“Bagaimana latihan hari ini?” Genta bertanya setelah kami selesai latihan.
Aku tidak pernah berkeringat sebanyak ini sebelumnya. Benar-benar melelahkan. Sangat melelahkan. “Mengulang satu gerakan sebanyak seratus kali dengan kuda-kuda yang benar. Menurutmu bagaimana?”
Ia tertawa kecil dan berkata : “Aku dengar, berlatih seni tunggal itu lebih berat daripada tanding. Bebannya dua kali lebih berat, katanya seperti itu.”
“Benarkah?”
“Iya, Rina juga mengakui hal yang sama. Apalagi kalau ganda, kau harus bisa terbang, guntingan, bantingan, kuncian, dan sebagainya.”
“Aku tidak paham yang kau bicarakan.”
“Ya, kau memang belum paham. Tapi nanti, kelak kau akan paham.”
Kukira, latihan malam ini akan melanjutkan hafalan jurus yang kemarin. Padahal aku sudah menghafal 14 gerakan tersebut dua hari terakhir ini. Ternyata Kak Roni memiliki agenda lain yang mengagalk
Berlatih selama sebulan lebih memberikan manfaat yang kurasakan sendiri di tubuhku. Aku jadi jarang terkena flu, dan tubuhku terasa kencang. Bobot tubuhku pun berkurang sebanyak enam kilogram. Beratku yang semula tujuh puluh kilogram, kini menyusut jadi enam puluh empat kilogram.Aku jadi menyesal baru mengenal olahraga. Kenapa tidak dari dulu? Olahraga membuat perasaan di hatiku sedikit lebih baik dan menganggap bahwa semua hari sama menyenangkannya.Latihan yang intens membuatku tidak terlalu dekat lagi dengan anak-anak. Di kelas, aku sering menghabiskan jam istirahatku untuk tidur atau menyalin catatan jika aku tak sengaja tertidur saat jam pelajaran berlangsung.“Ayo ke kantin bersama!” seru Rikky di depan kelas.“Kalian saja, ya. Aku ingin di kelas.”Lagi, mereka pergi ke kantin tanpa kehadiranku. Yang pasti, keengganan untuk sekedar ke kantin bersama mereka membuat fisik dan perasaanku seolah seimbang pada tempatnya.
Mentari mulai memancarkan sinarnya dari celah kusen di kamarku. Akan tetapi, aku masih ingin berbaring di kasur. Aku tidak ingin beranjak dari bantal dan guling kesayanganku. Jika boleh, aku ingin tidur seharian dan tidak ingin berangkat ke sekolah.Semalaman, aku memikirkan ucapan Rikky dan Rina. Keduanya mengucapkan inti yang sama terhadap pergulatan emosi yang kualami. Selain itu, menuntaskan semua jurus semalam sangat menguras tenaga. Malam yang sudah berganti pagi belum mampu menghilangkan letih ini.“Rian... Bangunnn!!!” Ibu meneriakiku dari dapur.Aku mendengar panggilan itu. Tapi kuputuskan untuk kembali tidur lagi. Pikirku, lima menit lagi aku akan bangun.Aku terlelap. Sangat lelap, hingga aku menyadari tiba-tiba hujan lokal sedang menimpa kamarku.ByurrrAku terjaga dan melihat Ibu dengan gayung di genggamannya. “Bangunnn! Ini sudah pukul 06.30!”Mendengar waktu sudah sesiang itu, tubuhku la
Seorang pejalan kaki ditatap lampu keramaian. Diteriaki klakson kendaraan. Hening dalam kalbunya tetap menembus tulang. Sakit tapi tak ada obatnya. Dia adalah alasan mengapa tenda-tenda makanan masih menjajakan jualan. Dia juga alasan mengapa malam begitu sepi. Bukan, ini sudah pukul dua dini hari. Sekarang sudah pagi, bukan lagi malam yang menusuk-nusuk. Diam yang sembunyi, sembunyi dari balik jeruji malam. Kadang ia menusuk jiwa mana saja yang dikehendakinya. Dan selalu berhasil merenggut jiwa hingga mengubahnya jadi padam. Tanpa setitik pun terang yang tersisa. Terbangun karena alasan yang sama. Terbangun karena mimpi yang sama. Terus menerus hingga pejalan kaki itu acapkali enggan memejamkan mata. Entah apa kesalahannya di masa lalu. Batinnya layu, bahkan sesekali men
Hari pertama sekolah adalah saat bagi guru untuk berbasa basi, berbaik hati, sebelum akhirnya mereka menjelma menjadi singa atau harimau jantan dan betina yang ganas.“Selamat pagi, hari ini adalah hari pertama kalian menjadi keluarga baru di sekolah ini. Perkenalkan, nama saya Deasy Juwita. Saya akan menjadi wali kelas kalian selama satu tahun ke depan.”Bagiku, semua guru sama, berbaik-baik di hari pertama, kemudian mengganas sampai akhir kehidupan remajaku. Lulus SMA.Anak-anak di kelas sibuk berbaur. Hanya beberapa saja yang terlihat tidak mau tahu dengan suasana itu. Termasuk aku, yang semakin acuh dengan suara bising bercampur tawa. Namun, tiba-tiba dengan refleknya kepalaku menoleh ketika suara keras terucap dari bibir seorang perempuan yang tak asing, Sela, teman SMP yang kebetulan satu kelas lagi di jenjang ini.“Liana!!” teriak Sela.Sela menunjukan ekspresi yang riang. Nama yang disebutkannya seperti m
Hampir semua siswa tidak menyukai pelajaran matematika. Penjelasan yang diberikan di papan tulis tidak mampu aku pahami. Begitu pun Beno. Selain ramah, ternyata Liana juga anak yang pintar. Beberapa anak berkerumun di mejanya dan menanyakan materi yang sangat sulit kami pahami. Beno bangkit dari kursinya dan menghampiri Liana. “Aku tidak mengerti,” dalihnya membuatku ingin muntah. Ia pintar sekali mengambil kesempatan dalam kesempitan. Liana mengambil pensil dan menuliskan penjelasan yang mudah dimengerti pada buku Beno. “Jadi, kamu harus hafal rumusnya terlebih dahulu. Kalau kamu tidak hafal, sulit untuk mengerjakan soal ini. Masih ingat kan rumus jajar genjang sewaktu di SMP dulu?” “Ehhhmmm..” Ia kebingungan. Wajar, mana ada siswa yang menyukai matematika. Apalagi anak laki-laki. “Susah juga ya? Kalau aku menulis jawabanmu, sepertinya akan lebih mudah.” “Ben, kau harus mencoba. Kalau tidak bisa, baru bertanya lagi,”
Keributan terjadi di kantin pada saat jam istirahat. Anak-anak bercakap tak beraturan. Hanya satu kata yang kudengar berulang-ulang; Beno. Aku berlari menuju kantin. Di sana, beberapa guru sudah memisahkan Beno dan Ferdi, senior kami, anak kelas XI.Aku kehilangan momen yang berharga. Seharusnya tadi aku ada di sana saat mereka berkelahi. Pasti akan seru. Perkelahian seharusnya tak perlu dipisahkan.Dari beberapa teman yang melihat kejadian itu secara langsung. Pertikaian itu bermula ketika Ferdi berusaha menggoda Liana.Aku menghampiri Sela yang berdiri teguh di luar kantor guru. Wajahnya was-was. Beberapa kali ia menggigiti ibu jari sebelah kanannya.“Jadi,” aku mulai merangkai kata yang pas karena melihat wajahnya yang begitu cemas. “Apa yang terjadi?”“Kak Ferdi memukuli Beno tadi di kantin.”“Bukannya guru sudah memisahkan?”“Guru datang setelah lima menit Beno dipukuli.
Aku terhuyung-huyung. Kurasai bibirku kebas. Aku tersungkur, jatuh, menggelinding melewati beberapa anak tangga. Semua terjadi begitu cepat. Kupikir perkelahian tak ubahnya adegan film yang bisa diperlambat. Seperti yang kukhayalkan sebelumnya.Sepertinya kerikil mengenai wajahku. Mataku terasa perih, pipiku juga, kemungkinan berdarah. Bukan karena pukulan, tapi menggelinding dengan bebas. Berguling-guling beralaskan pasir dan kerikil.“Riannn!!” Liana histeris..Aku bangkit dengan setengah nyawa masih melayang. Langkahku gontai. Meski begitu aku tetap berupaya melangkah. Kuambil tangan Liana yang masih digenggam erat olehnya. Pandanganku sedikit kabur. Menggelinding bukanlah sesuatu yang menyenangkan seperti bermain perosotan. Ini nyata. Aku berkelahi untuk pertama kalinya.“Sudah puas? Tolong lepaskan tanganmu,” kurebut tangan Liana dengan sekuat tenaga. Liana langsung menyembunyikan diri di balik punggungku.Kutatap
Aku menolak ketika Ibu membangunkan untuk bersiap ke sekolah. Mataku terasa panas dan tubuhku juga menggigil. Dengan terpaksa, kuputuskan untuk tidak sekolah meski hati sangat menginginkannya.“Kalau orang tua bicara, makanya didengar! Kamu sakit, Ibu juga yang repot!” Ibu menggerutu sepanjang pagi hingga siang. Aku tak menyalahkan beliau, memang aku yang salah. Hanya saja, telinga ini punya batas dan punya hak untuk merasa bosan jika yang didengarnya adalah topik yang sama.Setelah menjemput Randy, adikku, Ibu membawaku ke klinik.“Kamu jatuh dari motor ya?” tanya dokter seraya membersihkan luka di wajahku.Niatku yang ingin menjawab pertanyaan dokter itu seketika hilang ketika Ibu langsung mengambil alih percakapan itu. “Anak saya belum diperbolehkan untuk mengendarai motor.”“Anak Ibu sudah kelas berapa?”“1 SMA.”“Sudah kelas 1 SMA belum bisa mengendarai motor?&rdqu