Share

Dorongan Paling Absurd

Aku terhuyung-huyung. Kurasai bibirku kebas. Aku tersungkur, jatuh, menggelinding melewati beberapa anak tangga. Semua terjadi begitu cepat. Kupikir perkelahian tak ubahnya adegan film yang bisa diperlambat. Seperti yang kukhayalkan sebelumnya. 

Sepertinya kerikil mengenai wajahku. Mataku terasa perih, pipiku juga, kemungkinan berdarah. Bukan karena pukulan, tapi menggelinding dengan bebas. Berguling-guling beralaskan pasir dan kerikil.

“Riannn!!” Liana histeris..

Aku bangkit dengan setengah nyawa masih melayang. Langkahku gontai. Meski begitu aku tetap berupaya melangkah. Kuambil tangan Liana yang masih digenggam erat olehnya. Pandanganku sedikit kabur. Menggelinding bukanlah sesuatu yang menyenangkan seperti bermain perosotan. Ini nyata. Aku berkelahi untuk pertama kalinya.

“Sudah puas? Tolong lepaskan tanganmu,” kurebut tangan Liana dengan sekuat tenaga. Liana langsung menyembunyikan diri di balik punggungku.

Kutatap wajah Ferdi dengan tajam. Kemungkinan sejurus penuh. Mau apalagi kau? Memukul lagi? Aku tidak takut. Sekali lagi kau memukulku, akan kuhabisi kau dengan kerikil yang tadi menjadi alasku berguling.

Beno, Rikky, dan anak-anak yang lain berlari dan mengerumuni kami. Begitu juga dengan teman-teman Ferdi. Aku tidak tahu pasti siapa saja yang melihat kejadian ini. Aku tidak peduli.

“Mengapa kau menatapku seperti itu?” tanyanya tidak senang dengan tatapan tajamku. “Mau kupukul lagi? Sampai menggelinding ke bawah?”

“Silahkan.”

Ia maju, ingin menyerangku lagi. Tangan kanannya sudah siap untuk diayunkan. Aku berusaha menghindari pukulan itu. Meleset, ya pukulannya meleset. Tubuhnya maju melewatiku beberapa langkah. Aku tahu, ia sudah menyiapkan tenaga sebegitu besarnya sehingga tak dapat mengendalikan tubuhnya sendiri.

Kuambil kesempatan langka ini. Saat ia kesulitan untuk mengendalikan tubuhnya sendiri, kudorong ia sekuat tenaga dari belakang. Ia pun tersungkur. Kepalanya jatuh lebih dulu. Pasti sakit sekali, rasakan, tanpa perlu latihan khusus aku pun mampu membalasmu!

Ia bangun kembali dengan sekonyong-koyongnya. Pelipisnya berdarah karena dorongan yang kulakukan itu. Pantas laki-laki kasar seperti dia mendapatkannya.

“Sial kau!!” Ia berteriak dan berusaha membalasku lagi.

Kepalan tanganku sudah menanti dan ingin menyambut kedatangannya. Aku tidak menghindar kala ia ingin meraihku lagi. Mari, kita habiskan badan kita masing-masing. Besok, lusa, atau minggu depan, tidak akan ada lagi kesempatan ini.

“Ferdi!!!” Suara manusia dewasa yang kukenal meneriakinya dari seberang jalan, tepatnya di gerbang sekolahku.

Entah siapa yang mengadukan peristiwa ini pada guru-guru di sekolah. Kepala sekolah kami sendiri yang datang, Pak Hendri.

Beberapa warga dan pengendara ternyata menyaksikan perkelahian ini. Pantas saja kepala sekolah yang turun tangan. Pastinya, sekolah swasta yang agak terpandang di kotaku ini akan tercoreng namanya.

Kami diboyong ke sekolah. Liana tetap berada di belakangku. Sesekali, tatapan tajam Ferdi bertemu dengan mataku. Aku tidak takut. Kalau kata orang, sama-sama makan nasi. Jadi tidak ada yang perlu ditakutkan. Debar-debar tadi yang kurasakan saat berkelahi untuk pertama kalinya, sudah hilang.

 “Rian...” Pak Hendri membuka suara. “Mengapa perkelahian ini bisa terjadi?”

“Dia lebih dulu menyerangku, Pak!” teriak Ferdi, si pengecut yang semakin kubenci saja. Bisa-bisanya dia memutarbalikkan fakta begini.

Ekor mataku menatap tajam wajah pengecut itu. “Saya bukan pembuat onar, Pak. Saya ingin pulang bersama Liana, tiba-tiba dia datang meneriaki kami dengan klakson kasarnya itu. Memaksa Liana untuk ikut pulang bersamanya, sampai memegang tangan Liana sangat kencang, ah tidak, mungkin lebih tepat mencengkeram!”

“Apa maksudmu!” teriaknya lagi tidak terima.

Terserah! Memang itu kenyataannya. Laki-laki macam itu, benar-benar pengecut. Hanya bisa membuat onar, tapi tak ada nyali untuk menyelesaikannya.

“Ferdi!!” Pak Hendri membentak. “Kamu tidak sopan ya! Saya bertanya pada Rian, bukan kamu!”

“Ttttaaaapiiiii, Pak.” Ia tetap bersikukuh membela diri.

“Diam kau!” Pak Hendri menunjuk Ferdi dengan mata bulat penuh.

“Jadi, Ferdi yang memulainya?” beliau kembali berbicara denganku.

“Iya, Pak. Saya memintanya untuk melepaskan tangan Liana, tapi dia malah memukul saya.”

Setelah mendapatkan informasi yang diinginkan, beliau mempersilakanku untuk pulang. Sementara Ferdi, masih berkutat di ruang Pak Hendri. Mungkin ia akan merasakan makian. Rasakan.

Liana yang merasa bersalah atas kejadian yang menimpaku, meminta izin untuk mengobati luka di wajahku.

Ah, Liana. Tidak perlu meminta izin. Pasti akan kuizinkan dengan senang hati. Kami menuju UKS untuk mengambil P3K.

“Maaf ya, seharusnya tadi aku tidak menunggumu. Jadi kau tidak akan luka seperti ini,” suaranya terdengar parau. Lebih parau dari ucapannya pada Beno tadi pagi.

“Jadi..,” aku mulai memahami maksud perkataannya. “Itu yang setiap hari Ferdi lakukan kala ia memaksamu pulang bersamanya?”

Ia mengangguk.

Persetan! Seharusnya tadi aku mendorongnya lebih kuat lagi. Menyesal sekali aku hanya membuat pelipisnya berdarah.

“Mulai besok, kita pulang bersama ya!” pintaku padanya sambil melebarkan senyuman. “Jangan menunggu di halte sendiri lagi.”

“Boleh, tapi kau jangan lama-lama!”

Aku tersenyum.

Suasana ini, sudah sangat kuimpikan sejak melihatnya di hari pertama itu. Hatiku terbang, entah kemana. Ringan sekali tubuhku. Luka-luka di tubuh, tak terasa perih. Senyumnya adalah obat paling ampuh untuk perih yang melanda wajahku.

Seusai luka ini diobati, entah apa alasannya Pak Hendri menghampiri dan bersedia mengantar kami pulang. Mungkin karena memar di lengan dan wajahku . Beliau takut aku dicecari berbagai pertanyaan saat di bus nanti.

“Bagaimana dengan Ferdi, Pak?” Aku memberanikan diri bertanya meski agak ragu-ragu dan sungkan.

“Sudah, kamu tidak perlu khawatir,” kata Pak Hendri sambil membelokkan setir mobilnya. “Saya akan panggil orang tuanya dalam waktu dekat. Sudah terlalu sering dia berbuat onar. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan uang.”

Sepanjang perjalanan, beliau banyak bercerita mengapa Ferdi bisa bersikap seperti itu. “Otaknya sekarang sudah otomatis dimudahkan oleh kedua orang tuanya. Setiap masalah, selalu diselesaikan dengan damai (uang). Anak itu, entah akan jadi apa kelak. Memang uang orang tuanya tidak akan habis kalau dia terus berbuat seperti itu.”

“Sulit ya, Pak kalau mendidik anak dengan cara yang salah. Menyusahkan banyak orang,” kataku menanggapi.

“Ya begitulah, orang tuanya berpikir hanya untuk saat ini masalah bisa selesai sudah beres. Padahal, dampaknya akan mereka rasakan 10 tahun lagi. Anak itu hanya akan jadi beban.”

“Saya benci laki-laki seperti itu, Pak,” celetuk Liana.

Pak Hendri tertawa dengan suara tegasnya. “Ya, kamu pintar. Jangan mau dibodohi laki-laki seperti dia.”

Sebagai laki-laki, aku tidak ingin seperti Ferdi. Beruntunglah aku memiliki ayah dan ibu seperti orang tuaku saat ini. Meski aku dimanjakan, tetapi dalam hal tanggung jawab, tidak pernah sekalipun aku melarikan diri.

***

Setiba di rumah, Ibu terperangah melihat keadaan anak sulungnya. “Kamu berkelahi?”

“Iya, Bu. Kakak kelasku di sekolah berbuat onar.”

“Terus apa hubungannya denganmu?”

Ibu selalu percaya bahwa anaknya sejak SD adalah anak yang baik, yang biasa, yang tidak pernah melakukan keonaran sekecil apa pun. Kali ini beda, Bu. Aku harus melindungi gadis yang kusukai.

Aku menyeringai. “Bukan masalah besar, Bu. Hanya perselisihan.” Untuk menghindari berbagai pertanyaan, aku bergegas menuju kamar.

“Perselisihan apa, Rian?”

“Kenapa kakak kelas itu bisa berselisih denganmu?” Ibu tetap menjejaliku bermacam pertanyaan meski aku sudah berada di kamar. “Apa perlu Ibu datang ke sekolah?”

Tak ada satu pertanyaan pun yang kujawab. Biar saja menjadi tanya yang tak ada jawabannya.

Tas kulempar ke samping ranjang. Aku membuka lemari, mencari baju santai. Seragamku begitu kotor.

Kuhempaskan tubuh ini. Rasanya nyaman sekali berbaring di kasur. Meski tubuh penuh luka, tapi karena luka inilah yang membuat Liana menaruh perhatian padaku.

Ibu memasuki kamarku, terlihat sekali bahwa beliau baru saja berganti pakaian. “Ayo pergi ke klinik, luka dan lebam di wajahmu harus segera diobati.”

“Aku tidak mau,” tak akan kubiarkan jejak jejak tangan Liana menghilang. “Tadi sudah diobati di sekolah.”

“Tapi kalau nanti ada infeksi bagaimana?”

Meski Ibu memaksaku, aku tetap bersikukuh dengan pendirian ini. “Tidak, aku tidak mau. Sekarang sudah membaik.”

“Terserah kamu! Kalau nanti ada apa-apa, jangan buat Ibu dan Ayah repot!” Ibu menutup pintu kamarku sedikit keras.

Aku tidak peduli. Yang kupedulikan adalah bagaimana sentuhan itu tidak hilang. Kalau bisa sore ini aku tidak perlu mencuci muka. Agar jejak tangan Liana yang hangat itu bisa kurasakan sampai besok pagi.

Masih kubayangkan bagaimana jari-jarinya merawat luka ini dan wajahnya yang begitu dekat. Belum ada jerawat atau pun komedo yang bermuara di sana. Hidungnya tak terlalu mancung, sama seperti orang Indonesia pada umumnya. Matanya sedikit sipit, namun itu tidak mengangguku untuk melihat kedalaman bola matanya.

Kuletakkan kedua tanganku di bawah kepala. Bibirku tak tahan untuk tersenyum sendiri. Rasanya ingin me-reka ulang kejadian tadi. Termasuk perkelahian dengan Ferdi.

Aku mengulang adegan tadi siang. Ingatan di kepala masih cukup kuat untuk mengingat setiap kejadian yang menyenangkan.

Sewaktu SMP dulu, aku belum merasakan bagaimana rasanya menyukai seorang perempuan. Hidupku flat. Sekolah, bimbel, mengerjakan pr, repeat.

“Ahhh!!” Aku panik. Ternyata tidak semua adegan perkelahian membuat diriku keren.

Malu sendiri ketika mengingat bagaimana diriku jatuh menggelinding di tangga. Begitu memalukan. Tidak ada adegan seperti itu di film. Laki-laki macam apa aku ini. Berkelahi pun tak mampu kulakukan dengan baik.

Dinding kamarku ini sepertinya mengetahui apa yang kurasakan. “Mampus kau! Laki-laki lemah.”

Berita tentang perkelahianku dengan Ferdi pasti akan menyebar di sekolah besok paginya. Betapa malunya aku kalau sampai mereka tahu aku terjatuh dan menggelinding di tangga dekat halte sekolah!

Ponsel berbunyi ketika pikiranku sedang carut marut untuk menghadapi besok pagi. Sebuah pesan tanpa nama kuterima. “Hai, Rian. Bagaimana lukamu? Sudah baikan?”

Tak perlu berpikir lama, otakku segera terhubung. Ini pasti pesan dari Liana!

Gundah gulana di hati hilang dalam sekejab! Kupegang erat ponsel ini dan mulai memainkan jari-jari ini untuk membalas pesannya.

“Sudah baikan.”

Ketika aku ingin mengirimkan pesan di atas. Tiba-tiba terbesit tentang sesuatu. Kalau aku mengirimkan pesan seperti ini, apa dia akan membalasnya lagi?

Segera aku menghapus pesan itu dan kupikirkan lagi kalimat yang tepat untuk dikirim sebagai balasan.

“Liana ya? Aku sudah baikan.” Pesan langsung terkirim.

Lima menit kemudian, ponselku berbunyi lagi. Dia membalas. “Iya, ini aku, Liana. Benar sudah membaik? Maaf ya soal tadi.”

“Iya, sudah membaik. Tidak apa-apa. Maaf juga ya karena tadi membelamu dengan seadanya. Aku tidak sebaik Beno dalam berkelahi.”

“Kau sangat hebat hari ini.”

Membaca pesannya, tubuhku seketika di luar kendali. Yippie! Liana memujiku! Kupikir ini hanya mimpi. Benarkah ini kenyataan?

Kuputuskan untuk tidak membalas pesannya lagi. Saling mengirimkan pesan meski hanya sebentar sudah sangat membuatku bahagia. Sudah cukup bahagiaku hari ini. Harus kusisakan untuk besok, besok, dan seterusnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status