"Selamat siang, Tuan. Perkenalkan aku Rosella," ujar Rosella sesaat setelah Wendy meninggalkan ruangan. Ia memperkenalkan dirinya dengan sopan. Nada bicaranya ramah. Ia juga mengulas senyumnya meski saat itu sang Billionaire memunggunginya.
Sayangnya, senyum manis yang mengembang di wajah Rosella tidak bertahan lama. Seketika saja wanita ini terkejut—matanya terbelalak dan jantungnya seakan ingin lepas. Tidak hanya itu, lutut Rosella juga terasa lemas sementara lidahnya keluh saat sang Billionaire berbalik, menoleh melihatnya. Ya, bagaimana mungkin Rosella bisa tidak terkejut dan mendadak lemas ketika ia tahu kepala rumah tangga di kediaman Keluarga Alba adalah pria yang sama yang membawanya ke Dream Medical Centre, dan menuduhnya penipu. Siapa lagi kalau bukan Rex. "Kau!" Setali tiga uang dengan Rosella, saat itu Rex juga terkejut. Matanya melotot dan dahinya berkerut saat ia melihat Rosella, wanita yang masuk ke mobilnya seperti seorang pencuri tetapi kini justru muncul di rumahnya. "Sedang apa kau di sini?!" tanya Rex, sinis. Sebenarnya, saat Rosella memperkenalkan dirinya, Rex sudah menduga kalau ia adalah Rosella yang sama, yang hampir ditabraknya beberapa saat lalu. Akan tetapi, Rex ragu. Ia juga berharap bahwa wanita yang berada di ruangan kerjanya saat itu bukanlah Rosella yang ia kenal. "Kenapa kau datang ke rumahku?!" Rex menatap Rosella tajam. Yang ditanya dan ditatap hanya membisu dengan mata terbelalak dan mulut yang sedikit terbuka. Mengapa tidak Rosella terbelalak, membisu, dan membeku? Karena ia jelas semakin terkejut, tidak percaya setelah mendengar kata 'rumahku' keluar dari mulut Rex. "Rumahku? Tunggu! Apa dia pemilik rumah ini? Jadi, dia kepala rumah tangga yang dimaksud Nyonya Wendy? Dia kepala rumah tangga di keluarga ini?" Rosella bertanya-tanya dalam benaknya. Melihat Rosella mematung dan membisu, Rex pun berkomentar dengan sinis, "Hey! Mengapa kau diam saja? Cepat jawab pertanyaanku. Kenapa kau kemari? Kenapa kau datang ke rumahku? Apakah kau sengaja mencariku? Apakah uang yang tadi kuberikan kepadamu kurang?" Masih dengan mata yang membola besar, Rosella menggeleng cepat. "Oh tidak! Tentu saja tidak!" jawabnya cepat. "Begini, Tuan, sebenarnya, aku kemari karena salah satu staf Kids Service mengatur wawancara kerja untukku. Untuk jadi tutor dan pengasuh tinggal," ungkap wanita ini terbata-bata. "Kids Service? Siapa?" Alan memasang raut wajah waspada saat bersitatap dengan Rosella yang berdiri dan gugup di hadapannya. Saking gugupnya, Rosella sampai menggenggam jemari tangannya. "Namanya Joy," aku Rosella sementara jantungnya berdegup kencang. "Joy?" Rex berpikir sejenak, mencoba mengingat sosok Joy yang dimaksud oleh Rosella. "Ooh... Joy, teman dekat adikku," kata pria ini, yang malah membuat kening Rosella berkerut dan raut wajahnya berubah jadi bingung. Melihat kebingungan di wajah Rosella itu, Rex kemudian menjelaskan. "Wanita yang membawamu kemari, dia adik perempuanku." Rosella yang baru saja mengetahui hubungan Joy dengan Wendy saat itu lantas mengangguk samar. "Apakah kau temannya Joy?" tanya Rex penasaran. Dengan cepat dan tegas Rosella mengangguk. "Ya Tuan. Aku teman dekatnya Joy," jawabnya. "Ini resumeku." Rosella mengulurkan sebuah map biru gelap ke arah Rex. Rex pun mengambil map itu dari tangan Rosella. Ia lalu membuka map itu, dan melihat isinya sekilas. Setelah itu, Rex membiarkan resume milik Rosella ditaruh di atas meja kerjanya. Setelah memberikan resumenya kepada Rex dan pria itu menerimanya, Rosella berpamitan pergi. Namun saat ia akan melangkah ke pintu keluar, Rex menahannya dengan pertanyaan sindiran. "Kau pasti menipu orang lain lagi dengan pura-pura tertabrak?" "Apa?" Rosella menatap Rex terkejut, tidak percaya. "Kenapa Tuan sampai berpikir begitu?" tanyanya bingung. Seketika saja Rex tersenyum miring. "Terlihat dari lututmu," jawab Rex datar. Yang diajak bicara hanya diam. Ia tidak berniat untuk memberi tahu Rex mengenai alasan sebenarnya mengapa lututnya bisa terluka. "Hey! Jika kau ingin terus menipu, lakukan dengan hati-hati. Tidak semua orang bisa kau tipu," imbuh Rex, ketus. "Tapi, Tuan, aku bukan penipu. Dan, aku tidak pernah menipu siapa pun—" "Baiklah. Aku mengerti," kata Rex saat memotong bicara Rosella cepat. "Sekarang kau pergilah dan jangan pernah kembali kemari. Aku tidak bisa mempekerjakan seorang penipu menjadi tutor sekaligus pengasuh tinggal untuk anak-anak di rumah ini," terangnya, yang membuat mulut Rosella seketika diam sementara hatinya marah. "Maaf, Tuan... Tapi aku benar-benar bukan penipu. Aku memang linglung saat tadi menyebrang jalan. Tetapi itu terjadi bukan karena aku sengaja melakukannya, dan ingin menabrakan diriku ke mobil orang lain hanya untuk mendapatkan sesuatu. Tidak! Aku tak sebodoh itu," tegas Rosella sambil menapa Rex tajam saat membela dirinya. "Jadi, Tuan, aku mohon padamu agar kau berkenan untuk mempertimbangkan resumeku," pintanya pelan. Ia mencoba menahan diri dari amarah yang meletup-letup di dalam dirinya. "Meskipun kau dan Joy berteman baik sementara Joy adalah teman dekat adikku, lantas apakah kau pikir aku akan mempercayai ucapanmu?" Rex tersenyum miring pada Rosella yang menatapnya penuh harap. "Kumohon, Tuan, tolong jangan salah paham dulu kepadaku. Kalau kau tak percaya dengan ucapanku, kau bisa bertanya tentang diriku langsung pada Joy. Dia pasti akan memberi tahumu semua hal tentangku. Karena, Joy dan aku berteman sejak kami SMA. Dan, Joy adalah salah satu staf terbaik di Kids Service. Jadi, mana mungkin dia merekomendasikan seorang penipu untuk menjadi tutor dan pengasuh tinggal," beber Rosella lugas meski saat ia bicara suaranya gemetar seperti sedang menahan tangis karena resume-nya ditolak oleh Rex. Sementara, Rosella sangat membutuhkan pekerjaan tambahan untuk bisa menjalani pengobatan, bertahan hidup dan melunasi semua utang mendiang orang tuanya. "Kalau memang benar kau bukan penipu, jelaskan kepadaku apa motivasimu ingin menjadi tutor dan pengasuh tinggal untuk enam orang anak laki-laki di rumah ini?" Rex bertanya. Nadanya sinis saat menganggap Rosella remeh. Rosella mengatur napasnya terlebih dahulu, lalu ia dengan jujur dan juga lugas menjelaskan pada Rex bahwa motivasinya bekerja sebagai tutor dan pengasuh tinggal karena ia membutuhkan uang untuk bertahan hidup, dan melunasi utang mendiang orang tuanya. "Hanya itu?" tanya Rex. Nadanya mengejek. Yang ditanya hanya mengangguk. "Kalau begitu pergilah dan jangan datang menemuiku lagi! Aku tidak akan pernah menjadikanmu tutor dan pengasuh tinggal," tegasnya. Ia tak merasa puas dengan jawaban Rosella. "Kenapa? Bukankah kau membuka lowongan kerja ini untuk memberi kesempatan bagi orang lain bertahan hidup?" Rosella menatap Rex bingung. "Nona, aku ini pengusaha. Jadi, aku tak mau rugi. Menerimamu sebagai tutor dan pengasuh tinggal tidak akan memberi keuntungan apapun kepadaku dan anak-anakku. Motivasimu tadi hanya menguntungkan dirimu saja," terang Rex ketus. "Aku tidak akan pernah menjual apapun kepada siapapun tanpa mendapatkan imbalan. Jadi, pergilah!" Dengan penuh penekanan Rex mengusir Rosella."Siapa yang membantumu melakukan ini?" tanya Rex. Rosella tidak menjawab. "Kau tidak akan menjawab pertanyaanku?" Rosella mengangkat bahu. Ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Semakin berat beban ini, semakin Rosella pikir Chris berbohong kepadanya tentang banyak hal. Rasa bersalah mulai mengganggu Rosella. Matanya berkaca-kaca. Ia memalingkan wajahnya, tidak ingin Rex melihatnya. "Aku pikir dia sedang membalas kematian Rimba, tapi yang dia lakukan hanyalah pekerjaan kotor untuk Chris. Bagaimana aku bisa begitu naif?" sesal Rosella dari dalam hatinya. Rosella mencoba mengendalikan diri saat mereka memasuki tempat Rex. Pintu tertutup dengan bunyi klik keras di belakang mereka. "Bagaimana kepalamu?" tanya Rex lagi. Rosella heran dengan Rex yang peduli padanya. Ia cukup yakin ia hanya di sini untuk semacam interogasi. Ia rasa mungkin ia harus meletakkan semua kartunya di atas meja. Cari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Rimba. "Baik-baik saja," jawab Rose
Polisi itu melakukan apa yang Rex katakan dan meninggalkannya. Pergelangan tangan Rosella memiliki sedikit tanda merah di tempat borgol menggores kulitnya.“Polisi sialan,” gerutu Rex dan mencari-cari lotion. Ia menemukan sesuatu yang encer di kamar mandi dan mengisi telapak tangannya dengannya. Rex bergegas kembali ke samping tempat tidur dan mengoleskan krim ke pergelangan tangan dan lengan Rosella. Wanita itu merasa lemah dan rentan."Dia pasti kembali ke menara D1 dan tidak dapat menemukanku, jadi dia membunyikan alarm kebakaran. Dia bukan orang di balik kesepakatan Park Hill. Dia tidak akan berbohong kepadaku seperti itu. Dia tidak akan membiarkanku menyentuhnya, mencintainya, menghargainya jika yang ingin dia lakukan hanyalah membuatku bertekuk lutut...bukan?" kata Rex, bergumam. ***Suara bip adalah hal pertama yang Rosella dengar saat ia mulai terbangun. Semuanya kembali berhamburan seperti gelombang pasang yang menghantam udara keluar dari paru-parunya
"Rex di sini," gertak Rex di telepon."Rex, aku minta maaf—""Kau belum menemukannya?" Rex menyela.Connor mendesah. "Tidak. Kami masih mengerjakannya, tetapi aku harus memberitahumu bahwa kesepakatan Park Hill—""Connor, aku tidak peduli tentang kesepakatan Park Hill—"“Kita kalah,” kata Connor. Itu menarik perhatian Rex. “Tunggu, apa?”“Kita kalah,” ulang Connor. “Bagaimana kita bisa kalah? Kesepakatan sudah dilakukan. Tangan sudah berjabat tangan. Janji diberikan,” kata Rex, terkejut tidak percaya. “Kontrak tidak ditandatangani,” jelas Connor. “Kata-kata seseorang adalah miliknya—”“Bos, aku tahu. Tapi Joe Rees mendapat tawaran menit terakhir, dan itu sekitar dua persen lebih tinggi darimu, jadi dia menerimanya,” beber Connor. “Dua persen?”“Ya, aku tahu. Itu margin yang sangat kecil. Hampir seperti mereka tahu berapa banyak yang kau tawarkan dan kemudian menaikkannya cukup untuk membuat Rees membatalkannya.”“Itu men
"Apa yang coba kau katakan?" tanya Rosella pada Chris. "Jangan seperti anak kecil. Aku akan menunggu informasi lebih lanjut besok." Chris mengakhiri panggilan. Rosella menyeka pipinya, tidak menyadari bahwa ia mulai menangis. Rosella pikir bahwa ia harus keluar. Pergi. Tapi ke mana ia akan pergi? Ke mana pun lebih baik daripada penjara, ia rasa.Rosella memeriksa tasnya, memastikan setidaknya ia membawa dompet. Ia bisa meninggalkan semua yang lain. Ia berputar kembali saat matahari mulai terbenam. Ia yakin semua orang sudah menjauh dari pandangan sekarang. Bahkan Rex. Ia bertanya-tanya apakah Rex keluar mencarinya atau apakah Rex kembali ke rumah.Butuh waktu hampir satu jam untuk kembali; kaki Rosella mulai sakit. Satu-satunya cahaya datang dari bulan purnama saat ia mendekati gedung itu. Rosella memeriksa sekeliling gedung dan mencetak skor saat ia melihat kayu di atas celah yang kemungkinan akan mereka pasang pintu. Rosella menyelinap masuk, dan ia berkeliaran di tem
Rex berhenti sejenak karena Rosella kesal, yang membuatnya terkejut. Rex pikir mereka akan segera bertemu, tetapi cara Rosella menuduh Rex bersikap mencurigakan, membuatnya bertanya-tanya apakah Rosella atau seseorang yang ia kenal kehilangan uang dalam transaksi tanah spekulatif.“Tidak. Itu penting. Ada beberapa orang yang kacau dalam bisnis real estat dan jika ada seseorang yang menurutku tidak mampu, aku mencoba memperingatkan mereka. Tetapi banyak orang tidak menginginkan bantuan, Rosella. Seperti beberapa minggu atau bulan yang lalu, seseorang bunuh diri setelah menginvestasikan seluruh tabungan hidupnya dalam skema investasi untuk membeli properti hotel ini. Orang yang menjalankan skema itu tidak memiliki cukup uang untuk tawaran minimum. Alih-alih memberi tahu investornya, dia kabur membawa uangnya,” beber Rex. “Tempat ini? Yang sedang kita lihat?” Rosella berputar pelan di tengah lobi yang penuh debu. Kaca untuk unit ritel sedang dipasang, dan meja resepsionis marm
Rosella memberitahu Chris tentang kesepakatan Park Hill. Ia mengambil file yang disimpan dan melampirkannya sebelum ia menghapus jejak informasi apa pun dari ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku. Rasa bersalah mulai menggerogoti Rosella.Rasa bersalah itu menyusup dari sekeliling Rosella. Rasa bersalah terhadap Rimba dan tidak bisa menjaga performanya. Rasa bersalah atas apa yang mungkin ia lakukan pada Hugo Kenyataan.Rex berkata dulu itu perusahaannya adalah milik ayahnya. Dan yang mengejutkan Rosella, bagian yang paling membuatnya merasa tidak enak adalah kenyataan bahwa ia mengkhianati Rex.Rosella seharusnya tidak merasa bersalah atas hal itu, tetapi ia merasa bersalah. Tidak peduli seberapa sering ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sedang membalas kematian Rimba, rasa bersalah itu tetap ada.Rosella meraih handuk untuk menyeka wajahnya. Satu-satunya saat rasa bersalah dan amarah itu tidak mencoba menguasainya adalah ketika Rex memeganginya. Kendali yan