Share

Jadian

Pukul lima sore, untuk pertama kalinya, aku pergi ke stadion. Seumur hidup, baru kali ini aku menginjakkan kaki di track lari yang berbahan sintetis. Baru kurasakan sensasinya berlari di sini. Saat melangkahkan kaki, seperti ada sesuatu yang melemparkan kakiku kembali ke atas.

Berlari di sini tidak lebih melelahkan dibanding di lapangan biasa. Aku jadi paham mengapa banyak orang berbondong-bondong kemari meskipun hanya untuk membakar lemak di tubuh.

Karena tidak pernah berlari selain di pelajaran olahraga, aku mulai berlari santai di lima menit pertama. Belum lagi limah menit, nafasku tersengal-sengal. Aku memang buruk dalam olahraga. Waktu SMP, pengambilan nilai lariku pun tidak sebaik yang lain.

Dada berdebar hebat. Degupnya terasa sampai menggetarkan tubuh bagian atas. Nafas terasa berada di ujung. Paru-paru seperti menjauh sehingga aku merasa engap ketika menghirup dan menghembuskan.

Aku berhenti di tepi. Memegang kedua lutut berupaya mengembalikan pernafasan yang kembang kempis.

Meski begitu, aku tidak menyesal menginjakkan kaki di stadion. Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali. Dengan begini, aku jadi tahu batas kemampuanku. Aku akan rajin berlari, sehingga bisa mencapai empat menit. Berlari selama empat menit tanpa jeda adalah tujuanku saat ini.

“Sehebat apa pun teknik dalam silat, jika tidak diimbangi dengan fisik yang kuat, tak akan ada gunanya.” Kalimat itu diucapkan oleh Kak Roni semalam.

Berlari lima menit, berjalan dua menit, kulakukan itu seterusnya sampai delapan repetisi atau lari mencapai empat puluh menit. Minggu depan, targetku harus bisa berlari selama sepuluh menit tanpa henti. Pelan namun pasti.

Di repetisi yang ketiga, sebenarnya kalau boleh jujur aku sudah tidak kuat. Lutut terasa mau copot. Betis menegang, telapak kaki terasa kebas. Aku ingin menyerah di menit yang ke tiga pada repetisi ini, namun seketika bayangan Liana muncul. Seketika rautnya yang tak nyaman akan kehadiran Ferdi muncul tepat di hadapanku.

Kalau tidak berusaha menuntaskan target yang dibuat diri sendiri, apakah besok ada keinginan ini lagi?

Dengan sisa tenaga, aku menyelesaikan target hari ini sambil membayangkan wajah Liana.

***

Kaki terasa mau patah. Betis kencang sekali. Tumit nyeri, saat berjalan seperti ada yang bergerak; “kretek..kretek..”

Setiba di rumah, aku langsung mandi dan merebahkan diri di kasur kesayanganku ini. Kujadikan guling sebagai pengganjal kaki agar peredaran darah menjadi lancar dan pegal berkurang.

“Tuk..tuk..tuk..,” suara tangan seseorang mengetuk pintu.

“Buka saja.” Aku memang sengaja tak mengunci kamar. Kaki sudah begini pegal kalau harus mondar mandir membuka dan mengunci pintu, rasanya tak kuat.

“Ini Ibu buatkan susu untukmu.” Ibu menyuguhkan segelas susu hangat. Diletakkannya segelas susu coklat itu di meja belajar yang berada tepat di sebelah kasur.

“Tumben, Bu,” ucapku terheran. Ibu biasanya membuatkan susu di pagi hari. Sebelum mandi, beliau berkata bahwa tubuh kami harus dihangatkan dengan cara meminum susu agar tidak masuk angin.

“Kamu kan habis olahraga,” jawab Ibu datar.

Langsung kuraih susu coklat itu dan meneguknya. Nikmat sekali. Entah sugesti atau bukan, setelah meneguk susu, pegal dikaki terasa lebih baik.

“Mana pernah Ibu melihatmu olahraga. Keluar kamar saja malas.” Ibu membawa gelas bekas susu coklat itu lalu beranjak pergi.

Menikmati malam yang hening, dengan kedua kaki terganjal guling kesayangan, meneguk susu yang telah dibuatkan Ibu, aku layaknya seorang yang kaya raya. Seperti film-film luar negeri yang sering menampilkan adegan seperti ini. Bedanya, susu itu diganti dengan minuman keras.

Bintang di angkasa cukup banyak jumlahnya malam ini. Aku mencari-cari bintang yang paling terang. Dari jendela kamar, kerlap kerlipnya sungguh menenangkan jiwa.

***

Hari ini, Rabu, adalah jadwal latihan bersama Genta. Kalau senin lalu aku berbohong akan mengerjakan tugas kelompok. Kali ini, aku berbohong sedikit. Ingin bermain bersama Genta di rumahnya.

“Memangnya Genta tidak latihan silat hari ini?” tanya Ibu seraya menyiapkan makan malam.

“Ibu tahu jadwal latihannya Genta?” Aku kaget tak menyangka.

 “Iya, dia pernah bercerita pada Ibu.”

  Gawat!

Ibuku sudah paham betul dengan kegiatan Genta. Berteman selama tiga tahun, terkadang Ibuku seperti Ibunya juga.

“Oh ya, kalau nanti dia berlatih aku juga mau lihat. Siapa tahu aku tertarik.”

“Tertarik apa?” Ekor mata Ibu menukik tajam.

“Ikut silat juga, Bu.”

“Ah, tidak-tidak,” beliau menolak keras. “Ibu takut kamu cedera.”

 “Aku sudah besar, Bu. Masa apa-apa tidak boleh. Lagi pula, aku ini anak laki-laki! Sudahlah, aku pamit.”

Sampai kapan aku akan menjadi anak kecil seperti ini, aku tidak tahu. Kadang, terbesit keinginan untuk sesekali melawan kehendak mereka. Seperti yang kulakukan saat ini. Hidupku adalah punyaku, aku berhak menentukannya.

Setibanya di tempat latihan, Genta dan Kak Roni sudah menunggu. Aku meminta izin untuk berganti baju.

Baru kuperhatikan, ternyata jumlah anak perempuan yang belajar silat cukup banyak. Aku jadi berpikir, bagaimana mereka bisa membuat orang tua mengizinkan  ya? Hmm.. Mungkin orang tua mereka tidak serumit orang tuaku.

Kata Genta, perempuan yang berbaju biru, berada tepat di arah jam dua belas, namanya Rina.  Tahun lalu dia berhasil masuk kancah provinsi.

“Dia mendapat juara III O2SN SMP Provinsi kategori Tunggal.”

“Tunggal?” tanyaku seraya meneguk air mineral.

“Oh, iya...” Ia paham bahwa aku adalah orang awam. “Jadi, di pencak silat itu ada dua perlombaan. Yang pertama kategori Tunggal dan Tanding. Kalau tanding kamu sudah tahu kan?”

Aku mengangguk serius mendengarkan.

“Nah, kalau kategori tunggal ini kita memperagakan jurus yang sudah baku. Maksudnya sudah ditentukan. Tidak boleh diubah lagi.”

“Ohh..” Aku menangkap maksudnya. “Mirip seperti jurus-jurus begitu?”

“Yuppp..” Ia menepuk bahuku. “Kau tahu tidak? Rina itu cinta mati sama silat. Lebih daripada siapa pun di sini. Kalau soal urusan latihan, dia tidak pernah absen. Mau sakit separah apa pun, kalau belum rebah, dia akan tetap latihan.”

Hebat sekali semangatnya. Batinku bergeming.

“Tahun ini, dia ingin menyabet juara I O2SN SMA tingkat Provinsi,” sambungnya lagi. “Tapi, kata Kak Roni, untuk masuk ke kota saja belum tahu nasibnya.”

“Mengapa?”

“Rina bukan di jenjang SMP lagi, tapi di SMA. Kak Roni mengenal beberapa atlet seni di SMA, dan lumayan berat untuk mengalahkan mereka. Mengingat dari segi Rina masih kelas X.”

“Aku percaya bahwa Rina bisa melakukan yang terbaik.”

“Iya, kita lihat saja nanti hasilnya,” Genta menutup percakapan.

Latihan kedua ini lebih melelahkan. Selama dua jam penuh, aku hanya berlatih kuda-kuda yang benar. Mungkin juga karena kakiku masih terasa kencang setelah lari kemarin. Bukan cuma kaki dan tangan saja yang pegal, bokong pun terasa kebas.

“Dua minggu lagi pasti terbiasa,” ujar Kak Roni ketika menghampiri. Aku yang masih baru memang sengaja diminta untuk berlatih sendirian.

“Yaaaa, Kak,” jawabku tersendat. Berbicara sambil menahan paha dan bokong yang pegal luar biasa bukanlah hal yang mudah.

“Ayo semangat. Supaya kakak kelasmu takut.” Kak Roni menyeringai.

***

Aku tiba di rumah dengan keadaan tubuh tak bisa bergerak dengan semestinya. Untuk berjalan ke teras rumah yang posisinya lebih tinggi dari garasi saja kaki sakitnya bukan main.

“Kaki kamu kenapa?” Ibu menelisik saat aku melewati ruang tamu. Ayah, Ibu, dan Randy sedang menonton tv bersama.

“Kamu ikut latihan silat ya?” Pertanyaan Ibu mulai terdengar mencecar.

Kalau bicara bohong pasti akan ketahuan juga. Tubuh sudah keadaan begini, lebih baik berkata jujur saja. “Iya, aku ikut latihan silat.”

Masa bodoh kalau beliau ingin marah malam malam begini. Sampai kapan aku harus tetap di ketiak Ibu? Sementara teman-temanku sudah melanglang buana menentukan cara mewujudkan impiannya.

“Ibu kan sudah bilang! Latihan silat itu berbahaya!”

Mendengar itu, sebenarnya aku sudah biasa. Tak ada yang berbeda dari ucapan-ucapan sebelumnya. Hanya, kali ini kuping terasa panas. Tubuh sudah minta istirahat, boro-boro bisa rehat.

“Aku sudah lima belas tahun, Bu! Menentukan kegemaranku sendiri, masa tidak boleh juga?”

“Siapa yang bilang tidak boleh?” Ibu mulai membela diri. “Sah-sah saja kalau kau mau menentukan kegemaranmu. Tapi mengapa harus silat?!!”

“Sudahlah, Bu. Sudah malam, aku malas berdebat.”

Menentukan kegemaran harus mendapatkan persetujuannya? Sama saja tetap berada di ketiak Ibu.

Aku meninggalkan Ibu yang masih menatap tajam. Saat menaiki anak tangga, kedua tanganku berpegangan pada sisinya. Berjalan biasa saja payah, apalagi melangkahi tangga.

***

Pagi kembali datang, aku mogok makan dan tidak mau diantar ke sekolah. Pagi-pagi benar, aku sudah berdiri menunggu bus datang. Aku punya tabungan dari sisa uang jajan setiap harinya. Jadi, aku bisa makan di kantin sekolah untuk beberapa waktu. Itu lebih baik daripada harus makan sambil mendengarkan omelan Ibu.

Baru saja menginjakkan kaki di gerbang sekolah, Rikky, yang baru memarkirkan motornya, menghampiriku. Berita tak terduga sekaligus menyakitkan sangat membuat hari ini begitu buruk.

“Beno dan Liana sudah resmi berpacaran.”

“Kapan?” Aku terbelalak. Kupikir, setelah perhatiannya yang ia berikan beberapa waktu ini, ia menaruh hati. Ternyata tidak, aku tetap kalah dengan Beno.

“Semalam. Kau tidak tahu? Beno semalam menghubungimu, tapi kau tak menggubris.”

Aku merogoh ponsel di saku celana. Ada dua sms yang masuk. Pertama dari Beno, kedua dari Genta. Karena perselisihan yang terjadi semalam, aku langsung mandi dan tidur. Tidak terbesit untuk melihat ponsel.

Beno mengirim pesan pada pukul 8 malam. Waktu di mana aku masih berlatih silat bersama Genta.

“Aku ingin menyatakan cintaku pada Liana. Bagaimana menurutmu?”

Dalam hati, syukurlah aku tidak membaca pesan ini semalam. Kalau tidak, mood-ku pasti akan benar-benar dirusak olehnya dan kejadian semalam akan lebih parah lagi. Mungkin aku akan melampiaskan kekesalan ini pada Ibu.

“Beno tidak tahu kalau kau menyukai Liana,” ucapnya lagi yang spontan membuatku terperanjat. Bagaimana anak ini bisa tahu perasaanku?

“Apa maksudmu?” Aku berusaha menutupinya.

“Rian,” ia menepuk pundakku. “Aku ini tidak bodoh. Kau anak yang baik, aku tahu dari Sela. Sejak SMP kau tidak pernah berbuat ulah. Kemarin kau rela berkelahi dan terluka demi Liana. Apa itu belum jelas?”

Kalimat yang benar-benar telak, aku tak bisa berbohong lagi. “Ya, aku memang menyukainya sejak hari pertama kita masuk sekolah.”

“Lantas, mengapa kau tidak mendapatkannya?”

“Beno yang lebih pantas. Mungkin, di matanya.”

“Aku harap secepat mungkin kau bisa menerimanya. Beno adalah teman baikmu bukan? Mungkin kau harus belajar berbahagia karena kebahagiaannya.”

Tak mampu lagi kubendung perasaan ini. Ia seakan minta dimuntahkan, diluapkan, diteriakkan. Tapi ini bukan momen yang tepat. Kegiatan belajar belum juga dimulai. Cepat-cepat kuperbaiki raut wajah sebelum masuk ke kelas.

“Rian!!” Beno berteriak memanggil. Ia menarikku ke pojok kelas. Mukanya sumringah, bersinar, dan bahagia.

“Ada apa?” tanyaku pura-pura tak tahu.

“Kau tahu, aku resmi berpacaran dengan Liana!!”

“Wahh! Bagus, kau berhasil mendapatnya. Selamat ya!” Bahunya kutepuk dengan kuat.

Tidak mudah mengolah perasaan dengan waktu yang sesingkat ini. Tidak mudah juga bagiku mengucapkan kata “Selamat” itu. Butuh keberanian yang besar, dan aku sendiri tidak tahu darimana datangnya keberanian ini.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Teresa Ruffolo Scrivano
how can I get it in English
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status