Share

Pencak Silat

Terbangun sebelum alarm berbunyi adalah hal yang langka dalam hidupku. Pagi ini, aku sengaja berlama-lama di kamar. Ingin datang terlambat. Agar Liana menunggu dengan perasaaan was-was di dalam kelas.

“Rian! Kalau kamu masih belum siap juga, pergi sekolah saja sendiri!!” teriak Ayah dari lantai bawah karena mulai naik pitam dengan kelambatanku.

Sebenarnya aku sudah siap sejak dua puluh menit yang lalu. Berada di kamar hanya untuk menghitung waktu. Pukul berapa biasanya Liana datang. Dia harus datang lebih dulu.

Waktunya sudah lewat. Aku segera turun ke bawah. Menyantap nasi goreng sosis buatan Ibu yang rasanya tidak pernah mengecewakan.

“Kamu lambat sekali hari ini!” gerutu Ibu.

“Maaf, Bu. Aku membersihkan lukaku dulu. Kata dokter kemarin harus benar-benar kering. Ibu dengar kan?”

Ibu diam. Alibiku sukses.

Di dalam mobil, Ayah menggerutu karena kesiangan membuka toko gara-gara kelambatanku.

“Besok kalau begini lagi, kamu berangkat sendiri!” bentaknya.

Melihat raut wajah Ayah yang kesal, buru-buru Ibu mendorong pagar. Aku juga menggerutu dalam hati. Kalau Ayah membelikanku sepeda motor, pastinya aku tidak akan merepotkan. Lagi pula, hanya hari ini saja aku datang terlambat.

Karena berangkat lebih siang, suasana sekolah sudah ramai. Banyak orang tua yang menepikan kendaraannya di depan gerbang sekolah. Ayah menurunkanku agak jauh untuk menghindari kemacetan.

“Jalan kaki sana. Ini juga gara-gara kamu!”

Setelah turun, Ayah mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Apa toko yang terlambat buka 20 menit akan kehilangan pelanggan selamanya? Benar-benar.

Saat melintasi lapangan sekolah, Rikky merangkulku dari belakang, dari ekspresi wajahnya aku tahu maksudnya. “Kau telah membuat masalah besar.”

Seperti yang sudah dibayangkan, kabar mengenai perkelahianku dengan Ferdi telah menyebar luas. Dan itu tak bisa dihindari. Aku sudah masuk dalam daftar orang yang bermasalah dengan Ferdi demi Liana, sama seperti Beno.

“Iya, aku tahu,” jawabku seringan mungkin meskipun dalam jantung ini terasa sekali debarnya.

“Kalau kau ingin melawannya hanya dengan dorongan pamungkasmu, kau akan kalah.”

Aku diam. Diam adalah cara untuk membuat diri tidak semakin panik. Dorongan kemarin hanyalah sebuah keberuntungan bagiku. Fisikku yang lemah ini, tidak akan mampu melawan Ferdi.

Apa yang harus kulakukan? Mendengar cerita dari teman-teman, Ferdi bukanlah anak yang mau menyelesaikan masalahnya di meja kepala sekolah. Pasti akan ada kelanjutannya. Pasti.

Terbesit olehku tentang tawaran yang diberikan Genta kemarin sore. Tapi, belajar pencak silat bukanlah hal yang mudah. Bukan seperti di film yang hanya membuka aliran tenaga dalam, maka kau akan mengalahkan semua orang.

Menurutku, pencak silat adalah bela diri yang lebih menakutkan di bandingkan dua rivalnya. Aku pernah melihat pertandingan Genta. Dimana ia membanting, menggunting, dan menyapu lawannya hingga terjatuh. Bahkan kala itu, ada atlet yang kakinya patah karena menerima sapuan dan guntingan terus menerus. Nyeri sekali membayangkannya.

Jika aku belajar, perlu waktu berapa lama bagiku agar bisa menguasai pencak silat dan mengalahkan Ferdi? Apakah aku harus menerima tawaran Genta untuk memberikan Ferdi pelajaran? Menyebalkan.

Tapi, kalau aku sampai meminta Genta untuk menghajarnya, maka kupastikan tak akan berani memamerkan wajahku ini pada Liana.

“Saranku, kau harus menghindar sementara ini,” Rikky menghancurkan lamunanku. “Jangan menunggu bus di halte itu lagi.”

“Tidak bisa,” aku menolak. Kalau aku menghindar darinya, siapa yang akan menjaga Liana? “Lagipula hanya dengan naik bus itu aku bisa sampai di rumah.”

“Hei, kau bisa pulang bersamaku atau Tony.”

“Tidak, aku tetap ingin naik bus.”

“Terserah kau saja!” Ia meninggalkanku dengan wajah marah yang kental.

Manusia lemah ini akan lebih lemah lagi kalau ia tak mampu menjaga orang yang disayanginya.

Bel masuk berbunyi ketika kaki baru saja melangkah ke ambang pintu kelas. Bu Deasy ternyata sudah berjalan tepat di belakangku. Selagi berjalan menuju bangku, diam-diam mataku melirik ke arah Liana. Lirikanku tak disambut karena ia sedang mengeluarkan buku pelajaran dari tasnya.

Ketika jam istirahat tiba, kukirimkan sebuah pesan pada Genta: “Kapan saja jadwal latihan silat?”

“Senin dan Rabu pukul tujuh malam. Tertarik?” ia membalas  beberapa menit kemudian.

“Kita lihat saja nanti. Di tempat kau biasa latihan kan?”

“Iya. Kutunggu.”

Dari tempat duduknya, kulihat Liana memperhatikan. Tatapan itu sangat bermakna kalau diperhatikan lagi di kedalaman matanya. Bolehkah aku menerka pikirannya? Mungkin saja ia sedang bertanya lewat tatapannya itu: “Masih sakit?” Dan kujawab lagi dengan tatapan yang tak kalah dalam : “Tidak. Sudah sembuh karena melihatmu.”

Ketenangan yang kuharapkan di hari pertama ini luntur. Ferdi datang ke kelasku sebelum jam istirahat berakhir di menit-menit sisa.

Aku beranjak dari kursi, bersedia untuk memberikan perlawanan kalau-kalau ia berani mencari masalah.

Ternyata dugaanku salah, ia hanya memandangku, lengkap dengan senyuman sinis bak meremehkan diri yang lemah ini dan berlalu.

“Dia tidak akan berani mencari masalah di sini. Kudengar, kemarin ia marahi habis-habisan oleh Pak Hendri. Karena dalam satu hari sudah bermasalah denganmu dan Beno. Orang tuanya juga kemarin sudah dipanggil. Kalau dia masih membuat onar lagi, Pak Hendri akan mengembalikan Ferdi ke kedua orang tuanya,” terang Liana.

Jarak antara aku dan dia memang tidak cukup jauh. Bahkan kalau kami mau, kami bisa berbicara dengan volume kecil saat jam pelajaran.

“Begitu ya?”

“Iya. Kamu tidak apa-apa kan?”

I’m fine..”

Kehadirannya menjadi tanda bahwa mau tidak mau, diizinkan atau tidak, aku harus belajar pencak silat.

***

Senin malam, aku datang ke unit latihan di mana Genta berlatih. Ia memperkenalkanku pada pelatihnya.

“Ini teman saya, Kak. Yang saya ceritakan kemarin,” ucap Genta memulai percakapan.

“Halo,” sapa pelatih itu.

Aku menyapa pelatih Genta yang mulai hari ini resmi menjadi pelatihku juga. Namanya Kak Roni. Kalau diperkirakan dari wajahnya, usianya kira-kira belum genap 30 tahun, mungkin nyaris atau dua-tiga tahun lebih muda.

Latihan perdanaku sama seperti bela diri pada umumnya. Pukulan lurus. Tanpa pelatih pun sebenarnya aku bisa. Hanya kepalkan kedua tangan, lalu luruskan ke depan, secara bergantian. Baik kanan maupun kiri.

“Sebelum mendalami silat, kamu harus paham mengenai dasar-dasarnya,” jelas Kak Roni lalu mencontohkan gerakan gerakan dasar.

“Seperti ini..,” ia menunjukan cara memukul dengan lurus dan benar. “Kalau pukul lurus, jangan putar tanganmu di bahu, tapi putar saat tanganmu di depan. Daya ledaknya akan lebih besar.”

Aku mulai mempraktekannya.

“Ulangi sampai seratus kali ya? Tangan kanan dan tangan kiri lakukan secara bergantian.”

Apa yang terlihat, ternyata tak semudah yang dibayangkan. Belum genap melakukannya sebanyak tiga puluh kali, tanganku sudah terasa lemas.

Aku mengerahkan seluruh tenaga yang kupunya. Tak jarang, ketika Kak Roni melihat anak yang lain, aku melakukan dengan asal-asalan.

Ketika hampir selesai melakukannya. Kak Roni menyambangi. “Untuk pemula, kalau tidak berkeringat, berarti orang itu melakukannya tidak benar.”

 “Tapi, menurut saya yang kamu lakukan ini biasa. Namanya baru pertama kali belajar bela diri. Dulu, waktu saya juga pertama kali memukul sebanyak seratus kali, saya sering tidak serius melakukannya,” tambahnya lagi.

“Maaf, ” aku sungguh merasa tidak enak. Jangankan memukul sebanyak seratus kali, memukul tiga puluh kali dengan benar pun, aku rasa tak akan sanggup.

“Iya, untuk latihan selanjutnya, kamu harus lakukan dengan benar ya!”

Pagi kembali menyapa, seluruh tubuhku terasa tak enak. Tangan sakit, tepatnya lengan di bagian atas. Kucoba mengangkat kedua lenganku melewati bahu, nyerinya lumayan menyusahkan. Tak hanya lengan, dada bagian kanan dan kiriku juga merasakan imbasnya.

“Itu biasa. Otot manusia memang saling berinteraksi. Kalau rusukmu terasa sakit hari ini, berarti latihan kemarin kau melakukannya dengan serius. Besok datang lagi ya?” Genta mengirimkan pesan balasan padaku. Aku memang mengirimkan pesan, mengeluhkan sakit tubuhku padanya.

“Serius?” Aku tertawa dalam hati. Padahal semalam aku tidak melakukannya dengan sepenuh jiwa dan raga. Apalagi kalau aku melakukannya dengan benar, pasti apa yang kurasakan lebih lagi. Ini adalah imbas dari tubuh yang tak pernah bergerak. Hanya makan, tidur, dan duduk berjam-jam.

Aku datang ke sekolah dengan semangat yang luntur. Setiap kaki melangkah atau pun melakukan kegiatan yang membuat tubuh menerima gaya gravitasi, sisa-sisa pegal kemarin bertamu.

“Kamu kenapa hari ini? Mengapa lesu sekali?” Liana bertanya dari bangkunya.

Sebegitu terlihatkah letih dan lesu di wajahku karena latihan semalam?

“Ah, tidak,” aku mengelak. “Aku belum sarapan pagi ini. Kesiangan.”

“Benarkah? Aku jarang sarapan pagi. Tapi tidak pernah lemas sepertimu.”

“Iya, aku tidak pernah melewatkan sarapan pagi. Ibuku selalu menyiapkannya.”

“Wah, aku salut pada Ibumu.”

Kalau dia tahu alasan kenapa aku lemas pagi ini, pasti dia akan terharu. Belajar bela diri untuk melindunginya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status