denganmu."
Marni tersenyum puas melihat Maria berdiri dengan tatapn kosong diambang pintu. Tanpa banyak bicara, dia merebahkan tubuhnya diatas kasur empuk dan berselimut tebal.
Maria tidur dilantai tanpa alas apapun kecuali bantal untuk menyangga kepala yang tadi dilempar Marni. Malam semakin larut. Semua penghuni rumah sudah tertidur pulas kecuali Maria yang sedang menahan dinginnya lantai. Sesekali dia menggosok tangannya untuk menghalau dingin. Namun percuma, ternyata dingin itu tak kunjung hilang.
***
Dua bulan kemudianGudy menggeliat merubah posisi tidurnya untuk mencari kenyaman, tapi saat satu tangannya meraba tempat di samping yang selalu menjadi kebiasaan Maria tidur ia tidak dapat menemukan istrinya itu. Gudy langsung membuka matanya, untuk memastikan. Benar saja, Maria tidak ia temukan di mana-mana."Sayang," Gudy memanggil serak.Tidak ada jawaban. Gydy turun dari ranjang, mencari keberadaan istri yang baru ia nikahi dua bulan lalu itu. Kini dirinya dan Maria sudah tinggal di rumah mereka, tidak lagi tinggal bersama orang tua Maria.Drama menjengkelkan dengannya Arkan tidak mau mengijinkan Maria untuk pindah membuat Gudy ingin menggigit habis sosok kakak iparnya itu. Pada akhirnya setelah sang nyonya besar Kinanti menjewer telinga Arkan, barulah ia dapat membawa Maria lepas dari sosok kakak yang selalu memonopoli istri tersayangnya itu.&
Gudy terbelalak begitu bangun di pagi hari. Menengok kanan kirinya, ia tidak menemukan Maria ada di mana-mana. Apa yang terjadi? Apa semalam memang tidak terjadi apa-apa?Gudy menunduk melihat penampilannya sendiri, baju kemeja dan celana bahan yang kemarin ia pakai untuk resepsi pernikahan. Melihat sekeliling, kamarnya masih kamar pengantin.Kemarin Gudy dan Maria melaksanan akad nikah sekaligus resepsi di hotel, jadi saat ini Gudy seharusnya bersama Maria masih ada di hotel untuk malam pertama. 3 hari menginap Gudy rasa itu adalah waktu sebentar sebelum kemudian mereka memutuskan untuk tinggal di mana.Gudy membaringkan kembali tubuhnya, berguling memeluk guling di samping kirinya. Menguyel-nguyel untuk menyalurkan rasa gregetnya. Kenapa bisa semalam ia ketiduran?CklekSaat pintu kamar mandi terbuka, Maria
"Bagaiamana saksi sah?"Seorang penghulu melirik beberapa saksi yang duduk di sisi dan belakang Gudy dengan pandangan penuh penilaian. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis menunggu para saksi mengucapkan kata yang akan merubah Gudy menjadi seorang suami bagi Maria."Sah," serempak para saksi mengucapkan 'sah' setelah saling pandang."Alhamdulillahirobiolalamain," Sang penghulu mengucap hamdalah sambil dilanjutkan dengan doa, begitu pula orang-orang yang hadir menjadi saksi pernikahan, mereka mengangkat tangan untuk ikut berdoa."Sekarang sang mempelai wanita bisa di bawa ke sini," sang penghulu menatap Bagus yang duduk di depan Gudy.Bagus mengangguk, melepaskan jabatan tangannya dengan Gudy. Ia harus menjemput putrinya yang sudah bersuami lagi. Betapa bahagianya ia sekarang karena akhirnya dapat menyaksika
Gudy mengambil air yang tersedia di depannya, menengguk untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. Ia melihat kanan kirinya, ada tiga pasang mata yang sedang mengawasinya. Ia menelan ludah, mencoba tersenyum di tengah kekalutan hatinya sendiri."Bagaimana kabar Nak Gudy sekarang?"Gudy mentap Kinanti dengan senyum tak terbaca. "Baik."Kinanti tersenyum, "sekarang Nak Gudy sudah mampir, apa..,""Ya Tante saya sudah siap mendengar jawaban dari lamaran pada Maria." Gudy berkata cepat dan hanya dalam satu tarikan napas. Ia sedikit mendongak dan itu hanya untuk mendapati semua orang menatapnya dengan wajah tercengang.Kinanti yang pertama menyadari kegugupan Gudy, ia tertawa renyah karena merasa terhibur dengan tingkah gugup Gudy. "Padahal Tante hanya mau mengajakmu makan loh.""Ma-makan?" Gu
Gudy mengerjap, tidak menyangka dengan pertanyaan mendadak dari Kinanti. Kalau di tanya begitu, memang Gudy menunggu, tapi kalau jawaban dari Kinanti yang cepat malah hanya berupa penolakan, maaf saja Gudy masih waras untuk memilih nanti saja. "Kalau Tante mau menjawab iya, maka sekarang boleh banget, tapi kalau jawabannya tidak, mohon maaf Tante, nanti saja ya. Moga-moga kalau diundur, jawaban Tante jadi berubah." Gudy tersenyum manis. Senyum dengan tujuan menenangkan diri dari goncangan dahsyat keputusan sang calon ibu mertua. Kinanti tertawa renyah, merasa lucu dengan tingkah dan ucapan pemuda di depannya. "Apa benar begitu?" Gudy mengangguk semangat, "benar Tante." Buru-buru Gudy menambahkan di saat melihat Kinanti hendak membuka mulut. Terlalu parno, Gudy takut kata yang keluar dari mulut Kinanti adalah berupa penolakan. "Maaf sekali Tante karena tidak bisa berlama-lama lagi. Saya ada meeting di perusahaan." "Lagi pula siapa yang ingin kamu berla
"Apa yang kamu katakan?" Bagus menatap tajam Arkan. Namun, Arkan sama sekali tidak terpengaruh dengan peringatan Bagus, dia kini menatap satu persatu orang-orang yang menatap serempak ke arahnya."Saya tidak mau adik saya menikah dengan dia kalau tidak menyiapkan pelangkah.""Pelangkah apa?" Maria bertanya heran. Kenapa kakaknya ini bertingkah aneh? Setaunya Arkan bukan orang yang suka meminta hal-hal seperti ini.Arkan melipat tangan di depan dada, senyum menyebalkan tersungging di wajah angkuhnya. Dia terkekeh jahat dalam hati. Kalau laki-laki ini ingin mengambil adik kesayangannya, maka dia juga bisa mengambil hal paling berharga milik Gudy."Kak?" Maria memanggil untuk menyadarkan Arkan dari khayalannya.Arkan menatap lembut Maria, kemudian menoleh ke arah Gudy dengan seringaian kurang ajar. "Saya ingin pelangkah berupa mini market milikmu. Entah kenapa, saya merasa ada ketertarikan dengan mini market itu, mungkin jodoh."Gudy berkedip.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments