"Bastian?" Clara segera berlari menuruni anak tangga. Detak langkahnya menggema di sepanjang lorong rumah yang sunyi. Tanpa ragu, dia menghampiri Sebastian, suaminya, yang kini melangkah mendekati pintu, dan membuat pria itu terkejut dengan aksinya. "Bastian, apa yang terjadi?" Begitu sampai di hadapan suaminya, Clara segera memeriksa setiap detail tubuh suaminya. Dari atas sampai bawah, tidak ada yang terlewat satu pun. Sekilas, Clara menahan napas. Penampilan Sebastian jauh dari biasanya. Kemeja putih yang dikenakannya tampak basah oleh keringat dan debu tebal yang melekat kuat, celana kerjanya penuh noda tanah dan bercak tak dikenali. Di wajahnya terdapat goresan kecil, dan rambutnya acak-acakan seperti habis diterpa angin kencang. Clara menatapnya lekat-lekat, seakan ingin memastikan bahwa pria itu benar-benar berdiri di hadapannya, dalam keadaan utuh. Dia lantas menatap Ramon, pria itu tampak biasa saja. Bahkan terkesan lebih rapi dari suaminya. Wajah Clara seketika memucat
"Makan siang?" Sebastian tidak mengerti mengapa dirinya bertanya demikian dengan mengulangi ucapan Rosalia. Padahal sudah jelas yang dikatakan oleh Rosalia. Bahwa wanita itu meminta dirinya untuk beristirahat dan makan siang bersama. Namun, keberadaan William membuat Sebastian harus berpikir ulang untuk menerima ajakan Rosalia."Terima kasih, Bu. Tapi aku harus segera menyelesaikan pekerjaan ini," tolak Sebastian dengan sangat lembut. Dia berupaya bersikap seramah mungkin, namun entah mengapa dia sendiri terkesan dingin. Rosalia menghela napas panjang. "Aku sudah menyiapkan makanan, jangan ditolak, Nak," ujar Rosalia dengan penuh kelembutan. "Ayolah, bukannya kamu sedang berupaya mendapat restu mereka," sindir William. Pria itu menampilkan senyum tipis yang membuat Sebastian merasa sangat muak. "Aku tunggu di meja makan," ucap Rosalia sembari melangkah menjauh. Sepertinya Rosalia, William menatap Sebastian penuh mencemooh. Sebelum akhirnya berbalik, dan meninggalkan Sebastian den
Sebastian tercengang. Apa yang dikatakan oleh ayah mertuanya ini. Sebastian memandang jauh ke arah perkebunan. Gubuk ini letaknya cukup jauh dengan perkebunan, meski berada dalam satu lahan. Dan apa katanya tadi pupuk kandang? Sebastian bukan tidak tahu apa itu pupuk kandang. Yaitu pupuk yang berasal dari kotoran hewan yang dikeringkan. Sebastian menelan ludah dengan kasar. "Kamu terlihat tidak baik-baik saja?" tanya Richard penuh nada sindiran. Sebastian berdeham, mencoba memperbaiki raut wajahnya yang dia yakini sangat pucat. Bibirnya berkedut, menahan sesuatu yang entah apa. Tidak mendapat jawaban, Richard pun kembali bertanya,"Bagaimana, apa kamu sanggup?" Sebastian terkesiap. Ini tidak seperti dirinya yang terlambat berpikir. Sebastian justru terlihat seperti orang linglung. "Kalau kamu tidak sanggup, kamu tidak perlu memaksakan dirimu." Richard kembali membuka suara. "Tentu saja tidak!" sahut Sebastian cepat. Richard mengangguk pelan. Sebelah sudut bibirnya ditar
Sebastian dan Ramon saling memandang dalam diam, seolah berusaha membaca pikiran satu sama lain tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tatapan mereka penuh makna, mencerminkan kebingungan yang sama mengenai langkah yang harus diambil selanjutnya. Di antara ketegangan yang menggantung di udara, perhatian mereka kemudian terarah kepada sosok Richard yang berdiri beberapa meter dari tempat mereka berada. Pria paruh baya itu tampak sibuk menyesuaikan letak topi kebun berwarna cokelat lusuh yang menutupi sebagian rambut hitamnya. "Ayah," panggil Sebastian. Bukannya menjawab, Richard justru memeriksa benda yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ini sudah pukul berapa?" Sebastian dan Ramon kembali saling memandang, kali ini dengan raut wajah yang sarat kebingungan. Kerutan halus tampak di dahi keduanya, seolah mencoba mencari jawaban atas sikap Richard yang tiba-tiba berubah dingin. "Kenapa kalian baru datang? Harusnya kalian datang lebih pagi dari kemarin!" Kali ini nada bicara Richard
Clara membelalak, matanya membesar dalam ketakjuban. Jantungnya berdegup kencang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Perasaan terkejut menyergap dirinya dengan cepat. Namun, di balik keterkejutan itu, tumbuh kehangatan yang begitu manis di dalam hatinya. Untuk sesaat dia terdiam, mencoba mencerna kenyataan yang kini terbentang di hadapannya. "Jadi Ayah menerimamu?" Clara harus memastikannya lagi. Sebastian mengernyitkan dahi. "Kamu terlihat senang?" Sebastian balik bertanya. Tatapannya menyipit. "Tentu saja aku senang. Kamu tahu sendiri kan bagaimana Ayah?" Clara menatap suaminya dengan tatapan intens. Sebastian mengangguk paham. "Ya, dia sangat sulit ditaklukkan," cetusnya. Ingatan terlempar pada saat pertemuan pertama mereka. Kesalahan besar dilakukan Sebastian, harusnya sebelum menikahi Clara, dia harus menemui mereka. Tetapi Clara telah mengandung terlebih dahulu kala itu. Itu Sebabnya Sebastian harus melakukan pernikahan dengan cepat. Dia ingin member
Richard terdiam sejenak setelah mendengar penuturan Sebastian. Raut wajahnya tidak segera menunjukkan reaksi apa pun. Tatapannya kosong, namun sorot matanya mengisyaratkan bahwa pikirannya tengah bekerja keras mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan sang menantu. Suasana di antara mereka seketika menjadi hening, hanya terdengar suara ketukan jam dinding dan deru napas yang saling bersahutan. Sebastian terdiam, menunggu dengan sabar, meskipun di dalam hatinya terselip kegelisahan. Dia tahu bahwa setiap kata yang diucapkannya barusan mengandung makna pentin. Tentang Clara, tentang keluarga, dan tentang harapan akan hubungan yang lebih baik. Dia tidak bisa membaca isi pikiran Richard, namun dia berharap kejujuran dan ketulusannya mampu menembus lapisan jarak yang selama ini membentang di antara mereka.Richard akhirnya mengangkat wajahnya, memandang Sebastian dengan mata yang lebih teduh. Meski ekspresinya masih tenang dan sulit ditebak, nada suaranya ketika akhirnya berbicara t
Clara menghampiri Sebastian yang masih duduk di balkon, membawa dua cangkir teh hangat. Ia duduk di samping suaminya dan menyandarkan kepala di pundaknya. Kaisar sudah tertidur di pangkuan Sebastian, wajah kecilnya terlihat damai."Dia sudah mulai mirip kamu," ucap Clara pelan, sambil menatap wajah putra mereka."Mirip aku?" Sebastian tersenyum tipis. "Semoga dia tidak mewarisi keras kepalaku."Clara terkekeh pelan. "Sayangnya, dia sudah punya itu. Tapi juga mewarisi hatimu yang hangat."Sebastian menatap langit sejenak, lalu kembali menatap Clara. "Hari ini aku merasa lega. Pusat pelatihan itu... aku harap benar-benar bisa membawa perubahan. Itu yang Kakek impikan."Clara mengangguk mantap. "Aku yakin akan berhasil. Kau telah melakukan segalanya dengan tulus dan sepenuh hati, Bas."Sebastian menghela napas panjang, mengingat kembali hari-hari ketika hidup mereka masih penuh ketegangan dan luka masa lalu. Dari pertentangan dengan orang tua Clara, ancaman dari Ziyon dan rekan-rekannya,
Bastian?" Clara segera berlari menuruni anak tangga. Detak langkahnya menggema di sepanjang lorong rumah yang sunyi. Tanpa ragu, dia menghampiri Sebastian, suaminya, yang kini melangkah mendekati pintu, dan membuat pria itu terkejut dengan aksinya. "Bastian, apa yang terjadi?" Begitu sampai di hadapan suaminya, Clara segera memeriksa setiap detail tubuh suaminya. Dari atas sampai bawah, tidak ada yang terlewat satu pun. Sekilas, Clara menahan napas. Penampilan Sebastian jauh dari biasanya. Kemeja putih yang dikenakannya tampak basah oleh keringat dan debu tebal yang melekat kuat, celana kerjanya penuh noda tanah dan bercak tak dikenali. Di wajahnya terdapat goresan kecil, dan rambutnya acak-acakan seperti habis diterpa angin kencang. Clara menatapnya lekat-lekat, seakan ingin memastikan bahwa pria itu benar-benar berdiri di hadapannya, dalam keadaan utuh. Dia lantas menatap Ramon, pria itu tampak biasa saja. Bahkan terkesan lebih rapi dari suaminya. Wajah Clara seketika memuc
Sebastian jelas tidak mempercayai ucapan William. Sejak awal, nada suara pemuda itu terdengar terlalu dibuat-buat, seolah menyembunyikan sesuatu di balik kata-kata yang tampak tenang. William mengatakan bahwa Richard melarang Sebastian datang ke rumah itu. Yang benar saja? Dia tahu betul bagaimana Richard bersikap. Meski pria itu sempat menolak kehadirannya, semuanya telah berubah sejak pertemuan mereka saat di pengadilan. Saat itu, dengan nada yang berat namun jujur, Richard sendiri yang mengatakan untuk menyuruh dirinya datang ke rumah. "Kamu pikir aku percaya?" Sebastian menatap William dengan sorot mata penuh tantangan. Kedua tangannya bertumpu pada pinggang. "Kamu tidak percaya?" William lantas menoleh ke belakang. "Coba saja temui Tuan Richard." Sebastian menatap ke arah yang sama dengan William. Tampak pintu belakang rumah Richard tertutup. Teras belakang rumah yang semula dipenuhi hidangan kini terlihat bersih. "Aku sudah mengenal mereka terlebih dahulu. Pada jam-jam i