Aku menolak ketika Ibu membangunkan untuk bersiap ke sekolah. Mataku terasa panas dan tubuhku juga menggigil. Dengan terpaksa, kuputuskan untuk tidak sekolah meski hati sangat menginginkannya.
“Kalau orang tua bicara, makanya didengar! Kamu sakit, Ibu juga yang repot!” Ibu menggerutu sepanjang pagi hingga siang. Aku tak menyalahkan beliau, memang aku yang salah. Hanya saja, telinga ini punya batas dan punya hak untuk merasa bosan jika yang didengarnya adalah topik yang sama.
Setelah menjemput Randy, adikku, Ibu membawaku ke klinik.
“Kamu jatuh dari motor ya?” tanya dokter seraya membersihkan luka di wajahku.
Niatku yang ingin menjawab pertanyaan dokter itu seketika hilang ketika Ibu langsung mengambil alih percakapan itu. “Anak saya belum diperbolehkan untuk mengendarai motor.”
“Anak Ibu sudah kelas berapa?”
“1 SMA.”
“Sudah kelas 1 SMA belum bisa mengendarai motor?” Suara dokter seolah mengejek. Mungkin perasaanku saja. Kalau pun benar, memang pantas dokter itu terheran-heran.
“Mengapa, Dok? Ada masalah?” Suara Ibu sedikit meninggi dan suasana di ruangan ini tiba-tiba menegang.
“Ehhhhhh…” Dokter itu paham dengan gelagat Ibu. “Tidak, Bu. Saya heran saja karena anak seusianya sekarang rata-rata bisa mengendarai motor.”
Harusnya Ibu tidk perlu marah begitu. Akulah yang paling malu saat ini. Satu orang lagi tahu tentang ketidakmampuanku mengendarai sepeda motor. Bagaimana nanti kalau Liana sampai tahu hal ini?
“Setiap orang berbeda-beda dalam mendidik anaknya. Kalau saya dan suami saya tidak mengizinkan anak saya membawa kendaraan. Usianya belum tujuh belas. Saya tidak ingin anak saya celaka.”
“Iya, Bu.,” jawab dokter itu menunjukkan perasaan tidak enak karena sikapnya yang sudah berani meledekku di depan Ibu. “Ini saya berikan obat antibiotik ya? Luka itu menyebabkan infeksi sehingga anak Ibu hari ini terserang demam.”
“Terimakasih, Dok,” jawab Ibu ketus.
Dalam perjalanan pulang, aku mencoba untuk mencairkan suasana. “Wajar Bu kalau dokter yang tadi itu terheran-heran.”
“Maksud kamu?”
“Ya aku saja masih heran dengan keputusan Ibu dan Ayah. Rata-rata, teman-temanku sudah membawa kendaraan sendiri. Kalau di bus, hanya aku sendiri yang laki-laki dari sekolah. Selebihnya perempuan,” aku agak melebih-melebihkan. Siapa tahu dengan ceritaku yang sedikit bohong ini hati Ibu bisa luluh.
“Jadi kamu mendukung dokter itu?”
Sepertinya usahaku gagal dalam mencairkan suasana. Mobil ini terasa sangat panas, bahkan kursiku pun menghangat tiba-tiba.
“Tidak, Bu. Hanya mencoba memahami pikiran dokter itu.”
“Sudah kamu tidak perlu banyak bicara. Setiba di rumah langsung diminum obatnya!”
Apakah semua Ibu berpikiran seperti itu? Kurasa tidak demikian, mungkin Ibuku adalah salah satu yang punya pandangan berbeda dalam melindungi anaknya. Di luar sana, pasti ada yang sepertiku.
Suasana hati kian buruk ketika Ibu tidak mengizinkanku untuk pergi sekolah besok pagi. Alasannya, agar luka di wajahku ini tidak terkena debu. Alasan yang sangat aneh.
“Lusa kamu boleh masuk sekolah.”
“Ibu, aku tidak apa-apa. Hanya demam biasa. Mengapa aku harus diperlakukan seperti ini?” Aku benar-benar tidak habis pikir dengan keputusan beliau.
“Sudah,” ekspresinya benar-benar datar. Seperti tak melakukan sesuatu apapun yang menganggu kesenangan anaknya. “Kalau kamu sudah sehat, lusa kamu bisa sekolah.
“Tapi, Bu..” aku belum selesai menjelaskan. Beliau langsung memotong ucapanku. “Titik. Tak ada penawaran.”
Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus menjalaninya. Aku akan absen bertemu Liana dua hari.
Menghabiskan waktu di rumah seharian sangat tidak menyenangkan. Kuputuskan untuk menghubungi Genta, sahabatku sejak SMP. Meski sekarang kami berbeda sekolah, namun hubungan persahabatan ini tetap berjalan.
Genta mengunjungi rumahku sehabis pulang sekolah. Kuceritakan padanya apa yang telah terjadi.
“Jadi, kakak kelas di sekolahmu itu yang membuatmu jadi begini?”
“Ya kurang lebih begitu. Tapi, tenang saja. Dia juga terluka, aku mendorongnya dengan sekuat tenaga sampai ia terjungkal.”
“Apa perlu kuberi pelajaran kakak kelasmu itu?”
Genta adalah atlet pencak silat. Waktu SMP, dia berhasil memenangkan O2SN tingkat provinsi. Sampai sekarang, dia masih menggeluti pencak silat. Keahliannya tak perlu diragukan lagi. Kalau untuk memberi satu dua pukulan, Ferdi sudah pingsan.
“Tidak perlu. Lagi pula ini masalahku, aku tidak ingin kau terlibat.”
Sungguh, aku sebenarnya masih memiliki kekesalan terhadap Ferdi. Namun, kalau aku membiarkan Genta yang membalaskan, sama saja aku sepertinya. Pengecut.
“Apa tidak terpikirkan olehmu bahwa dia akan bertindak lebih lagi daripada kemarin?”
Apa yang dikatakannya benar. Hari ini aku selamat darinya. Hari ini aku tidak perlu menghadapinya. Tapi, besok? Siapa yang tahu apa yang akan terjadi?
“Aku tahu sejak SMP kau tidak bisa bela diri. Jangankan bela diri, bermain futsal pun kau tidak bisa. Kau anak rumahan, Rian,” tambahnya lagi.
Ucapan Genta kali ini membuatku tidak berkutik. Aku tak tahu harus memberikan jawaban alibi apa lagi. Aku diam, hanya mendeham sekali. Percakapan ini pun selesai. Ia tak melanjutkan.
Ibu datang membawakan sepiring lapis surabaya yang telah diiris-iris.
“Genta, habiskan ya kuenya..” ucap Ibu yang langsung membalikkan badan dan melanjutkan kegiatan dapurnya lagi.
“Baik, Tante. Terimakasih.”
Hanya suara tegukan air yang terdengar di antara kami. Kue yang sering lengket di tenggorokan ini, sesekali macet. Membuat siapa saja yang menyantapnya akan tersedak jika sial. Aku salah satunya.
“Uhuk.. Uhuk...” langsung kuteguk air dingin dari dispenser agar kemacetan ini berakhir.
“Kau harus belajar bela diri, Yan,” Genta mencairkan suasana.
“Maksudmu?”
Ia tahu pasti kepribadian Ibuku. Tidak mungkin kalau beliau akan mengizinkan aku belajar bela diri.
“Kau tahu kan? ...”
“Iya, aku tahu. Pasti Tante tidak akan setuju kan?” ia melirik ke arah dapur.
“Kalau kau tahu, mengapa masih memberi saran tak masuk akal?”
“Maksudku...,” ia mulai mengecilkan volume bicaranya. “Kau belajar secara diam-diam.”
“Tidak, aku tidak mau.”
Aku menolak, resikonya terlalu besar. Kalau sampai Ibu dan Ayahku tahu, bukan hanya aku yang akan mendapatkan masalah. Genta pun akan terkena imbasnya.
“Kalau sampai nanti ketahuan, kau juga akan kena, Gen.”
“Apa kau punya ide lain?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Kalau kau tidak punya ide lain. Jangan coba menolak ideku ini. Pikirkan baik-baik. Sudah sore, aku pulang dulu ya? Salam untuk Ibumu.”
Suara motor Genta semakin tak terdengar. Aku masih terjebak dalam lamunan. Haruskah aku menjalankan ide gilanya itu?
Ah, otakku mandek. Tak bisa berpikir jernih sedikit pun. Kata-katanya barusan membuatku sadar. Selama dua tahun ke depan, Ferdi akan terus menjadi bayang-bayang.
Kuperiksa ponselku. Selama Genta bertamu tadi, aku tidak menggunakannya. Barangkali ada pesan yang masuk. Mungkin dari teman-teman yang menanyakan mengapa hari ini aku tidak masuk sekolah, atau mungkin Liana?
Benar saja. Dua pesan masuk dan salah satunya adalah pesan dari Liana. Kubuka pesan itu dengan perasaan senang. Sirna sudah kemandekanku.
“Mengapa kamu tidak masuk? Katamu, kemarin sudah baikan?”
“Aku demam. Ternyata luka di wajahku menyebabkan infeksi,” kukirimkan pesan balasan.
“Kamu harusnya menuruti perkataan Ibumu. Kalau kamu memeriksakannya ke dokter hari itu, pasti tidak terkena demam.”
“Hehehe.. Demam bukan berarti sakit kan? Artinya tubuhku sedang melawan virus yang berasal dari luka itu.”
“Besok kamu masuk sekolah?”
“Lusa, sepi ya di bus sendirian? Hahaha,” aku meledeknya.
“Tidak juga,” balasnya dengan emoticon tertawa.
Kau pasti merindukanku Liana. Aku tahu itu. Kalau kau tidak rindu, pasti kau tidak akan mengirimkan pesan padaku sore ini.
Terbangun sebelum alarm berbunyi adalah hal yang langka dalam hidupku. Pagi ini, aku sengaja berlama-lama di kamar. Ingin datang terlambat. Agar Liana menunggu dengan perasaaan was-was di dalam kelas.“Rian! Kalau kamu masih belum siap juga, pergi sekolah saja sendiri!!” teriak Ayah dari lantai bawah karena mulai naik pitam dengan kelambatanku.Sebenarnya aku sudah siap sejak dua puluh menit yang lalu. Berada di kamar hanya untuk menghitung waktu. Pukul berapa biasanya Liana datang. Dia harus datang lebih dulu.Waktunya sudah lewat. Aku segera turun ke bawah. Menyantap nasi goreng sosis buatan Ibu yang rasanya tidak pernah mengecewakan.“Kamu lambat sekali hari ini!” gerutu Ibu.“Maaf, Bu. Aku membersihkan lukaku dulu. Kata dokter kemarin harus benar-benar kering. Ibu dengar kan?”Ibu diam. Alibiku sukses.Di dalam mobil, Ayah menggerutu karena kesiangan membuka toko gara-gara kelambatanku.&
Pukul lima sore, untuk pertama kalinya, aku pergi ke stadion. Seumur hidup, baru kali ini aku menginjakkan kaki di track lari yang berbahan sintetis. Baru kurasakan sensasinya berlari di sini. Saat melangkahkan kaki, seperti ada sesuatu yang melemparkan kakiku kembali ke atas.Berlari di sini tidak lebih melelahkan dibanding di lapangan biasa. Aku jadi paham mengapa banyak orang berbondong-bondong kemari meskipun hanya untuk membakar lemak di tubuh.Karena tidak pernah berlari selain di pelajaran olahraga, aku mulai berlari santai di lima menit pertama. Belum lagi limah menit, nafasku tersengal-sengal. Aku memang buruk dalam olahraga. Waktu SMP, pengambilan nilai lariku pun tidak sebaik yang lain.Dada berdebar hebat. Degupnya terasa sampai menggetarkan tubuh bagian atas. Nafas terasa berada di ujung. Paru-paru seperti menjauh sehingga aku merasa engap ketika menghirup dan menghembuskan.Aku berhenti di tepi. Memegang kedua lutut berupay
Sakit dikhianati teman sendiri baru kurasakan. Meski memang Beno tidak bersalah, karena aku pun tidak mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya pada Liana, hanya saja kupikir ini semua terlalu cepat. Tidak ada satu manusia pun yang bisa menerima secara lapang dada atas kejadian yang kualami saat ini.Pikiran menyedihkan menguasai diri. Aku terlalu pengecut sebagai seorang laki-laki. Bertukar pesan dengannya pun aku segan. Menatap matanya pun aku tak mampu. Apalagi mengobrol dengannya seperti Beno yang sering kali kulihat saat jam sekolah. Tidak mungkin aku bisa melakukannya, aku terlalu pengecut.Riki sudah berbaur dengan anak-anak. Sementara itu, aku mengurungkan niat dan sesegara mungkin meninggalkan ruangan ini tanpa meninggalkan jejak kesedihan yang mungkin bisa terbaca dari tatapan mata atau ekspresiku.Tidak ada lagi alasan yang membuatku semangat untuk datang pagi ke sekolah. Aku menyesal karena tidak membaca pesan dari Beno. Tetapi, jika aku membacanya,
Wajah pertama yang tertangkap bola mata saat masuk ke kelas adalah Liana. Ia tersenyum lebar. Aku membalasnya dengan senyum lebar pula, meski pedih di hati. “Apa kau bahagia?”Hatiku meraung sangat kencang. Di dalam dada ini, ada sesak yang melekat dan menancap kemudian. Tubuhku seolah tertimpa benda paling berat yang pernah ada.Seandainya saja mental pada tubuh ini lebih berani untuk mendekatinya. Seandainya saja mulut pada tubuh ini berani mengutarakan perasaannya. Seandainya saja jemari pada tubuh ini mampu mengetik obrolan sederhana seperti yang Beno lakukan setiap malam. Seandainya saja tubuh ini tidak terlalu dimanja. Mungkin dia akan memilihku.Kebisingan kelas sama halnya seperti lagu elegi. Aku tidak bisa membedakan mana suara obrolan, mana suara bising, dan mana suara erangan juga amarah di hati. Di kepala, semuanya terasa sama.“Yan,” panggil Beno seketika. Aku terpaksa menoleh, meski jika boleh jujur,
Kaki kananku turun lebih dulu dari bus yang kuanggap sebagai bus terakhir bagi kebersamaan kami. Aku menyeberang jalan dengan setengah pikiran di mana-mana. Memiliki rasa yang sama dengan karib memang sangat menjengkelkan. Lebih-lebih, perasaanmu bertepuk sebelah tangan. Harga diri turun drastis ke jurang paling bawah.Aku melangkahkan kaki dengan setengah menyeret. Rasanya, hari ini sungguh melelahkan. Lebih melelahkan dari berolahraga. Lebih menyakitkan dari menerima pukulan. Lebih menyakitkan dari gagal ujian nasional. Kepalaku berusaha keras memainkan pikiran-pikiran yang tak berhubungan dengan Liana. Sementara itu, perasaan dalam diri ini terus mengusik dan menyakiti dirinya sendiri.Ketika kakiku menginjak halaman rumah, rasa lelah makin menjadi. Aku ingin segera tidur dan melupakan apa yang terjadi hari ini. Dengan perasaan kacau, aku menaiki anak tangga dan secepat mungkin menuju lantai atas, mengurung diri di kamar sampai waktu kembali pagi.***
Pukul empat sore, kami mengatur janji agar bertemu di pintu pertama Mal ABC. Rumahku yang terletak cukup jauh dari mal tersebut, membuatku harus berangkat lebih awal. Sebetulnya, menunjuk mal tersebut sebagai destinasi makan kami disebabkan karena untuk mengambil jalan tengah. Rumah kami saling berjauhan. Hanya rumah Liana yang berjarak dekat, itu pun karena satu arah. Sementara yang lain, selisih jaraknya bisa sampai belasan kilometer.Aku melirik dompet. Di dalamnya, hanya tersisa beberapa lembar uang berwarna kehijauan. Sudah hampir satu minggu aksi gencatan senjata kulakukan di rumah. Jumlah uang yang kumiliki di dompet tersebut, tak akan cukup jika ada kejadian tak terduga. Akhirnya, aku meraih kaleng bekas makanan yang tersimpan rapi di dalam lemari.Hanya untuk jaga-jaga, aku mengambil selembar uang berwarna kemerahan. Jika nanti uang tersebut tidak terpakai, maka akan kukembalikan. Aku memiliki niat untuk membeli baju seragam silat dan sepatu olahraga yang cuku
Sebelum berangkat sekolah, aku mengintip sisa uang yang kupunya di dalam dompet. Uang tabunganku pasti akan habis jika digunakan terus menerus. Mimpi untuk membeli seragam silat dan sepatu olahraga, pasti akan sirna jika hubunganku dengan Ibu di rumah tetap tidak berbaikan.“Mungkin pulang nanti aku harus jalan kaki. Uang di dompet ini harus hemat sampai satu minggu.” Aku berceloteh sendirian. Uang lima puluh ribu yang terdiri dari dua lembar sepuluh ribuan, selembar duapuluh ribuan, dan lima lembar dua ribuan, harus bisa kugunakan sebaik mungkin. Setelah bertekad, aku turun ke bawah dan bersiap untuk menunggu bus.“Rian.” Ayah yang tengah sarapan bersama Ibu dan Randi memanggilku yang hampir membuka pintu depan.“Apa, Yah?” tanyaku sambil tangan memegang engsel pintu.“Ayo kita berangkat bersama.” Sarapan di piringnya yang belum habis setengah, ditinggalkan begitu saja.“Oke.” Aku mengang
Malam ini, halaman gelanggang olahraga yang menjadi tempat latihan kami bersuasana beda. Biasanya, di pagar depan, beberapa penjual makanan seperti pedagang somay dan bakso arema mengharapkan pelanggan datang sepanjang malam.Tidak ada pedagang yang mengadu nasib. Jalan utama serta jalan setapak yang biasanya ramai pejalan kaki baik berpasangan atau dengan kawan, jarang kami lihat.“Malam ini begitu sepi,” kataku pada Genta disela istirahat kami. Kebetulan, Kak Roni meminta kami untuk membeli minuman isotonik di minimarket yang jaraknya hampir tiga ratus meter. Kami menempuhnya dengan berjalan santai.“Iya, ya. Tumben sekali hari ini sepi. Biasanya di depan sana,” Beno menunjuk tempat duduk yang dibuat dari beton, “banyak pasangan yang berduaan.”Mendengar kata pasangan, aku jadi teringat tentang Liana dan Beno. “Gen, apa kau pernah menyukai seseorang?”“Perna