Demi menyelamatkan nyawa suaminya yang sekarat, Clara Rein menandatangani sebuah kontrak panas dengan Sebastian Abraham, Presiden Direktur dingin Abraham Group. Tawaran itu kejam namun menggiurkan. Uang dalam jumlah tak terbatas, sebagai imbalan atas satu hal, Clara harus mengandung dan melahirkan pewaris bagi sang pengusaha. Bukan cinta yang diminta, bukan pula kasih sayang. Hanya tubuhnya, dan janin dalam kandungannya. Terikat oleh perjanjian dingin dalam selembar kertas hukum, Clara perlahan tenggelam dalam permainan kekuasaan dan emosi yang tak pernah ia bayangkan. Sebastian, pria yang tampak tak tersentuh oleh perasaan, ternyata menyimpan ambisi dan luka masa lalu yang perlahan menyeret Clara masuk lebih dalam ke dunianya. Namun tidak ada kontrak yang tak berisiko. Dan ketika batas antara kewajiban dan perasaan mulai memudar, Clara harus memilih mempertahankan janji pada cinta lama yang hampir mati... atau mengikuti takdir baru yang perlahan menuntunnya pada kehancuran atau kebebasan?
View More"Apa, Suster? Rp 5 miliar?"
Clara Rein, 28 tahun. Dia nyaris pingsan saat berdiri di antrian kasir Rumah Sakit Internasional St. Mary’s Kota Arbour. Wajah cantiknya memucat saat mendengar nominal tunggakan biaya rumah sakit suaminya yang sedang koma.
Clara dan William telah menikah selama satu tahun. Pada malam saat resepsi pernikahan, kecelakaan menyebabkan William koma. Saat itu hujan deras mengguyur kota Arbour. Clara tiba lebih dulu di tempat resepsi. Sedangkan mobil William tergelincir dan menabrak pembatas jalan dan masuk jurang.
"Ini nota tagihannya, Nyonya," ujar suster, memberikan secarik kertas tagihan.
Tangan Clara gemetar. Selama hidupnya, dia tidak pernah memiliki uang sebanyak itu.
Suster berkata, "Semua biaya harus segera dilunasi dalam 2 hari. Atau, pihak rumah sakit akan melepas semua peralatan medis Suami Anda!"
Clara menerima nota tagihan itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Baik. Terima kasih, Suster."
Clara berjalan dengan pikiran kosong. Dia kembali ke ruang perawatan suaminya. Setibanya di sana, dia melihat keberadaan kedua mertuanya, Benjamin Barnes dan Julia Barnes.
“Clara, ada apa?” Julia segera bertanya ketika melihat wajah muram menantunya.
Tanpa bicara, Clara menunjukkan nota tagihan rumah sakit suaminya kepada Julia dan membuat wanita itu seketika menutup mulutnya karena kaget.
“Kenapa bisa sebanyak itu?” Julia tidak dapat menahan kesedihannya.
Clara tidak menjawab, melainkan terdiam tanpa kata-kata. Jujur, Clara sendiri masih tidak percaya dengan semua ini. Namun mengingat rumah sakit di mana suaminya dirawat adalah rumah sakit besar, Clara rasa ini sungguh wajar.
Rumah Sakit Internasional St. Mary's adalah salah satu rumah sakit terbesar di Kota Arbour. Fasilitas medisnya sangat lengkap, dengan pelayanan yang memuaskan. Selain itu, jenis obat-obatan yang digunakan adalah kualitas terbaik.
Ben mendekat dan melihat apa yang menyebabkan istrinya menangis. Sama halnya dengan Julia, Ben juga sangat terkejut. Namun, dia masih cukup tegar untuk tidak mengeluarkan air mata. Dia lantas menatap ke arah menantunya dan berkata.
“Clara, kami sudah tidak punya apa-apa. Aku harap kamu bisa mendapatkan uang untuk melunasi biaya rumah sakit itu,” pinta Ben.
“Pa, dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Clara dengan tatapan sendu.
Mendengar itu, Julia menjadi kesal, dia menarik lengan menantunya, kemudian mencengkeramnya kuat-kuat.
“Bisa-bisanya William menikah dengan wanita bodoh seperti kamu! Clara, kamu bisa mencari pinjaman!” bentak Julia.
“Benar, Clara. Kamu bisa meminjam uang pada bos kamu.” Ben menimpali.
Clara terdiam, untuk sesaat dia tidak dapat berpikir. Mencari sebuah pinjaman tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih ketika mendengar saran Ben, rasa-rasanya Clara ingin tenggelam saja.
Dari hari ke hari, keluarga William terus mendesak Clara untuk mencari uang. Padahal Clara juga tidak memiliki harta lagi, selain cincin pernikahan.
Keluarga William dan keluarga Clara sendiri tidak ada yang bisa membantunya. Sementara gaji yang didapatkan tidak cukup untuk menutup biaya pengobatan William.
Akhirnya Clara memutuskan untuk mencari pinjaman di tempat lain. Sepulang kerja, dia mendatangi rumah teman atau kerabat mendiang kedua orang tuanya. Akan tetapi, dirinya justru diusir.
“Pergi kamu dari sini! Dasar tidak berguna! Datang kalau butuh saja!” bentak seorang pria yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan ibunya.
“Paman, aku mohon! Tolong bantu aku, suamiku koma, dan butuh biaya banyak!” Clara memohon sembari mengatupkan kedua tangan.
“Aku tidak peduli!”
Clara didorong hingga terjerembap di tanah berpaving. Clara tidak menyangka anggota keluarganya sekejam ini. Dia tidak tahu harus meminjam uang pada siapa lagi. Namun, melihat perlakuan mereka, sekalipun dirinya mengiba, mereka tak akan memberikannya. Pada akhirnya, Clara kembali ke rumah sakit dengan tangan kosong.
Satu hari tersisa, Clara berusaha semakin keras dengan mencari pinjaman berupa surat-surat penting untuk digadaikan. Namun, hasilnya tetap sama. Akhirnya dia kembali menemui kedua orang tua William.
“Maaf, Pa, Ma, aku tidak bisa mendapatkan uangnya,” kata Clara dengan kepala tertunduk dalam.
“Apa?” Julia menatap Clara penuh emosi. “Mencari uang begitu saja kamu tidak becus!”
Clara memejamkan matanya ketika Julia menunjuk-nunjuk wajahnya. “Ma, aku sudah berusaha sebisa mungkin mencari pinjaman.” Clara mencoba membela diri. Namun, kedua mertuanya tidak berhenti menyalahkannya.
“Aku tidak mau tahu, jika kamu tidak bisa mendapatkan uangnya, tinggalkan William, dia tidak butuh istri seperti kamu!”
Clara tidak bisa menahan air matanya. Clara sangat mencintai William, bagaimana mungkin dirinya meninggalkan pria itu dalam kondisi seperti ini?
Clara benar-benar tidak bisa berpikir saat ini, 5 miliar bukanlah uang yang sedikit. Di mana lagi dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Dia teringat ucapan ayah mertuanya, dan opsi terakhir jatuh pada Sebastian.
Sebastian Abraham, generasi keempat keluarga Abraham sekaligus Presdir Abraham Group. Perusahaan terkemuka yang bergerak di bidang perhotelan dan pariwisata.
Memiliki beberapa cabang dan anak perusahaan yang tersebar di berbagai wilayah dalam negeri maupun mancanegara. Telah banyak hotel dan resort serta pusat perbelanjaan yang berdiri di bawah naungan Abraham Group.
Abraham Group merupakan salah satu perusahaan yang masuk dalam posisi pertama perusahaan paling bonafide di Santoria. Tak terhitung jumlah aset serta kekayaan yang dimiliki oleh Sebastian. Uang 5 miliar jelas tidak ada apa-apanya bagi pria itu.
Hujan yang mengguyur kota Arbour mengiringi langkah Clara menuju ke rumah Sebastian. Tangannya yang dingin seketika gemetar ketika melihat sosok dengan wajah dingin di hadapannya. Meski begitu, Clara harus tetap mengungkapkan maksud kedatangannya.
“Tuan, tolong pinjamkan saya uang 5 miliar.”
Kehenginan memenuhi ruangan, Clara meremas satu tangannya ketika tatapan Sebastian menghujam ke arahnya. Dia tidak bisa mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh pria itu. Detik selanjutnya, dia mendengar suara Sebastian.
“5 Miliar? Itu hal yang kecil," ucap Sebastian. "Akan aku berikan, tapi dengan satu syarat,” imbuhnya.
Clara mengangkat kepala lalu bertanya, “Syarat? Apa itu, Tuan?”
“Lahirkan anak untukku! Maka akan kukabulkan semua keinginanmu!”
"William." Clara terlihat syok, wajahnya pucat. Senyum yang sejak tadi terpahat di bibirnya seketika memudar. Sementara Sebastian sudah bisa menduga sebelumnya, bahwa pria ini akan datang. Sebastian memang terlihat tenang, namun, dalam hatinya seketika merasakan gejolak emosi yang sangat berlebihan. Richard dan Rosalia yang semula terkejut, kini terlihat biasa saja. Mungkin saja mereka hanya ingin menghargai William. "Nak William, kamu datang?" sapa Rosalia. Wanita paruh baya itu tampak mengulas senyum ramah. Terkesan memaksa, dan Clara dapat melihat itu. Alih-alih menjawab, William justru menatap ke arah Clara. "Lama tidak bertemu, Clara," ucap William. Tatapannya tampak penuh kekaguman. Mendengar itu, kedua tangan Sebastian mengepal di bawah meja. Gelombang amarah menggulung begitu kuat, menguasai dirinya. Terlebih ketika melihat William mendudukkan dirinya di dekat Clara. Kalau tidak mengingat tempat, Sebastian sudah membuat pria itu terhempas. "Bagaimana kabarmu, Clara?" ta
Suasana ruang tamu yang semula dipenuhi suara tawa kecil Kaisar mendadak berubah hening begitu Clara membuka topik yang selama ini tak pernah benar-benar dibicarakan di hadapan kedua orang tuanya. Dengan suara pelan namun tegas, dia menyebut satu kata yang membuat waktu seolah berhenti—perceraian.“Ayah, Ibu… aku ingin kalian tahu alasan sebenarnya mengapa aku berpisah dengan William,” ujar Clara perlahan, menatap wajah kedua orang tuanya yang kini mulai berubah raut.Richard yang tadi sibuk menimang cucunya, tiba-tiba menghentikan gerakannya. Tatapannya yang hangat terhadap Kaisar mulai mengabur, berganti dengan sorot mata yang mengandung kebingungan. Sementara Rosalia, yang sedari tadi tampak tenang di sisi Richard, mendadak mengatupkan bibir rapat-rapat, seolah tak ingin satu pun kata keluar sebelum dia benar-benar yakin apa yang ingin diucapkan.Keheningan menggantung di udara, menciptakan jeda yang cukup panjang untuk membuat suasana terasa kian canggung. Clara menggenggam tanga
Sebastian tersenyum lebar, sorot matanya memancarkan kelegaan sekaligus kebahagiaan yang sulit disembunyikan. Ucapan Richard barusan terdengar begitu berarti di telinganya. Dia tidak hanya memaknainya sebagai bentuk penerimaan atas kehadiran Kaisar, tetapi juga sebagai sebuah undangan tersirat. "Tentu saja, Ayah. Saya akan menyampaikan salam Ayah pada mereka." Richard mengangguk. Rasa bersalah kembali tampak di wajah pria paruh baya itu. "Jika ada waktu, bawalah mereka kemari," ucap Richard ragu-ragu. Sebastian dan Clara saling pandang sebelum akhirnya salah satu dari mereka memberikan jawaban. "Tentu, Ayah. Kami akan menelpon Ayah jika akan datang kemari." "Baiklah." Setelah mengucapkan beberapa patah kata perpisahan, Sebastian dan Clara akhirnya melangkah meninggalkan beranda rumah keluarga Rein. Meski pertemuan itu tak berlangsung lama, namun waktu yang dilalui terasa bermakna, semua karena keberadaan Kaisar. Langkah keduanya menyusuri jalan kecil yang mengarah ke pintu
Kaisar masih menjadi sumber bagi tawa bagi Richard dan Rosalia. Bayi gembul itu kembali ke pelukan Richard setelah sempat mendapat ASI dari ibunya. Setelah sempat mengoceh, bayi itu tiba-tiba tertidur. Dan itu membuat Richard merasa heran. "Apa dia suka sekali tidur?" tanya Rosalia sembari memandangi cucu pertamanya. Sebastian mengulas senyum. "Seperti yang saya katakan, selain menyusu, anak itu suka sekali tidur. Dia hanya akan bangun jika lapar." Ucapan Sebastian disambut tawa oleh Rosalia dan Richard. Namun, tawa mereka seketika berhenti saat William datang. "Maaf, sepertinya saya harus pergi," ucap William sembari memasukkan ponsel ke dalam saku jaketnya. Sebastian mendongak, dan memandang William. "Baguslah, seharusnya sejak tadi kamu begitu," ucapnya sinis, sama sekali tidak ada senyuman di wajahnya. Suasana kembali tegang ketika Sebastian bersuara. William mengepalkan kedua tangan. Dia ingin sekali membalas ucapan Sebastian, namun dia tidak punya waktu untuk itu. Bi
Wajah William yang semula terlihat dingin dan tenang, mendadak berubah saat layar ponselnya menyala dan sebuah nama yang tidak asing muncul di sana. Bianca adalah rekan sekutunya. Dirinya dan wanita itu tengah terlibat sebuah proyek kerjasama. 'Kenapa wanita ini tiba-tiba menelpon?' batin William. William menatap benda yang menyala itu sekilas, sorot matanya memantulkan kegelisahan yang tak dapat dia sembunyikan. Dia segera menggenggam ponsel itu erat-erat, seolah berusaha melindungi sesuatu yang tidak boleh diketahui siapa pun. Kali ini, bukan hanya ketegangan yang tampak di raut wajahnya, melainkan juga kewaspadaan yang mencolok. Dia melirik kanan dan kiri dengan cepat, memperhatikan keadaan sekitar dengan saksama. "Ada apa, Nak?" tanya Rosalia yang menyadari raut wajah aneh mantan menantunya itu. Dan pertanyaan itu mengundang perhatian Sebastian dan Clara serta Richard. Seketika itu dia memaksa senyumnya terbit. "Ah, tidak apa-apa, Bu." William menelan ludah dengan susah p
"William." Clara terlihat syok, wajahnya pucat. Senyum yang sejak tadi terpahat di bibirnya seketika memudar. Sementara Sebastian sudah bisa menduga sebelumnya, bahwa pria ini akan datang. Sebastian memang terlihat tenang, namun, dalam hatinya seketika merasakan gejolak emosi yang sangat berlebihan. Richard dan Rosalia yang semula terkejut, kini terlihat biasa saja. Mungkin saja mereka hanya ingin menghargai William. "Nak William, kamu datang?" sapa Rosalia. Wanita paruh baya itu tampak mengulas senyum ramah. Terkesan memaksa, dan Clara dapat melihat itu. Alih-alih menjawab, William justru menatap ke arah Clara. "Lama tidak bertemu, Clara," ucap William. Tatapannya tampak penuh kekaguman. Mendengar itu, kedua tangan Sebastian mengepal di bawah meja. Gelombang amarah menggulung begitu kuat, menguasai dirinya. Terlebih ketika melihat William mendudukkan dirinya di dekat Clara. Kalau tidak mengingat tempat, Sebastian sudah membuat pria itu terhempas. "Bagaimana kabarmu, Clar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments