"Mari kita lihat...." tukas si rentenir pada Rosella. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Di dalam ponsel tersebut terdapat catatan utang yang diwariskan mendiang orang tua Rosella kepada putri tunggal mereka.
"Dengarkan aku baik-baik, Rosella. Kau punya bunga enam bulan dengan pokok utangnya jumlahnya 115 juta Won. Dan karena aku merasa kasihan kepadamu, jadi, aku kurangi 15 juta won menjadi hanya 100 juta Won saja." si rentenir menjelaskan dengan sangat runut. "Apakah kau mengerti?" tanyanya sinis. Dan kemudian, ia menyimpan ponselnya ke saku celananya. Rosella mendengus kasar dan membuang wajah ke arah lain sekilas usai mendengar penjelasan si rentenir padanya saat itu. "Apa katamu? 100 juta Won?" keluhnya sambil menatap si rentenir itu. "Aku tidak bisa bayar. Jadi, tolong minggir." Rosella meminta si rentenir memberinya jalan untuk masuk ke rumah. Tetapi, dengan tegas si rentenir menolak. "Apa?!" dengan mata melotot, si rentenir membentak Rosella. "Kau tak mau bayar—" "Yaa!!!" tegas Rosella, memotong bicara si rentenir cepat sementara netranya menatap pria bertubuh tinggi dan besar di hadapannya itu nyalang. "Aku tidak mau bayar!" jelas wanita ini. "Aku bayar jumlah yang seharusnya dan sudah kulakukan. Kau tahu berapa banyak bunga yang kubayar sejak orangtuaku meninggal? Aku bayar pokok utangnya beberapa kali. Aku tidak pernah beli baju baru untuk diriku bahkan pernah kesulitan makan, dan aku harus membayarmu setiap hari. Tapi sekarang apa? 100 juta won? Hey! Kau bahkan bukan manusia," hardik Rosella, penulis novel kurang terkenal. "Katamu aku bukan manusia? Kalau begitu... Apa menurutmu aku ini binatang?" Si rentenir menatap Rosella dengan mata elangnya, seolah ia siap menerkam wanita bertubuh mungil itu hidup-hidup. Rosella, wanita yang diajak bicara dan ditatap si rentenir, kontan tertegun dan gemetar. Rasa takut mulai menyergap dirinya perlahan. Kendati begitu, ia berusaha untuk tak terlihat demikian. "Hey, Jalang! Kalau menurutmu aku ini binatang, lalu kenapa orangtuamu meminjam uang dari kami, huh?! Kau tahu, uang itu juga berharga bagi kami. Kau pikir aku mendapatkannya dari jalan?" Pria berbadan besar, tinggi dan berotot ini mendorong Rosella hingga ia terjatuh, dan kemudian keduanya berakhir dengan adu mulut. Si rentenir itu berniat menjadikan Rosella sebagai wanita penghibur, dan menjualnya kepada pria hidung belang jika ia tidak bisa bayar utang dalam waktu tiga bulan. Setelah memberi peringatan kepada Rosella, si rentenir dan anak buahnya pergi. Rosella sangat kesal tapi juga takut akan niat jahat renternir itu untuk menjual dirinya. Dalam tangisnya menangisi semua masalahnya, tiba-tiba saja Rosella mendapat telepon dari sahabatnya. Siapa kalau bukan Joy, yang berkata: "Rosella, apa kau tertarik menjadi tutor dan pengasuh yang menginap untuk tujuh orang anak laki-laki?" "Jangankan tujuh, dua belas orang anak laki-laki pun aku bersedia," jawab Rosella tanpa ragu. Mendengar itu, Joy yang berada di ujung telepon lantas tertawa. "Jika kau benar-benar bersedia menjadi tutor dan pengasuh tinggal, maka itu artinya kau akan menginap di kediaman Keluarga Alba. Merekalah yang sedang mencari tutor dan pengasuh tinggal untuk keenam putra mereka," beber Joy. Nadanya terdengar serius. Seketika saja Rosella tertegun dan suasana berubah jadi tegang. Namun kemudian, si penulis kurang terkenal satu ini menyeringai disertai dengan tatapannya yang dingin. "Joy, kupikir ini kesempatan yang bagus." "Tentu saja," sahut Joy cepat. "Karena itulah, aku meneleponmu. Akhirnya, semesta berpihak padamu." Raut wajah Joy tampak begitu senang. "Ingat, saat nanti kau datang ke rumah keluarga kaya itu untuk wawancara, namamu adalah Rosella bukan Rozetta," imbuhnya penuh penekanan. "Aku mengerti," balas Rosella. Ia lalu mengakhiri bicaranya dengan Joy, dan menutup teleponnya. Setelah itu, wanita ini mengeluarkan pakaian dari lemari bajunya, lalu mengganti pakaiannya dan mematut dirinya di depan standing mirror yang berada di salah satu sudut kamar tidurnya. "Apa kabar? Aku Rosella, tutor dan pengasuh anak baru dari Kids Service." Di depan standing mirror, Rosella berlatih—seolah sedang memperkenalkan dirinya kepada calon bosnya dengan identitasnya saat ini. "Aku Rosella. Aku Rosella," kata Rosella, mengulang kalimatnya karena ia tak ingin membuat kesalahan saat wawancara nanti. Setelah selesai berlatih, Rosella bergegas pergi ke kediaman Keluarga Alba. *** Di dekat rumah keluarga kaya itu, Rosella melihat seorang bocah laki-laki yang baru pulang dari sekolah ditemani dengan seorang wanita berambut hitam pendek sebahu, yang dibiarkan tergerai. Wanita itu memakai dress casual berwarna biru tanpa motif dengan panjangnya di bawah lutut. Saat keduanya jalan bersama, si bocah laki-laki itu secara tidak sengaja melempar bola yang ia bawa hingga ke tengah jalan. Karena itulah, bocah itu berlari mengejar bolanya. Melihat ini, wanita yang sedang bersamanya lantas mengekorinya dari belakang dengan berlari juga. Di waktu ini, sebuah mobil yang hendak melintas hampir menabrak bocah laki-laki bernama Jiro itu. Untung sang dewi fortuna masih berpihak kepada Jiro. Buktinya, Rosella yang saat itu sedang berada di sana, dan melihat kejadian itu lantas menyelamatkan Jiro dengan cepat. Hanya lutut Rosella yang terluka tapi ia tak menghiraukan itu, dan buru-buru pergi untuk janji wawancara. Setibanya Rosella di Kediaman Alba, ia di sambut wanita berambut cokelat yang telah menunggunya di depan pintu masuk. Wanita itu adalah Wendy—anak perempuan satu-satunya di Keluarga Alba, yang setengah jam lalu diberi tahu oleh Joy bahwa Rosella akan datang menghadiri wawancara. "Aku Wendy. Apakah kau datang untuk wawancara terkait pekerjaan tutor dan pengasuh tinggal?" Dengan ramah, Wendy bertanya pada Rosella di hadapannya. Rosella lantas tersenyum dan mengangguk. "Ya, benar. Namaku Rosella, Nyonya," jawabnya lembut, sopan dan ramah. Sehingga, Wendy langsung menyukainya. "Seandainya aku kepala rumah tangga di sini, kau pasti langsung diterima," balas Wendy, membuat Rosella tersenyum lebar. "Mari...." Wendy yang sejak awal menyambut hangat Rosella kini mengajaknya masuk ke rumah dan mengantarnya bertemu dengan kepala rumah tangga di ruang kerjanya. Rosella pun mengangguk patuh dan mengekorinya dari belakang. Sekian menit kemudian, Rosella sampai di depan pintu coklat besar yang ia yakini itu adalah ruangan kerja kepala rumah tangga Keluarga Alba. Dan, dugaan Rosella benar! Buktinya, Wendy membuka pintu lalu mengajaknya masuk ke dalam ruangan sambil berkata, "Ini ruang kerja kepala rumah tangga kami." "Semoga beruntung," kata Wendy, berbisik kepada Rosella. Yang disemangati hanya mengangguk sambil tersenyum. Setelah itu, Wendy pergi meninggalkan Rosella yang malang berdua dengan sang penguasa ruangan, yang mengenakan setelan jas hitam, dan sedang berdiri di belakang meja kerjanya, menghadap ke luar jendela ruangan dengan kedua tangan berada di saku celana."Siapa yang membantumu melakukan ini?" tanya Rex. Rosella tidak menjawab. "Kau tidak akan menjawab pertanyaanku?" Rosella mengangkat bahu. Ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Semakin berat beban ini, semakin Rosella pikir Chris berbohong kepadanya tentang banyak hal. Rasa bersalah mulai mengganggu Rosella. Matanya berkaca-kaca. Ia memalingkan wajahnya, tidak ingin Rex melihatnya. "Aku pikir dia sedang membalas kematian Rimba, tapi yang dia lakukan hanyalah pekerjaan kotor untuk Chris. Bagaimana aku bisa begitu naif?" sesal Rosella dari dalam hatinya. Rosella mencoba mengendalikan diri saat mereka memasuki tempat Rex. Pintu tertutup dengan bunyi klik keras di belakang mereka. "Bagaimana kepalamu?" tanya Rex lagi. Rosella heran dengan Rex yang peduli padanya. Ia cukup yakin ia hanya di sini untuk semacam interogasi. Ia rasa mungkin ia harus meletakkan semua kartunya di atas meja. Cari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Rimba. "Baik-baik saja," jawab Rose
Polisi itu melakukan apa yang Rex katakan dan meninggalkannya. Pergelangan tangan Rosella memiliki sedikit tanda merah di tempat borgol menggores kulitnya.“Polisi sialan,” gerutu Rex dan mencari-cari lotion. Ia menemukan sesuatu yang encer di kamar mandi dan mengisi telapak tangannya dengannya. Rex bergegas kembali ke samping tempat tidur dan mengoleskan krim ke pergelangan tangan dan lengan Rosella. Wanita itu merasa lemah dan rentan."Dia pasti kembali ke menara D1 dan tidak dapat menemukanku, jadi dia membunyikan alarm kebakaran. Dia bukan orang di balik kesepakatan Park Hill. Dia tidak akan berbohong kepadaku seperti itu. Dia tidak akan membiarkanku menyentuhnya, mencintainya, menghargainya jika yang ingin dia lakukan hanyalah membuatku bertekuk lutut...bukan?" kata Rex, bergumam. ***Suara bip adalah hal pertama yang Rosella dengar saat ia mulai terbangun. Semuanya kembali berhamburan seperti gelombang pasang yang menghantam udara keluar dari paru-parunya
"Rex di sini," gertak Rex di telepon."Rex, aku minta maaf—""Kau belum menemukannya?" Rex menyela.Connor mendesah. "Tidak. Kami masih mengerjakannya, tetapi aku harus memberitahumu bahwa kesepakatan Park Hill—""Connor, aku tidak peduli tentang kesepakatan Park Hill—"“Kita kalah,” kata Connor. Itu menarik perhatian Rex. “Tunggu, apa?”“Kita kalah,” ulang Connor. “Bagaimana kita bisa kalah? Kesepakatan sudah dilakukan. Tangan sudah berjabat tangan. Janji diberikan,” kata Rex, terkejut tidak percaya. “Kontrak tidak ditandatangani,” jelas Connor. “Kata-kata seseorang adalah miliknya—”“Bos, aku tahu. Tapi Joe Rees mendapat tawaran menit terakhir, dan itu sekitar dua persen lebih tinggi darimu, jadi dia menerimanya,” beber Connor. “Dua persen?”“Ya, aku tahu. Itu margin yang sangat kecil. Hampir seperti mereka tahu berapa banyak yang kau tawarkan dan kemudian menaikkannya cukup untuk membuat Rees membatalkannya.”“Itu men
"Apa yang coba kau katakan?" tanya Rosella pada Chris. "Jangan seperti anak kecil. Aku akan menunggu informasi lebih lanjut besok." Chris mengakhiri panggilan. Rosella menyeka pipinya, tidak menyadari bahwa ia mulai menangis. Rosella pikir bahwa ia harus keluar. Pergi. Tapi ke mana ia akan pergi? Ke mana pun lebih baik daripada penjara, ia rasa.Rosella memeriksa tasnya, memastikan setidaknya ia membawa dompet. Ia bisa meninggalkan semua yang lain. Ia berputar kembali saat matahari mulai terbenam. Ia yakin semua orang sudah menjauh dari pandangan sekarang. Bahkan Rex. Ia bertanya-tanya apakah Rex keluar mencarinya atau apakah Rex kembali ke rumah.Butuh waktu hampir satu jam untuk kembali; kaki Rosella mulai sakit. Satu-satunya cahaya datang dari bulan purnama saat ia mendekati gedung itu. Rosella memeriksa sekeliling gedung dan mencetak skor saat ia melihat kayu di atas celah yang kemungkinan akan mereka pasang pintu. Rosella menyelinap masuk, dan ia berkeliaran di tem
Rex berhenti sejenak karena Rosella kesal, yang membuatnya terkejut. Rex pikir mereka akan segera bertemu, tetapi cara Rosella menuduh Rex bersikap mencurigakan, membuatnya bertanya-tanya apakah Rosella atau seseorang yang ia kenal kehilangan uang dalam transaksi tanah spekulatif.“Tidak. Itu penting. Ada beberapa orang yang kacau dalam bisnis real estat dan jika ada seseorang yang menurutku tidak mampu, aku mencoba memperingatkan mereka. Tetapi banyak orang tidak menginginkan bantuan, Rosella. Seperti beberapa minggu atau bulan yang lalu, seseorang bunuh diri setelah menginvestasikan seluruh tabungan hidupnya dalam skema investasi untuk membeli properti hotel ini. Orang yang menjalankan skema itu tidak memiliki cukup uang untuk tawaran minimum. Alih-alih memberi tahu investornya, dia kabur membawa uangnya,” beber Rex. “Tempat ini? Yang sedang kita lihat?” Rosella berputar pelan di tengah lobi yang penuh debu. Kaca untuk unit ritel sedang dipasang, dan meja resepsionis marm
Rosella memberitahu Chris tentang kesepakatan Park Hill. Ia mengambil file yang disimpan dan melampirkannya sebelum ia menghapus jejak informasi apa pun dari ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku. Rasa bersalah mulai menggerogoti Rosella.Rasa bersalah itu menyusup dari sekeliling Rosella. Rasa bersalah terhadap Rimba dan tidak bisa menjaga performanya. Rasa bersalah atas apa yang mungkin ia lakukan pada Hugo Kenyataan.Rex berkata dulu itu perusahaannya adalah milik ayahnya. Dan yang mengejutkan Rosella, bagian yang paling membuatnya merasa tidak enak adalah kenyataan bahwa ia mengkhianati Rex.Rosella seharusnya tidak merasa bersalah atas hal itu, tetapi ia merasa bersalah. Tidak peduli seberapa sering ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sedang membalas kematian Rimba, rasa bersalah itu tetap ada.Rosella meraih handuk untuk menyeka wajahnya. Satu-satunya saat rasa bersalah dan amarah itu tidak mencoba menguasainya adalah ketika Rex memeganginya. Kendali yan