Share

Titik Awal

Keributan terjadi di kantin pada saat jam istirahat. Anak-anak bercakap tak beraturan. Hanya satu kata yang kudengar berulang-ulang; Beno.  Aku berlari menuju kantin. Di sana, beberapa guru sudah memisahkan Beno dan Ferdi, senior kami, anak kelas XI.

Aku kehilangan momen yang berharga. Seharusnya tadi aku ada di sana saat mereka berkelahi. Pasti akan seru. Perkelahian seharusnya tak perlu dipisahkan.

Dari beberapa teman yang melihat kejadian itu secara langsung. Pertikaian itu bermula ketika Ferdi berusaha menggoda Liana.

Aku menghampiri Sela yang berdiri teguh di luar kantor guru. Wajahnya was-was. Beberapa kali ia menggigiti ibu jari sebelah kanannya.

“Jadi,” aku mulai merangkai kata yang pas karena melihat wajahnya yang begitu cemas. “Apa yang terjadi?”

“Kak Ferdi memukuli Beno tadi di kantin.”

“Bukannya guru sudah memisahkan?”

“Guru datang setelah lima menit Beno dipukuli. Tidak ada yang berani memisahkan. Semuanya malah sibuk berkumpul dan menyoraki mereka agar perkelahiannya makin seru.”

Aku melihat ke dalam ruangan. Terkejut aku ketika melihat Liana sedang duduk bersama mereka di dalam.

“Liana di dalam?” Tanganku menunjuk ke dalam. Aku melihatnya tertunduk beberapa saat. Mata ini menjelaskan kalau raut wajah itu tampak sangat menyesal. Mata ini juga melihat bagaimana tangannya terkulai di kedua pahanya.

“Iya, itu masalahnya. Ferdi itu sedang mendekati Liana akhir-akhir ini,” ungkap Sela.,

“Lantas?”

“Jadi ceritanya begini,” ia mulai menjelaskan. “Waktu Liana sedang mengantri di kantin, Kak Ferdi datang. Kamu tahu kan perilaku laki-laki saat sedang mendekati perempuan?” ia minta persetujuan.

“Iya, aku paham,” jawabku seolah-olah mengerti meskipun aku sebenarnya tidak paham.

“Kak Ferdi meminta Liana untuk duduk manis saja di kursi. Karena Kak Ferdi yang ingin membelikan makanannya. Tapi, Liana bersikeras tidak mau dan tetap mengantri.,” mulai ragu-ragu untuk menjelaskan.

“Lalu?”

“Liana marah dan meminta Kak Ferdi untuk tidak memaksanya. Beno mendengar ucapan itu karena memang Beno ikut berdesakan di dalam antrian. Beno berkata : “Kalau dia tidak mau, mengapa terus dipaksa? Begitu kira-kira.”

“Kak Ferdi tidak terima, merasa harga dirinya diinjak-injak oleh Beno. Kejadian itu dilihat oleh teman-temannya. Mereka meledek Kak Ferdi untuk memanas-manasi kejadian ini.”

“Lalu, Kak Ferdi melampiaskannya ke Beno, begitu?” Aku menerka-nerka kejadian selanjutnya.

“Iya, begitulah...”

Tebakanku tepat. Aku pernah menonton adegan yang ceritanya mirip seperti kejadian mereka. Seorang pria lugu sekali pun akan jadi serigala jika ingin melindungi perempuan yang disukainya.

“Sebenarnya, banyak sekali yang mendekati Liana sehari setelah kita sekolah. Tapi, ia sudah menyukai seseorang. Orang itu berada di kelas kita.” Sela melanjutkan.

Siapakah laki-laki beruntung itu? Mendengarnya dadaku tiba-tiba menjadi sesak. Antusiasme yang tadinya membuncah, hilang tanpa bekas. Apa mungkin seorang yang dimaksud itu Beno?

Kakiku melangkah meninggalkan Sela begitu saja. Aku terus melangkah, melewati kantor kepala sekolah, menaiki beberapa anak tangga, lalu terhenti sejenak.

Seperti tertembus peluru tajam,. Perasaan dalam diri berkecamuk, seperti saling berperang dan menusuk-nusuk tubuhku.  

Aku teringat momen di mana Beno meminta penjelasan kepada Liana mengenai soal matematika yang berhubungan dengan rumus jajar genjang tempo hari. Mungkinkah Liana suka dengan laki-laki yang humoris seperti Beno ? 

***

Beno menghampiriku, wajahnya penuh dengan lebam. Dari jauh, sebetulnya aku sudah tahu. Hanya saja aku berpura-pura tidak melihatnya. Saat ini, kepalaku terasa penuh. Apakah mereka akan pacaran?

“Lumayan sakit, Ben?” ejekku sambil menghibur diri yang sedang sakit sejadi-jadinya.

“Ya lumayan.,” ia meringis sesekali. “Kau lihat tidak perkelahian tadi?”

“Hmm.. Tidak, aku sedang kelas waktu kau berkelahi dengannya.”

“Ada-ada saja. Liana enggan menerima bantuannya, ia tetap memaksa. Kalau tidak mau harusnya jangan dipaksa.”

“Iya, aku sudah tahu.”

“Tahu dari siapa?”

“Sela.”

Tak lama berselang, aku melihat Liana berjalan dan terhenti di ambang pintu kelas. Sepasang matanya menatap ke arah kami. Ah, tidak. Ke arah Beno yang lebih tepat.

“Ben, bagaimana lukamu??” Wajahnya menunjukkan perasaan kuatir yang mendalam. Tak sedikit pun aku mendapatkan perhatiannya. Melirik pun tidak.

Liana memegang luka lebam Beno dengan jemarinya yang lentik itu. Pikiranku kacau, seandainya saja aku yang terluka. Pasti jemari lentik itu akan menyentuh wajahku. Haruskah aku memukuli Ferdi sepulang sekolah nanti?

“Aku baik-baik saja, Li. Ini hanya luka kecil.” Beno terkekeh dan tiba-tiba terlihat segar. Belum lagi lima menit ia mengeluh dan meringis kesakitan tadi.

Mereka berdua terlihat sangat cocok. Beno yang mampu mencairkan suasana dengan mudah, Liana yang penuh perhatian. Saat ini, aku merasa seperti butiran debu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain pura-pura memperhatikan percakapan mereka seperti teman yang baik.

“Benarkah? Maaf ya, aku yang membuatmu seperti ini.” Suaranya mewakili penyesalan yang teramat dalam.

 “Tidak, ini bukan karena salahmu.” Beno benar-benar pintar ber-ekting. “Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar.”

Aku mengalihkan pandangan keluar. Semakin lama, jika berdiam diri dan memaksa untuk bertahan, akan sulit tetap bersikap biasa saja.

“Ben, aku pergi membeli minum dulu ya di bawah,” mulutku lebih cepat bertindak. Ini adalah cara terbaik yang bisa kulakukan untuk menyingkirkan perasaan cemburu yang makin menjadi.

Kakiku melesat lebih cepat. Anak tangga semakin dekat. Udara segar seolah menyapa saat aku meninggalkan mereka. Harusnya dari awal aku melakukan ini.

“Belikan kami juga!” Teriaknya lantang agar aku yang sudah jauh bisa mendengar.

Setiba di kantin, saat hendak mengambil minuman di lemari es, aku tak sengaja mendengar percakapan Ferdi dengan teman-temannya. Ternyata, setelah perkelahian tadi, mereka masih berjibaku di sini. Benar-benar tidak tahu malu. Sudah dipanggil guru dan kepala sekolah, membuat onar, membuat keresahan, membuatku cemburu buta, mereka tetap bersikap santai.

“Kau yakin ingin melanjutkan masalah ini, Fer?” tanya salah seorang temannya, aku tidak kenal.

“Aku yakin. Harga diriku di depan mereka akan hancur jika aku tidak melanjutkan masalah ini!”

“Mereka siapa maksudmu?”

“Adik kelas kita.”

“Ya kalau kau benar-benar ingin melanjutkan masalah ini. Kami siap membantu.”

Aku menghitung jumlah Ferdi dan teman-temannya, tidak sampai sepuluh orang. Hanya enam orang, tapi kalau mereka semua menghajar Beno bersamaan, sama saja. Beno akan habis tak tersisa. Melawan satu saja kewalahan, apalagi enam.

Kupercepat langkah menuju kelas. Beno harus tahu rencana Ferdi. Kalau tidak, ia akan terluka. Aku tidak tahu di mana mereka akan menyerang Beno. Yang pasti, Beno harus tahu. Ia harus menghindar untuk sementara waktu.

“Ben!!” Aku menghampiri Beno dan Liana dengan nafas yang terengah-engah.

“Ada apa?” tanyanya heran denganku yang terburu-buru.

“Kudengar tadi waktu di kantin, Ferdi dan teman-temannya ingin menyerangmu.”

“Ohhh..”  

Entah jawaban santai itu memang berasal dari hatinya atau hanya ingin terkesan cool di hadapan Liana.

“Ohhh??” mataku mendelik padanya. “Kau tahu kan bahwa jumlah mereka sangat banyak kalau hanya untuk menghabisimu. Mereka berenam! Tahu kau!”

“Rian...,” ia mulai bicara. “Tenang saja, aku bisa menghindar. Untuk sementara aku akan pulang bersama teman-teman yang lain. Aku yakin, pasti mereka tidak akan berani menyerangku saat aku tidak sendiri. Sudah, tidak perlu cemas seperti itu.”

“Tapi, Ben.. Kalau sampai mereka menyerangmu bagaimana?” Liana lagi-lagi melontarkan pertanyaan yang membuatku dongkol.

“Tidak, orang seperti Ferdi hanya akan berani melawan saat musuhnya benar-benar lemah,” terang Beno.

Aku tidak banyak tahu tentang Ferdi. Justru, karena Beno berkelahi dengannya, aku jadi tahu siapa itu Ferdi. Kakak kelas yang ingin terlihat jago tapi dengan sistem pengeroyokan.

Beno sudah sepatutnya lebih tahu mengenai Ferdi. Ia tidak pernah sarapan, selalu makan di kantin saat istirahat pertama. Karena itu, melihat Ferdi adalah kegiatannya sehari-hari.

Sepertinya, bukan hanya aku saja yang mendengar percakapan pengecut itu di kantin. Teman sekelasku, Rikky juga mendengarnya. Ia memberi informasi yang sama.

“Sepulang sekolah nanti, kau jangan pulang sendiri,” pungkasnya.

“Tapi, aku berbeda arah dengan Rian.”

“Gampang, aku bisa memboncengmu.”

Aku sedikit lega dengan kebaikan Rikky pada Beno. Setidaknya aku bisa memastikan bahwa Beno akan baik-baik saja sepulang sekolah nanti.

Bu Deasy selesai menjelaskan materi hari ini. Aku membereskan barang-barang. Tidak seperti biasanya, Liana menungguku di depan kelas.

“Kau belum pulang?” tanyaku seraya mengenakan tas selempang.

“Menunggumu.”

Bahagia rasanya mendengar ucapan “Menunggumu” langsung dari bibirnya. Apakah ia pernah mengucapkan hal yang sama pada orang lain? Beno misalnya.

Aku berjalan di sampingnya. Sesekali menunduk dan tersenyum sendiri. Tak lupa juga untuk menyelaraskan langkah kakiku agar seiras dengan miliknya.

Baru kuperhatikan, ternyata ia selalu mengenakan kaus kaki yang panjang. Berbeda dengan anak lain, lebih suka mengenakan kaus kaki di bawah mata kaki atau sejajar dengan mata kaki.

Kuminta pada waktu agar ia melambat. Cuaca yang tidak terlalu terik semakin mendukung suasana ini. Apakah kamu juga menikmatinya, Liana?

“Aku tidak cerita pada siapa pun. Hanya kamu yang tahu,” ucapnya seakan-akan mengisyaratkan bahwa ia memiliki rahasia yang tak ingin diketahui yang lain.

“Hah? Maksudmu?”

“Sebenarnya, satu minggu ini, Ferdi selalu menggangguku waktu aku menunggu bus di halte. Ia selalu memaksaku untuk menaiki motornya. Aku tidak mau.”

“Lalu?” Aku penasaran dengan kelanjutan kisahnya.

“Dengan kejadian Beno pagi ini, rasanya aku tidak mau pergi menunggu di halte sendirian,” suaranya terdengar lesu. Wajahnya memerah seperti menahan diri untuk meneteskan air mata.

Jadi selama seminggu ini, selama aku berlelet-lelet membereskan barang-barangku untuk menyusulnya di halte, Ferdi menganggunya?

Keinginan untuk lebih cepat dan tangkas seketika muncul. Sejak kecil aku memang lamban. Sebagai anak laki-laki, aku memang jauh dari harapan. Melakukan hal apa saja, aku selalu lamban. Salah satunya mencatat pelajaran.

“Maaf ya, aku lamban kalau soal mencatat pelajaran. Mulai besok, kau tunggu saja aku. Aku akan lebih cepat.”

“Hahahaha...,” ia tertawa. “Bukan salahmu, kemungkinan besar adalah salahku. Karena seberapa keras pun ia berusaha, aku tidak akan menyukainya.”

Perkataan Sela tadi pagi terngiang lagi di kepala. Aku tertunduk lesu. Ia pandai sekali membuat moodku seperti sedang berada di roller coaster.

Aku tahu, Liana. Kau memang tidak menyukainya. Beno adalah laki-laki yang kau sukai. Tidak hanya Ferdi, seberapa keras pun juga aku berusaha, kau tidak akan pernah menyukaiku.

Suara klakson yang sengaja dibunyikan berkali-kali tiba-tiba terdengar. Diikuti oleh teriakan anak laki-laki yang sepertinya kukenal hari ini.

“Jangan menengok. Itu Ferdi,” ucapnya. Kulihat Liana menunjukan wajah  yang sangat tidak nyaman.

“Hai, Liana...” Ferdi menepikan kendaraannya. Suara klakson yang menyakitkan telinga itu pun tak terdengar lagi. “Ayo pulang bersamaku. Akan kuantar sampai di depan rumah.”

“TIDAK!”

Liana menolaknya dengan nada yang sangat tinggi. Inilah namanya puncak dari ketidaknyamanan. Akhirnya, luapan itu benar-benar meluap sampai tak tersisa.

“Aku tidak mau pulang denganmu!!” bentaknya lagi.

Ferdi turun dari motornya. Memegang tangan Liana. Aku tahu genggaman tangan Ferdi itu sangat kuat. Terlihat dari urat nadinya yang mengencang dan menonjol kehijauan.

“Aku tidak mau!!” Tangan mungilnya berusaha melepaskan genggaman tangan yang kuat itu.

“Kak, tolong lepaskan tangan teman saya,” pintaku padanya tiba-tiba dengan berani. Jika Beno ada di sini, pasti ia akan melakukan hal yang sama. meskipun aku tahu bahwa lelaki yang disukai perempuan yang bersamaku saat ini adalah sahabatku sendiri, sebagai lelaki aku tidak suka jika ada perempuan yang dikasari.

Aku mungkin bukan Beno yang berani melakukan adu jotos demi melindungi perempuan yang aku sukai. Aku bukan Ferdi yang bermuka tembok untuk mendapatkan Liana. Aku adalah aku, dan cara inilah yang kupilih untuk dilakukan demi melindungi orang yang kusayangi.

“Kamu kenal saya?!” Suaranya sedikit membentak.

“Tidak, saya tidak kenal.”

Mukanya memerah, emosinya sebentar lagi meluap. Akan kutunggu, bagaimana caranya rasa itu keluar? Pukulankah? Atau teriakan seperti yang Liana lakukan barusan?

Bukkk!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status