Halil duduk di meja yang kosong di café milik sahabat kakak iparnya, Galih. Dia baru saja sampai di Bandung dan karena merasa lapar, dia membelokan mobil ke arah G&G Café.
“Widih, pewaris Turkish House nongol juga disini. Darimana?” Galih, pemilik café sekaligus sahabat kakak iparnya, Gibran menyapanya. Pria berusia awal empat puluhan itu duduk di kursi di seberang Halil.
“Lapar, Bang. Minta makan.” Ucapnya sambil tersenyum miring kepada pria yang sudah ia anggap sebagai kakak itu.
“Lah, kok kesini. Kenapa gak pulang ke rumah kakak-kakakmu?” Galih balik bertanya namun tangannya bergerak meraih tablet yang berisikan menu makanan.
“Males ah, kalo ke tempatnya kak Fali nanti malah kena ocehan. Ke rumah kak Qilla pastinya lagi sibuk ngurusin toko kue.” Jawab Halil malas-malasan. “Gue mau makanan yang enak dan bikin kenyang.” Ucapnya yang tahu kalau Galih sedang mencarikan menu yang tepat untuknya. Galih menganggukkan kepala dan setelah memilih, ia kembali meletakkan tablet di atas meja.
Mereka berbincang selama beberapa saat sambil menunggu makanan datang. Café memang tidak terlalu ramai karena jam makan siang sudah lewat dari waktunya. Yang dia lihat hanya beberapa anak muda yang sedang duduk dan nongkrong dengan laptop menyala di beberapa tempat. Jelas tampak asyik mengerjakan sesuatu sambil menikmati cemilan dan minuman manis yang ada di menu café.
“Loe beneran hebat, Bang. Belasan tahun mertahanin ini café. Orang lain udah bangkrut, tapi loe bisa bertahan sampai sejauh ini.” Puji Halil tulus.
Galih mengedikkan bahu. “Rejeki, dan inovasi.” Ucapnya sambil tersenyum. “Lokasi juga.” Lanjutnya tak bisa menutupi rasa bangganya. “Tapi tetep, kalo dibandingkan sama perusahaan keluarga kalian, waktu yang gue habisin buat mempertahankan café ini belum ada apa-apanya.” Jawab Galih sambil memandang Halil penuh arti.
Halil mengedikkan bahu. Secara tak langsung ia terkena beban mental dengan pernyataan Galih karena saat ini, dia memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan usaha hotel dan restoran keluarganya. Dalam hatinya, Halil merasa takut kalau dia akan menjadi orang yang pada akhirnya merusak usaha yang sudah dirintis keluarganya lebih dari tujuh dasawarsa itu.
Ya, kembalinya Halil kali ini karena permintaan kakak sepupunya, Serkan. Pria yang usianya sepuluh tahun lebih tua itu mengatakan kalau dia sudah mulai kewalahan dengan usaha hotel dan restoran keluarga mereka. Dia yang dulunya suka berkelana, mengatakan kalau dia merasa mumet karena terus menerus tinggal dan mengurusi usaha. Dia ingin sejenak beristirahat dan meminta Halil untuk berbagi beban. Persis seperti yang dilakukan sepupu-sepupu mereka yang lain dalam usaha keluarga.
Halil juga tidak bisa terus mengelak. Walau bagaimanapun, Turkish House—restoran Turki—dan Levent Hotel dipercayakan oleh kakek-nenek serta orangtua, paman dan bibi mereka kepada mereka berdua sebab sepupu-sepupu Halil yang lain sudah memiliki tanggung jawab lainnya. Jadinya Halil setuju untuk tinggal dan bekerja.
Namun sejujurnya, rasa takut menguasai perasaan Halil. Ia memiliki teori yang cukup yang dia dapatkan dari Pendidikan formalnya. Dia juga mendapatkan banyak pelatihan dari kakek dan ayahnya tentang pengelolaan kedua usaha itu, namun fakta di lapangan seringkali tidak sama dengan teori, tidak sama juga dengan logika-logika yang selama ini ditanamkan ayah dan kakeknya. Halil tetap khawatir kalau dia tidak bisa mengimbangi keadaan dan malah berakhir dengan merusak segalanya.
Bukannya tidak jarang kalau pewaris pada akhirnya merusak usaha yang sudah dirintis selama puluhan tahun karena ketidakmampuan yang dipaksakan? Dan Halil tidak mau hal itu terjadi.
Saat Halil berkonsultasi dengan Galih, pria itu menyarankan supaya Halil mengetahui seluk beluk seluruh usaha keluarganya. “Seringkali, satu hal besar itu rusak karena satu hal yang kecil, macam gigi.” Ucap Galih dengan ekspresi serius. “Awalnya kita tidak merasakan apa-apa dengan gigi kita. Kita merasa kita rajin menggosoknya dan merasa bahwa gigi kita sudah bersih sehingga yakin kalau kita tidak akan merasa sakit di kemudian hari.
“Tapi kita gak tahu kalau kita memiliki lubang kecil di gigi kita. Lubangnya memang tak sebesar ujung jarum, tapi ternyata di bagian dalamnya sudah dimasuki ulat yang menggerogoti bagian dalamnya sampai berbentuk gua yang lebar.
“Begitu juga dengan usaha. Rusak atau bertahannya sebuah usaha itu biasanya berasal dari hal yang kecil. Usaha kita itu adalah memuaskan pelanggan, dan kepuasan pelanggan itu biasanya berasal dari hal yang kecil. Memang kita tidak bisa memuaskan semua orang, tapi kita bisa meminimalisir ketidakpuasan pelanggan kita dan itu bisa kita mulai dari hal yang kecil.
“Misal dengan pelayanan orang-orang yang berada dalam struktur organisasi paling bawah. Sudah bisakah kita mengontrol mereka supaya mereka memberikan pelayanan yang terbaik pada konsumen kita. Sudahkan kita—sebagai pemilik usaha—membuat karyawan kita merasa nyaman supaya mereka melayani konsumen kita dengan nyaman pula.
“Hal ini seringkali dianggap remeh oleh pemilih usaha, tapi berdampak besar pada usaha.
“Kebanyakan para petinggi sudah tidak lagi mau mengurusi para bawahan karena merasa bahwa sudah ada orang yang dipercaya untuk melakukan itu. Tapi mereka tidak tahu kalau bisa saja orang yang mereka percayai malah melakukan hal-hal yang curang dan nakal yang juga ikut sama tidak pedulinya pada bawahannya.
“Bukankah para kaum gaji lebih peduli tentang gaji yang mereka dapat? Tidak sedikit orang yang tidak peduli pada tanggung jawab. Mereka cukup merasa kalau mereka sudah mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik tanpa peduli untuk mereview ulang adanya kesalahan atau kekurangan.
“Bahkan tidak sedikit orang yang mencurangi orang lain karena kemalangan yang terjadi. Misal dengan memecat orang yang sedang berada dalam kondisi malang untuk menggantinya dengan orang baru yang mereka kenal, kau tahu nepotisme.
“Senioritas kadang dijadikan alasan untuk membuat karyawan baru bekerja di jam yang tidak masuk akal. Kesombongan membuat para resepsionis memandang rendah tamu yang mereka anggap tidak berpenampilan selayaknya. Dan hal inilah yang bisa merusak usaha.”
“Abang kayaknya udah banyak survey ya?” Tanya Halil seraya menyuapkan makanan ke mulutnya.
Galih mengedikkan bahu. "Hanya mendengar beberapa keluhan orang-orang." Jawab pria itu dengan santainya. “Dan ya, kalau loe mau jadi pemimpin yang baik, loe juga harus bisa menampung keluhan-keluhan bawahanmu.
“Jujur, sampai saat ini gue suka dengan kepemimpinan Om Adskhan. Gue belajar banyak dari beliau. Beliau itu bisa jadi kelihatan gak peduli, tapi hal yang kecilpun beliau bisa tahu. Loe sebagai keponakan harusnya banyak berguru sama beliau.” Ucap Galih lagi yang hanya dijawab anggukkan Halil.
"Udah berapa kali aku bilang sama kamu kalo aku gak cinta sama dia, Ra.” Ucapan lantang dengan nada kesal itu berasal dari seorang pria yang duduk di meja sebelah kanannya. Halil bisa melihat si pria dengan menggunakan sudut matanya.
Pria itu memandang wanita yang duduk di hadapannya dengan ekspresi memelas, seolah hendak menangis. Tampak sangat putus asa.
“Kamu juga tahu kalau aku sama sekali gak ada perasaan apa-apa sama dia. Tapi aku gak bisa nolak permintaan Papa, Ra.” Lanjutnya masih dengan nada memelas. "Papa sakit waktu itu, dia takut merasa malu di depan rekan-rekannya. Dia yang minta Zanie buat gantiin posisi kamu di pelaminan.
“Aku udah nolak permintaan Papa yang gak masuk akal. Masa bodoh dengan kerugian ke WO dan lainnya, tapi apa yang bisa aku lakukan saat aku kalah suara? Mama dukung keinginan Papa, aku bisa apa, Ra?” Ucap pria itu lagi seraya mengusap wajahnya dengan kasar. Halil bisa mengerti kalau pria itu tampak frustasi dan memahami kalau pria itu berusaha menghapus jejak airmatanya dengan gerakan itu.
Ini menarik. Gumam Halil dalam hati. Ia tetap memperhatikan pria yang ada di sisi kiri Galih itu dengan sudut matanya tanpa terganggu dengan Galih yang memintanya untuk tidak mendengarkan tanpa suara.
“Aku mau jelasin ke kamu semuanya sejak kamu keluar dari rumah sakit. Tapi Mama bilang dia akan bantu aku supaya kamu mengerti dengan keadaan. Tapi kamu gak pernah mau dengar penjelasan apapun.” Lanjut pria itu lagi dengan lemas.
“Aku memang gak butuh penjelasan apa-apa lagi, Ka.” Ucap si gadis dengan nada yang begitu datar. Suaranya terdengar begitu lembut di telinga Halil. Halil duduk menegak, ingin sekali ia menoleh untuk melihat wajah si perempuan dan melihat ekspresinya, namun ia sekuat hati menahan diri untuk tidak melakukannya. Yang jelas, ia semakin tertarik dengan keadaan ini. Karena pikirnya tadi, ia akan mendengar si perempuan memekik histeris, menangis dan mungkin akan berteriang meraung pada si pria yang sudah mematahkan hatinya. Tapi perempuan itu tidak bereaksi seperti itu.
“K-ka?” Cicit si pria dengan ekspresi tak percaya. “Kamu manggil aku, Ka?” Pria itu bertanya masih dengan ekspresi tak percaya.
“Kamu adik ipar aku sekarang, Ka. Gak mungkin aku manggil kamu dengan panggilan yang aku gunakan sebelumnya. Lagipula, usia kita sama.” Lanjut si perempuan masih dengan nada datarnya.
Jadi, si perempuan ini adalah mantan calon istri si pria. Namun pernikahan tidak jadi berlangsung sebab si pria menikah dengan adik si perempuan? Hmm.. menarik. Gumam Halil lagi dalam hati.
“Nara..” si pria berusaha mengulurkan tangan untuk menyentuh tangan si perempuan yang sejak tadi memeluk cangkir kopinya. Dan saat melihat gerakan tangan si pria, si perempuan itu langsung menurunkan kedua tangannya ke bawah meja dan menjalinnya di atas pangkuan.
Si pria tampak frustasi. Kembali menarik tangannya dan mengusap wajahnya dengan kasar.
“Nara, kumohon. Dengarkan penjelasan aku.” Ucap pria itu lagi dengan nada memelas.
Si perempuan tampak menggelengkan kepala. “Aku bisa saja mendengarkan penjelasan kamu, M-Ka.” Jawab si perempuan lirih. “Tapi apa yang akan berubah setelah itu?” Tanyanya dengan kepala sedikit terangkat yang Halil yakini balik memandang si pria dengan tajam. “Kamu udah nikah dengan Zanie, maka itulah takdir kalian.”
“Aku gak cinta sama dia dan aku ngelakuin itu semua karena terpaksa.” Jawab si pria bersikukuh.
"Cinta atau gak. Terpaksa atau enggak. Kalian sah suami istri sekarang. Di mata Allah, di mata hukum, di mata semua orang." Lanjut si wanita yang membuat Halil mengernyit sendiri namun kemudian menganggukkan kepala setuju.
“Aku akan pisah sama dia setelah setahun kami menikah.” Janji si pria dengan tegas.
Si perempuan kembali menggelengkan kepala. “Kenapa? Kenapa kamu mau pisah sama Zanie? Karena aku?” Tanya si perempuan lagi yang dijawab anggukkan si pria. Si perempuan terdengar mendengus tak anggun. “Jadi kamu akan jadikan aku kambing hitam?” Tanya si perempuan itu dengan tatapan tak suka.
“Ra..”
“Lalu kamu pikir aku akan mau kembali sama kamu?” Tanyanya yang di jawab anggukkan si pria. “Maaf, Ka. Tapi aku bukan perempuan seperti itu.” Jawabnya dengan dingin.
“Ra..”
“Kamu boleh memberikan janji, tapi aku tidak akan lagi menaruh harapan pada apapun, pada siapapun.” Ucap si perempuan dengan nada dingin. “Aku sudah tidak bisa lagi percaya waktu. Aku sudah berhenti percaya pada perasaan manusia yang terlalu sering berubah. Aku hanya akan mempercayai diriku sendiri mulai saat ini.
“Terima saja takdir kamu dan jalani semuanya sebaik mungkin. Kamu berjodoh dengan Azanie, itulah yang aku yakini sekarang. Sementara jodohku, aku yakin Allah akan memberikan aku sosok yang tepat meskipun saat ini aku tidak tahu dia ada dimana.
“Saat pernikahan kita gagal, aku yakinkan pada diriku sendiri bahwa kamu bukan yang tepat untukku dan begitu juga sebaliknya.”
“Nara..” pria itu kembali berusaha meraih tangan si wanita yang entah sejak kapan sudah kembali naik ke atas meja.
“Jalani pernikahan kalian sebaik mungkin, Rayka. Jaga Azanie, karena meskipun dia bukan adik kandungku, aku tetap menyayanginya. Dia gadis yang manis dan baik pada dasarnya, jadi perlakukanlah dia sebagai ratu sebagaimana seharusnya seorang suami memperlakukan istri, terlepas apapun alasan yang mendasari pernikahan kalian.
“Dan aku mohon, jangan datang kembali lagi kesini. Aku tidak mau orang berspekulasi tentang aku. Sekalipun kamu yang datang kesini, akulah yang akan dicap jelek oleh orang-orang yang mengenal kita.
“Sekalipun aku tidak menghubungimu, tetap aku yang dianggap sebagai orang yang menggodamu. Ingatlah bahwa disini akulah yang dianggap orang sebagai sosok yang dirugikan karena batalnya pernikahan kita.
“Aku sudah lelah dengan tatapan mengasihani yang orang-orang tunjukkan, jangan sampai mereka juga menatapku sebagai kakak yang ingin merebut suaminya sendiri.
“Kalau memang kamu masih memiliki rasa peduli buat aku, aku mohon, menjauhlah.” Ucap si perempuan yang kemudian berdiri dan Halil mengernyit saat melihat gadis itu meraih sebuah tongkat yang tadi luput dari perhatian Halil.
Gadis itu memasang tongkat itu di sikunya dan menggenggam pegangannya sebelum berdiri, menolak bantuan si pria.
Halil memperhatikan tubuh mungil gadis itu. Ia mengenakan dres lengan pendek dengan panjang rok di bawah lutut. Dan Halil bisa melihat kaki kanannya mengenakan sepatu khusus patah tulang.
Jadi, si perempuan mengalami kecelakaan sebelum pernikahan. Pernikahan tetap berlangsung, tapi mempelainya diganti? Semuanya terkesan seperti drama saja. Gumam Halil dalam hati.
Suara erangan terdengar dan Halil kini benar-benar memandang si pria secara terang-terangan. Si pria tampak frustasi dan bahkan menendang udara karena marah. Sebagai sesama laki-laki Halil bisa merasakan frustasi yang kini dirasakan pria itu. Namun ia hanya bisa berharap pria itu bisa menghadapi masalahnya dengan baik.
“Ternyata, loe bisa kepo juga.” Komentar Galih yang kini duduk bersandar nyaman sambil melipat kedua lengan di atas perut seraya memandang Halil dengan tatapan mengejek.
Halil mengedikkan bahu dan meneguk sisa air putih di dalam gelasnya. “Gue suka drama. Keluarga gue juga punya banyak drama.” Ucap Halil sambil terkekeh geli, mengingat kisah cinta yang dialami oleh anggota keluarganya. “Loe sendiri, bukannya pernikahan loe sama Kak Intan juga banyak dramanya?”
Galih memutar bola matanya dan bangkit berdiri alih-alih menjawab pertanyaan Halil. “Jadi, loe mau balik kerja kapan?” pria itu kembali membahas perbincangan awal mereka.
Innara meninggalkan café dengan jantung yang berdebar dengan sangat kencang. Ia merasa lelah, bukan hanya fisik, namun juga emosionalnya. Kejadian-kejadian yang terjadi setelah ia kembali ke kediaman orangtuanya kembali masuk ke kepalanya. Di dalam taksi, Innara hanya bisa kembali membisu tanpa bisa menahan airmata yang menetes di matanya. Innara menghindari acara makan malam keluarganya di hari setelah ia keluar dari rumah sakit dengan alasan kalau ia lelah. Azanie, tak pernah menyembunyikan rasa bahagianya karena telah menikah dengan Rayka, pria yang dia katakan sudah ia kagumi sejak masuk SMA. Tanpa rasa bersalahnya Azanie mengabaikan perasaan kecewa dan terluka Innara. Tanpa malu, adik sambungnya itu justru bangga karena telah mengambil posisi Innara. Tapi itu belum seberapa. Rasa sakit Innara tidak terhenti sampai di situ. Ia berusaha menatap Rayka yang saat itu juga tinggal di kediaman orangtuanya, meminta pria itu menjelaskan tanpa suara, tapi Rayka malah memalingkan wajah
"Mbak Ra, monitor." Innara melirik benda hitam kecil yang ia letakkan di atas bangku panjang yang ia duduki dan menarik napas panjang. Jam istirahatnya bahkan belum berakhir tapi gangguannya seolah tidak ada akhir. "Ya, Nara disini. Ada apa?" Jawab Innara sebisa mungkin tidak menunjukkan malasnya. "Tamu kabin..." Dan Innara kembali memasuki area resort sambil mendengarkan ucapan salah satu anak buahnya. Hampir dua tahun lamanya Innara tinggal di Bali. Bekerja di sebuah resort mewah yang dimiliki oleh keluarga Indonesia-Turki. Betah? Tidak. Innara tidak bisa mengatakan dirinya betah atau tidak. Dia menjalani hari-harinya sebagai sebuah keharusan semata. Tidak ada lagi antusiasme. Tidak ada lagi harapan. Bahkan tidak program untuk mencapai target tertentu, tidak seperti dulu. Innara hanya melakukan pekerjaan sebaik yang dia bisa, namun tidak menghabiskan waktunya untuk berbuat lebih. Ia tidak lagi melakukan pekerjaan lembur jika tidak terlalu darurat. Tidak terlalu bekerja keras,
Tugas Innara adalah memastikan semua bawahannya melayani pengunjung dengan baik. Terlepas siapa mereka, darimana mereka berasal dan seperti apapun penampilan yang mereka tunjukkan, anak buahnya harus memperlakukan semua tamu sama. Entah itu remaja, dewasa, lansia dan bahkan anak-anak. Dedikasi? Bukan. Innara yang sekarang tidak seloyal itu. Tapi kembali pada prinsip awalnya bekerja, dia harus melakukan apa yang menjadi kewajibannya supaya dia bisa nyaman menerima hak nya. Innara sudah biasa menjadi bahan perbincangan anak buahnya. Mengenai dirinya yang bersikap dingin cenderung jutek. Namun dia tidak mempermasalahkan itu. Menurutnya, selama ia melakukan hal yang benar, maka dia tidak akan memedulikan penilaian orang lain terhadapnya. Dia bukan tipe orang yang tidak akan mengakui kesalahannya. Jika memang dia salah, dia akan meminta maaf. Jika diberikan saran, selama itu masuk akal, dia akan menjalankannya. Namun jika dia dituntut untuk melakukan apa yang orang lain inginkan, maaf, d
"Dasar gila." Ucap Innara ketus seraya melangkah cepat meninggalkan Halil. "Saya gak gila Mbak, kalo saya gila saya gak akan ada disini sekarang. Tapi bakal ada di rumah sakit jiwa." Ucap Halil tanpa sedikit pun merasa tersinggung dengan ucapan Innara. "Kamu kenapa terus ngikutin saya? Tugas kamu udah selesai, kamu bisa balik ke tempat kamu semula." Usir Innara ketus. "Iya saya tahu, tapi saya mau nganterin Mbak dulu ke tempat Mbak dengan selamat. Saya gak mau terjadi apa-apa sama Mbak di perjalanan." Innara memutar bola matanya. "Memangnya apa yang bakal terjadi sama saya di perjalanan menuju kantor FO? Disini gak ada begal. Gak ada juga bencana alam." Ucapnya masih dengan nada ketusnya. "Ya kali Mbak, ini resort bukan jalanan sepi yang rawan perampokan. Mana ada begal disini." Ucap Halil ketus. "Eh, ada sih, begal hati. Itu juga Mbak tersangkanya karena udah membegal hati aku yang cuma satu ini." Ucap Halil yang membuat Innara membuat suara seolah ia hendak muntah. Halil tersen
Innara menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Apa yang harus dia lakukan? Apapun cara, taktik atau kalimat penolakan yang ia berikan pada Halil tampaknya hanya jadi angin lalu bagi pria itu. Tak pernah dianggap serius.Baiklah, jika Halil bersikukuh untuk mendekatinya, maka Innara pun harus bersikukuh untuk menolaknya. Kita lihat siapa yang lebih kuat disini. Dirinya atau Halil."Jangan menyesal kalau aku menghabiskan gajimu hanya untuk makan." Ucap Innara dengan nada mengancam. Halil hanya mengedikkan bahu dan mencebik seolah ia tidak takut dengan ancaman yang diberikan Innara padanya.Innara kembali memutar tubuhnya dan melangkah menjauh dari bangunan mesnya. Ia melangkah lebih dulu dan memberikan Halil tatapan mengancam untuk tidak berjalan di sampingnya apalagi kalau coba-coba merangkulkan lengannya di bahu Innara. Halil kembali mengedikkan bahunya, dan untuk membuat Innara percaya padanya ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jeansnya."Mbak mau makan apa?
Innara berjalan masuk menuju gerbang mes sendirian. Ia tidak tahu kemana Halil pergi setelahnya dan ia pun enggan bertanya. Yang pasti untuk saat ini Innara merasa bebas dari Halil.Innara mengabaikan ancaman Halil tentang akan mengetuk pintunya beberapa saat kedepan. Ia sudah berencana untuk mandi air hangat, memasak makan malam dan setelah itu menghabiskan waktunya dengan membaca atau mungkin menonton sesuatu di televisi atau di ponselnya.Jalanan menuju mes begitu sepi, begitu juga dengan suasana sekitar mes. Beberapa penghuni tampaknya sudah bersembunyi dan beristirahat atau mungkin sedang memiliki shift malam. Tidak banyak sebenarnya penghuni mes resort. Meskipun diberikan fasilitas yang baik dan diberikan harga sewa yang terjangkau, sebagian besar karyawan resort tetap memilih untuk tinggal diluar. Entah itu lajang ataupun sudah berkeluarga. Alasannya sederhana, selain ingin bebas, mereka tentu menghindari ada masalah sesama rekan kerja. Tahu sendirilah, terkadang terlalu dekat
"Mbak harus inget kalo hari ini kita jadian. Tandai di kalender Mbak supaya nanti kita bisa ngerayain hari-harinya tiap tahun." Ucap Halil seraya meletakkan kantong belanjaannya di atas meja makan kecil yang menjadi pembatas antara dapur dan ruang tamu.Innara jelas memandangnya shock. Pernyataan menjadi pacar pria itu jelas ia ucapkan tanpa rencana karena kondisinya yang sedang terdesak. Bagaimana bisa Halil justru beranggapan kalau mereka akan menjadi kekasih dalam kurun waktu yang lama?"Kamu tahu kalau aku tidak serius mengatakan itu." Ucap Innara berusaha membela diri."Maaf, tapi aku menganggap ucapan Mbak tadi sangat serius.""Aku terdesak keadaan dan kebetulan kamu ada disana. Jadi aku menggunakanmu sebagai tameng." Ucap Innara lagi berusaha mengubah pikiran HalilHalil menggelengkan kepala. "Aku tidak yakin kalau Mbak akan melakukan hal seperti itu jika yang datang bukan aku." Ucapnya dengan santai."Aku akan melakukan itu sekalipun yang datang orang lain." Ucap Innara tegas.
"Kamu pikir aku menyukaimu?" Tanya Innara ketus."Mbak jawab aja pertanyaan Mbak sendiri." Cibir Halil seraya mengangkat tangannya dan mulai mengiris rambut Innara, mulai dari bagian bawahnya. Innara jelas terkejut dengan apa yang dilakukan Halil, namun ia tidak menjauh dan membiarkan Halil menyentuh rambutnya dan menyisirnya. "Lihat, kalau Mbak gak suka sama aku, mana mau Mbak aku sisirin begini. Ya minimal kalo Mbak gak suka sama aku, Mbak percaya sama aku. Bukan begitu?" Tanya Halil yang Innara jawab dengan kebisuan. "Tapi Mbak, aku ini laki-laki. Sepercayanya Mbak sama aku, Mbak tetap harus mawas diri.""Maksudnya?" Tanya Innara tanpa menoleh. Ia suka merasakan tangan Halil yang menyentuh rambutnya dan mengusapnya pelan, entah kenapa."Ya, walau bagaimanapun aku ini laki-laki. Aku bisa aja gelap mata terus ngelakuin sesuatu sama Mbak." Ucap Halil memperingatkan. Pria itu mulai bergerak ke bagian atas rambut Innara, Innara bisa merasakan ujung sisir yang lembut menyentuh kulit kepa