“Kalau begitu, usai pemeriksaan yang ada di sini selesai, bantu Ganendra terlebih pada gadis itu. Laksanakan dua kali pemeriksaan pun tak apa.” Anas menginstruksi. Dengan patuh Abbiyya hanya mengangguk lanjut mengecek beberapa hal di kamar Adhisti itu.
Saat Abbiyya telah selesai dengan pemeriksaannya, ia pergi keluar dari kamar Adhisti dan berjalan menuju ruang tamu tempat Ganendra tengah mewawancarai Rio dan Rafa bergantian.
“Anda, Nona Chaaya Adhisti, silakan ikut saya untuk pemeriksaan di ruangan lain!” titah Abbiyya dengan porsi tubuh tegap yang memesona.
“Gue? Kenapa? Katanya sama petugas yang ini? Kenapa malah jadi lempar tangan gini?” sergah Adhisti malah tampak lebih galak dibandingkan Abbiyya.
“Heh, Chaay! Jangan ngaco! Gak liat lagi ngomong sama siapa?! Sudah buruan ikut aja!” sergah Rafa sambil menepuk lengan tangan Adhisti.
Dengan perasaan yang tak ramah dan hentakan di mana-mana, akhirnya Adhisti bangkit dari sofa dan berjalan mengikuti Abbiyya ke ruang makan unit tersebut.
“Silakan Nona! Sebelumnya saya ingin menanyakan tentang nama lengkap anda, pekerjaan, dan alibi anda sekitar satu minggu ke belakang!” tutur Abbiyya sambil menuliskan beberapa hal pada catatannya.
“Adhisti! Lo nggak tahu? Perasaan tadi udah manggil Chaaya Adhsiti, deh! Kasihan masih muda sudah pikunan!” gerutu Adhisti kini malah mengangkat kakinya bagai sedang berada di warung.
“Tolong jaga sikap dan perkataan anda ke pada kami. Tinggal jawab saja, itu tak akan membuat anda kehilangan suara dan martabat!” Abbiyya menatap Adhisti tajam hingga membuat gadis itu akhirnya menurunkan kakinya lagi.
“Chaaya Adhsiti Pramagya. Biasa dipanggil Adhisti, trouble maker, dan Chaay khusus Bang Rafa. Kerjaan gue rebahan sambil scrolling medsos, alibi gue selalu di rumah kecuali gue lapar!” sahut Adhisti seolah menganggap pertanyaan itu sama sekali tak penting.
“Kapan terakhir kali anda tidur di kamar itu, Nona Adhisti?” Abbiyya mulai menggoreskan jawaban pertama Adhisti pada bukunya itu.
“Sebelum semalam! Semalam gue tidur di kamar Bang Rafa!”
Abbiyya membenarkan posisi tubuhnya lalu menatap Adhisti mulai dari ujung atas rambut hingga bagian bawah tubuh Adhisti yang tak tertutup meja.
“Jadi nyaris seminggu anda tinggal bersama aroma busuk dari jasad itu, Nona? Apakah hidung anda bermasalah? Atau karena anda telah melatihnya sebelum kejadian ini?” Adhisti langsung mengerutkan dahinya saat mendengar apa yang Abbiyya katakan.
“Lo nuduh gue yang bunuh dan potong-potong tubuh dia?!” Tangan Adhisti mengepal dan bahkan telah mendarat kencang dan keras ke atas meja makan.
Tubuh gadis itu bahkan ikut berdiri dan mendekatkan wajahnya ke depan wajah Abbiyya yang saat itu sama sekali tak tersentak bahkan saat Adhisti menudingkan telunjuknya di depan mata sang petugas tampan itu.
“Kami tidak pernah menyebutkan anda sebagai pelaku maupun dalam masa kecurigaan kami, Nona! Jadi saya harap anda bisa berhati-hati dengan itu. Anda mungkin akan menyesal jika tahu semua pernyataan anda membawa pengaruh buruk nantinya!” papar Abbiyya dengan tegas yang rileks mempersilakan Adhisti kembali duduk di tempatnya.
“Silakan menjawab pertanyaan kami sebelum anda melanjutkan ke pemeriksaan selanjutnya, Nona!” pekik Abbiyya mengulangi titahnya.
“Iya memang bau! Cuma gegara sudah terbiasa di situ terus pas bau busuk itu muncul, makin lama aromanya hilang! Sudah gitu aja!” sahut Adhisti semakin muak.
“Masih lama? Gue capek! Haus!” gerutu Adhisti.
“Terima kasih untuk waktunya, Nona! Namun kami akan kembali mengundang anda ke kantor kami jika ada hal yang janggal,” tutur Abbiyya sembari membereskan semua kekacauan berkas yang ia ciptakan.
Baru saja Adhisti kembali duduk di sebelah Rafa, Anas beserta Abbiyya kembali masuk ke ruang tamu.
“Begini tuan-tuan dan nona! Unit 706 ini sekarang ada dalam kekuasaaan emergency kami untuk melakukan penyelidikan. Jadi, saya mohon untuk tidak mengenakan apa lagi memindah atau mengambil barang dari TKP ini!” jelas Anas sambil secara bergantian menoleh ke arah Rafa dan Adhisti bergantian
“Apa?! Nggak boleh tinggal di sini? Terus kalian nyuruh gue sama Bang Rafa tinggal di mana?! Di kolong jembatan dan jadi pemulung, hmm?” sergah Adhisti tampak muak.
“Chaay, diem dulu kenapa sih!” sela Rafa.
“Baik, Pak! Kami sangat berharap kasus ini segera mendapat titik terang dan selesai dengan baik!” tutur Rafa.
“Kalian tinggal di unit gue aja! Ada kamar kosong di sana buat Adhisti!” tawar Rio sambil memajukan duduknya dari sofa lalu melirik ke arah Adhisti.
Mendapat tatapan yang sama sekali tak ramah itu membuat Adhisti langsung melotot dan menggenggam tangan Rafa sambil menggeleng.
“Kita nggak ada tempat lagi, Chaay!” bisik Rafa.
Singkat cerita, akhirnya hari ini unit 706 dinyatakan sebagai tempat penemuan mayat dan dibatasi garis polisi. Adhisti, Rafa dan Rio kini telah berkumpul di unit 702 tempat tinggal Rio selama ini.
“Adhisti tidur di kamar sana, ya! Biar gue sama Rafa tidur di kamar dekat dapur!” ujar Rio saat keduanya usai melahap makan malam mereka.”
“Nggak usah, gue tidur sama Bang Rafa aja!” sergah Adhisti.
“Ngaco lo, Chaay! Gak bisa! Kita tidur sendiri! Kunci kamar lo masalah selesai, Chaay!” omel Rafa.
Dengan penuh perasaan jengkel, akhirnya Adhisti menerima keputusan itu, malam itu Adhisti telah memastikan pintu kamarnya terkunci dan ia mengenakan jaket juga selimut tebal untuk mengurangi risiko perbuatan asusila padanya.
Hari berganti pagi, Adhisti tampak asik bermain dengan semua alat masak untuk membuat sarapan bagi mereka bertiga. Namun, tiba-tiba sebuah tangan tanpa permisi melingkar di pinggangnya lalu dengan kuat memeluk.
Adhisti melirik ke arah kiri dan mendapati Rio sedang menyandarkan kepalanya di bahu kiri Adhisti.
“Kenapa semalam kamarnya dikunci, Dhis? Lo bener-bener nggak ngasih celah buat gue masuk?” Tangan Rio tampak membelai lembut pipi Adhisti.
Tak kuasa lagi menahan semua rasa jijik, Adhisti langsung memberontak dan membalik tubuhnya cepat. Hal itu membuat Rio terjatuh ke belakang. Tanpa ampun Adhisti menjejalkan kakinya, menginjak-injak punggung kawan karib kakaknya itu.
“Mati lo mesum!! Mati!! Ngapain lo hidup kalau jadi sampah?! Mati!!” sergah Adhisti dengan mata nyalang terus menginjak Rio yang tampak mengaduh ampun itu.
“Chaaya!!” teriak Rafa langsung menginterupsi tindakan Adhisti atas Rio. Saat menoleh, Adhisti melihat Rafa berdiri bersama Abbiyya dan dua polisi wanita lainnya.
“Bang Rio?”
“Nona Chaaya Adhisti Pramagya, anda kami tangkap atas tuduhan pembunuhan berencana atas korban bernama Mawar yang ditemukan di atap kamar anda!” pekik Abbiyya yakin sementara dua polisi wanita lain langsung menjemput Adhisti dan membawanya paksa.
“Hehh!! Apa ini!! Gue nggak salah!!” teriak Adhisti.
“Semua bukti telah terkumpul. Anda bisa jelaskan di kantor polisi saja, Nona Adhisti!”
“Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit
“Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam
Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga
“Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam
Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi
“Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or