“Chaay! Lo kenapa, sih!? Kenapa malah marah-marah?! Ini kasus kriminal, Chaay! Kita nggak tahu siapa dia dan apa yang terjadi sama dia, lo mau disalahkan kalau biarin ini?!” sergah Rafa mengamuk.
“Bang, kalau kalian manggil polisi ke mari, abang mau liat aku dibawa sama mereka?! Abang mau aku dipenjara, hah?!” sergah Adhisti kini melepaskan dirinya dari rangkulan Rafa yang membantunya berjalan.
“Dhis, lo ngomong apaan, sih? Kenapa lo jadi seolah nutupin masalah ini?! Jangan bilang lo ada hubungannya sama kasus ini?! Lo yang bunuh orang itu dan letakin jasadnya di balik plafon rumah lo sendiri?!” sergah Rio menyela.
“Jaga omongan lo ya, Bang Rio! Lo itu nggak tahu apa-apa! Nggak usah ikut campur!! Mending balik aja sana ke unit lo! Nggak usah turut campur sama masalah gue dan keluarga gue!” sergah Adhisti menatap nyalang ke arah Rio.
“Raf, gue rasa ada yang nggak beres sama adek lo ini! Ngapain dia ngelarang kita lapor ke polisi kalau dia aja nggak tahu apa-apa?! Kenapa dia ketakutan seolah dia pelakunya?” Kini Rio ganti mencecar Rafa seolah hendak mengajak Rafa segera memanggil polisi ke sana.
“Bang, gue mohon sama lo! Kita urus masalah ini sendiri ya, Bang! Bang, polisi nggak akan percaya sama gue! Mereka pasti bakalan bikin gue jadi pelakunya! Apalagi mayat itu ada di kamar gue yang aksesnya cuma ada sama gue! Bang, please! Abang nggak mau liat Chaaya mendekam di penjara ‘kan?” bujuk Adhisti hingga memegangi lengan kanan Rafa.
“Ahh, kelamaan lo Raf! Ini bisa ngerusak alibi kita saat polisi minta keterangan nanti! Sudahlah biar gue aja yang lapor!” sergah Rio lalu berlari keluar apartemen itu. Sudah dipastikan jika ia akan mencari alat komunikasi lainnya untuk melanjutkan laporannya pada tim kepolisian setempat.
Sementara Rio mencari cara untuk melapor, Adhisti semakin kebingungan dengan semua ini.
“Chaay sini, deh! Duduk dulu!” ujar Rafa halus lalu mengajak Adhisti duduk di sofa dan bersandingan.
“Cerita sama gue, kenapa lo takut kaya gini? Apa yang salah? Apa yang bikin lo nggak mau kita lapor ke polisi?” tanya Rafa lembut sambil mengelap air mata yang berjatuhan di pipi sang adik.
“Bang, mayat itu sudah busuk ada di sana, ada di kamar Chaaya! Polisi akan ngira kalau Chaaya pelakunya! Sekarang, yang punya akses untuk ke kamar itu cuma Chaaya! Dan nggak ada yang bisa naruh mayat busuk itu di sana selain lewat kamar Chaaya ‘kan, Bang? Dan kalau sampai polisi itu datang dan geledah semuanya, tuduhannya akan makin kuat, Bang! Semua kerjaan Chaaya sama Guntur juga bakalan terungkap!”
“Gimana sama ganti ruginya, Bang? Kita nggak bakal mampu buat bayar! Dan soal hutang! Siapa yang akan bayar hutang kalau nggak ada pemasukan dari Guntur?” lanjut Adhisti.
“Tapi kasus ini lebih pelik daripada itu, Chaay! Bakal lebih sulit kalau kita rahasiakan ini. Lagi pula di mana kita bakal kubur atau buang mayat itu? Gimana kalau ada yang lihat? Kita malah akan disangka jadi kaki tangan pembunuh, Chaay! Mending kita kuak semuanya sekarang!” papar Rafa membelai rambut sang adik.
“Tapi, Bang!” Adhisti langsung menepis tangan Rafa yang membelai sedikit poninya. “Gimana kalau mereka nggak percaya?! Gimana kalau pelaku itu sengaja ngejebak Chaaya?! Abang tahu ‘kan banyak orang yang nggak suka Chaaya di seluruh gedung apartemen ini? Gimana kalau mereka bikin Chaaya terbukti bersalah, Bang?” rengek Adhisti.
“Chaay, tenang! Yang nggak salah akan selalu terbukti bersih! Kalau lo nggak salah, lo nggak perlu takut! Toh gue akan selalu ada sama lo! Gue bakal bantu buktiin kalau lo nggak bersalah! Jadi lo tenang aja, ya!” pinta Rafa.
“Bang Rafa tega sama Adhis!! Adhis kira Bang Rafa bakal selalu lindungi Adhis! Ternyata gue salah! Abang nggak pernah bener-bener mau back up Adhis! Adhis kecewa sama Bang Rafa!!” sergah Adhisti lalu langsung berdiri dan berlari memasuki kamarnya.
“Chaay! Ngapain lo masuk ke sana! Lo bakal ngerusak TKP! Bakal lebih banyak jejak lo di sana! Keluar, Chaay! Jangan bikin rusuh!!” sergah Rafa berusaha membuka pintu itu.
“Biarin! Biarin sekalian semua bukti ngarah ke Adhis! Toh abang nggak bener-bener mau selametin Adhis ‘kan?! Biar abah liat sama siapa Adhis dititipin! Abang nggak pernah benar-bener mau jaga Adhis!” sergah Adhisti dari dalam.
Adhisti tak menunggu hal lain lagi ia dengan segera meraih semua peralatan kerjanya, ia tak ingin semakin terjerembab masalah polisi. Ia tak ingin jika identitasnya sebagai penyelundupan film ilegal terkuak hingga mesti mengganti denda perkara hal cipta dan hak dagang.
Beberapa menit mencoba akhirnya Rafa berhasil membobol pintu itu lagi dengan tendangannya yang membuat rak sangga yang Adhisti tutupkan pada pintu terjatuh.
“Lo kalau bego jangan diambil semuanya!! Lo mau bener-bener jadi tersangka kasus ini, hah?! Mau apa lo di dalem?! Buruan keluar!” sergah Rafa sambil menarik kuat tangan Adhisti yang memangku laptop, buku catatan kecil dan ponselnya.
“Gue bisa sendiri!” sergah Adhisti sekeluarnya mereka dari sana.
“Kalau polisi sampai tahu ini, masalahnya bakal lebih ribet Chaay!” sergah Rafa langsung mengembalikan rak itu ke tempatnya. Ia berusaha sebaik mungkin mengatur kamar Adhisti seperti pertama kali kejadian mayat itu ditemukan.
Baru saja Rafa dan Adhisti kembali ke ruang tamu unit tersebut, tiba-tiba dari arah luar terdengar suara rusuh para tetangga unit yang mulai mengeluhkan masalah mayat, pembunuhan, unit 706, dan nama Adhisti yang terseret.
Tak lama setelah itu, Rio kembali mengetuk pintu itu namun kali ini dengan tiga orang berseragam kepolisian yang tampak menatap tajam Adhisti dan Rafa yang berada di dalam ruangan.
“Perkenalkan, Pak! Ini Rafa, penyewa apartemen ini, dan gadis ini Chaaya Adhisti, adiknya sekaligus pemilik kamar tempat mayat itu ditemukan.” Rio mengenalkan Rafa dan Adhisti yang masih sama-sama terkejut atas kedatangan tiga orang petugas yang ada di sana.
“Selamat pagi! Saya Inspektur Anas pengawas yang akan mengawasi jalannya penyelidikan kasus ini bersama dua pimpinan bagian lainnya. Ini Abbiyya pemimpin utama kasus ini, dan Ganendra, wakil pimpinan utama!” tutur Anas.
“Mendengar keadaan jasad yang membusuk, kami tak bisa lagi menunda pemeriksaan. Saya bersama petugas Abbiyya akan memeriksa TKP. Selama pemeriksaan berlangsung, kalian bertiga akan menjalankan pendataan bersama petugas Ganendra!” papar Inspektur Anas.
Sementara Adhisti, Rafa, dan Rio menjalani pendataan bersama Ganendra, Inspektur Anas bersama Abbiyya tampak memasuki kamar Adhisti usai memberikan surat tugas.
“Bagaimana pandangan pertamamu pada mereka bertiga Abbiyya?” tanya Anas pada Abbiyya saat keduanya memandang plafon itu dari bawah.
“Gadis itu, ada sesuatu yang ia sembunyikan. Saya rasa kita perlu menyelidikinya lebih lanjut!” pekik Abbiyya.
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or