"Nduk, bangun!" suara panggilan Ibu membangunkanku dari alam mimpi.
Mataku perlahan terbuka, namun kepalaku rasanya berat dan pusing. Bahkan untuk bangun saja aku malas beranjak dari tempat tidur.
"Salma, buka pintunya! Nyonya Besar Kinanti sudah menunggumu di meja makan." Ibu berkata kembali sembari mengetuk pintu.
Suara wanita pemilik bibir tipis itu terdengar pelan. Aku tidak bersemangat untuk bangun menemui Nyonya Besar Kinanti, Den Abimanyu dan juga Nyonya Nadia. Sedikit pun tidak ada seleraku untuk makan. Berdiam diri di dalam kamar dan tarik selimut adalah pilihan yang tepat.
Sekarang aku baru menyadari kalau Nyonya Besar Kinanti, menampung kami hanya untuk mengadaikan hargai diri padanya.
Di ruangan yang luas ini lelakiku duduk berhadapan dengan ibunya. Posisinya bagai seorang terdakwa yang menunggu vonis hukuman mati. Tentu saja Nyonya Besar Kinanti harus menyelesaikan masalah kami karena dari dialah masalah ini berawal. Sekarang ini masalah yang timbul harus segera diselesaikan karena sudah muncul ke permukaan. Selama duduk di ruang bak persidangan ini aku dan juga Nyonya Nadia hanya saling diam dan menjauh dari Den Abimanyu. Jarak diantara kami terpisah oleh Nyonya Besar Kinanti dan Den Abimanyu. Netraku menatap lelakiku dengan miris, pria yang telah memberiku sentuhan itu hanya menunduk menghadap ibunya. Aku hanya memperhatikan nyonya besar dengan fokus saat duduk berhadapan dengan Den Abimanyu. Bagai terdakwa pesakitan lelakiku disidang u
Setelah persidangan itu selesai Den Abimanyu meminta kami untuk kembali ke kamar masing-masing. Lelaki berhidung mancung itu tak bisa berbicara apa-apa lagi selain menunggu perintah sang Ibunda tercinta. Begitu pun juga denganku dan Nyonya Nadia tak bisa berbuat banyak. Karena dari Nyonya Besar Kinanti semuanya berawal hingga timbul gejolak Nyonya Nadia untuk memberontak pada suaminya. Saat aku memasuki kamar telah banyak berubah dari mulai cat yang berganti hingga gorden yang diikat sisinya bergelembong. Tak lupa juga ranjang dengan sprei yang menjuntai ke bawah dan juga lemari jati yang terukir indah terlihat baru. Mata akan dimanjakan dengan pemandangan yang indah saat berada dalam nuansa kamar layaknya pengantin baru. Saat aku sedang di kamar Ibu datang, namun tak bertanya hal apa pun tentang diriku. Mungkin ia tahu kalau kondisiku sekarang sedang tidak baik. Wanita
Lagi kukuatkan hati ini agar tak menangis di hadapannya. Sebisa mungkin aku tak menjatuhkan air mata bila melihat lelakiku bersanding dengan istri pertamanya. "Sabar ya, Nduk. Jangan putus asa, tapi perbanyaklah zikir dan do'a mudah-mudahan semua akan berbuah manis suatu hari nanti." Ibu menghiburku di saat aku sedang terluka dan bersedih. Hanya Ibu satu-satunya orang yang mengerti penderitaanku sebagai istri yang dimadu. Memang dalam kehidupan manusia tidak ada yang abadi apalagi kebahagian dan penderitaan. Semuanya pasti akan berakhir pada masanya yang tepat bila waktunya telah tiba. Aku harus menguatkan hati ini ketika kudengar berita dari Nyonya Besar Kinanti lelakiku ak
Sore itu, kala senja hampir saja tengelam di ufuk barat aku duduk di bawah pohon akasia yang menjulang tinggi. Debaran angin sepoi-sepoi menyapu wajahku hingga mempermainkan rambutku yang sebatas bahu melambai-lambai tertiup angin. Di bawah pohon ini aku membaca buku novel sebuah karya dari penulis terkenal Asma Nadia, surga yang tak dirindukan. Anganku melambung tinggi memikirkan lelakiku nun jauh di sana. Lagi apakah dirinya di sana? Mungkin ia sama sepertiku yang di sini sedang merindukannya dan menanti kedatangannya? Ah, mana mungkin ia memikirkanku. Sedangkan dirinya sedang menikmati bulan madu bersama pujaan hatinya. Mengapa aku masih mengharapkan lelaki itu yang sudah jelas-jelas tak bisa menepati janjin
Kuseret kaki ini menuju kamar sebisa mungkin aku bertahan agar tidak jatuh saat menuju taman belakang. Di ruang itulah aku sering menangis menumpahkan segela kekesalan yang ada dalam hati. Pandanganku mengablur, kepala terasa pusing dan pandangan juga berkunang-kunang. Aku berharap tidak akan pingsan saat berjalan menuju taman belakang tempat para pembantu biasa berkumpul. Jika sampai aku pingsan maka sudah pasti akan dituduh cari perhatian. Lambat-laun kaki ini sampai juga di taman belakang. Aku duduk di bangku taman dengan menyandarkan kepala yang terasa berdenyut. Butuh waktu yang lama untuk tiba di sini dalam keadaan tak baik. Kurebahkan diri ini dia atas kursi panjang agar bisa merenggangkan kaki, namun sebuah suara mengagetkanku.
Malam yang kulalui sendiri tak pernah berharap Den Abi Manyu datang kembali. Lelah aku menanti janjinya yang tak kunjung ditepati. Biarlah kusimpan kerinduan ini tanpa jeda, sementara yang kunanti tak kunjung tiba. Tidak mungkin juga aku minta pada lelaki itu untuk mendekatiku dan menemuiku sementara ia tak mau meninggalkan wanitanya. Nyonya Nadia terlalu berharga untuknya hingga ia tak rela berpisah atau menjauh dari pujaan hatinya. Sudah lewat beberapa hari sejak ia menangis bersama di kamar itu, dirinya tak pernah kembali menemuiku. Aku pun hanya bisa pasrah meratapi nasib seperti digantung statusnya janda bukan, istri pun tidak digauli. Di meja makan ini kami bertemu, itu pun tidak bertegur sapa hanya saling diam m
Aku tersentak ketika mendengar suara azan berkumandang. Kulirik jarum jam diatas dinding menunjukkan pukul empat sore. Selama lebih satu jam aku tertidur dalam posisi duduk hingga membuat kakiku terasa membeku dan kram.Berjalan tertatih sembari berpegangan menuju ke kamar mandi untuk melaksanakan salat asar. Aku mengambil air wudhu setelah selesai barulah menghamparkan sajadah dan menunaikan kewajiban.Selesai salat kupanjatkan rangkain doa dan memohon pada sang pencipta. Kembali air mata ini berurai memohon pada-Nya. Berharap bisa menyelesaikan masalah tanpa harus meninggalkan masalah.Lepas menunaikan kewajiban lima waktu, aku terduduk di tepi ranjang. Memutar otak agar bisa menghindari pertemuan dengan Den Abimanyu. Nyonya Besar Kinanti pasti akan memintaku untuk makan bersama di meja
"Kamu harus ikut bersamaku, Salma. Aku tidak bisa membiarkanmu ada di sini dengan laki-laki durjana seperti Saka. Hatiku tidak tenang meninggalkanmu sendiri bersama lelaki asing," tegas Den Abimanyu.Den Abimanyu menarik tanganku dengan paksa untuk mengikutinya. Aku terkesiap dengan kelakuannya yang tiba-tiba saja memaksaku untuk ikut. Atau jangan-jangan ia cemburu pada saudara sepupunya. Ah, entahlah. Lelaki itu sulit ditebak jalan pikirannya."Aku tak Sudi, Abimanyu bila babu itu ikut liburan bersama kita," ucap Nyonya Nadia melengos pergi.Nyonya Besar Kinanti hanya menggelengkan kepala saja saat melihat anak dan menantunya berdebat.Kali ini, Den Abimanyu tak berniat mengejarnya seperti yang biasa