"Mbak Ra, monitor." Innara melirik benda hitam kecil yang ia letakkan di atas bangku panjang yang ia duduki dan menarik napas panjang. Jam istirahatnya bahkan belum berakhir tapi gangguannya seolah tidak ada akhir. "Ya, Nara disini. Ada apa?" Jawab Innara sebisa mungkin tidak menunjukkan malasnya. "Tamu kabin..." Dan Innara kembali memasuki area resort sambil mendengarkan ucapan salah satu anak buahnya. Hampir dua tahun lamanya Innara tinggal di Bali. Bekerja di sebuah resort mewah yang dimiliki oleh keluarga Indonesia-Turki. Betah? Tidak. Innara tidak bisa mengatakan dirinya betah atau tidak. Dia menjalani hari-harinya sebagai sebuah keharusan semata. Tidak ada lagi antusiasme. Tidak ada lagi harapan. Bahkan tidak program untuk mencapai target tertentu, tidak seperti dulu. Innara hanya melakukan pekerjaan sebaik yang dia bisa, namun tidak menghabiskan waktunya untuk berbuat lebih. Ia tidak lagi melakukan pekerjaan lembur jika tidak terlalu darurat. Tidak terlalu bekerja keras,
Tugas Innara adalah memastikan semua bawahannya melayani pengunjung dengan baik. Terlepas siapa mereka, darimana mereka berasal dan seperti apapun penampilan yang mereka tunjukkan, anak buahnya harus memperlakukan semua tamu sama. Entah itu remaja, dewasa, lansia dan bahkan anak-anak. Dedikasi? Bukan. Innara yang sekarang tidak seloyal itu. Tapi kembali pada prinsip awalnya bekerja, dia harus melakukan apa yang menjadi kewajibannya supaya dia bisa nyaman menerima hak nya. Innara sudah biasa menjadi bahan perbincangan anak buahnya. Mengenai dirinya yang bersikap dingin cenderung jutek. Namun dia tidak mempermasalahkan itu. Menurutnya, selama ia melakukan hal yang benar, maka dia tidak akan memedulikan penilaian orang lain terhadapnya. Dia bukan tipe orang yang tidak akan mengakui kesalahannya. Jika memang dia salah, dia akan meminta maaf. Jika diberikan saran, selama itu masuk akal, dia akan menjalankannya. Namun jika dia dituntut untuk melakukan apa yang orang lain inginkan, maaf, d
"Dasar gila." Ucap Innara ketus seraya melangkah cepat meninggalkan Halil. "Saya gak gila Mbak, kalo saya gila saya gak akan ada disini sekarang. Tapi bakal ada di rumah sakit jiwa." Ucap Halil tanpa sedikit pun merasa tersinggung dengan ucapan Innara. "Kamu kenapa terus ngikutin saya? Tugas kamu udah selesai, kamu bisa balik ke tempat kamu semula." Usir Innara ketus. "Iya saya tahu, tapi saya mau nganterin Mbak dulu ke tempat Mbak dengan selamat. Saya gak mau terjadi apa-apa sama Mbak di perjalanan." Innara memutar bola matanya. "Memangnya apa yang bakal terjadi sama saya di perjalanan menuju kantor FO? Disini gak ada begal. Gak ada juga bencana alam." Ucapnya masih dengan nada ketusnya. "Ya kali Mbak, ini resort bukan jalanan sepi yang rawan perampokan. Mana ada begal disini." Ucap Halil ketus. "Eh, ada sih, begal hati. Itu juga Mbak tersangkanya karena udah membegal hati aku yang cuma satu ini." Ucap Halil yang membuat Innara membuat suara seolah ia hendak muntah. Halil tersen
Innara menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Apa yang harus dia lakukan? Apapun cara, taktik atau kalimat penolakan yang ia berikan pada Halil tampaknya hanya jadi angin lalu bagi pria itu. Tak pernah dianggap serius.Baiklah, jika Halil bersikukuh untuk mendekatinya, maka Innara pun harus bersikukuh untuk menolaknya. Kita lihat siapa yang lebih kuat disini. Dirinya atau Halil."Jangan menyesal kalau aku menghabiskan gajimu hanya untuk makan." Ucap Innara dengan nada mengancam. Halil hanya mengedikkan bahu dan mencebik seolah ia tidak takut dengan ancaman yang diberikan Innara padanya.Innara kembali memutar tubuhnya dan melangkah menjauh dari bangunan mesnya. Ia melangkah lebih dulu dan memberikan Halil tatapan mengancam untuk tidak berjalan di sampingnya apalagi kalau coba-coba merangkulkan lengannya di bahu Innara. Halil kembali mengedikkan bahunya, dan untuk membuat Innara percaya padanya ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jeansnya."Mbak mau makan apa?
Innara berjalan masuk menuju gerbang mes sendirian. Ia tidak tahu kemana Halil pergi setelahnya dan ia pun enggan bertanya. Yang pasti untuk saat ini Innara merasa bebas dari Halil.Innara mengabaikan ancaman Halil tentang akan mengetuk pintunya beberapa saat kedepan. Ia sudah berencana untuk mandi air hangat, memasak makan malam dan setelah itu menghabiskan waktunya dengan membaca atau mungkin menonton sesuatu di televisi atau di ponselnya.Jalanan menuju mes begitu sepi, begitu juga dengan suasana sekitar mes. Beberapa penghuni tampaknya sudah bersembunyi dan beristirahat atau mungkin sedang memiliki shift malam. Tidak banyak sebenarnya penghuni mes resort. Meskipun diberikan fasilitas yang baik dan diberikan harga sewa yang terjangkau, sebagian besar karyawan resort tetap memilih untuk tinggal diluar. Entah itu lajang ataupun sudah berkeluarga. Alasannya sederhana, selain ingin bebas, mereka tentu menghindari ada masalah sesama rekan kerja. Tahu sendirilah, terkadang terlalu dekat
"Mbak harus inget kalo hari ini kita jadian. Tandai di kalender Mbak supaya nanti kita bisa ngerayain hari-harinya tiap tahun." Ucap Halil seraya meletakkan kantong belanjaannya di atas meja makan kecil yang menjadi pembatas antara dapur dan ruang tamu.Innara jelas memandangnya shock. Pernyataan menjadi pacar pria itu jelas ia ucapkan tanpa rencana karena kondisinya yang sedang terdesak. Bagaimana bisa Halil justru beranggapan kalau mereka akan menjadi kekasih dalam kurun waktu yang lama?"Kamu tahu kalau aku tidak serius mengatakan itu." Ucap Innara berusaha membela diri."Maaf, tapi aku menganggap ucapan Mbak tadi sangat serius.""Aku terdesak keadaan dan kebetulan kamu ada disana. Jadi aku menggunakanmu sebagai tameng." Ucap Innara lagi berusaha mengubah pikiran HalilHalil menggelengkan kepala. "Aku tidak yakin kalau Mbak akan melakukan hal seperti itu jika yang datang bukan aku." Ucapnya dengan santai."Aku akan melakukan itu sekalipun yang datang orang lain." Ucap Innara tegas.
"Kamu pikir aku menyukaimu?" Tanya Innara ketus."Mbak jawab aja pertanyaan Mbak sendiri." Cibir Halil seraya mengangkat tangannya dan mulai mengiris rambut Innara, mulai dari bagian bawahnya. Innara jelas terkejut dengan apa yang dilakukan Halil, namun ia tidak menjauh dan membiarkan Halil menyentuh rambutnya dan menyisirnya. "Lihat, kalau Mbak gak suka sama aku, mana mau Mbak aku sisirin begini. Ya minimal kalo Mbak gak suka sama aku, Mbak percaya sama aku. Bukan begitu?" Tanya Halil yang Innara jawab dengan kebisuan. "Tapi Mbak, aku ini laki-laki. Sepercayanya Mbak sama aku, Mbak tetap harus mawas diri.""Maksudnya?" Tanya Innara tanpa menoleh. Ia suka merasakan tangan Halil yang menyentuh rambutnya dan mengusapnya pelan, entah kenapa."Ya, walau bagaimanapun aku ini laki-laki. Aku bisa aja gelap mata terus ngelakuin sesuatu sama Mbak." Ucap Halil memperingatkan. Pria itu mulai bergerak ke bagian atas rambut Innara, Innara bisa merasakan ujung sisir yang lembut menyentuh kulit kepa
Bagaimana bisa aku bermimpi seperti itu? Tanya Innara pada dirinya sendiri. Ini pertama kalinya sepanjang umurnya Innara mimpi bercinta. Bahkan saat masih bersama Rayka dulu, Innara tidak pernah bermimpi sevulgar ini. Mungkin pernah bermimpi berciuman, tapi tidak sampai seperti ini.Apa ini karena faktor usia? Tanya Innara lagi dalam hati. Atau karena semakin tua usianya maka kebutuhan biologisnya semakin meningkat? Tapi kalaupun iya, kenapa harus dengan Halil? Kenapa tidak dengan pria lain atau kenapa tidak dengan pria tanpa wajah?Innara masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Semalam, setelah mandi dan mengeringkan rambut Innara melupakan niatannya untuk memasak dan memilih untuk tidur. Mungkin saat itulah sayup-sayup ia mendengar suara Halil yang menawarinya makan malam yang ia lewatkan. Namun daripada bangkit dari baringannya dan memakan apapun yang ditawarkan Halil, Innara lebih memilih untuk melanjutkan tidurnya sehingga akhirnya semua itu masuk dalam mimpinya.Tapi ken